Bab 3.

Seperti apa kata Arumi, Kania akan menginap untuk menemani Azka. Perempuan usia dua puluh satu tahun itu kini sudah tertidur pulas di sisi Azka setelah sebelumnya berupaya keras membuat bayi mungil itu tenang.

Entah kapan agaknya pertengkaran itu mulai, yang pastinya Kania terlonjak saat suara erangan yang cukup kuat mengusik tidurnya begitu saja.

Buru-buru Kania menutupi telinga Azka dengan sepasang bantal agar bayi itu tidak ikut-ikutan terjaga. Begitu memastikan Azka tetap tenang, barulah Kania beranjak dari tempatnya untuk memastikan apa yang sedang terjadi.

Ada apa lagi agaknya yang membuat majikannya itu marah-marah. Padahal ini sudah hampir tengah malam.

Di sisi lain, Arumi mendengkus tak habis pikir dengan ucapan suaminya.

"Apa katamu? Aku haru berhenti jadi model dan mulai mengurus kalian? Gila kamu?" erang Arumi lagi.

"Apa salahnya sama itu? Arumi, ini udah berjalan empat tahun pernikahan kita, tapi belum sekali pun aku merasa kalau kamu itu istri aku. Bahkan Azka pun jarang kamu lihat. Mau jadi ibu kayak apa kamu ini, Arumi?" gertak Adi menyuarakan ketidaksukaannya.

"Aku kerja juga buat Azka, Mas! Jangan pikir aku leha-leha kayak kamu, ya! Aku ini mikirin masa depan anak aku. Aku mau buat dia nggak kekurangan apa pun nanti!"

"Aku masih sanggup, Arumi! Aku nggak leha-leha. Siapa yang bilang sama kamu kalau aku nggak mikirin anak kita? Aku juga punya pikiran yang sama. Tapi, kalau kita berdua sama-sama sibuk, siapa yang ada buat Azka? Bisa-bisa dia lupa siapa ayah dan ibunya!"

"Kalau gitu kamu berhentilah kerja. Kenapa malah aku yang kamu tuntun ini itu, hah?" tantang Arumi.

"Karena kamu ini seorang istri! Seorang istri harusnya lebih banyak di rumah. Masak kek, beres-beres rumah kek, apa kek. Itulah tugas seorang istri!" tegas Adi ikut tak terima.

"Itu tugas Kania! Tugas pembantu!" tekan Arumi. "Sejak kapan kamu jadi berpikiran sempit kayak gini, Mas? Apa selama ini kamu nganggap kalau kamu punya istri kamu bakalan  hidup enak dengan segala kebutuhan yang seharusnya ditugaskan untuk pembantu dilakukan oleh istrimu? Kamu pikir aku ini apa? Budak kamu? Belum lagi aku harus ngelayani nafsu kamu, kamu mau aku juga ngelayani semua hal di rumah ini? Gila kamu, ya?"

"Arumi!" gertak Adi. "Kamu ya? Kapan sih kamu mau ngerti? Kamu egois kalau gitu!"

"Egois?" Kening Arumi mengernyit tajam. Lalu dia mendengus sambil menyugar rambutnya cukup kasar. "Udah cukup, Mas! Aku nggak mau ribut lagi sama kamu. Keputusan ada di kamu! Kalau kamu masih nuntut banyak dari aku, sebaiknya kita pisah!"

"Arumi, apa-apaan–Arumi!"

Arumi sudah lebih dulu melenggang pergi sebelum mendengarkan Adi. Alih-alih masuk ke kamar seperti biasanya, Arumi justru keluar lagi hingga mesin mobil terdengar yang menandakan perempuan itu keluar dari rumah.

Tinggallah Adi dengan perasaan yang kian kacau. Dadanya serasa ditumpuk batu yang berat hingga sulit untuk bernapas. Ingin rasanya menghempas apa pun yang dia lihat untuk menghabiskan seluruh amarah yang tersisa dalam dadanya.

Apa salahnya jika Adi hanya ingin Arumi ada di setiap dia pulang? Ada di setiap dia membutuhkan? Bahkan bersedia mendengar keluh kesahnya ketika dunia sedang tidak berpihak padanya?

Hanya itu yang Adi inginkan sebenarnya. Benar apa kata Arumi, tugas rumah tangga memang di lakukan oleh art, akan tetapi apa sulitnya hanya menjadi istri yang baik dan pengertian? Bagi Adi, Arumi hanya sedang tergila-pada pekerjaannya sampai tak rela jika sekiranya harus berhenti.

Sejak awal menikah, Arumi hanya rehat menjadi model hanya selama melahirkan. Dan selebihnya, tiada lagi ruang untuk Adi terbuka pada Arumi bahkan ingin kembali manja-manjaan layaknya jaman pacaran dulu.

Saking tak tahannya, tanpa sadar Adi menghempaskan isi meja makan yang ada di dekatnya hingga beberapa barang diatasnya hancur berantakan bersamaan dengan suara yang menggelegar kuat.

"Pak, pak, sudah, Pak!" seru Kania yang baru saja berlari menghampiri. "Pak, Azka sedang tidur. Kasian jika harus terjaga, Pak!"

Kedatangan Kania membuat amarah dalam diri Adi sejenak mereda. Dia menatap kamar sang buah hati lalui mendesah berat karena melupakan bayi malang itu.

"Maaf, saya nggak ingat," kata Adi, menyesal.

Kania pun beralih bersimpuh untuk merapikan piring-piring yang pecah. Inilah yang kerap dia dapati dari majikannya ini. Selalu saja kalau bertengkar ada saja barang yang kena imbasnya. Kalau dihitung-hitung sudah banyak piring yang hancur. Walau memang bukan Kania yang rugi, tapi dia merasa sayang saja barang-barang itu hancur begitu saja.

"Biarkan tukang kebun saja yang membersihkan. Kamu pergilah lihat Azka. Takut dia malah terjaga di sana," suruh Adi pad Kania.

Kania menengok dari balik bahu. "Kelamaan kalau nunggu tukang kebun, Pak. Kalau Bu Arumi ke dapur, takut kakinya kena kaca. Lebih baik di bersihkan sekarang," sahut Kania, menolak.

Adi terdiam sejenak sambil mengerjap-erjap. Matanya mulai memanas. "Kania, apa sebaiknya saja bercerai saja dengan Arumi?"

Pertanyaan Adi itu sukses membuat Kania terkejut sampai tak sadar jarinya memegang ujung beling hingga mengeluarkan cairan merah. "Awh!"

"Eh." Adi buru-buru menghampiri. Begitu dia melihat jari telunjuk Kania berdarah, seketika saja Adi menghisap jarinya hanya untuk mengantisipasi darahnya lebih banyak keluar.