Kapokmu Kapan, Mas? (14)Bang Robi terus menangis tanpa henti. Merengek seperti anak kecil meminta permen kepada ibunya. Kak Elfa malah tertawa melihat itu."Kapok sekarang?" tanya Kak Elfa.Bang Robi tak menjawab. Dia masih terus menangis mengeluhkan nasibnya yang terus-menerus tertimpa kesialan.Malam menjelang, pintu rumah masih ada yang mengetuk. Aku segera keluar untuk memeriksa. Sudah lebih dari satu jam tidak ada yang datang menawarkan diri untuk membantu melepaskan gancet Bang Robi dan Miska. Entah siapa yang datang kali ini.Aku terperanjat ketika mendapati Mas Aryo saat pintu terbuka. Kakak sepupuku itu datang seorang diri. Wajahnya tampak lelah."Masuk, Mas ...," ajakku.Mas Aryo mengekoriku masuk dan duduk di ruang tamu."Mas Aryo mau minum apa? Aku siapin dulu, ya.""Gak usah repot-repot, Ti. Minuman Mas masih ada, kok." Mas Aryo mengeluarkan botol air mineral dari ransel yang dibawanya. Setelah menenggak separuh isi botol, Mas Aryo meletakkan botol itu di meja yang berad
Kapokmu Kapan, Mas? (15)"Ma-maksud Mas Aryo apa?" Aku gelagapan menanggapi pertanyaan Mas Aryo."Mas udah tau semuanya, Ti.""Tau apa, Mas?" Jantungku berdetak makin tak menentu ketika menanyakan itu."Gak perlu Mas jelaskan. Kamu lebih tau. Satu yang Mas mau bilang, Titi yang Mas kenal tidak seperti ini." Setelah mengatakan itu, Mas Aryo berdiri dan berjalan menuju ruang tamu.Sebelum menghilang di balik pintu, Mas Aryo berkata, "Mas pamit ke masjid dulu."Lututku kian melemas seperginya Mas Aryo. Benarkah kakak sepupuku itu tahu apa yang sudah kuperbuat? Apakah dia benar-benar tahu akulah yang membuat Bang Robi dan Miska gancet?Aku memilih masuk kamar setelah mampu berdiri. Tepat saat itu, azan Isya berkumandang. Ada rasa perih yang menjalari dada ketika lantunan azan terdengar. Air mata tak lagi mampu kubendung.Aku segera mengambil wudu setelah azan selesai. Lagi-lagi, air mataku tumpah tanpa sanggup kubendung. Perih itu terus menjalar hingga terasa sampai ke setiap sendiku.Kut
Kapokmu Kapan, Mas? (16)Jantungku makin berdetak tak karuan. Jariku bahkan gemetar karena rasa cemas yang mendera. Apa sekarang yang harus aku lakukan?Kak Elfa mengajakku keluar kamar bersamaan dengan beberapa anggota keluarganya pergi mencari bahan-bahan yang diperintahkan si Mbah untuk proses ritual."Ti, bisa tolong Kakak sebentar?" Itu alasan yang digunakan Kak Elfa untuk mengajakku keluar.Kak Elfa lalu membawaku masuk ke kamarku."Gimana, nih, Ti?" Kak Elfa bertanya dengan sedikit berbisik.Aku menggeleng."Enggak ngerti, Kak.""Kamu harus pergi dari sini sekarang juga, Ti!""Tapi, Kak ... gimana caranya aku pergi?"Kak Elfa yang sedang berjalan mondar-mandir dalam kamar langsung menghentikan langkahnya."Mas Aryo tadi ke mana, Ti?" tanyanya."Ke masjid katanya, Kak. Tapi gak tau, belum pulang-pulang. Padahal tasnya ada di sini.""Nah, coba minta bantuan dia, Ti.""Caranya, Kak?""Nanti kita pikirin caranya, Ti. Sekarang cari Mas Aryo dulu!""Iya, Kak."Aku lantas keluar kamar
Kapokmu Kapan, Mas? (17)Benarkah yang dikatakan Bude Ningsih? Kalau iya, siapa sebenarnya pelakunya? Apa motifnya melakukan ini?Pernyataan Bude Ningsih membuatku gelisah sekaligus lega. Selama ini aku menyangka dirikulah yang membuat Bang Robi dan Miska seperti itu. Sempat terjadi beberapa kali pergolakan batin ketika melihat mereka tersiksa. Ya, kadang aku merasa bersalah, tetapi juga ada rasa puas karena mereka menderita.Siapa sebenarnya yang melakukan semua ini. Orang terdekat Bang Robi, atau orang lain yang tak kukenal? Aku harus mencaritahu itu.Satu-satunya cara agar aku dapat mengetahuinya adalah kembali ke rumah sebelum ritual yang akan dilakukan orang pintar suruhan keluarga Bang Robi mulai. Siapa yang nantinya akan terkena dampak dari ritual itu. Kalau dari cara bicara orang yang dipanggil Mbah itu, bisa dipastikan orangnya ada di sekitar kami.Aku bingung. Akalku tak sampai memikirkan ada orang lain yang ternyata menjadi pelaku utama. Selama ini aku sibuk dengan pikiran
Kapokmu Kapan, Mas? (18)Aku segera menyanggah tubuh Kak Elfa yang limbung ke arahku."Tolong bantu saya!" Aku memohon.Barulah setelah permohonan ketiga kalinya, ada yang bergerak membantuku memindahkan tubuh Kak Elfa ke sofa depan kamar Miska. Aku segera mencari minyak angin dan mengoleskannya pada kening Kak Elfa. Tak lupa kuberikan sedikit di sekitar lubang hidung Kak Elfa. Semoga saja usahaku bisa membantu.Sayangnya, sampai setengah jam berlalu, Kak Elfa tak menunjukkan tanda-tanda akan siuman."Mas, ini Kak Elfa gimana?" Aku bertanya pada Mas Aryo yang sedari tadi duduk di dekatku.Keluarga Bang Robi seolah tak mau mengurusi Kak Elfa. Mereka malah sibuk berkumpul di kamar Miska dan berbincang dengan orang pintar yang mereka bawa. Entah apa yang ada dalam pikiran mereka. Kak Elfa juga saudara mereka yang juga sedang sakit, tetapi seperti tak dianggap ada."Tenang aja, Ti. Beliau enggak kenapa-kenapa, kok. Hanya pingsan karena kelelahan. Butuh istirahat," jawab Mas Aryo."Beneran
Kapokmu Kapan, Mas? (19)"Maksud Mas Aryo gimana? Efek ritual tadi gimana?" tanyaku."Mas juga kurang jelas lihatnya. Tapi yang Mas lihat, ini efek dari ritual tadi, Ti.""Ya Allah ... terus sekarang kita harus gimana, Mas?""Coba bersihkan kamar ini dari barang-barang ritual itu, Ti! Mas takut akan ada hal buruk lagi kalau benda-benda itu masih di sini."Mas Aryo menunjuk semua benda yang diletakkan di berbagai tempat itu.Aku segera melakukan hal yang diperintahkan Mas Aryo. Semua syarat-syarat ritual itu aku kumpulkan di dapur dalam satu wadah."Ini mau diapain, Mas?" Aku bertanya pada Mas Aryo yang ikut ke dapur bersamaku."Bakar saja!""Serius, Mas? Apa enggak apa-apa?""Itu semua hanya perantara untuk berbuat syirik. Lebih baik dimusnahkan. Bila terjadi sesuatu, percayalah itu bukan dampak membakar semua itu, melainkan sudah kuasa Allah."Benar juga kata Mas Aryo."Iya, Mas."Baru saja aku mau melangkah untuk membakar semua benda-benda ritual itu, Mas Aryo mencegah."Biar Mas sa
Kapokmu Kapan, Mas? (20)Aku segera berlari ke arah Miska yang pergelangan tangannya terus mengucurkan darah. Wajah Miska kian pucat karenanya. Entah sejak kapan dia mengiris pergelangan tangannya.Segera kucari apa saja yang bisa digunakan untuk membebat tangan Miska. Darah masih saja merembesi kaus yang kugunakan untuk menutupi luka robek yang dibuat Miska. Cukup lama sampai akhirnya darah berhenti merembes."Harusnya Mbak Ti biarin aja aku mati," kata Miska lirih. Wajahnya semakin pucat."Astaghfirullah ... Dek! Sadar kamu bicara seperti itu?" Aku sedikit membentak karena emosi."Lebih baik aku mati, Mbak Ti. Biar gak semakin nyusahin Mbak Ti. Aku malu ...." Miska mulai terisak."Kamu pikir dengan bunuh diri, bisa menyelesaikan masalah?"Miska tak menjawab. Dia masih saja terisak."Kalau kamu mati, belum tentu juga kalian bisa dilepaskan, Mis. Jangan bertindak bodoh!" Aku mengatakan itu sebelum meraih pisau yang jatuh ke lantai.Aku yang salah. Tadi, aku lupa membawa kembali pisau
Kapokmu Kapan, Mas? (21)"Ti ... buruan!" Ira memanggil.Aku bergegas menyusulnya. Padahal, ingin sekali rasanya menanyakan maksud percakapan mereka. Terlebih tentang detail yang terjadi minggu lalu.Apa yang terjadi pada minggu lalu dengan Miska? Apakah dia melakukan sebuah kejahatan serius? Atau sesuatu yang membahayakan orang lain?Semua pertanyaan itu berlarian dalam benakku selama aku melanjutkan perjalanan menuju ruang UGD."Kenapa lama banget tadi, Ti?" Ira bertanya setelah aku menyejajarkan posisi."Aku denger percakapan orang tadi, Ra.""Siapa?"Ira berhenti melangkah dan membalikkan badannya. Sepertinya mencari orang yang kumaksud."Gak ada siapa-siapa," katanya.Ira kembali memutar badan dan menyejajarkan langkah denganku."Tadi ada, kok.""Siapa?""Kayaknya, sih, temennya Miska. Temen kerja.""Beneran? Ngomongin apa mereka, Ti?" Tepat saat Ira bertanya demikian, kami sampai di depan ruang UGD.Kami langsung diarahkan masuk ke ruang UGD mengikuti perawat yang mengantar kami
Kapokmu Kapan, Mas? (53b)Aku masuk dan tiba-tiba pintu itu terkunci dari luar."Masuk saja. Tidak perlu takut, Dek!" perintah Bang Robi.Tangannya menunjuk sebuah sofa agar aku duduk di sana. Kuletakkan tasku di samping."Gak usah tegang gitu, Dek," kata Bang Robi saat melihatku membetulkan posisi duduk berulang kali.Aku tak menjawab kata-katanya."Aku ke sini mau to the point aja, Bang!" kataku kemudian."Kamu butuh apa memangnya?""Aku gak butuh apa-apa, Bang. Aku malah mau menyerahkan ini." Kulempar map berisi duplikat surat-surat berharga peninggalan orang tuaku ke atas meja yang menjadi pembatas aku dan Bang Robi."Silakan ambil semua itu. Itu yang Abang inginkan, kan?" tanyaku.Bukannya menjawab, Bang Robi malah tertawa."Bukan itu, Sayang! Abang gak butuh itu semua. Yang Abang butuh itu kamu!""Aku? Maksud Abang apa? Bukannya Abang niat bunuh aku?"Bang Robi kembali tertawa."Nah, itu kamu tau.""Kenapa Abang segitu jahatnya sama aku? Salah aku apa, Bang?""Salah kamu karena
Kapokmu Kapan, Mas? (53)Aku bersiap berangkat setelah Bang Robi mengirimkan pesan berisi tempat di mana kami akan bertemu. Kusiapkan apa-apa saja yang kuperlukan untuk menemui Bang Robi. Aku harus menyelesaikan semuanya.Baru saja aku memutar gagang pintu kamar, dari luar sudah didorong orang. Ternyata Pak Arsyad yang mendorong. Aku yang tadinya sudah di ambang pintu, harus mundur beberapa langkah karena Pak Arsyad yang ikut masuk ke kamarku. Tangannya lantas menutup pintu kamarku dan menguncinya dengan cepat. Lalu, kunci itu disembunyikannya di dalam saku celana yang dikenakannya."Mas ... balikin kuncinya! Saya mau pergi," pintaku.Bukannya memberikan apa yang kupinta, Pak Arsyad malah menempelkan belakangnya ke pintu. Dengan santai Pak Arsyad bersedekap dan berucap, "Kalau bisa, coba ambil sendiri!""Mas ... tolong! Saya mau pergi. Sudah ada janji.""Janji dengan Robi?"Aku mengangguk."Tidak akan saya biarkan kamu keluar dari sini, kalau begitu.""Mas ... tolong ngertiin saya kal
Kapokmu Kapan, Mas? (52b)Malam itu, aku tak dapat tidur dengan pulas. Marahnya Pak Arsyad mendominasi pikiranku. Aku tak suka dengan itu. Sungguh menyakitkan.Pagi harinya, saat sarapan, aku sengaja meminta izin kepada kedua orang tua Pak Arsyad, serta Bude Ningsih."Siang nanti Titi izin keluar, ya, Ma, Pa, Bude."Ketiganya serempak menanyakan tujuanku."Mau menyelesaikan sesuatu yang harus diselesaikan," jawabku.Pak Arsyad diam saja tak merespon apa pun. Dia juga tak melirikku barang sedikit. Ada rasa sakit kurasakan karena itu.Meskipun Pak Arsyad marah, aku sudah bertekad bulat untuk menemui Bang Robi. Aku ingin menyelesaikan semuanya. Semua upaya yang aku dan Pak Arsyad lakukan selama ini tak berdampak banyak. Jadi, ini jalan terakhir untuk mengakhiri semuanya. Setidaknya, setelah Bang Robi mendapatkan semua yang diinginkannya, aku berharap tidak ada lagi korban. Aku semakin takut menjadi sumber dosa banyak orang.Ternyata, setelah sarapan, Pak Arsyad tidak berangkat ke kantor
Kapukmu Kapan Mas? (52a)Selepas shalat, aku menyusul Pak Arsyad yang telah lebih dulu menunggu di mobil."Kita pulang sekarang?" tanya Pak Arsyad setelah aku duduk di kursi samping kemudi."Memang masih ada rencana mau ke mana lagi, Mas?" Aku balik bertanya."Tidak juga. Tapi siapa tau kamu butuh pergi ke suatu tempat untuk film diri."Benar juga kata Pak Arsyad. Aku butuh tempat untuk syuting diri. Juga untuk menjernihkan pikiran."Boleh, sih, Mas. Tapi saya gak tau mau ke mana.""Gimana kalau ke pantai?""Boleh."Pak Arsyad lantas melajukan mobilnya menuju pantai. Kami lalu duduk di tepi pantai beralas tikar yang disewakan. Pak Arsyad juga memesan dua buah kelapa muda untuk kami nikmati.Cukup lama kami dalam diam menikmati semilir angin pantai yang menyejukkan. Aku sibuk dengan pikiranku tentang langkah selanjutnya yang akan kuambil. Entah dengan Pak Arsyad, apa yang dipikirkannya, aku tak bisa menebak.Seandainya waktu dapat kuputar. Aku pasti akan berusaha sebaik mungkin agar se
Kapokmu Kapan, Mas? (51c)Aku benar-benar dibuat terkejut dengan pengakuan itu. Dadaku bergemuruh. Tak pernah kusangka semua itu."Itu pun karena saya diancam. Bapak mengancam akan membunuh anak bungsu saya yang sedang berada di rumah sakit.""Mbok punya anak selain Mas Wisnu?" tanyaku heran. Pasalnya, selama ini yang kutahu Mbok Mina hanya punya satu anak."Anak saya ada dua, Bu. Wisnu anak pertama saya. Adiknya bernama Siti. Dia sedang dalam masa perawatan di rumah sakit jiwa. Pak Robi tau itu. Saya juga kurang mengerti beliau tau dari mana. Padahal saya tidak pernah bercerita. Pak Robi menggunakan Siti untuk menekan saya memberitahukan tentang kepergian Ibu. Saya terpaksa memberitahu alamat rumah di kampung."Astaghfirullah ...."Awalnya, saya pikir Bapak mau menjemput Ibu secara baik-baik. Jadi saya beri saja. Tapi ... saya malah disuruh hubungi Wisnu. Saya disuruh bohong tentang sakit dan nyuruh Wisnu nyusul ke kota. Di situ, perasaan saya sudah gak enak. Tapi saya gak bisa berbu
Kapokmu Kapan, Mas? (51b)Karena bosan tak mendapat jawaban, Mas Wisnu akhirnya kembali ke motornya dan pergi dari tempat itu. Aku dan Pak Arsyad membuntutinya. Cukup jauh perjalanan yang harus kami tempuh sampai akhirnya kami tiba di sebuah rumah. Tempat motor Mas Wisnu berhenti.Di depan rumah itu terlihat Mbok Mina keluar menyambut putranya. Tampak ibu dan anak itu saling berbincang entah apa. Mereka lalu masuk ke rumah bersama dan mengunci pintu setelahnya.Aku dan Pak Arsyad masih setia di dalam mobil. Kami menunggu kesempatan untuk dapat masuk ke rumah itu dan meminta penjelasan. Pak Arsyad yakin betul bahwa ada sesuatu keterkaitan antara mereka dan apa yang sedang terjadi kepadaku.Satu jam sudah kami menunggu di dalam mobil. Akan tetapi, Pak Arsyad belum juga mau kami turun menghampiri rumah itu. Perutku sudah perih, tetapi tak sampai hati kuutarakan."Ayo, kita turun!" Pak Arsyad memberi perintah setelah melihat Mas Wisnu keluar dari rumah itu. Sepertinya Mas Wisnu hendak sa
Kapokmu Kapan, Mas? (51)"Jadi, apa yang akan Mas lakuin selanjutnya?" Aku bertanya."Kita buntuti Wisnu.""Kita?" Aku mengernyit."Iya. Apa kamu gak mau tau apa yang sebenarnya terjadi? Saya ada feeling kuat mereka ada kaitannya dengan kasus ini.""Begitu menurut Mas?"Pak Arsyad mengangguk."Kalau begitu, saya ikut. Kapan Mas mau laksanain rencana itu?" ucapku."Kemungkinan besok sore sepulang kerja. Atau lihat besok, deh. Pokoknya kamu siap-siapa aja. Kalau saya telpon, kita siap berangkat.""Oke, Mas, kalau gitu.""Ya udah, ini udah malam. Kamu tidur, sana!""Iya, Mas. Mas juga, ya! Terima kasih udah mau saya repotin malam begini.""Santai."Kami lantas kembali ke kamar masing-masing untuk beristirahat.Namun, sebelum dapat terlelap, aku kembali teringat mimpi malam sebelumnya. Aku bermimpi sedang bertengkar dengan Mbok Mina dan Mas Wisnu di tepu jurang. Hampir saja kami terpeleset ke dalam jurang itu. Aku merasa itu adalah sebuah petunjuk. Semoga saja aku segera mengetahui maksud
Kapukmu Kapan Mas? (50b)"Kayaknya korban pembunuhan, Mbak."Entah mengapa, saya merasa ngeri dengan informasi itu. Apakah Mas Adam juga menjadi salah satu korban Bang Robi? Entahlah. Aku tak berani berspekulasi.Karena hari semakin petang, Pak Arsyad mengajakku untuk pulang setelah sedikit berbasa-basi dengan tetangga Mas Adam yang kami tanyai. Sepanjang perjalanan pulang, aku lebih banyak diam. Begitu juga dengan Pak Arsyad.Malamnya aku merasa gelisah. Bahkan dalam tidur pun aku jadi tidak tenang. Mataku terpejam, tapi sama sekali aku tidak merasa tidur. Pikiranku berlarian ke berbagai praduga.Barulah setelah lewat pukul dua dini hari, aku bisa terlelap. Akan tetapi, sebuah mimpi aneh muncul dalam tidurku. Aku memimpikan Mbok Mina dan Mas Wisnu.Aku terbangun tepat saat azan Subuh berkumandang. Berkali-kali aku beristighfar demi keputusan debar di dada. Apakah mimpiku adalah pertanda? Atau hanya bunga tidur semata.Sudah cukup lama aku tak mendapat kabar dari Mbok Mina dan Mas Wis
Kapokmu Kapan, Mas? (50)Aku benar-benar terkejut melihat Bang Robi menarik tanganku. Ingin rasanya kutepis dan berlari menjauh darinya. Akan tetapi, suasana di lain arah pun sedang tak kondusif.Terpaksa, aku hanya pasrah dibawanya. Kami akhirnya keluar dari gedung itu. Segera kutepis tangan Bang Robi. Dari kejauhan, terlihat Pak Arsyad. Aku segera lari menghampirinya."Kamu gak kenapa-kenapa, kan?" tanya Pak Arsyad ketika aku sampai di depannya.Belum sempat aku menjawab, Bang Robi sudah menimpali, "Cewek lo gak kenapa-kenapa, kok, Bro. Aman.""Lo yang nyelametin dia, Bi?" tanya Pak Arsyad."Iya.""Thanks, ya, Bi."Bang Robi hanya mengangguk menanggapi ucapan Pak Arsyad."Lain kali, jagain cewek lo baik-baik, Bro. Dia kayaknya sensian sama cowok." Bang Robi menyindirku.Pak Arsyad malah tertawa menanggapi perkataan Bang Robi.Pak Arsyad melihat ke arahku. Aku menggeleng sebagai isyarat tak melakukan apa pun kepadanya."Diapain emangnya lo, Bi?""Gak, kok. Dah, ya, gue duluan. Sial.