Kapokmu Kapan, Mas? (51b)Karena bosan tak mendapat jawaban, Mas Wisnu akhirnya kembali ke motornya dan pergi dari tempat itu. Aku dan Pak Arsyad membuntutinya. Cukup jauh perjalanan yang harus kami tempuh sampai akhirnya kami tiba di sebuah rumah. Tempat motor Mas Wisnu berhenti.Di depan rumah itu terlihat Mbok Mina keluar menyambut putranya. Tampak ibu dan anak itu saling berbincang entah apa. Mereka lalu masuk ke rumah bersama dan mengunci pintu setelahnya.Aku dan Pak Arsyad masih setia di dalam mobil. Kami menunggu kesempatan untuk dapat masuk ke rumah itu dan meminta penjelasan. Pak Arsyad yakin betul bahwa ada sesuatu keterkaitan antara mereka dan apa yang sedang terjadi kepadaku.Satu jam sudah kami menunggu di dalam mobil. Akan tetapi, Pak Arsyad belum juga mau kami turun menghampiri rumah itu. Perutku sudah perih, tetapi tak sampai hati kuutarakan."Ayo, kita turun!" Pak Arsyad memberi perintah setelah melihat Mas Wisnu keluar dari rumah itu. Sepertinya Mas Wisnu hendak sa
Kapokmu Kapan, Mas? (51c)Aku benar-benar dibuat terkejut dengan pengakuan itu. Dadaku bergemuruh. Tak pernah kusangka semua itu."Itu pun karena saya diancam. Bapak mengancam akan membunuh anak bungsu saya yang sedang berada di rumah sakit.""Mbok punya anak selain Mas Wisnu?" tanyaku heran. Pasalnya, selama ini yang kutahu Mbok Mina hanya punya satu anak."Anak saya ada dua, Bu. Wisnu anak pertama saya. Adiknya bernama Siti. Dia sedang dalam masa perawatan di rumah sakit jiwa. Pak Robi tau itu. Saya juga kurang mengerti beliau tau dari mana. Padahal saya tidak pernah bercerita. Pak Robi menggunakan Siti untuk menekan saya memberitahukan tentang kepergian Ibu. Saya terpaksa memberitahu alamat rumah di kampung."Astaghfirullah ...."Awalnya, saya pikir Bapak mau menjemput Ibu secara baik-baik. Jadi saya beri saja. Tapi ... saya malah disuruh hubungi Wisnu. Saya disuruh bohong tentang sakit dan nyuruh Wisnu nyusul ke kota. Di situ, perasaan saya sudah gak enak. Tapi saya gak bisa berbu
Kapukmu Kapan Mas? (52a)Selepas shalat, aku menyusul Pak Arsyad yang telah lebih dulu menunggu di mobil."Kita pulang sekarang?" tanya Pak Arsyad setelah aku duduk di kursi samping kemudi."Memang masih ada rencana mau ke mana lagi, Mas?" Aku balik bertanya."Tidak juga. Tapi siapa tau kamu butuh pergi ke suatu tempat untuk film diri."Benar juga kata Pak Arsyad. Aku butuh tempat untuk syuting diri. Juga untuk menjernihkan pikiran."Boleh, sih, Mas. Tapi saya gak tau mau ke mana.""Gimana kalau ke pantai?""Boleh."Pak Arsyad lantas melajukan mobilnya menuju pantai. Kami lalu duduk di tepi pantai beralas tikar yang disewakan. Pak Arsyad juga memesan dua buah kelapa muda untuk kami nikmati.Cukup lama kami dalam diam menikmati semilir angin pantai yang menyejukkan. Aku sibuk dengan pikiranku tentang langkah selanjutnya yang akan kuambil. Entah dengan Pak Arsyad, apa yang dipikirkannya, aku tak bisa menebak.Seandainya waktu dapat kuputar. Aku pasti akan berusaha sebaik mungkin agar se
Kapokmu Kapan, Mas? (52b)Malam itu, aku tak dapat tidur dengan pulas. Marahnya Pak Arsyad mendominasi pikiranku. Aku tak suka dengan itu. Sungguh menyakitkan.Pagi harinya, saat sarapan, aku sengaja meminta izin kepada kedua orang tua Pak Arsyad, serta Bude Ningsih."Siang nanti Titi izin keluar, ya, Ma, Pa, Bude."Ketiganya serempak menanyakan tujuanku."Mau menyelesaikan sesuatu yang harus diselesaikan," jawabku.Pak Arsyad diam saja tak merespon apa pun. Dia juga tak melirikku barang sedikit. Ada rasa sakit kurasakan karena itu.Meskipun Pak Arsyad marah, aku sudah bertekad bulat untuk menemui Bang Robi. Aku ingin menyelesaikan semuanya. Semua upaya yang aku dan Pak Arsyad lakukan selama ini tak berdampak banyak. Jadi, ini jalan terakhir untuk mengakhiri semuanya. Setidaknya, setelah Bang Robi mendapatkan semua yang diinginkannya, aku berharap tidak ada lagi korban. Aku semakin takut menjadi sumber dosa banyak orang.Ternyata, setelah sarapan, Pak Arsyad tidak berangkat ke kantor
Kapokmu Kapan, Mas? (53)Aku bersiap berangkat setelah Bang Robi mengirimkan pesan berisi tempat di mana kami akan bertemu. Kusiapkan apa-apa saja yang kuperlukan untuk menemui Bang Robi. Aku harus menyelesaikan semuanya.Baru saja aku memutar gagang pintu kamar, dari luar sudah didorong orang. Ternyata Pak Arsyad yang mendorong. Aku yang tadinya sudah di ambang pintu, harus mundur beberapa langkah karena Pak Arsyad yang ikut masuk ke kamarku. Tangannya lantas menutup pintu kamarku dan menguncinya dengan cepat. Lalu, kunci itu disembunyikannya di dalam saku celana yang dikenakannya."Mas ... balikin kuncinya! Saya mau pergi," pintaku.Bukannya memberikan apa yang kupinta, Pak Arsyad malah menempelkan belakangnya ke pintu. Dengan santai Pak Arsyad bersedekap dan berucap, "Kalau bisa, coba ambil sendiri!""Mas ... tolong! Saya mau pergi. Sudah ada janji.""Janji dengan Robi?"Aku mengangguk."Tidak akan saya biarkan kamu keluar dari sini, kalau begitu.""Mas ... tolong ngertiin saya kal
Kapokmu Kapan, Mas? (53b)Aku masuk dan tiba-tiba pintu itu terkunci dari luar."Masuk saja. Tidak perlu takut, Dek!" perintah Bang Robi.Tangannya menunjuk sebuah sofa agar aku duduk di sana. Kuletakkan tasku di samping."Gak usah tegang gitu, Dek," kata Bang Robi saat melihatku membetulkan posisi duduk berulang kali.Aku tak menjawab kata-katanya."Aku ke sini mau to the point aja, Bang!" kataku kemudian."Kamu butuh apa memangnya?""Aku gak butuh apa-apa, Bang. Aku malah mau menyerahkan ini." Kulempar map berisi duplikat surat-surat berharga peninggalan orang tuaku ke atas meja yang menjadi pembatas aku dan Bang Robi."Silakan ambil semua itu. Itu yang Abang inginkan, kan?" tanyaku.Bukannya menjawab, Bang Robi malah tertawa."Bukan itu, Sayang! Abang gak butuh itu semua. Yang Abang butuh itu kamu!""Aku? Maksud Abang apa? Bukannya Abang niat bunuh aku?"Bang Robi kembali tertawa."Nah, itu kamu tau.""Kenapa Abang segitu jahatnya sama aku? Salah aku apa, Bang?""Salah kamu karena
Gancet : Kapokmu Kapan Mas?Aku yang membuat suamiku dan selingkuhannya---sepupuku---gancet di sebelah kamarku. Lalu, aku bertanya-pura tak mendengar teriakan mereka yang bersahutan meminta tolong. Selamat merasakan hadiah perselingkuhan!"Tolooong!" teriak Miska."Dek... tolong, Dek!" Kali ini suara teriakan Bang Robi yang terdengar."Mbak Ti... tolongin Miska, Mbak!" Miska lagi."Dek... tolongin Abang, Dek! Bangun, Dek!" Bang Robi lebih mengencankan suaranya.Kubiarkan mereka berteriak sampai lelah. Lebih baik aku terus-menerus tidur, larut dalam pengaruh obat tidur yang dicampurkan Miska dalam minumanku tiap malamnya. Biar aktingnya maksimal. Mereka saja bisa bersiasat di belakangku, kenapa aku tidak?Tak ada lagi rasa iba dalam diriku mendengar teriakan mengiba dari kamar Miska di sebelah. Rasa sakit hati untuk semua rasa peduliku pada pasangan selingkuh itu. Rasa sakit yang akhirnya mengantarku berbuat nekat pada mereka.Lima bulan lalu, Miska datang ke rumah untuk menumpang ting
Gancet : Kapokmu Kapan, Mas? (2)Suara Miska dan Bang Robi minta tolong berhenti. Kali ini berganti dengan keributan lain. Aku menempelkan telinga di dinding agar dapat mendengar apa yang mereka bicarakan. Ternyata, mereka sedang berdebat saling menyalahkan."Ini pasti gara-gara kamu, Mis!" tuduh Bang Robi.Entah bagaimana ekspresi mereka saat itu. Yang jelas Miska terdengar tidak terima dengan tuduhan itu. Dia malah balik menyalahkan Bang Robi.Di sebelah, mereka asik saling menyalahkan, sementara aku di kamar tertawa pelan dengan rasa puas. Kapok, kan? Makanya, jangan macam-macam!Sudah lewat dua jam dari waktu pertama aku mendengar teriakan pasangan selingkuh itu. Dari sebelah kamar masih saja terdengar suara ribut. Sesekali juga terdengar jeritan penuh rasa sakit dari Bang Robi dan Miska. Mungkin mereka sedang mencoba melepaskan diri. Coba saja kalau bisa!Sayup terdengar adzan Subuh berkumandang bersamaan dengan alarm di kamar berbunyi. Aku langsung masuk ke kamar mandi yang bera
Kapokmu Kapan, Mas? (53b)Aku masuk dan tiba-tiba pintu itu terkunci dari luar."Masuk saja. Tidak perlu takut, Dek!" perintah Bang Robi.Tangannya menunjuk sebuah sofa agar aku duduk di sana. Kuletakkan tasku di samping."Gak usah tegang gitu, Dek," kata Bang Robi saat melihatku membetulkan posisi duduk berulang kali.Aku tak menjawab kata-katanya."Aku ke sini mau to the point aja, Bang!" kataku kemudian."Kamu butuh apa memangnya?""Aku gak butuh apa-apa, Bang. Aku malah mau menyerahkan ini." Kulempar map berisi duplikat surat-surat berharga peninggalan orang tuaku ke atas meja yang menjadi pembatas aku dan Bang Robi."Silakan ambil semua itu. Itu yang Abang inginkan, kan?" tanyaku.Bukannya menjawab, Bang Robi malah tertawa."Bukan itu, Sayang! Abang gak butuh itu semua. Yang Abang butuh itu kamu!""Aku? Maksud Abang apa? Bukannya Abang niat bunuh aku?"Bang Robi kembali tertawa."Nah, itu kamu tau.""Kenapa Abang segitu jahatnya sama aku? Salah aku apa, Bang?""Salah kamu karena
Kapokmu Kapan, Mas? (53)Aku bersiap berangkat setelah Bang Robi mengirimkan pesan berisi tempat di mana kami akan bertemu. Kusiapkan apa-apa saja yang kuperlukan untuk menemui Bang Robi. Aku harus menyelesaikan semuanya.Baru saja aku memutar gagang pintu kamar, dari luar sudah didorong orang. Ternyata Pak Arsyad yang mendorong. Aku yang tadinya sudah di ambang pintu, harus mundur beberapa langkah karena Pak Arsyad yang ikut masuk ke kamarku. Tangannya lantas menutup pintu kamarku dan menguncinya dengan cepat. Lalu, kunci itu disembunyikannya di dalam saku celana yang dikenakannya."Mas ... balikin kuncinya! Saya mau pergi," pintaku.Bukannya memberikan apa yang kupinta, Pak Arsyad malah menempelkan belakangnya ke pintu. Dengan santai Pak Arsyad bersedekap dan berucap, "Kalau bisa, coba ambil sendiri!""Mas ... tolong! Saya mau pergi. Sudah ada janji.""Janji dengan Robi?"Aku mengangguk."Tidak akan saya biarkan kamu keluar dari sini, kalau begitu.""Mas ... tolong ngertiin saya kal
Kapokmu Kapan, Mas? (52b)Malam itu, aku tak dapat tidur dengan pulas. Marahnya Pak Arsyad mendominasi pikiranku. Aku tak suka dengan itu. Sungguh menyakitkan.Pagi harinya, saat sarapan, aku sengaja meminta izin kepada kedua orang tua Pak Arsyad, serta Bude Ningsih."Siang nanti Titi izin keluar, ya, Ma, Pa, Bude."Ketiganya serempak menanyakan tujuanku."Mau menyelesaikan sesuatu yang harus diselesaikan," jawabku.Pak Arsyad diam saja tak merespon apa pun. Dia juga tak melirikku barang sedikit. Ada rasa sakit kurasakan karena itu.Meskipun Pak Arsyad marah, aku sudah bertekad bulat untuk menemui Bang Robi. Aku ingin menyelesaikan semuanya. Semua upaya yang aku dan Pak Arsyad lakukan selama ini tak berdampak banyak. Jadi, ini jalan terakhir untuk mengakhiri semuanya. Setidaknya, setelah Bang Robi mendapatkan semua yang diinginkannya, aku berharap tidak ada lagi korban. Aku semakin takut menjadi sumber dosa banyak orang.Ternyata, setelah sarapan, Pak Arsyad tidak berangkat ke kantor
Kapukmu Kapan Mas? (52a)Selepas shalat, aku menyusul Pak Arsyad yang telah lebih dulu menunggu di mobil."Kita pulang sekarang?" tanya Pak Arsyad setelah aku duduk di kursi samping kemudi."Memang masih ada rencana mau ke mana lagi, Mas?" Aku balik bertanya."Tidak juga. Tapi siapa tau kamu butuh pergi ke suatu tempat untuk film diri."Benar juga kata Pak Arsyad. Aku butuh tempat untuk syuting diri. Juga untuk menjernihkan pikiran."Boleh, sih, Mas. Tapi saya gak tau mau ke mana.""Gimana kalau ke pantai?""Boleh."Pak Arsyad lantas melajukan mobilnya menuju pantai. Kami lalu duduk di tepi pantai beralas tikar yang disewakan. Pak Arsyad juga memesan dua buah kelapa muda untuk kami nikmati.Cukup lama kami dalam diam menikmati semilir angin pantai yang menyejukkan. Aku sibuk dengan pikiranku tentang langkah selanjutnya yang akan kuambil. Entah dengan Pak Arsyad, apa yang dipikirkannya, aku tak bisa menebak.Seandainya waktu dapat kuputar. Aku pasti akan berusaha sebaik mungkin agar se
Kapokmu Kapan, Mas? (51c)Aku benar-benar dibuat terkejut dengan pengakuan itu. Dadaku bergemuruh. Tak pernah kusangka semua itu."Itu pun karena saya diancam. Bapak mengancam akan membunuh anak bungsu saya yang sedang berada di rumah sakit.""Mbok punya anak selain Mas Wisnu?" tanyaku heran. Pasalnya, selama ini yang kutahu Mbok Mina hanya punya satu anak."Anak saya ada dua, Bu. Wisnu anak pertama saya. Adiknya bernama Siti. Dia sedang dalam masa perawatan di rumah sakit jiwa. Pak Robi tau itu. Saya juga kurang mengerti beliau tau dari mana. Padahal saya tidak pernah bercerita. Pak Robi menggunakan Siti untuk menekan saya memberitahukan tentang kepergian Ibu. Saya terpaksa memberitahu alamat rumah di kampung."Astaghfirullah ...."Awalnya, saya pikir Bapak mau menjemput Ibu secara baik-baik. Jadi saya beri saja. Tapi ... saya malah disuruh hubungi Wisnu. Saya disuruh bohong tentang sakit dan nyuruh Wisnu nyusul ke kota. Di situ, perasaan saya sudah gak enak. Tapi saya gak bisa berbu
Kapokmu Kapan, Mas? (51b)Karena bosan tak mendapat jawaban, Mas Wisnu akhirnya kembali ke motornya dan pergi dari tempat itu. Aku dan Pak Arsyad membuntutinya. Cukup jauh perjalanan yang harus kami tempuh sampai akhirnya kami tiba di sebuah rumah. Tempat motor Mas Wisnu berhenti.Di depan rumah itu terlihat Mbok Mina keluar menyambut putranya. Tampak ibu dan anak itu saling berbincang entah apa. Mereka lalu masuk ke rumah bersama dan mengunci pintu setelahnya.Aku dan Pak Arsyad masih setia di dalam mobil. Kami menunggu kesempatan untuk dapat masuk ke rumah itu dan meminta penjelasan. Pak Arsyad yakin betul bahwa ada sesuatu keterkaitan antara mereka dan apa yang sedang terjadi kepadaku.Satu jam sudah kami menunggu di dalam mobil. Akan tetapi, Pak Arsyad belum juga mau kami turun menghampiri rumah itu. Perutku sudah perih, tetapi tak sampai hati kuutarakan."Ayo, kita turun!" Pak Arsyad memberi perintah setelah melihat Mas Wisnu keluar dari rumah itu. Sepertinya Mas Wisnu hendak sa
Kapokmu Kapan, Mas? (51)"Jadi, apa yang akan Mas lakuin selanjutnya?" Aku bertanya."Kita buntuti Wisnu.""Kita?" Aku mengernyit."Iya. Apa kamu gak mau tau apa yang sebenarnya terjadi? Saya ada feeling kuat mereka ada kaitannya dengan kasus ini.""Begitu menurut Mas?"Pak Arsyad mengangguk."Kalau begitu, saya ikut. Kapan Mas mau laksanain rencana itu?" ucapku."Kemungkinan besok sore sepulang kerja. Atau lihat besok, deh. Pokoknya kamu siap-siapa aja. Kalau saya telpon, kita siap berangkat.""Oke, Mas, kalau gitu.""Ya udah, ini udah malam. Kamu tidur, sana!""Iya, Mas. Mas juga, ya! Terima kasih udah mau saya repotin malam begini.""Santai."Kami lantas kembali ke kamar masing-masing untuk beristirahat.Namun, sebelum dapat terlelap, aku kembali teringat mimpi malam sebelumnya. Aku bermimpi sedang bertengkar dengan Mbok Mina dan Mas Wisnu di tepu jurang. Hampir saja kami terpeleset ke dalam jurang itu. Aku merasa itu adalah sebuah petunjuk. Semoga saja aku segera mengetahui maksud
Kapukmu Kapan Mas? (50b)"Kayaknya korban pembunuhan, Mbak."Entah mengapa, saya merasa ngeri dengan informasi itu. Apakah Mas Adam juga menjadi salah satu korban Bang Robi? Entahlah. Aku tak berani berspekulasi.Karena hari semakin petang, Pak Arsyad mengajakku untuk pulang setelah sedikit berbasa-basi dengan tetangga Mas Adam yang kami tanyai. Sepanjang perjalanan pulang, aku lebih banyak diam. Begitu juga dengan Pak Arsyad.Malamnya aku merasa gelisah. Bahkan dalam tidur pun aku jadi tidak tenang. Mataku terpejam, tapi sama sekali aku tidak merasa tidur. Pikiranku berlarian ke berbagai praduga.Barulah setelah lewat pukul dua dini hari, aku bisa terlelap. Akan tetapi, sebuah mimpi aneh muncul dalam tidurku. Aku memimpikan Mbok Mina dan Mas Wisnu.Aku terbangun tepat saat azan Subuh berkumandang. Berkali-kali aku beristighfar demi keputusan debar di dada. Apakah mimpiku adalah pertanda? Atau hanya bunga tidur semata.Sudah cukup lama aku tak mendapat kabar dari Mbok Mina dan Mas Wis
Kapokmu Kapan, Mas? (50)Aku benar-benar terkejut melihat Bang Robi menarik tanganku. Ingin rasanya kutepis dan berlari menjauh darinya. Akan tetapi, suasana di lain arah pun sedang tak kondusif.Terpaksa, aku hanya pasrah dibawanya. Kami akhirnya keluar dari gedung itu. Segera kutepis tangan Bang Robi. Dari kejauhan, terlihat Pak Arsyad. Aku segera lari menghampirinya."Kamu gak kenapa-kenapa, kan?" tanya Pak Arsyad ketika aku sampai di depannya.Belum sempat aku menjawab, Bang Robi sudah menimpali, "Cewek lo gak kenapa-kenapa, kok, Bro. Aman.""Lo yang nyelametin dia, Bi?" tanya Pak Arsyad."Iya.""Thanks, ya, Bi."Bang Robi hanya mengangguk menanggapi ucapan Pak Arsyad."Lain kali, jagain cewek lo baik-baik, Bro. Dia kayaknya sensian sama cowok." Bang Robi menyindirku.Pak Arsyad malah tertawa menanggapi perkataan Bang Robi.Pak Arsyad melihat ke arahku. Aku menggeleng sebagai isyarat tak melakukan apa pun kepadanya."Diapain emangnya lo, Bi?""Gak, kok. Dah, ya, gue duluan. Sial.