“Kamu mencari Fiana?”Fahmi menoleh mendengar suara tiba-tiba ingin berbicara padanya. Di sana salah satu waiter berdiri dengan kemeja putih dan rok span hitam ketat, sejak dari menguping percakapan Fahmi dengan Liana.Fahmi mengangguk.“Sepertinya kamu pernah ke sini sebelumnya bersama istri yang cantik itu, kan?” Waiter itu masih mengingat wajah Fahmi.“Benar.”“Lalu untuk apa mencari Fiana?”“Aku mencarinya karena dia telah membuat masalah besar,” jelas Fahmi setelah waiter itu berdiri tepat di depannya. Berharap waiter itu memberi informasi mengenai Fiana. “Kamu tahu dia di mana sekarang?”“Tidak tahu di mana Fiana. Aku dengar dia sudah mengundurkan diri semalam,” balas waiter itu lantas pergi begitu saja tanpa peduli dengan ekspresi Fahmi yang tegang.
“Kenapa kamu mengajak bertemu di sini?”Alia membuka pembicaraan lebih dulu, sebab Misella tidak kunjung mengatakan sepatah katapun. Tidak mungkin terus-terusan saling diam.Misella mengangkat wajahnya. Memberanikan beradu pandang dengan Alia. Dia sempat menelan ludah saking kikuknya.“Ada yang ingin aku katakan padamu,” balas Misella.“Apa yang ingin kamu katakan?”Nada suara Alia terdengar dingin. Ekspresi wajah juga sama sekali tidak tersenyum, datar saja. Hal itu membuat Misella tidak nyaman dan bingung menjawab apa. Misella kembali menunduk memainkan sedotan minuman orange juice. Meskipun kesannya tidak sopan berbicara tanpa menatap mata lawan bicara, tapi itu jauh lebih baik dan berhasil membuat Misella berani berkata.“Kita satu apartemen. Suka atau tidak. Kita akan terus bertemu bukan?”&nbs
Alia mendesah kasar. Abian tidak bisa dihubungi. Dia kembali menyimpan ponsel di dalam handbag, melirik ke bingkisan berisi makanan yang sudah Alia beli di restoran untuk Abian.Alia berencana pergi ke ruang kerja Abian. Dia meninggalkan taman rumah sakit itu, menaiki lift.“Alia!”Alia dipanggil saat baru saja keluar dari lift. Mata Alia menyipit mencari sumber suara dari sekian banyak orang berjalan ke sana kemari, kemudian Alia melihat wanita berdiri agak jauh sedang melambaikan tangannya.“Ayora?” gumam Alia lantas berlari ke arah Ayora dengan senyuman lebar.Ya. Ternyata benar. Dia Ayora sahabat Alia.“Hei! Sudah lama tidak bertemu. Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Ayora setibanya Alia di hadapannya. Dia senang sekaligus dibuat penasaran dengan kedatangan Alia di rumah sakit.Alia memamerkan b
"Tunggu, jadi kamu sudah menikah?”Abian mengangguk cepat.Adeline terkejut. Demi apapun. Adeline tidak tahu soal itu. Dia pikir Dokter Abian belum menikah, dia kira wanita itu adalah pacar atau tunangan Abian, ternyata istrinya. Tidak disangka-sangka.Adeline tersenyum canggung, maju selangkah, sejajar dengan Abian. Berniat memperkenalkan diri, “Jadi wanita itu istrinya Dokter Abian,” batin Adeline. “Cantik juga istrinya,” lanjutnya dalam hati memuji kecantikan Alia.Adeline baru sadar, mengapa tadi malah memuji kecantikan Alia?Alia mengulurkan tangan, memperkenalkan diri lebih dulu tanpa seulas senyuman. “Thalia. Istri dari Dokter Abian,” ujarnya dingin dan menekan semua kalimat.Entah mengapa, Alia ingin memamerkan dirinya dengan bangga telah menjadi istri Dokter Abian yang tampan itu.Kalau saja sore itu A
Adeline merasa dirinya menjadi aneh dan overthinking setelah mengetahui fakta Abian telah menikah. Selama ini bekerja di rumah sakit Fortis, berbicara dengan banyaknya Dokter dan suster—tidak ada yang memberitahunya kalau Abian telah menikah. Abian menyadari Adeline tidak lagi berjalan di sampingnya. Lelaki itu menoleh melihat Adeline berdiri di tengah jalan sambil melamun lalu bertanya sedikit meninggikan suara, “Ada apa?” Lamunan Adeline buyar mendengar suara Abian. Wanita itu bergegas menyusul langkah Abian. “Apa yang sedang kamu pikirkan?" tanya Abian untuk kedua kalinya. “Hari ini kamu berbeda, seperti bukan Adeline yang aku kenal.” Adeline mengigit bibir bawahnya sebelum menjawab, “Aku hanya kecewa," jawabnya dengan pandangan lurus ke depan. Abian tidak begitu serius menanggapi ucapan Adeline, bahkan bertanya dengan enteng dan tidak ada rasa keingintahuan penyebab
Fahmi sedikit tenang. Dia kira Robert akan membahas dana darurat yang Fahmi ambil di perusahaan, ternyata mencemaskan putrinya.“Masalah keluarga kita, Pa. Kami hanya bertengkar masalah sepele dan kecil. Papa tidak perlu cemas,” balas Fahmi mencoba meyakinkan.Raut wajah Robert tidak yakin dengan jawaban Fahmi.Keringat dingin mulai mengucur deras dari dahi dan pelipis Fahmi.“Jangan sampai Papa tahu dan curiga! Kalau tahu. Tamatlah riwayatku!” batin Fahmi berharap Misella tidak mengadu kepada Papanya.“Kamu membuat kesalahan pada putriku?” tebak Robert memincingkan matanya. “Dia menjadi murung. Pasti kamu penyebabnya! Mengaku saja.”“Misella akan baik-baik saja setelah ini, Pa. Aku akan membujuknya agar masalah terselesaikan dengan cepat.”Fahmi tidak ingin Robert ikut campur da
Pukul 19.00. Abian hari ini tidak lembur. Lelaki itu sangat bersemangat untuk segera pulang, tidak sabar bertemu istri tercintanya. Entah mengapa semenjak Alia datang ke tempat kerjanya, Abian menjadi sangat merindukan Alia. Terpikirkan olehnya memberi hadiah untuk Alia. Seingat Abian, dirinya jarang sekali memberi kejutan. “Ini waktu yang tepat memberi hadiah untuk Alia,” gumamnya saat menuruni lift menuju parkir mobil. Sebelum pulang ke apartemen. Abian mengunjungi suatu tempat. Tangannya hendak membuka pintu mobil, namun ditarik oleh seseorang secara tiba-tiba. “Kamu menghindariku?” terka seorang wanita dengan nada agak tinggi dan kesal. Abian hampir ingin memaki orang itu karena perbuatan tidak sopan. Tetapi, Abian paham pemilik suara itu, tidak lain adalah Adeline. Abian pun menahan kesabaran. Merusak mood saja!
"Dia menghilang." "Tunggu, menghilang?" "Ya. Terakhir aku bertemu dengannya tampak begitu stres dan depresi." Topik pembicaraan menjadi serius. "Depresi? Itu tidak bisa dibiarkan. Dia bisa melakukan hal yang aneh saat di fase titik terendahnya. Misella benar-benar wanita gila. Tidak segan untuk menyakiti diri sendiri." Marsha menjeda perkataannya. "Oke, aku akan mengirimmu pesan, beberapa tempat yang Misella dikunjungi ketika sedang depresi." Alia menunggu pesan dari Marsha, namun keburu Abian menghampirinya. Alia langsung mematikan panggilan itu dan menyimpan ponselnya. *** Fahmi mencari Misella hingga larut malam. Tadi pagi saat berbicara dengan Fahmi, Misella tampak kacau. Kedua netranya sembab dan suaranya seperti orang linglung. Fahmi sadar akan kesalahan fatalnya, tapi nafsu itu tidak bisa ia kendalikan. Mencari dari tempat satu ke tempat lain, tidak juga menemukan. Fahmi tampak frustasi. Dia meremas rambutnya sendiri. "Aaarrghhh … kamu pergi ke mana, Misella?" Fahmi m
Para tamu bertanya-tanya termasuk Misella ikut terheran. Sontak Abian dan Alia menutup mulut tak percaya. Dikejutkan dengan kehadiran kedua orang tua Abian yang tiba-tiba datang bergabung di acara tersebut. Tak disangka-sangka mendapat surprise dari keluarga Abian. Ayah Mario, Ibu Caroline, Kak Amber dan juga Xylia si gadis kecil bule dengan rambut pirangnya."Sepertinya mereka dari keluarga terpandang," batin Misella menebak.Amber melambaikan tangan pada Abian dengan semangat sekali dan senyum lebarnya. Keluarga Abian pun semakin mendekat. Hati Alia terenyuh dengan kedatangan mereka. Alia pikir, keluarga Abian sangat mustahil untuk menginjak kaki di Jakarta. Sebab mereka lebih menyukai berada di Bali ketimbang di Jakarta, seperti pertama kali Abian memperkenalkan Alia pada keluarganya di Bali. "Siapa mereka?" ucap Papa Alia kebingungan."Mereka Keluarga saya, Pa. Ibu, ayah, dan kakakku dari Amerika," jawab Abian cepat. "Saya kira tidak akan datang."Tiffany melongo, begitu juga den
Sembilan bulan kemudian .... Setelah kejadian mengerikan di Belleza, rencana Robert berhasil total dan kematian Fahmi tidak membuat orang menaruh kecurigaan. Itulah gelapnya tinggal di hunian modern itu. Siapapun yang mempunyai uang, dia akan berkuasa. Pada dasarnya uang segalanya, termasuk uang membuat orang lain tutup mulut.Di hunian elit, Belleza unit 002 milik keluarga Robert.Keluarga Robert hidup jauh lebih bahagia daripada tahun kemarin. Kini Kayla sudah bisa berbicara walaupun belum amat jelas. Tingkah lucu dan nada bicara cadel Kayla sangat menghibur mereka. Apalagi Kayla cukup tanggap, pasti tumbuh besar menjadi anak pintar. "Kayla sayang ...!" Tiffany berteriak, melambaikan tangannya dengan senyum lebarnya. Saking kangennya dengan cucunya. "Nenek datang!"Kayla baru turun dari tangga dituntun oleh Misella. Misella langsung berkata, "Hayo, siapa yang datang itu, Kay?" nunjuknya ke arah pintu.Awalnya Kayla sempat bingung, tapi langsung sadar. Tubuh mungil itu berlari untuk
Deg."APA KATAMU?!" Robert sangat terkejut. Berdiri dengan sorot mata tidak percaya. "Putriku tidak mungkin melakukan itu!"Bella terkaget-kaget. Tiffany yang baru sadar dari pingsan, syok kembali. Membekap mulutnya tidak menyangka. "T-tidak! Putriku bukan anak pembunuh!" Geleng-geleng kepala. "Pasti ada kesalahpahaman. Iya, kan?!""Maaf ... Saya melihat dengan kepala saya sendiri! Bahwa Putri Anda yang mendorong Fahmi!" tegas pengawal itu meyakinkan. "Harus ke atas sekarang kalau tidak percaya."Mereka langsung berlari-lari naik tangga menuju kamar Kayla. Mulut mereka terbuka lebar saat melihat jendela kaca telah hancur. Mata masing-masing menangkap punggung Misella, berdiri di antara serpihan kaca berserakan di lantai. Tidak ada yang memperdulikan betapa cantiknya warna kembang api di menyala-nyala.Robert membalikkan badan Misella. "Apa yang sebenarnya terjadi?!" tanya Robert butuh penjelasan. "Kenapa begitu berantakan di sini?!" tambah Robert.Kesadaran Misella kembali saat kedat
"T-tapi Tuan ...." "Tidak ada tapi tapi!" Robert masih punya secuil rasa kasihan setelah melihat Fahmi begitu mengenaskan. "Beri waktu dua menit dan awasi dia jangan sampai menyentuh sedikitpun cucu saya! Kalau cucu saya sedang tidur, jangan sampai lelaki itu membangunkan!""Baik Tuan." Body guard menurut, mereka pun menghampiri Fahmi. "Hei! Ayo jalan!" perintahnya karena Fahmi hanya diam tak bergerak. "Cepat jalan! Sebelum Tuan Robert berubah pikiran!"Fahmi pun berjalan pincang naik ke arah tangga dikawal ketat. Meninggalkan Robert di bawah bersama putri pertama. Bella dengan penuh amarah menghampiri Robert yang melamun dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam kantong celana."Papa!" teriak Bella. "Papa yang benar saja membiarkan lelaki bajingan itu menemui Kayla?! Di atas juga ada Sella!" Marah Bella, geleng-geleng kepala kenapa Papanya berbuat demikian.Robert menatap putri pertamanya. "Sudah. Kamu jangan marah begitu," tanggap Robert
Robert kembali ke apartemen karena baru selesai menyelesaikan beberapa pekerjaan mendadak di hari tersebut. Awalnya Robert ingin menikmati waktu malam tahun baru bersama sang istrinya, alhasil gagal. Saat pulang lelaki tua geram setelah mendapatkan pesan dari putrinya. "Dia datang sendirian?" tanya Robert pada dua body guard itu.Salah satu body guard menjawab, "Sepertinya sendiri, Tuan. Saya mendapat notif panggilan banyak sekali dari putri dan istri Anda.""Kenapa dia ada di sini?" Napas Robert terdengar berat. Sangat heran sekali. "Apa tidak punya harga diri?" sinisnya mengingat wajah Fahmi yang begitu memuakkan."Mungkin dia lapar," tebak body guard setengah bercanda."Dia lapar pada hari ini?" Satu alis Robert naik."Kan Tuan yang membuatnya miskin tak punya apa-apa. Jadi, dia berusaha mendatangi keluarga Tuan agar mendapat belas kasih," jelas body guard itu."Ah, iya. Kalau begitu kita harus cepat!"Dua b
Jantung Misella terasa dihantam batu. Selama ini tidak pernah mengizinkan Fahmi melihat wajah putrinya. Batinnya pedih mendengar permintaan Fahmi, Misella merasa menjadi Ibu yang jahat. Sorot mata Fahmi hampir membuat pertahanan Misella goyah, rasa kasihan segera ditepis jauh-jauh.“Dia hanya mantan suami yang tidak tahu diri!” batinnya memperingatkan."Jangan mimpi. Jangankan Sella sebagai ibu! Aku saja tak akan membiarkanmu bertemu Kayla," sinis Bella. "Pergilah dari sini!" Bella menarik paksa tangan Misella, cepat-cepat memencet sandi pintu.Misella menoleh ke belakang, terperangah Fahmi semakin mendekat. Hah?! secepat itu? "Kak! Ayo cepat!" Menarik-narik dress Bella dengan panik."Sabar dong, Sel. Tangan Kakak jadi tremor ini," balasnya bersamaan bunyi pintu apartemen terbuka.Keduanya bergerak cepat masuk ke dalam saat pintu akan tertutup sempurna, tangan Fahmi menerobos pintu tak peduli akan terjepit. Misella dan Bella langsung mendorong sekuat tenaga agar pintu tertutup."Hanya
Lima jam yang lalu.Misella dan Bella saling berdebat kecil mengenai undangan party dari Yuna. Bella merobek-robek kertas undangan pink pastel cantik itu dengan kesal. "Untuk apa kau datang?! Bukannya lebih baik kamu mengabaikan wanita penyebalkan itu!" omel Bella, pipinya merah menyala. Tak habis pikir jalan pikiran adiknya itu. Diperlakukan buruk, dipermalukan masih saja mau bergabung dengan orang bermuka tebal. Misella berdiri memasang muka tanpa dosa di depan Bella. "Aku hanya ingin datang. Apa salahnya, sih, Kak?""Salah! Memang salah." Bella menarik napas dalam-dalam. Sadar, hanya masalah kecil sampai berdebat dan emosi begini. "Sudah, abaikan saja," lanjutnya menahan diri—merebahkan tubuhnya di sofa."Aku mau datang! Titik." Misella keukuh. "Aku belum pernah datang ke party tahun baru."Bella memutar bola matanya. Astaga. Adiknya sudah dewasa tapi masih keras kepala. Tidak pernah menurut perkataanya. "Ya sudah. Aku temenin! Jangan sendirian. Bisa jadi kamu akan dipermalukan de
Sudah setengah jam Alia pingsan, kini mulai sadar. Matanya mulai terbuka, pandangan pertama yang dilihat adalah lampu cantik di atas langit-langit dinding yang menggantung. "Akhirmya kamu juga sadar, sayang." Abian menghela napas lega. Setia menunggu Alia bangun, tak melepas genggaman tangan.Alia melihat Abian duduk di sampingnya. "A-apa yang terjadi padaku? Di mana kita?" tanyanya bingung, sadar sedang bukan di kamar miliknya, kamar itu asing.Pelayan datang membawa segelas air putih, diberikan pada Abian. "Minum dulu," perintah Abian.Alia bangun dari posisi baringnya. Meminum beberapa teguk air putih dibantu Abian memegang gelasnya."Kamu pingsan, sayang. Kita masih di apartemen Yuna," ucap Abian memberi tahu. Alia sadar seketika. Matanya membesar, ingat kejadian menakutkan. Memegang kepalanya yang terasa pusing. Dia langsung turun dari ranjang tanpa berpikir panjang, tubuhnya oleng—untunglah pelayan siap siaga me
Bunyi kaca pecah mengangetkan dan tiba-tiba ada teriakan dari atas membuat empat orang di balkon itu menengadah kepala ke atas. Betapa terkejutnya melihat ada seseorang di atas sana—di dorong hingga tubuhnya hilang kendali, jatuh bersamaan serpihan kaca tebal telah melukai setiap kulitnya. Tangan itu berusaha menggapai di udara, namun malangnya tak bisa berpegang benda apapun.Pasrah dalam hitungan detik tubuh itu jatuh melewati samping kiri balkon hingga menghantam sky light lobby apartemen yang terbuat dari kaca. Sky light berbentuk persegi panjang terpecah, hancur seketika. Saat menghantam lantai seketika sel sel dalam tubuh meledak. Pembuluh darah pecah sehingga tak ada sirkulasi oksigen ke seluruh tubuh membuat organ vital dan otak berhenti berfungsi. Tengkorak hancur beberapa bagian dan darah terciprat ke mana-mana.Orang-orang sedang berada lobby terkejut mendengar bunyi amat keras lalu diperlihatkan tubuh tergeletak tak bernyawa. Tak hanya itu penghuni Bel