Gancet : Kapokmu Kapan, Mas? (6)
Aku tetap melanjutkan kegiatan siaran langsung di f******k milikku. Tak kupedulikan Bang Robi dan Miska yang ribut karena ketumpahan bubur mereka. Tak kugubris juga teriakan keduanya yang menyuruhku untuk berhenti melakukan siaran langsung.
"Oke, Gaes, pokoknya aku tunggu kedatangannya secepat mungkin, ya, di rumah. Aku bingung gimana ngurus mereka sendiri. Plis ... tolongin aku, ya, Gaes."
Kumatikan kamera siaran langsung. Baru tiga menit tapi siaran langsungku sudah ditonton lebih dari seratus orang. Setelah kumatikan, malah semakin banyak yang membagikannya. Bagus. Siap-siap viral!
"Dek, apa-apaan kamu?! Bukannya minta bantuan, kenapa kamu malah live f*?" omel Bang Robi.
"Aku lagi usaha cari bantuan, loh, Bang. Kan, kata Abang jangan tetangga sini. Jadi, ya, lebih baik di sosmed. Barangkali ada yang lewat sini bisa sekalian mampir nolongin. Kalau aku nyari keluar, kelamaan, Bang."
"Tapi gak gitu juga, Dek? Kalau viral gimana?"
Memang itu mauku, Bang.
"Duh, Mbak Ti, jangan bikin malu aku, dong. Temen f* Mbak Ti yang mutualan sama aku juga banyak, kan."
"Udah, sih, udah telanjur, kok. Kalian tenang aja, ya. Yang penting masih bisa ketolong. Kalian pilih viral apa mati?" tanyaku.
Mereka diam. Mau protes apa pun juga sudah terlambat. Aku yakin betul mereka berdua masih belum mau mati sekarang.
Belum ada lima menit, ponselku berdering. Begitu juga dengan ponsel Bang Robi dan Miska. Panggilan demi panggilan masuk silih berganti. Aku memilih mengabaikannya.
Tak berapa lama, terdengar ribut-ribut dari luar rumah. Aku keluar kamar untuk memeriksa. Ternyata di luar rumahku sudah ada beberapa orang.
Terdengar ketukan di pintu. Setelahnya, salam yang diucapkan terburu-buru membuatku segera mendekat ke pintu. Itu suara Kak Elfa, kakak tertua suamiku.
"Ti ... Robi mana?" Kak Elfa langsung menyerobot masuk setelah pintu rumah kubuka. Dia langsung berjalan menuju kamarku untuk mencari adiknya.
"Bang Robi di kamar sebelah, Kak," tuturku. Aku menyusul kakak iparku itu setelah kembali mengunci rapat pintu.
Kak Elfa menatapku dengan ekspresi tak percaya. Kemudian dia berjalan menuju kamar Miska. Pintu kamar yang sengaja kubuka memudahkan kakak suamiku itu masuk ke dalamnya.
"Astaghfirullah ... Dek! Ngapain kamu? Kenapa bisa begini?" Kak Elfa berteriak histeris melihat kondisi adiknya.
Hampir saja tubuhnya limbung kalau tak segera kutopang. Aku lantas memapahnya untuk duduk di kursi meja rias. Segera aku keluar kamar untuk mengambil air hangat setelah memastikan kakak iparku itu duduk dengan baik.
"Makasih, Ti," ucap Kak Elfa setelah meminum setengah gelas air yang kusodorkan.
"Ini kenapa mereka bisa gitu, Ti?" tanya Kak Elfa.
"T**i juga kurang tau, Kak. T**i bangun pas Subuh, Bang Robi teriak-teriak, Kak. Mana pintu kamar T**i kekunci dari luar. Untung berhasil kebuka."
"Robi! Benar kata istrimu ini?"
"Bener, Kak," ucap Bang Robi pelan.
"Ya Allah, Ti, kenapa gak telpon Kakak?" Kak Elfa mengusap bahuku.
"T**i gak kepikiran, Kak. Tadi mau minta bantuan di WAG, tapi dilarang Bang Robi."
"Terus, kamu live streaming di f* dia gak larang?"
"Bang Robi yang nyuruh, kok, Kak."
"Robi?" Kak Elfa menatap garang ke adiknya.
"Enggak, Kak. Robi nyuruh T**i nyari bantuan doang, kok, Kak." Bang Robi menjawab.
"Kan, kata Bang Robi T**i gak boleh manggil tetangga atau Pak RT, jadi T**i bingung harus manggil siapa. Sedangkan harus buru-buru. Kata dokter tadi kalau terlambat dibawa ke rumah sakit, Bang Robi sama Miska bisa gak ketolong, Kak."
"Astaghfirullah ...." Kak Elfa menggeleng mendengar jawabanku.
Tak lama kemudian terdengar sirene ambulan. Lalu ketukan di pintu depan kemnali terdengar. Aku segera berlari keluar kamar untuk memeriksa siapa yang datang.
Ternyata para petugas medis yang datang. Kupersilakan mereka masuk dan menuntun mereka ke kamar Miska. Aku sempat melihat keadaan di luar yang sangat ramai. Banyak orang melongok untuk mencari tahu apa yang terjadi. Sedahsyat ini ternyata kalau sesuatu viral.
Para petugas medis meminta bantuan beberapa orang bapak-bapak yang berada di luar rumahku untuk membantu memindahkan tubuh Bang Robi dan Miska ke atas brankar berroda. Aku dan Kak Elfa mengekor di belakang para petugas medis yang mendorong brankar itu. Kami dipersilakan ikut naik dalam ambulan itu.
Perjalanan menuju rumah sakit ternyata cukup jauh. Beberapa kali Bang Robi dan Miska menanyakan tentang waktu yang sudah berjalan. Mereka sepertinya benar-benar takut mati.
Bang Robi dan Miska bahkan berteriak histeris ketika mendengar obrolan salah satu petugas medis yang duduk di kursi depan ambulan.
"Biasanya kasus kayak gini langsung suntik mati."
Gancet : Kapokmu Kapan, Mas? (7)Sopir ambulan yang kaget karena mendengar jeritan Bang Robi dan Miska membuat ambulan oleng sehingga tubuh Bang Robi dan Miska ikut tersungkur ke sisi sebelah kiri ambulan. Tentu saja mereka semakin histeris karenanya."Aargh ... sakiiit!" keluh Miska."Tolong ...!" tambah Bang Robi.Sopir ambulan langsung menghentikan laju mobilnya dan segera berlari ke belakang bersama dua temannya yang duduk di depan. Mereka lantas membenahi posisi Bang Robi dan Miska. Beruntung, selimut yang sedari awal kugunakan untuk membungkus tubuh keduanya tidak terlepas saat tubuh mereka terguling.Aku dan Kak Elfa hanya membantu sebisa kami. Kak Elfa yang tadinya duduk di sampingku pada bagian kanan ambulan, pindah posisi ke sebelah kiri untuk mengantisipasi kejadian tadi tidak terulang kembali. Memang menjadi lebih sempit, tetapi tak apa.Kuperhatikan, salah seorang petugas medis yang sedari tadi membantu kami selalu mencuri pandang padaku. Entah siapa orang yang memakai ma
Gancet : Kapokmu Kapan, Mas? (8) "Jangan, Kak! Kakak tega sama Robi emangnya?" "Tega gak tega, ditegain! Dari pada harus nanggung malu berkali-kali. Udah salah, bukannya sadar, malah terus nyalahin istri. Otak kamu itu ke mana, sih?" Kak Elfa mendekat ke adiknya dan langsung menoyor kepala sang adik. "Tapi, Kak ...." "Tapi apa lagi? Mau bela diri lagi? Gak punya perasaan banget kamu jadi laki. Kalau Papi tau kelakuan anaknya kayak gini, Kakak yakin Papi yang bakal langsung suntik mati kamu sekarang juga!" "Emang ... Papi tau, Kak?" Belum sempat pertanyaan Bang Robi mendapat jawaban, seorang perawat datang mendekat. Perawat itu memberitahukan bahwa dokter akan segera melakukan tindakan untuk melepaskan Bang Robi dan Miska. Aku dan Kak Elfa diberi pilihan untuk tetap tinggal atau menunggu di luar. "Kami di sini aja, Sus," jawabku. Jawaban yang sama juga dilontarkan Kak Elfa. Tak berselang lama, tim dokter dan perawat masuk. Kebetulan ruang UGD hari itu sedang sepi. Tak ada pasien
Gancet : Kapokmu Kapan, Mas? (9)Miska menjerit kesakitan saat tubuhnya ikut jatuh ke lantai. Aku yang bingung diam tak melakukan apa pun. Kak Elfa yang akhirnya berlari menuju tubuh Bang Robi dan Miska. Lalu, segera memanggil perawat dan dokter.Tubuh Bang Robi dan Miska diangkat kembali ke atas brankar oleh beberapa orang perawat. Selanjutnya, dokter melakukan pemeriksaan. Alhamdulillah hasilnya tidak ada hal buruk yang terjadi. Bang Robi pingsan karena syok semata.Perawat kembali membenahi selang infus yang terlepas dari tangan Bang Robi dan Miska karena terjatuh. Miska yang histeris diberi suntikan entah apa. Katanya untuk menenangkan saja.Aku dan Kak Elfa diminta keluar ruangan dan menunggu di luar agar tak mengganggu istirahat mereka. Kami keluar dengan pasrah. Lalu duduk di kursi tunggu depan ruang UGD."Kak, yang Kakak bilang tadi beneran?" Aku bertanya."Enggak, Dek. Kakak sengaja mau bikin Robi panik. Eh, gak taunya malah jadi kayak gitu.""Soalnya Kakak kesel sama dia. Bi
Gancet : Kapokmu Kapan, Mas? (10)Kak Elfa menarik tanganku keluar kamar. Tak dipedulikan adiknya yang mengeluh kepedasan. Kak Elfa malah mengumpat, "Sukurin!" tanpa menoleh pada adiknya itu.Aku dan Kak Elfa makan bersama. Sebenarnya, Kak Elfa sudah membelikan makan pada kedua orang yang sedang berada di kamar itu. Rencananya malah Kak Elfa akan membantu menyuapi mereka. Tetapi, perkataan Bang Robi terlalu membuatnya geram."Kakak minta maaf, ya, Ti. Robi benar-benar keterlaluan! Kalau Kakak jadi kamu, mungkin udah Kakak siram air panas mereka berdua itu. Kalo gak, ya, suntik mati aja sekalian. Kamu sabar banget, ya Allah ...." Kak Elfa memeluk tubuhku dari samping."Kakak bener-bener malu sama kelakuan Robi.""Tadinya Kakak gak mau datang ke sini juga. Mau ikut sama yang lainnya aja pura-pura gak tau tentang apa yang terjadi sama Robi. Tapi gimana, Kakak gak tega. Lagipula kebetulan banget Kakak lewat dekat sini pas lihat live fb kamu itu.""Maaf, ya, Kak," ucapku lirih."Maaf untuk
Kapokmu Kapan, Mas? (11)Bang Robi marah-marah pada Kak Elfa karena dua orang dukun yang tadi datang bukanlah suruhan teman kakaknya. Suamiku itu bahkan mengancam akan memberi pelajaran pada dua orang tadi bila dirinya sudah terlepas dari Miska."Lah, mana Kakak tau kalau dua dukun yang tadi itu gadungan, Dek? Kebetulan banget, kan, datengnya pas temen Kakak bilang orangnya udah dekat sini. Jadi, ya, Kakak pikir betulan mereka." Kak Elfa bicara sambil menahan tawanya.Bang Robi kembali menggerutu."Gimana rasa minumannya, Dek?" tanya Kak Elfa.Pertanyaan itu semakin membuat Bang Robi marah-marah menyumpahi kedua dukun gadungan itu. Bukannya prihatin, Kak Elfa malah menyemburkan tawanya. Sebenarnya aku juga ingin melakukan hal yang sama. Lelah menahan tawa, tetapi aku tak berani menertawai Bang Robi dan Miska di depan mereka. Aku masih harus berpura-pura prihatin."Dek, tolong ambilin Abang minum, dong!" pinta Bang Robi.Segera saja aku keluar kamar dan mengambilkan minum di dapur. Tak
Kapokmu Kapan, Mas? (12)Bang Robi tak berhenti berteriak kesakitan."Gimana, nih, Kak?" Aku bertanya.Kak Elfa malah menggidikkan bahunya."Gak tau, Ti. Kakak juga gak berani masuk ke dalam. Bisa-bisa kita kena sasaran juga. Kamu lihat sendiri tadi Tante Riri tatapannya tadi kayak gimana, kan? Kakak takut, Ti.""Iya, ya, Kak. Aku juga takut.""Udah, kita tungguin aja, Ti. Mudah-mudahan Tante Riri bisa sadar sendiri."Kak Elfa lalu mengajakku duduk di sofa ruang keluarga yang terletak persis di depan kamar Miska. "Loh, yang lain ke mana, Kak?" Aku bertanya karena tak melihat saudara-saudara Bang Robi yang tadi datang bersama Kak Elfa."Pada kabur," jawab Kak Elfa lemah."Kok, kabur, Kak?""Gimana enggak kabur, Ti, mereka dikejar-kejar sama Tante Riri. Cuma Kakak yang enggak dikejar.""Emang, tadi ritualnya di mana, Kak?""Di situ." Kak Elfa menunjuk kamar Miska."Tante Riri juga kesurupannya di situ. Yang ada di situ kena tampar semua. Dukunnya aja kena jambak. Makanya pada kabur," j
Kapokmu Kapan, Mas? (13)"Ampun, Kak! Robi jangan disiksa terus, dong. Apa, sih, salah Robi sampe sial mulu kayak gini?" Bang Robi meringis.Apa salahnya? Memang sudah tak waras sepertinya pria itu! Masih sok suci."Salah kamu udah jelas banyak banget, pake nanya segala," omel Kak Elfa.Kak Elfa lagi-lagi menceramahi adiknya. Bang Robi terus saja membela diri tak mau disalahkan meski sudah jelas-jelas salah.Aku dan Tante Riri hanya diam menyaksikan keduanya bertengkar.Miska lebih banyak diam. Aku bisa mendengar isak tertahan dari sepupuku itu. Mungkinkah dia sudah menyesal?Tante Riri pamit pulang setelah Kak Elfa dan Bang Robi selesai dengan perdebatannya."Biar aku yang anter, Tan! Sekalian aku keluar cari sarapan," tawarku saat Tante Riri sedang bersiap-siap.Sebelum keluar, aku meminta Kak Elfa beristirahat sambil menunggu aku datang dengan sarapan. Kak Elfa kupersilakan tidur di kamarku, tetapi ditolaknya dengan alasan agar dapat segera terbangun bila terjadi sesuatu.Aku beran
Kapokmu Kapan, Mas? (14)Bang Robi terus menangis tanpa henti. Merengek seperti anak kecil meminta permen kepada ibunya. Kak Elfa malah tertawa melihat itu."Kapok sekarang?" tanya Kak Elfa.Bang Robi tak menjawab. Dia masih terus menangis mengeluhkan nasibnya yang terus-menerus tertimpa kesialan.Malam menjelang, pintu rumah masih ada yang mengetuk. Aku segera keluar untuk memeriksa. Sudah lebih dari satu jam tidak ada yang datang menawarkan diri untuk membantu melepaskan gancet Bang Robi dan Miska. Entah siapa yang datang kali ini.Aku terperanjat ketika mendapati Mas Aryo saat pintu terbuka. Kakak sepupuku itu datang seorang diri. Wajahnya tampak lelah."Masuk, Mas ...," ajakku.Mas Aryo mengekoriku masuk dan duduk di ruang tamu."Mas Aryo mau minum apa? Aku siapin dulu, ya.""Gak usah repot-repot, Ti. Minuman Mas masih ada, kok." Mas Aryo mengeluarkan botol air mineral dari ransel yang dibawanya. Setelah menenggak separuh isi botol, Mas Aryo meletakkan botol itu di meja yang berad
Kapokmu Kapan, Mas? (53b)Aku masuk dan tiba-tiba pintu itu terkunci dari luar."Masuk saja. Tidak perlu takut, Dek!" perintah Bang Robi.Tangannya menunjuk sebuah sofa agar aku duduk di sana. Kuletakkan tasku di samping."Gak usah tegang gitu, Dek," kata Bang Robi saat melihatku membetulkan posisi duduk berulang kali.Aku tak menjawab kata-katanya."Aku ke sini mau to the point aja, Bang!" kataku kemudian."Kamu butuh apa memangnya?""Aku gak butuh apa-apa, Bang. Aku malah mau menyerahkan ini." Kulempar map berisi duplikat surat-surat berharga peninggalan orang tuaku ke atas meja yang menjadi pembatas aku dan Bang Robi."Silakan ambil semua itu. Itu yang Abang inginkan, kan?" tanyaku.Bukannya menjawab, Bang Robi malah tertawa."Bukan itu, Sayang! Abang gak butuh itu semua. Yang Abang butuh itu kamu!""Aku? Maksud Abang apa? Bukannya Abang niat bunuh aku?"Bang Robi kembali tertawa."Nah, itu kamu tau.""Kenapa Abang segitu jahatnya sama aku? Salah aku apa, Bang?""Salah kamu karena
Kapokmu Kapan, Mas? (53)Aku bersiap berangkat setelah Bang Robi mengirimkan pesan berisi tempat di mana kami akan bertemu. Kusiapkan apa-apa saja yang kuperlukan untuk menemui Bang Robi. Aku harus menyelesaikan semuanya.Baru saja aku memutar gagang pintu kamar, dari luar sudah didorong orang. Ternyata Pak Arsyad yang mendorong. Aku yang tadinya sudah di ambang pintu, harus mundur beberapa langkah karena Pak Arsyad yang ikut masuk ke kamarku. Tangannya lantas menutup pintu kamarku dan menguncinya dengan cepat. Lalu, kunci itu disembunyikannya di dalam saku celana yang dikenakannya."Mas ... balikin kuncinya! Saya mau pergi," pintaku.Bukannya memberikan apa yang kupinta, Pak Arsyad malah menempelkan belakangnya ke pintu. Dengan santai Pak Arsyad bersedekap dan berucap, "Kalau bisa, coba ambil sendiri!""Mas ... tolong! Saya mau pergi. Sudah ada janji.""Janji dengan Robi?"Aku mengangguk."Tidak akan saya biarkan kamu keluar dari sini, kalau begitu.""Mas ... tolong ngertiin saya kal
Kapokmu Kapan, Mas? (52b)Malam itu, aku tak dapat tidur dengan pulas. Marahnya Pak Arsyad mendominasi pikiranku. Aku tak suka dengan itu. Sungguh menyakitkan.Pagi harinya, saat sarapan, aku sengaja meminta izin kepada kedua orang tua Pak Arsyad, serta Bude Ningsih."Siang nanti Titi izin keluar, ya, Ma, Pa, Bude."Ketiganya serempak menanyakan tujuanku."Mau menyelesaikan sesuatu yang harus diselesaikan," jawabku.Pak Arsyad diam saja tak merespon apa pun. Dia juga tak melirikku barang sedikit. Ada rasa sakit kurasakan karena itu.Meskipun Pak Arsyad marah, aku sudah bertekad bulat untuk menemui Bang Robi. Aku ingin menyelesaikan semuanya. Semua upaya yang aku dan Pak Arsyad lakukan selama ini tak berdampak banyak. Jadi, ini jalan terakhir untuk mengakhiri semuanya. Setidaknya, setelah Bang Robi mendapatkan semua yang diinginkannya, aku berharap tidak ada lagi korban. Aku semakin takut menjadi sumber dosa banyak orang.Ternyata, setelah sarapan, Pak Arsyad tidak berangkat ke kantor
Kapukmu Kapan Mas? (52a)Selepas shalat, aku menyusul Pak Arsyad yang telah lebih dulu menunggu di mobil."Kita pulang sekarang?" tanya Pak Arsyad setelah aku duduk di kursi samping kemudi."Memang masih ada rencana mau ke mana lagi, Mas?" Aku balik bertanya."Tidak juga. Tapi siapa tau kamu butuh pergi ke suatu tempat untuk film diri."Benar juga kata Pak Arsyad. Aku butuh tempat untuk syuting diri. Juga untuk menjernihkan pikiran."Boleh, sih, Mas. Tapi saya gak tau mau ke mana.""Gimana kalau ke pantai?""Boleh."Pak Arsyad lantas melajukan mobilnya menuju pantai. Kami lalu duduk di tepi pantai beralas tikar yang disewakan. Pak Arsyad juga memesan dua buah kelapa muda untuk kami nikmati.Cukup lama kami dalam diam menikmati semilir angin pantai yang menyejukkan. Aku sibuk dengan pikiranku tentang langkah selanjutnya yang akan kuambil. Entah dengan Pak Arsyad, apa yang dipikirkannya, aku tak bisa menebak.Seandainya waktu dapat kuputar. Aku pasti akan berusaha sebaik mungkin agar se
Kapokmu Kapan, Mas? (51c)Aku benar-benar dibuat terkejut dengan pengakuan itu. Dadaku bergemuruh. Tak pernah kusangka semua itu."Itu pun karena saya diancam. Bapak mengancam akan membunuh anak bungsu saya yang sedang berada di rumah sakit.""Mbok punya anak selain Mas Wisnu?" tanyaku heran. Pasalnya, selama ini yang kutahu Mbok Mina hanya punya satu anak."Anak saya ada dua, Bu. Wisnu anak pertama saya. Adiknya bernama Siti. Dia sedang dalam masa perawatan di rumah sakit jiwa. Pak Robi tau itu. Saya juga kurang mengerti beliau tau dari mana. Padahal saya tidak pernah bercerita. Pak Robi menggunakan Siti untuk menekan saya memberitahukan tentang kepergian Ibu. Saya terpaksa memberitahu alamat rumah di kampung."Astaghfirullah ...."Awalnya, saya pikir Bapak mau menjemput Ibu secara baik-baik. Jadi saya beri saja. Tapi ... saya malah disuruh hubungi Wisnu. Saya disuruh bohong tentang sakit dan nyuruh Wisnu nyusul ke kota. Di situ, perasaan saya sudah gak enak. Tapi saya gak bisa berbu
Kapokmu Kapan, Mas? (51b)Karena bosan tak mendapat jawaban, Mas Wisnu akhirnya kembali ke motornya dan pergi dari tempat itu. Aku dan Pak Arsyad membuntutinya. Cukup jauh perjalanan yang harus kami tempuh sampai akhirnya kami tiba di sebuah rumah. Tempat motor Mas Wisnu berhenti.Di depan rumah itu terlihat Mbok Mina keluar menyambut putranya. Tampak ibu dan anak itu saling berbincang entah apa. Mereka lalu masuk ke rumah bersama dan mengunci pintu setelahnya.Aku dan Pak Arsyad masih setia di dalam mobil. Kami menunggu kesempatan untuk dapat masuk ke rumah itu dan meminta penjelasan. Pak Arsyad yakin betul bahwa ada sesuatu keterkaitan antara mereka dan apa yang sedang terjadi kepadaku.Satu jam sudah kami menunggu di dalam mobil. Akan tetapi, Pak Arsyad belum juga mau kami turun menghampiri rumah itu. Perutku sudah perih, tetapi tak sampai hati kuutarakan."Ayo, kita turun!" Pak Arsyad memberi perintah setelah melihat Mas Wisnu keluar dari rumah itu. Sepertinya Mas Wisnu hendak sa
Kapokmu Kapan, Mas? (51)"Jadi, apa yang akan Mas lakuin selanjutnya?" Aku bertanya."Kita buntuti Wisnu.""Kita?" Aku mengernyit."Iya. Apa kamu gak mau tau apa yang sebenarnya terjadi? Saya ada feeling kuat mereka ada kaitannya dengan kasus ini.""Begitu menurut Mas?"Pak Arsyad mengangguk."Kalau begitu, saya ikut. Kapan Mas mau laksanain rencana itu?" ucapku."Kemungkinan besok sore sepulang kerja. Atau lihat besok, deh. Pokoknya kamu siap-siapa aja. Kalau saya telpon, kita siap berangkat.""Oke, Mas, kalau gitu.""Ya udah, ini udah malam. Kamu tidur, sana!""Iya, Mas. Mas juga, ya! Terima kasih udah mau saya repotin malam begini.""Santai."Kami lantas kembali ke kamar masing-masing untuk beristirahat.Namun, sebelum dapat terlelap, aku kembali teringat mimpi malam sebelumnya. Aku bermimpi sedang bertengkar dengan Mbok Mina dan Mas Wisnu di tepu jurang. Hampir saja kami terpeleset ke dalam jurang itu. Aku merasa itu adalah sebuah petunjuk. Semoga saja aku segera mengetahui maksud
Kapukmu Kapan Mas? (50b)"Kayaknya korban pembunuhan, Mbak."Entah mengapa, saya merasa ngeri dengan informasi itu. Apakah Mas Adam juga menjadi salah satu korban Bang Robi? Entahlah. Aku tak berani berspekulasi.Karena hari semakin petang, Pak Arsyad mengajakku untuk pulang setelah sedikit berbasa-basi dengan tetangga Mas Adam yang kami tanyai. Sepanjang perjalanan pulang, aku lebih banyak diam. Begitu juga dengan Pak Arsyad.Malamnya aku merasa gelisah. Bahkan dalam tidur pun aku jadi tidak tenang. Mataku terpejam, tapi sama sekali aku tidak merasa tidur. Pikiranku berlarian ke berbagai praduga.Barulah setelah lewat pukul dua dini hari, aku bisa terlelap. Akan tetapi, sebuah mimpi aneh muncul dalam tidurku. Aku memimpikan Mbok Mina dan Mas Wisnu.Aku terbangun tepat saat azan Subuh berkumandang. Berkali-kali aku beristighfar demi keputusan debar di dada. Apakah mimpiku adalah pertanda? Atau hanya bunga tidur semata.Sudah cukup lama aku tak mendapat kabar dari Mbok Mina dan Mas Wis
Kapokmu Kapan, Mas? (50)Aku benar-benar terkejut melihat Bang Robi menarik tanganku. Ingin rasanya kutepis dan berlari menjauh darinya. Akan tetapi, suasana di lain arah pun sedang tak kondusif.Terpaksa, aku hanya pasrah dibawanya. Kami akhirnya keluar dari gedung itu. Segera kutepis tangan Bang Robi. Dari kejauhan, terlihat Pak Arsyad. Aku segera lari menghampirinya."Kamu gak kenapa-kenapa, kan?" tanya Pak Arsyad ketika aku sampai di depannya.Belum sempat aku menjawab, Bang Robi sudah menimpali, "Cewek lo gak kenapa-kenapa, kok, Bro. Aman.""Lo yang nyelametin dia, Bi?" tanya Pak Arsyad."Iya.""Thanks, ya, Bi."Bang Robi hanya mengangguk menanggapi ucapan Pak Arsyad."Lain kali, jagain cewek lo baik-baik, Bro. Dia kayaknya sensian sama cowok." Bang Robi menyindirku.Pak Arsyad malah tertawa menanggapi perkataan Bang Robi.Pak Arsyad melihat ke arahku. Aku menggeleng sebagai isyarat tak melakukan apa pun kepadanya."Diapain emangnya lo, Bi?""Gak, kok. Dah, ya, gue duluan. Sial.