Kania hanya bisa menatap kosong langkahnya yang menuju kamar. Setiap detik entah kenapa bayang-bayang yang suram menyusup masuk ke dalam kepalanya. Belum lagi tentang aksi Adi hari ini yang justru terkesan gamblang terhadapnya. Kania jadi semakin tak karuan dalam berpikir hingga berakhir menjatuhkan diri di atas ranjang dengan pikiran yang kacau.
Tak lama, ponselnya berbunyi. Dengan malas Kania merebut benda pipih itu lantas mendapati panggilan suara dari ibunya di kampung sana."Halo, Buk. Ada apa?" tanya Kania begitu panggilan terhubung."Halo, Nduk. Gimana kabar kamu? Sehat?"Kania enggan bangun dari posisinya yang berbaring menatap langit-langit kamar. Mendengar pertanyaan sang ibu, entah kenapa Kania ingin menangis. "Alhamdulillah baik, Buk.""Syukurlah, Nduk. Ibuk cuma mau tanya keadaan kamu. Dan yang paling penting, Ibuk rindu, Nduk. Kapan kamu pulang ke kampung?""Belum bisa kayaknya, Buk. Tahun ini Aila masuk kuliah, kan? Bapak juga harus terus menjalani pengobatan. Kalau Kania pulang, yang bantu Ibuk buat bayar semua kebutuhan siapa? Kania juga rindu sama kalian. Tapi keadaan kita nggak mendukung, Buk." Tanpa sadar air mata Kania luruh begitu saja."Nduk, kalau memang nggak bisa, jangan di paksakan. Aila bisa tamat SMA juga udah lebih dari cukup. Kalau begini terus, kasian kamunya. Kapan kamu mikirin diri sendiri kalau gitu?""Nggak apa-apa, Buk. Lagian, Kania juga bertanggung jawab untuk keluarga. Udah dulu ya, Buk? Kania mau balik kerja dulu.""Iya, iya. Jangan lupa sholat, Nduk. Terus minta pada Gusti nu agung, agar selalu memberikan kesehatan sama kamu. Nggak apa-apa rejeki kecil, asal halal. Jadi, jangan memaksakan apa pun.""Kania matikan ya, Buk?"Begitu panggilan terputus, isak tangis Kania pun sebagai di tahan agar tak mengeluarkan suara. Pesan-pesan sang ibu sudah sejak lama dia ingkari, tapi untuk kali ini dia seperti menjadi orang paling buruk di dunia. Kania tidak tahu kalau semuanya akan berjalan tidak sesuai seperti ini.Ditengah dirinya menahan tangis, Kania terlonjak ketika suara Azka yang menangis masuk ke telinganya. Buru-buru dirinya beranjak dari tempat, sigap memastikan apa yang sedang terjadi pada anak majikannya itu."Kania! Tolong. Saya nggak tahu kenapa Azka malah merengek kayak gini," adu Adi begitu mendapati Kania di sisinya."Azka, ada apa, Sayang?" kata Kania sambil merebut bayi mungil itu dari gendongan Adi. Kania lantas tersenyum kecil begitu tahu apa alasan Azka menangis. "Azka buang air besar, Pak. Dia kayaknya udah nggak nyaman. Sebentar, saya bersihkan dulu."Adi setengah membulatkan bibirnya baru tahu. Dia tidak menyadari itu. Terlalu awam dirinya ternyata tentang buah hatinya yang baru berusia tiga tahun itu.Adi jadi ingat tentang perkelahiannya dengan Arumi kemarin pagi. Itu masih tentang Azka. Adi geram pada Arumi yang terus saja pulang larut malam demi pekerjaannya. Bahkan Arumi jarang ada saat dirinya pulang dari kantor dan menemukan Azka hanya sendirian ditemani Kania.Saat Adi tanya, sejak kapan agaknya Arumi meninggalkan Azka sendirian, katanya dari pagi hingga larut. Padahal Adi sangat ingin Arumi itu menjadi ibu rumah tangga saja yang selalu ada untuk keluarga. Nyatanya, Arumi lebih memilih melanjutkan karirnya yang sebagai model iklan dan berbagai macamnya lagi.Adi tersenyum kecil saat mendengar suara cekikikan putrinya yang sedang bersama Kania. Begitu keduanya muncul lagi di depan matanya, alih-alih Azka, justru Kania yang jadi objek matanya menatap.Kania ini tipe perempuan yang lemah lembut serta murah senyum. Akan tetapi, kenapa sangat berbeda dari apa yang Adi lihat malam itu? Yang mama sebenarnya Kania ini? Si asisten rumah tangga yang lugu atau si LC yang sangat lihai menemani para petinggi?"Sudah, Pak. Mau gendong Azka lagi?" tanya Kania.Adi menggeleng. "Saya kewalahan. Rasanya saya belum terbiasa membujuknya," tolak Adi.Kania hanya mengangguk kecil lantas mengajak Azka untuk bermain di teras. Ini kebiasaan mereka. Kalau orangtuanya sudah sama-sama sibuk, hanya Kania lah yang selalu bersama dengan Azka bahkan sampai satu harian penuh."Oh iya, Kania. Ada yang mau kamu bicarakan dengan saya?" tegur Adi sebelum Kania berjalan lebih jauh.Yang bersangkutan langsung terdiam di tempat. Lantas tubuhnya kembali berbalik untuk menatap Adi di belakangnya. "Nggak ada, Pak. Saya ajak Azka main dulu ya, Pak?""Saya akan tanggung jawab sekiranya ada apa-apa sama kamu," sergah Adi.Lagi-lagi Kania bergeming sambil meneguk berat ludahnya. Seakan oksigen di dadanya bertumpuk banyak hingga sulit sekali untuk mengeluarkannya. "Saya permisi, Pak."Seperti apa kata Arumi, Kania akan menginap untuk menemani Azka. Perempuan usia dua puluh satu tahun itu kini sudah tertidur pulas di sisi Azka setelah sebelumnya berupaya keras membuat bayi mungil itu tenang. Entah kapan agaknya pertengkaran itu mulai, yang pastinya Kania terlonjak saat suara erangan yang cukup kuat mengusik tidurnya begitu saja. Buru-buru Kania menutupi telinga Azka dengan sepasang bantal agar bayi itu tidak ikut-ikutan terjaga. Begitu memastikan Azka tetap tenang, barulah Kania beranjak dari tempatnya untuk memastikan apa yang sedang terjadi. Ada apa lagi agaknya yang membuat majikannya itu marah-marah. Padahal ini sudah hampir tengah malam.Di sisi lain, Arumi mendengkus tak habis pikir dengan ucapan suaminya. "Apa katamu? Aku haru berhenti jadi model dan mulai mengurus kalian? Gila kamu?" erang Arumi lagi. "Apa salahnya sama itu? Arumi, ini udah berjalan empat tahun pernikahan kita, tapi belum sekali pun aku merasa kalau kamu itu istri aku. Bahkan Azka pun j
Kania langsung saja menarik tangannya dari genggaman Adi, lalu menatap pria itu cukup lekat. "Pak, ini nggak benar. Jangan terlalu gamblang bersikap pada saya!" ucapnya mengingat Adi. Adi pun terdiam sebentar untuk meresapi sikap serta perkataan Kania barusan. Benar apa Kania, dirinya terlalu gamblang bersikap pada seorang art seperti Kania ini. "Saya hanya ingin membantu. Ini juga salah saya. Saya gegabah," kata Adi, mengaku. "Kesalahan yang sudah terjadi biarkan saja terjadi, Pak. Akan lebih sakit sebenarnya jika harus mengulangi kesalahan yang sama. Jadi, lebih baik menghindar dari pada harus tenggelam di kubangan yang sama."Tangan Adi berhenti sejenak dari aksinya yang ingin ikut membantu memberikan sisa kaca usai mendengar perkataan Kania barusan. Adi jadi teringat tentang malam itu. Apa yang harus Adi lakukan? Padahal niatnya baik ingin membantu Kania, tapi kenapa justru dialah yang membuat perempuan itu kian menderita. "Saya bilang saya akan bertanggung jawab atas kesalah
"Ya udah, tunggu sebentar. Saya pakai baju dulu." Adi menurut. Kania menutup rapat kedua matanya sejenak mendengar kata-kata Adi. Terlalu gamblang seolah-olah Adi ini tidak lagi punya harga diri seperti apa katanya. Begitu Adi mengatakan sudah siap, barulah Kania berbalik. Tak basa-basi atau sejenak menatap Adi, Kania berjalan lurus ke arah lemari guna mengambil barang yang dia inginkan. "Ketemu, nggak?" tanya Adi melihat Kania kesulitan. "Sebentar, Pak. Saya lagi bingung ini dres yang merah yang mana. Bu Arumi punya tiga dengan warna serupa," jelas Kania agar Adi dapat memberikannya lebih banyak waktu. "Bawa aja ketiga-tiganya. Kenapa kamu malah pusing?" saran Adi kemudian. Kania pun hendak berpikiran demikian tapi sudah didahulukan Adi. Tangannya segera merebut pakaian yang tergantung lantas segera berbalik ingin pergi. Namun, entah Adi yang memang sengaja, keduanya malah hampir bertubrukan sebab Adi yang sudah tampak di depan Kania. "Pak!" bentak Kania walau sedikit tertaha
Kania terkesiap saat dia mendengar suara langkah seseorang. Siapa lagi kalau bukan Adi? "Kamu nggak ikutan muak sama tingkah istri saya, Kania? Seakan-akan dia yang paling berkuasa, bukan?" ujar Adi sambil mendekat ke dah meja makan tak jauh dari Kania. "Saya siapin Azka dulu, Pak. Jam delapan imunisasinya di mulai," kata Kania, enggan membahas apa yang ditanya Adi barusan. Adi hanya mengangguk samar. Dia memerhatikan kepergian Kania ke kamar sang putra. Dalam diam, Adi jadi berpikir, apa sebaiknya dia dan Arumi memang berpisah. Tapi, bagaimana dengan putra mereka? Azka sangat dekat dengan Kania, dan Kania sangat dekat dengan Arumi. Adi pasti kalah jika harus berebut hak asuh. Apa sebaiknya Kania ... "Ayo, Pak. Takut di jalan macet," ajak Kania setelah usai mempersiapkan Azka. Adi yang sudah selesai dengan sarapan paginya, langsung saja menurut. Kakinya dengan cepat mengekori langkah Kania menuju mobil."Hei, kenapa kalian duduk di belakang? Memangnya saya sopir kalian?" tegur
Kania mendengkus menahan tawa pahit yang seolah menggambarkan rasa tidak percayanya pada kata-kata Adi barusan. "Saya masih sangat waras, Pak! Jangan ajak saya gila seperti Bapak!" tekan Kania berharap Adi bisa paham. "Saya nggak lagi maksa apa-apa sama kamu tentang perasaan saya, Kania. Saya hanya mau, putra saya tidak kehilangan figur ibu yang nanti menyebabkan dia sulit berinteraksi bebas. Takutnya jadi ada rasa trauma," sahut Adi sebisa mungkin meyakinkan Kania. Kania refleks menatap Azka yang ada di depannya. Bayi itu tertawa yang langsung saja mengajak bibir Kania ikut terangkat. Melihat itu, Adi jadi tidak ragu lagi tentang keputusannya. "Kamu mau, 'kan?" tanya Adi kembali, terkesan memaksa. "Bagaimana kalau Ibu tahu, Pak?" "Kuncinya ada di kamu. Jangan kasih tahu apa-apa sama dia. Semuanya bisa saya atasi kalau kamu juga ikut berkontribusi," jelas Adi tanpa ragu. Tadi Kania tampak resah, tapi kenapa sekarang dia seperti merasa baik-baik saja? Memang jawaban Adi terlalu h
Tanpa sadar Kania terbangun karena terusik gerakan Azka yang menggeliat kecil. Sontak saja matanya terjaga dengan tubuh yang segera mungkin bangun. Astaga, Kania tidak sadar kalau dirinya tertidur sejak senja hingga terbangun pukul setengah empat dini hari. Ditatapnya Azka yang masih tertidur pulas yang mengajak rasa damai menyelinap masuk. Tadinya Kania sudah khawatir karena melewatkan malamnya bekerja di klub malam. Tapi setelah sadar, helaan napas lega itu segera mengudara. Siang itu, sebelum Kania pergi dari sisi Adi, laki-laki itu sempat memberikannya beberapa lembar uang pecahan seratus ribu. Itu sudah sangat cukup untuk menutupi uang harian Kania jika malam ini dia bekerja. Jadi, Kania tidak lagi pusing memikirkan uang untuk biaya dirinya sendiri. Apalagi untuk keluarganya di kampung, semuanya cukup teratasi tanpa ada dirinya yang harus mengorbankan harga diri. Sebelum Azka bangun, Kania pun segera beranjak ke dapur untuk segera melakukan tugas. Kania baru saja bangun, tap
"Terima kasih ya, Kania. Kamu udah ngertiin saya," ucap Adi sembari memeluk Kania lebih erat. Di tempat lain, Kania justru bergeming mendengarnya. Logika sedang berperang dengan perasaan. Hati berkecamuk hebat menuntut untuk mendapatkan hak, sementara otak memaksa untuk berpikir kritis bahwa setiap keputusan memiliki konsekuensi. "Pak," panggil Kania, pelan. "Hmm?" gumam Adi. "Apa yang terjadi jika sekiranya Ibu tahu tentang kita?" Giliran Adi yang bergeming. Entahlah, dia pun bingung menjawabnya. Kembali mengulang kisah dengan sang istri di dalam kepalanya, memang akhir-akhir ini mereka tampak tak baik. Tapi, jika harus mengungkap tentang dirinya dan Kania saat ini, sepertinya Adi masih enggan. "Biarkan saja dulu seperti ini, ya?" sahut Adi setelah lama diam. Dia menarik diri upaya menatap wajah Kania. "Kamu mau tetap diam, kan?"Kania menelisik lebih dalam pahatan wajah Adi serta kilat matanya yang legam yang tak pernah tidak membuat Kania berdebar, lantas mengukir senyum keci
Perasaan campur aduk tadi semakin tak beraturan ketika melihat sepasang majikannya tampak tenang duduk bersama di meja makan. Perasaan tadi Arumi bilang mau pergi senam yoga, tetapi kenapa malah berakhir nongkrong di meja makan bahkan dengan Adi yang sama-sama sibuk dengan ponselnya. Walau pun demikian, tak mengurung perasaan tidak suka Kania muncul. Dia tidak begitu senang jika ada kedamaian yang tergores diantara Arumi dan Adi. "Pak, ini sarapannya," ucap Kania seraya memberikan sepiring roti isi. "Oh, iya," sahut Adi, singkat. Menurut Kania bahkan itu terlalu singkat. Pasti ini karena ada Arumi. Jika Arumi tidak ada di sini, pasti Kania mendapatkan kalimat yang lebih romantis. Lagi-lagi Kania berdecak dalam dada. "Bu, bukannya mau yoga? Kenapa malah di sini?" tanya Kania, pada akhirnya. Terdengar basa-basi, tapi hanya Kania yang tahu kalau maksud ucapannya itu adalah 'kenapa tidak pergi saja!'. "Tiba-tiba saya malas. Mana saladnya?" "Oh, ini, Bu." Kania segera memberikan yan
Si empunya nama yang berhasil mendengarkan pekikan lantang Kania kontan terlonjak kaget bukan kepalang. Aktivitasnya mendadak terhenti, lantas berlari cepat guna mencari tahu sumber suara. Apa benar yang baru saja dia dengar itu sungguh suara orang yang ada didalam tebakannya? Begitu pintu utama itu terbuka, terpampang sudah potret Kania juga istrinya yang tengah berupaya keras bangun–entah sebab apa. Buru-buru Adi menghampiri sang istri, membantunya. "Ada apa ini? Kenapa kamu, Sayang?" tanya Adi, panik. Dia terus memeriksa bagian tubuh Arumi ingin memastikan apakah ada yang terluka atau tidak. Dibalik itu, Kania lantas mendengkus menahan tawa pahit yang terus saja menggerogoti hatinya. Dia juga sakit. Pipinya panas. Tubuhnya rasanya berat sebab ada raga lain di dalam sana. Tapi kenapa dirinya tak mendapatkan perlakuan yang sama? Kenapa dia malah semakin terluka pada saat melihat Adi begitu tampak mencintai istrinya? Di sisi lain, Arumi sebenarnya gerah dan gusar akan kecurangan y
Sekitar beberapa menit menunggu, akhirnya sosok mungil Arumi kembali lagi di tatap oleh Kania. Entah kenapa kali ini sosok pembantu itu berdebar saat melihat majikannya yang sejak dulu bertingkah baik terhadapnya. Seolah akan ada bahaya yang akan dia dapatkan begitu Arumi mulai mendekat. Tidak jauh berbeda dengan Kania, Arumi pun sama halnya dengan pembantunya itu. Tadinya Arumi berpikir akan mendapatkan kejutan dari mertuanya yang akan datang berkunjung, akan tetapi malah sosok yang tidak dia inginkan yang muncul. Sejenak dirinya seperti dibekukan di tempatnya apalagi mengingat segala sesuatu yang sudah tidak lagi asing di ingatannya. Perempuan muda di depannya sana begitu mengambil penuh atensinya sehingga menyesali karena tidak bertanya siapa yang hendak dia temui. Mendadak saja rasa tidak sukanya pada Kania muncul. Tatapan malas itu terpancar jelas. Belum lagi bibirnya yang tanpa senyuman walau sudah bertatap muka dengan Kania yang katanya akan selalu dia tunggu kepulangannya.
Aila dan Kania benar-benar berupaya keras mencari ke mana agaknya suami istri itu pergi. Tujuan ingin pergi ke tempat Adi bekerja ternyata tak juga membuahkan hasil. Nihil, alias benar-benar dibekukan segala akses dirinya mencari tahu tentang keberadaan pria itu. Apa ini memang sudah direncanakan oleh Adi? Pria itu tahu kalau Kania tidak akan menyerah dan terus mencarinya. Dan inikah jawabannya? Bahwa Adi pergi dengan segala tanggung jawab yang telah enyah. Janji kemarin menguap begitu saja. Tentang kalimat manisnya yang hendak menjadikan Kania sosok yang lebih dari pada seorang pelayan rumah tangga telah musnah ditelan kenyataan tentang dirinya yang melarikan diri. Sehari penuh tenaga serta energi kakak beradik itu dikuras begitu saja tanpa ada hasil sama sekali. Kini, keduanya benar-benar tak punya jalan apa-apa lagi. Semuanya buntu. Hal yang ingin dilakukan sudah dipatahkan begitu saja tanpa pertimbangan. "Sudahlah, Aila. Biarkan saja dia pergi. Lagi pula, semuanya pasti akan be
Kania benar-benar menceritakan segala hal yang dia lalui bersama dengan Adi. Tentang bagaimana dia mulai memberanikan diri untuk mengejar pria itu serta meyakinkan dirinya bahwa dia memang mencintai pria beristri tersebut. Akan tetapi, persepsi yang diberikan Kania tentang dirinya, beda pendapat dengan Aila. Sebagai anak kulihat jurusan psikologi–walau masih terdengar awam, Aila tahu bahwa ini bukanlah tentang diri sang kakak yang mencinta seperti apa katanya.Akan tetapi, ada sesuatu yang mendorong dalam diri untuk mengutarakan ketidakrelaan sehingga berniat untuk terus berurusan dengan si 'pelaku' yang telah merebut kehormatannya. Notabenenya yang terjadi pada sang kakak adalah pelecehan. Tetapi, karena kakaknya itu juga menerima begitu saja, tampaklah seperti dirinya yang mau-mau saja. Padahal, Kania hanya tidak bisa mengelak karena Adi itu adalah sosok yang dia hormati. Terlebih lagi, Adi memberikan janji-janji yang tidak pernah Kania dapatkan dari siapa pun. Sebab itu, Aila ya
Di tempat lain, keadaan Hayati semakin tak baik. Sesak napasnya sudah jauh lebih mengkhawatirkan. Lebih memprihatinkan lagi karena tidak ada satu pun tenaga kerja dari pihak rumah sakit yang mau berkontribusi untuk merawat Hayati.Katanya, harus melupakan pembayaran dengan jumlah yang fantastis. Walau pun sudah menjabarkan kartu kesehatan dari pemerintah, tetap saja ditolak dengan berbagai macam alasan yang sulit dicerna orang-orang disekitarnya.Tanpa sadar, keadaan Hayati tak lagi baik. Perempuan tua itu sudah terbaring di kasur berlapiskan kain selendang batik. Tidak ada yang bisa dilakukan. Orang-orang atau kerabatnya tidak ada yang punya nilai harta sebanyak itu sampai semuanya memilih untuk bungkam dan pasrah akan keadaan.Sementara di sisi lain, ada Kania yang terus merasa gelisah. Sejak malam itu dirinya tidak bisa berpikir jernih. Bukan hanya pikirannya yang penuh, tapi juga keadaan dirinya yang tidak seperti biasanya.Kadang sudah demam, kadang sudah menggigil. Juga terkadan
Tak bisa membiarkan Kania pergi begitu saja dengan kenyataan bahwa gadis itu masih enggan untuk mengalah, Adi pun berlari kecil guna menghentikan kepergiannya. Secepatnya gerakan Kania yang berjalan menjauh terhenti sebab Adi menahannya di pergelangan tangan. "Kania, sudah cukup!" tekan Adi. "Kita udah sepakat, kan? Kenapa kamu sulit sekali buat mengerti? Jangan ganggu saya! Jangan halangi kebahagiaan saya!" Kania segera menarik kuat tangannya dari genggaman pria didepannya. Kilat amarah terpampang jelas dari dua bola matanya yang gelap. "Kalah gitu bertanggung jawablah, Pak. Tanggung jawab atas apa yang sudah saya terima! Bapak merebut kesucian saya dengan iming-iming membahagiakan saya! Bapak kupa itu?" Suara kania tak kalah melengking. Panik, Adi refleks menoleh ke belakang, takut kalau ada telinga yang mendengar. Beruntung kalau Hayati sedang tidak baik keadaannya sehingga orang-orang malah fokus pada perempuan tua itu. Memang salah, tapi setidaknya Adi punya kesempatan untuk m
"Bawa aku pulang, Pak. Aku nggak bisa kalau harus berpisah darimu," lirih Kania. Dia menatap lemah pada sorot mata pria di sampingnya. "Saya nggak bisa," tolak Adi. Dia sangat berharap kalau Kania mau menerima. "Tolong Kania, kamu harus bisa melupakan perasaan kamu itu. Semua itu nggak benar. Masih ada banyak laki-laki diluar sana yang mau mencintai kamu. Jangan saya." "Tapi saya cuma mau sama Bapak. Saya nggak aku sama siapapun, Pak. Jangan tinggalkan saya. Saya mohon."Dibalik percakapan kedua orang itu, diam-diam Arjuna membaca semua yang telah terjadi. Dia mencoba mencari tahu apa sebenarnya yang sudah terjadi pada perempuan yang dia kenali dengan sisi positif itu. Kenapa Kania sangat menggebu-gebu sekali? Kenapa Kania ingin sekali merebut pria yang notabenenya adalah suami orang? Ada yang salah. Tapi apa? "Jangan dengarkan omong kosongnya, Pak. Sebaiknya Anda pergi. Ini juga sudah malam. Saya nggak aku nama baik keluarga saya lebih buruk jika sampai situasi ini diketahui bany
"Ibuk nggak tahu apa-apa, Buk. Mendingan Ibuk diam aja. Yang tahu masalahku cuma aku. Jangan ikut campur!""Kania!" tegur Adi. Tak tahan dirinya mendengar segala penuturan jahat dari gadis polos itu. "Apa kamu nggak sadar? Yang kamu bentak itu Ibu kamu. Kamu nggak sakit hati mengatakan itu?"Kania langsung terdiam sembari mengalihkan pandangannya. Memang, perkataannya itu sangat menyakitkan juga keterlaluan. Tapi, hanya itulah yang bisa dia lakukan ketika semua orang menentang kebahagiaannya.Di sisi lain, orang-orang yang melihat interaksi Adi dan Kania jadi kembali berpikir, sebenarnya hubungan apa yang sudah terjalin antara dua orang ini? Dari segi pemahaman yang dijabarkan Adi, terlihat kalau lelaki itu adalah pria yang dewasa yang mungkin sangat tidak wajar jika melakukan hal senonoh seperti itu pada gadis muda seperti Kania."Sebenarnya, apa hubungan kalian? Dan apa yang kalian lakukan di dalam kamar malam-malam begini?" imbuh Pak Kades sedikit melembutkan suaranya.Adi segera m
Kania benar-benar bungkam manakala dia pria yang dia kenali membawa pergi dirinya dan Adi ke balai desa. Padahal bisa saja Kania menjelaskan apa yang terjadi, akan tetapi menurutnya keadaan ini akan lebih baik untuknya setelah mendapatkan peringatan yang tidak baik dari Adi. Kini, keduanya sudah ada di dalam kantor desa ditemani oleh sosok sepuh yang disebut Pak Kades. Karena waktu sudah tidak lazim lagi untuk berkoar-koar apalagi tentang masalah yang sensitif seperti ini, terjadilah hanya keluarga Kania yang diberitahukan serta beberapa sepuh desa yang lain. Sejak tadi–sejak dirinya di bawa ke ruangan petak yang tak cukup besar ini, Adi hanya bisa diam seribu bahasa dengan dendam yang lebih dalam pada Kania. Percuma jika dirinya berteriak atau membela diri, yang berakhir dipukuli oleh Abib atau Arjuna. Demi menjaga dirinya tetap baik-baik saja, Adi pun berupaya keras untuk memenangkan diri. Lebih runyam masalahnya jika sekiranya dia menghadapi semua ini dengan kepala panas. L