Bab 5.

"Ya udah, tunggu sebentar. Saya pakai baju dulu." Adi menurut.

Kania menutup rapat kedua matanya sejenak mendengar kata-kata Adi. Terlalu gamblang seolah-olah Adi ini tidak lagi punya harga diri seperti apa katanya.

Begitu Adi mengatakan sudah siap, barulah Kania berbalik. Tak basa-basi atau sejenak menatap Adi, Kania berjalan lurus ke arah lemari guna mengambil barang yang dia inginkan.

"Ketemu, nggak?" tanya Adi melihat Kania kesulitan.

"Sebentar, Pak. Saya lagi bingung ini dres yang merah yang mana. Bu Arumi punya tiga dengan warna serupa," jelas Kania agar Adi dapat memberikannya lebih banyak waktu.

"Bawa aja ketiga-tiganya. Kenapa kamu malah pusing?" saran Adi kemudian.

Kania pun hendak berpikiran demikian tapi sudah didahulukan Adi. Tangannya segera merebut pakaian yang tergantung lantas segera berbalik ingin pergi.

Namun, entah Adi yang memang sengaja, keduanya malah hampir bertubrukan sebab Adi yang sudah tampak di depan Kania.

"Pak!" bentak Kania walau sedikit tertahan. Matanya melotot tajam pada Adi.

"Maaf-maaf, saya nggak tahu kalau kamu bakalan balik. Tadinya saya–"

Kania tak ingin mendengar omong kosong Adi hingga berakhir mengabaikan laki-laki itu. Akan tetapi, Adi justru menahan pergelangan tangan Kania sehingga gadis itu kembali mengerang murka. "Pak Adi!"

"Tolong temani saya sebentar. Saya sebenarnya–"

Kania menarik tangannya cukup kuat sampai ucapan Adi tertahan. "Berhenti membuat omong kosong, Pak! Bapak ini kayak orang sakau. Kalau emang lagi nafsu minta sana istri Bapak. Bukannya seenaknya sama saya!" tegas Kania memberanikan diri.

Adi tertohok dibuatnya. Bibirnya jadi tiba-tiba keluh namun dengan pandangan yang sayu. "Saya cuma minta di temani saja. Rasanya saya benar-benar nggak minat hidup lagi. Semuanya terasa sulit, Kania. Situasi ini seperti membuat saya gila."

"Sadar, Pak! Bapak yang buat semua masalah Bapak jadi seperti ini. Tolong jangan ikut campurkan saya di dalamnya. Saya nggak berniat jadi salah atau tersangka jika Bapak benar-benar akan bunuh diri," tangkas Kania blak-blakan.

Adi jadi mengulum senyumnya entah karena apa. "Saya bakalan tulis surat wasiat dan bilang kalau yang bikin saya bunuh diri itu kamu. Terus gimana sama itu?"

Kania semakin gusar saja apalagi melihat Adi justru tersenyum. "Saya nggak akan peduli!"

Hendak berbalik, Kania tiba-tiba saja bergeming serasa baru saja disihir saat Adi tanpa kata memeluknya cukup erat.

Matanya terbelalak tak percaya, hingga pada akhirnya Kania berontak sampai memukul wajah Adi sekuat yang dia bisa. "Apa-apaan ini, Pak!"

Adi kembali tertegun dengan kepala yang sedikit meneleng. Namun, alih-alih marah dirinya justru memahami sikap Kania yang memang tidak akan disanggahnya bahwa sikapnya ini sudah cukup keterlaluan.

"Maaf, maaf. Kamu boleh pergi," kata Adi pada akhirnya.

Kania dengan dada yang memanas tak habis pikir, segera saja berbalik cepat dan segera meninggalkan Adi. Seperti Kania ingin mencabik-cabik sesuatu saking tidak mengertinya dirinya tentang sikap Adi ini.

Memang malam itu, dia dan Adi terjebak dalam godaan belis, tapi apa sepatutnya Adi meneruskan kesalahan itu? Bukankah tahap selanjutnya adalah memperbaiki kesalahan? Kenapa Adi justru ingin memperburuk dengan menambahkan situasi rumit diantara mereka?

"Kenapa lama, Kania? Bapak masih tidur atau apa?" tanya Arumi begitu melihat Kania turun.

Kania terkesiap dalam diam sambil menetralkan perasaannya. Jantungnya serasa hampir melompat pada saat Arumi menatap matanya.

"Tadi sa-saya kesulitan cari dresnya, Bu," jawab Kania, berkilah.

"Oh gitu. Untung aja kami bawa semuanya. Sebenarnya saya juga masih bingung mau make yang mana," imbuh Arumi justru bersikap biasa.

Dalam diam Kania terus memandangi majikannya ini. Arumi baik, hanya saja terlalu cerewet. Tapi, tiada yang bisa Kania minta pengertian darinya karena apa pun yang dilakukan oleh Arumi masih bersifat wajar.

Setelah semua ini terjadi, Kania merasa sudah menusuk Arumi dari belakang. Majikannya itu memberikan tanggung jawab, Kania malah melahapnya dalam porsi yang tidak seharusnya.

Bagaimana ini? Apa sebaiknya jujur saja pada Arumi kalau dirinya telah banyak menyimpan kebohongan pada Arumi?

"Hei, Kania? Kok jadi ngelamun? Ada jadwalnya, nggak?"

Lamunan Kania menguap cepat ketika suara Arumi menginterupsi. Dia mengerjap-erjap untuk menyadarkan diri sepenuhnya bukan sampai tidak mendengar apa kata Arumi tadi.

"Apanya, Bu?" tanya Kania benar-benar tidak mendengar.

Arumi jadi semakin merasa aneh saja pada sikap Kania ini. Tidak biasanya dia lengah. Juga, kenapa setiap Arumi ingin menatap matanya, Kania terus saja berpaling seolah-olah Kania tidak betah di pandangi.

"Kenapa kamu, Kania? Kalau kamu sakit kan sudah saya bilang, berobat dulu. Kenapa malah kayak orang baru buat kesalahan saja kamu?" tegur Arumi sambil terus menelisik wajah Kania.

"Eh, nggak, Bu. Saya baik-baik aja. Mungkin karena efek begadang aja. Tadi malam Azka sedikit rewel," kilah Kania lagi entah keberapa kalinya.

Arumi pun memahami. "Saya cuma nanya, Azka ada jadwal imunisasi nggak hari ini? Kalau iya, ajak Bapak aja. Saya hari ini ada pemotretan yang nggak bisa di tunda," jelas Arumi tentang perkataannya yang tidak didengar Kania.

"Tapi, Bu ...."

"Bapak kamu itu lagi nggak kerja tuh. Jangan biarin dia leha-leha. Kalau bisa, buat dia yang jagain Azka. Biar dia tahu, gimana sulitnya ngerawat anak. Biar nggak cuma tahunya protes doang!" sungut Arumi menyinggung tentang Adi yang baru dia ketahui kalau suaminya itu sedang cuti satu minggu.

Padahal niat Kania ingin menghindar dari Adi sejauh mungkin. Tapi kenapa keadaannya justru memaksa dia tetap dekat dengan pria itu?

"Saya pergi dulu. Oh iya, jangan lupa vitamin sama makanan Azka di teliti lagi, Kania. Jangan kayak kasus kemarin!" ingatkan Arumi sebelum dirinya benar-benar pergi.

"Iya, Bu." Kania hanya bisa bergumam tanpa siapa pun bisa mendengar suaranya.