Sekitar beberapa menit menunggu, akhirnya sosok mungil Arumi kembali lagi di tatap oleh Kania. Entah kenapa kali ini sosok pembantu itu berdebar saat melihat majikannya yang sejak dulu bertingkah baik terhadapnya. Seolah akan ada bahaya yang akan dia dapatkan begitu Arumi mulai mendekat. Tidak jauh berbeda dengan Kania, Arumi pun sama halnya dengan pembantunya itu. Tadinya Arumi berpikir akan mendapatkan kejutan dari mertuanya yang akan datang berkunjung, akan tetapi malah sosok yang tidak dia inginkan yang muncul. Sejenak dirinya seperti dibekukan di tempatnya apalagi mengingat segala sesuatu yang sudah tidak lagi asing di ingatannya. Perempuan muda di depannya sana begitu mengambil penuh atensinya sehingga menyesali karena tidak bertanya siapa yang hendak dia temui. Mendadak saja rasa tidak sukanya pada Kania muncul. Tatapan malas itu terpancar jelas. Belum lagi bibirnya yang tanpa senyuman walau sudah bertatap muka dengan Kania yang katanya akan selalu dia tunggu kepulangannya.
Si empunya nama yang berhasil mendengarkan pekikan lantang Kania kontan terlonjak kaget bukan kepalang. Aktivitasnya mendadak terhenti, lantas berlari cepat guna mencari tahu sumber suara. Apa benar yang baru saja dia dengar itu sungguh suara orang yang ada didalam tebakannya? Begitu pintu utama itu terbuka, terpampang sudah potret Kania juga istrinya yang tengah berupaya keras bangun–entah sebab apa. Buru-buru Adi menghampiri sang istri, membantunya. "Ada apa ini? Kenapa kamu, Sayang?" tanya Adi, panik. Dia terus memeriksa bagian tubuh Arumi ingin memastikan apakah ada yang terluka atau tidak. Dibalik itu, Kania lantas mendengkus menahan tawa pahit yang terus saja menggerogoti hatinya. Dia juga sakit. Pipinya panas. Tubuhnya rasanya berat sebab ada raga lain di dalam sana. Tapi kenapa dirinya tak mendapatkan perlakuan yang sama? Kenapa dia malah semakin terluka pada saat melihat Adi begitu tampak mencintai istrinya? Di sisi lain, Arumi sebenarnya gerah dan gusar akan kecurangan y
Adi semakin muak dengan hari-harinya yang selalu saja ditimpa kesialan. Entah dirinya yang sedang sensitif atau apa, tapi belakangan ini pria matang itu terus saja mengerang dalam dada saking gusarnya. Kemarin dirinya baru saja berdebat dengan sang istri, tentunya pasal rumah tangga. Hari ini beberapa masalah di kantor tak juga usai. Belum lagi mobilnya kemarin baru mengalami kecelakaan yang berujung ringsek sampai sopirnya meninggal dunia. Semua beban pikiran itu terus memberikan efek samping pada kepalanya. Serasa hampir meledak.Sebenarnya jarang Adi menerima tawaran teman-temannya yang mengajak 'istirahat' di sebuah club malam. Tapi, entah kenapa hari ini kakinya seolah ingin ikut. Bisikan hati kecilnya mengatakan kalau tiada salahnya membuang pikiran yang kacau ini sesekali.Adi pun menyetujui. Dia berserta lima temannya yang pastinya berprofesi yang sama, akhirnya berangkat menuju tempat yang sudah tak asing. "Udahlah, Adi. Kenapa kamu ini? Sudah seperti orang depresi," ujar
Kania lebih dulu memeriksa keadaan Azka, bocah laki-laki usia tiga tahun itu. Usai melakukan beberapa aktivitas sampai selesai memberikan Azka makan pagi–yang memang sudah tidak membutuhkan asi ibunya, barulah Kania beranjak ke atas, menuju kamar Adi. Seperti sebelum-sebelumnya, Kania memang kerap melakukan aktivitas ini. Apalagi belakangan ini saat keadaan sepasang bosnya itu tak jarang adu argumentasi. Kanialah yang terus mengurus tentang keduanya, dan yang paling banyak tentu tentang Adi. Kania berjalan perlahan dengan Azka yang ada di dalam gendongannya. Bocah kecil itu terus kegirangan entah karena apa. Sesekali Kania mencubit gemas pipi gempalnya, tak tahan. Begitu tiba di depan pintu kamar Adi, perlahan senyumnya memudar. Seketika saja lamunan yang entah muncul dari mana menyusup masuk hingga Kania bergeming di tempat. Untungnya Azka bersuara, membuat Kania segera menyadarkan diri. Tuk tuk tuk ... "Pak Adi. Sudah pagi, Pak. Sarapan sudah siap di bawah. Juga, kata ibu Bapak
Kania hanya bisa menatap kosong langkahnya yang menuju kamar. Setiap detik entah kenapa bayang-bayang yang suram menyusup masuk ke dalam kepalanya. Belum lagi tentang aksi Adi hari ini yang justru terkesan gamblang terhadapnya. Kania jadi semakin tak karuan dalam berpikir hingga berakhir menjatuhkan diri di atas ranjang dengan pikiran yang kacau. Tak lama, ponselnya berbunyi. Dengan malas Kania merebut benda pipih itu lantas mendapati panggilan suara dari ibunya di kampung sana. "Halo, Buk. Ada apa?" tanya Kania begitu panggilan terhubung. "Halo, Nduk. Gimana kabar kamu? Sehat?" Kania enggan bangun dari posisinya yang berbaring menatap langit-langit kamar. Mendengar pertanyaan sang ibu, entah kenapa Kania ingin menangis. "Alhamdulillah baik, Buk." "Syukurlah, Nduk. Ibuk cuma mau tanya keadaan kamu. Dan yang paling penting, Ibuk rindu, Nduk. Kapan kamu pulang ke kampung?" "Belum bisa kayaknya, Buk. Tahun ini Aila masuk kuliah, kan? Bapak juga harus terus menjalani pengobatan. Kal
Seperti apa kata Arumi, Kania akan menginap untuk menemani Azka. Perempuan usia dua puluh satu tahun itu kini sudah tertidur pulas di sisi Azka setelah sebelumnya berupaya keras membuat bayi mungil itu tenang. Entah kapan agaknya pertengkaran itu mulai, yang pastinya Kania terlonjak saat suara erangan yang cukup kuat mengusik tidurnya begitu saja. Buru-buru Kania menutupi telinga Azka dengan sepasang bantal agar bayi itu tidak ikut-ikutan terjaga. Begitu memastikan Azka tetap tenang, barulah Kania beranjak dari tempatnya untuk memastikan apa yang sedang terjadi. Ada apa lagi agaknya yang membuat majikannya itu marah-marah. Padahal ini sudah hampir tengah malam.Di sisi lain, Arumi mendengkus tak habis pikir dengan ucapan suaminya. "Apa katamu? Aku haru berhenti jadi model dan mulai mengurus kalian? Gila kamu?" erang Arumi lagi. "Apa salahnya sama itu? Arumi, ini udah berjalan empat tahun pernikahan kita, tapi belum sekali pun aku merasa kalau kamu itu istri aku. Bahkan Azka pun j
Kania langsung saja menarik tangannya dari genggaman Adi, lalu menatap pria itu cukup lekat. "Pak, ini nggak benar. Jangan terlalu gamblang bersikap pada saya!" ucapnya mengingat Adi. Adi pun terdiam sebentar untuk meresapi sikap serta perkataan Kania barusan. Benar apa Kania, dirinya terlalu gamblang bersikap pada seorang art seperti Kania ini. "Saya hanya ingin membantu. Ini juga salah saya. Saya gegabah," kata Adi, mengaku. "Kesalahan yang sudah terjadi biarkan saja terjadi, Pak. Akan lebih sakit sebenarnya jika harus mengulangi kesalahan yang sama. Jadi, lebih baik menghindar dari pada harus tenggelam di kubangan yang sama."Tangan Adi berhenti sejenak dari aksinya yang ingin ikut membantu memberikan sisa kaca usai mendengar perkataan Kania barusan. Adi jadi teringat tentang malam itu. Apa yang harus Adi lakukan? Padahal niatnya baik ingin membantu Kania, tapi kenapa justru dialah yang membuat perempuan itu kian menderita. "Saya bilang saya akan bertanggung jawab atas kesalah
"Ya udah, tunggu sebentar. Saya pakai baju dulu." Adi menurut. Kania menutup rapat kedua matanya sejenak mendengar kata-kata Adi. Terlalu gamblang seolah-olah Adi ini tidak lagi punya harga diri seperti apa katanya. Begitu Adi mengatakan sudah siap, barulah Kania berbalik. Tak basa-basi atau sejenak menatap Adi, Kania berjalan lurus ke arah lemari guna mengambil barang yang dia inginkan. "Ketemu, nggak?" tanya Adi melihat Kania kesulitan. "Sebentar, Pak. Saya lagi bingung ini dres yang merah yang mana. Bu Arumi punya tiga dengan warna serupa," jelas Kania agar Adi dapat memberikannya lebih banyak waktu. "Bawa aja ketiga-tiganya. Kenapa kamu malah pusing?" saran Adi kemudian. Kania pun hendak berpikiran demikian tapi sudah didahulukan Adi. Tangannya segera merebut pakaian yang tergantung lantas segera berbalik ingin pergi. Namun, entah Adi yang memang sengaja, keduanya malah hampir bertubrukan sebab Adi yang sudah tampak di depan Kania. "Pak!" bentak Kania walau sedikit tertaha
Si empunya nama yang berhasil mendengarkan pekikan lantang Kania kontan terlonjak kaget bukan kepalang. Aktivitasnya mendadak terhenti, lantas berlari cepat guna mencari tahu sumber suara. Apa benar yang baru saja dia dengar itu sungguh suara orang yang ada didalam tebakannya? Begitu pintu utama itu terbuka, terpampang sudah potret Kania juga istrinya yang tengah berupaya keras bangun–entah sebab apa. Buru-buru Adi menghampiri sang istri, membantunya. "Ada apa ini? Kenapa kamu, Sayang?" tanya Adi, panik. Dia terus memeriksa bagian tubuh Arumi ingin memastikan apakah ada yang terluka atau tidak. Dibalik itu, Kania lantas mendengkus menahan tawa pahit yang terus saja menggerogoti hatinya. Dia juga sakit. Pipinya panas. Tubuhnya rasanya berat sebab ada raga lain di dalam sana. Tapi kenapa dirinya tak mendapatkan perlakuan yang sama? Kenapa dia malah semakin terluka pada saat melihat Adi begitu tampak mencintai istrinya? Di sisi lain, Arumi sebenarnya gerah dan gusar akan kecurangan y
Sekitar beberapa menit menunggu, akhirnya sosok mungil Arumi kembali lagi di tatap oleh Kania. Entah kenapa kali ini sosok pembantu itu berdebar saat melihat majikannya yang sejak dulu bertingkah baik terhadapnya. Seolah akan ada bahaya yang akan dia dapatkan begitu Arumi mulai mendekat. Tidak jauh berbeda dengan Kania, Arumi pun sama halnya dengan pembantunya itu. Tadinya Arumi berpikir akan mendapatkan kejutan dari mertuanya yang akan datang berkunjung, akan tetapi malah sosok yang tidak dia inginkan yang muncul. Sejenak dirinya seperti dibekukan di tempatnya apalagi mengingat segala sesuatu yang sudah tidak lagi asing di ingatannya. Perempuan muda di depannya sana begitu mengambil penuh atensinya sehingga menyesali karena tidak bertanya siapa yang hendak dia temui. Mendadak saja rasa tidak sukanya pada Kania muncul. Tatapan malas itu terpancar jelas. Belum lagi bibirnya yang tanpa senyuman walau sudah bertatap muka dengan Kania yang katanya akan selalu dia tunggu kepulangannya.
Aila dan Kania benar-benar berupaya keras mencari ke mana agaknya suami istri itu pergi. Tujuan ingin pergi ke tempat Adi bekerja ternyata tak juga membuahkan hasil. Nihil, alias benar-benar dibekukan segala akses dirinya mencari tahu tentang keberadaan pria itu. Apa ini memang sudah direncanakan oleh Adi? Pria itu tahu kalau Kania tidak akan menyerah dan terus mencarinya. Dan inikah jawabannya? Bahwa Adi pergi dengan segala tanggung jawab yang telah enyah. Janji kemarin menguap begitu saja. Tentang kalimat manisnya yang hendak menjadikan Kania sosok yang lebih dari pada seorang pelayan rumah tangga telah musnah ditelan kenyataan tentang dirinya yang melarikan diri. Sehari penuh tenaga serta energi kakak beradik itu dikuras begitu saja tanpa ada hasil sama sekali. Kini, keduanya benar-benar tak punya jalan apa-apa lagi. Semuanya buntu. Hal yang ingin dilakukan sudah dipatahkan begitu saja tanpa pertimbangan. "Sudahlah, Aila. Biarkan saja dia pergi. Lagi pula, semuanya pasti akan be
Kania benar-benar menceritakan segala hal yang dia lalui bersama dengan Adi. Tentang bagaimana dia mulai memberanikan diri untuk mengejar pria itu serta meyakinkan dirinya bahwa dia memang mencintai pria beristri tersebut. Akan tetapi, persepsi yang diberikan Kania tentang dirinya, beda pendapat dengan Aila. Sebagai anak kulihat jurusan psikologi–walau masih terdengar awam, Aila tahu bahwa ini bukanlah tentang diri sang kakak yang mencinta seperti apa katanya.Akan tetapi, ada sesuatu yang mendorong dalam diri untuk mengutarakan ketidakrelaan sehingga berniat untuk terus berurusan dengan si 'pelaku' yang telah merebut kehormatannya. Notabenenya yang terjadi pada sang kakak adalah pelecehan. Tetapi, karena kakaknya itu juga menerima begitu saja, tampaklah seperti dirinya yang mau-mau saja. Padahal, Kania hanya tidak bisa mengelak karena Adi itu adalah sosok yang dia hormati. Terlebih lagi, Adi memberikan janji-janji yang tidak pernah Kania dapatkan dari siapa pun. Sebab itu, Aila ya
Di tempat lain, keadaan Hayati semakin tak baik. Sesak napasnya sudah jauh lebih mengkhawatirkan. Lebih memprihatinkan lagi karena tidak ada satu pun tenaga kerja dari pihak rumah sakit yang mau berkontribusi untuk merawat Hayati.Katanya, harus melupakan pembayaran dengan jumlah yang fantastis. Walau pun sudah menjabarkan kartu kesehatan dari pemerintah, tetap saja ditolak dengan berbagai macam alasan yang sulit dicerna orang-orang disekitarnya.Tanpa sadar, keadaan Hayati tak lagi baik. Perempuan tua itu sudah terbaring di kasur berlapiskan kain selendang batik. Tidak ada yang bisa dilakukan. Orang-orang atau kerabatnya tidak ada yang punya nilai harta sebanyak itu sampai semuanya memilih untuk bungkam dan pasrah akan keadaan.Sementara di sisi lain, ada Kania yang terus merasa gelisah. Sejak malam itu dirinya tidak bisa berpikir jernih. Bukan hanya pikirannya yang penuh, tapi juga keadaan dirinya yang tidak seperti biasanya.Kadang sudah demam, kadang sudah menggigil. Juga terkadan
Tak bisa membiarkan Kania pergi begitu saja dengan kenyataan bahwa gadis itu masih enggan untuk mengalah, Adi pun berlari kecil guna menghentikan kepergiannya. Secepatnya gerakan Kania yang berjalan menjauh terhenti sebab Adi menahannya di pergelangan tangan. "Kania, sudah cukup!" tekan Adi. "Kita udah sepakat, kan? Kenapa kamu sulit sekali buat mengerti? Jangan ganggu saya! Jangan halangi kebahagiaan saya!" Kania segera menarik kuat tangannya dari genggaman pria didepannya. Kilat amarah terpampang jelas dari dua bola matanya yang gelap. "Kalah gitu bertanggung jawablah, Pak. Tanggung jawab atas apa yang sudah saya terima! Bapak merebut kesucian saya dengan iming-iming membahagiakan saya! Bapak kupa itu?" Suara kania tak kalah melengking. Panik, Adi refleks menoleh ke belakang, takut kalau ada telinga yang mendengar. Beruntung kalau Hayati sedang tidak baik keadaannya sehingga orang-orang malah fokus pada perempuan tua itu. Memang salah, tapi setidaknya Adi punya kesempatan untuk m
"Bawa aku pulang, Pak. Aku nggak bisa kalau harus berpisah darimu," lirih Kania. Dia menatap lemah pada sorot mata pria di sampingnya. "Saya nggak bisa," tolak Adi. Dia sangat berharap kalau Kania mau menerima. "Tolong Kania, kamu harus bisa melupakan perasaan kamu itu. Semua itu nggak benar. Masih ada banyak laki-laki diluar sana yang mau mencintai kamu. Jangan saya." "Tapi saya cuma mau sama Bapak. Saya nggak aku sama siapapun, Pak. Jangan tinggalkan saya. Saya mohon."Dibalik percakapan kedua orang itu, diam-diam Arjuna membaca semua yang telah terjadi. Dia mencoba mencari tahu apa sebenarnya yang sudah terjadi pada perempuan yang dia kenali dengan sisi positif itu. Kenapa Kania sangat menggebu-gebu sekali? Kenapa Kania ingin sekali merebut pria yang notabenenya adalah suami orang? Ada yang salah. Tapi apa? "Jangan dengarkan omong kosongnya, Pak. Sebaiknya Anda pergi. Ini juga sudah malam. Saya nggak aku nama baik keluarga saya lebih buruk jika sampai situasi ini diketahui bany
"Ibuk nggak tahu apa-apa, Buk. Mendingan Ibuk diam aja. Yang tahu masalahku cuma aku. Jangan ikut campur!""Kania!" tegur Adi. Tak tahan dirinya mendengar segala penuturan jahat dari gadis polos itu. "Apa kamu nggak sadar? Yang kamu bentak itu Ibu kamu. Kamu nggak sakit hati mengatakan itu?"Kania langsung terdiam sembari mengalihkan pandangannya. Memang, perkataannya itu sangat menyakitkan juga keterlaluan. Tapi, hanya itulah yang bisa dia lakukan ketika semua orang menentang kebahagiaannya.Di sisi lain, orang-orang yang melihat interaksi Adi dan Kania jadi kembali berpikir, sebenarnya hubungan apa yang sudah terjalin antara dua orang ini? Dari segi pemahaman yang dijabarkan Adi, terlihat kalau lelaki itu adalah pria yang dewasa yang mungkin sangat tidak wajar jika melakukan hal senonoh seperti itu pada gadis muda seperti Kania."Sebenarnya, apa hubungan kalian? Dan apa yang kalian lakukan di dalam kamar malam-malam begini?" imbuh Pak Kades sedikit melembutkan suaranya.Adi segera m
Kania benar-benar bungkam manakala dia pria yang dia kenali membawa pergi dirinya dan Adi ke balai desa. Padahal bisa saja Kania menjelaskan apa yang terjadi, akan tetapi menurutnya keadaan ini akan lebih baik untuknya setelah mendapatkan peringatan yang tidak baik dari Adi. Kini, keduanya sudah ada di dalam kantor desa ditemani oleh sosok sepuh yang disebut Pak Kades. Karena waktu sudah tidak lazim lagi untuk berkoar-koar apalagi tentang masalah yang sensitif seperti ini, terjadilah hanya keluarga Kania yang diberitahukan serta beberapa sepuh desa yang lain. Sejak tadi–sejak dirinya di bawa ke ruangan petak yang tak cukup besar ini, Adi hanya bisa diam seribu bahasa dengan dendam yang lebih dalam pada Kania. Percuma jika dirinya berteriak atau membela diri, yang berakhir dipukuli oleh Abib atau Arjuna. Demi menjaga dirinya tetap baik-baik saja, Adi pun berupaya keras untuk memenangkan diri. Lebih runyam masalahnya jika sekiranya dia menghadapi semua ini dengan kepala panas. L