Fahmi ingin ke ruang makan, tetapi diurungkan setelah menyadari Misella sedang duduk melamun di sana. Lelaki itu merasa Misella masih marah padanya.Saat Fahmi membalikkan badan, terdengar suara Misella—membuatnya menghentikan langkah mendadak.“Terima kasih telah berkata jujur padaku.”Muka Fahmi pucat pasi. Dia berjalan ke arah Misella, duduk di sebelahnya—tanpa berani menatap wajah Misella saat itu juga—hanya menunduk memainkan jemarinya.Tanpa Fahmi lihat, mata Misella sembap akibat menangis semalam. Misella juga baru sadar paginya mengecek ponsel, mengirimkan pesan pada Alia—karena Misella membutuhkan seseorang saat itu untuk mendengar keluh kesahnya. Dia tidak mempunyai teman atau sahabat.“Kamu memaafkanku, kan?” tanya Fahmi dengan suara kecil. Harapan besar dari lubuk hatinya, Misella tidak memperpanjang apa yang telah terjadi dan memaafkan dirinya.Tarikan napas panjang sebelum Misella menjawab, “Aku tidak bisa memaafkanmu.” Misella berderai air mata, dia menangis sesenggukan
“Kamu mencari Fiana?”Fahmi menoleh mendengar suara tiba-tiba ingin berbicara padanya. Di sana salah satu waiter berdiri dengan kemeja putih dan rok span hitam ketat, sejak dari menguping percakapan Fahmi dengan Liana.Fahmi mengangguk.“Sepertinya kamu pernah ke sini sebelumnya bersama istri yang cantik itu, kan?” Waiter itu masih mengingat wajah Fahmi.“Benar.”“Lalu untuk apa mencari Fiana?”“Aku mencarinya karena dia telah membuat masalah besar,” jelas Fahmi setelah waiter itu berdiri tepat di depannya. Berharap waiter itu memberi informasi mengenai Fiana. “Kamu tahu dia di mana sekarang?”“Tidak tahu di mana Fiana. Aku dengar dia sudah mengundurkan diri semalam,” balas waiter itu lantas pergi begitu saja tanpa peduli dengan ekspresi Fahmi yang tegang.
“Kenapa kamu mengajak bertemu di sini?”Alia membuka pembicaraan lebih dulu, sebab Misella tidak kunjung mengatakan sepatah katapun. Tidak mungkin terus-terusan saling diam.Misella mengangkat wajahnya. Memberanikan beradu pandang dengan Alia. Dia sempat menelan ludah saking kikuknya.“Ada yang ingin aku katakan padamu,” balas Misella.“Apa yang ingin kamu katakan?”Nada suara Alia terdengar dingin. Ekspresi wajah juga sama sekali tidak tersenyum, datar saja. Hal itu membuat Misella tidak nyaman dan bingung menjawab apa. Misella kembali menunduk memainkan sedotan minuman orange juice. Meskipun kesannya tidak sopan berbicara tanpa menatap mata lawan bicara, tapi itu jauh lebih baik dan berhasil membuat Misella berani berkata.“Kita satu apartemen. Suka atau tidak. Kita akan terus bertemu bukan?”&nbs
Alia mendesah kasar. Abian tidak bisa dihubungi. Dia kembali menyimpan ponsel di dalam handbag, melirik ke bingkisan berisi makanan yang sudah Alia beli di restoran untuk Abian.Alia berencana pergi ke ruang kerja Abian. Dia meninggalkan taman rumah sakit itu, menaiki lift.“Alia!”Alia dipanggil saat baru saja keluar dari lift. Mata Alia menyipit mencari sumber suara dari sekian banyak orang berjalan ke sana kemari, kemudian Alia melihat wanita berdiri agak jauh sedang melambaikan tangannya.“Ayora?” gumam Alia lantas berlari ke arah Ayora dengan senyuman lebar.Ya. Ternyata benar. Dia Ayora sahabat Alia.“Hei! Sudah lama tidak bertemu. Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Ayora setibanya Alia di hadapannya. Dia senang sekaligus dibuat penasaran dengan kedatangan Alia di rumah sakit.Alia memamerkan b
"Tunggu, jadi kamu sudah menikah?”Abian mengangguk cepat.Adeline terkejut. Demi apapun. Adeline tidak tahu soal itu. Dia pikir Dokter Abian belum menikah, dia kira wanita itu adalah pacar atau tunangan Abian, ternyata istrinya. Tidak disangka-sangka.Adeline tersenyum canggung, maju selangkah, sejajar dengan Abian. Berniat memperkenalkan diri, “Jadi wanita itu istrinya Dokter Abian,” batin Adeline. “Cantik juga istrinya,” lanjutnya dalam hati memuji kecantikan Alia.Adeline baru sadar, mengapa tadi malah memuji kecantikan Alia?Alia mengulurkan tangan, memperkenalkan diri lebih dulu tanpa seulas senyuman. “Thalia. Istri dari Dokter Abian,” ujarnya dingin dan menekan semua kalimat.Entah mengapa, Alia ingin memamerkan dirinya dengan bangga telah menjadi istri Dokter Abian yang tampan itu.Kalau saja sore itu A
Adeline merasa dirinya menjadi aneh dan overthinking setelah mengetahui fakta Abian telah menikah. Selama ini bekerja di rumah sakit Fortis, berbicara dengan banyaknya Dokter dan suster—tidak ada yang memberitahunya kalau Abian telah menikah. Abian menyadari Adeline tidak lagi berjalan di sampingnya. Lelaki itu menoleh melihat Adeline berdiri di tengah jalan sambil melamun lalu bertanya sedikit meninggikan suara, “Ada apa?” Lamunan Adeline buyar mendengar suara Abian. Wanita itu bergegas menyusul langkah Abian. “Apa yang sedang kamu pikirkan?" tanya Abian untuk kedua kalinya. “Hari ini kamu berbeda, seperti bukan Adeline yang aku kenal.” Adeline mengigit bibir bawahnya sebelum menjawab, “Aku hanya kecewa," jawabnya dengan pandangan lurus ke depan. Abian tidak begitu serius menanggapi ucapan Adeline, bahkan bertanya dengan enteng dan tidak ada rasa keingintahuan penyebab
Fahmi sedikit tenang. Dia kira Robert akan membahas dana darurat yang Fahmi ambil di perusahaan, ternyata mencemaskan putrinya.“Masalah keluarga kita, Pa. Kami hanya bertengkar masalah sepele dan kecil. Papa tidak perlu cemas,” balas Fahmi mencoba meyakinkan.Raut wajah Robert tidak yakin dengan jawaban Fahmi.Keringat dingin mulai mengucur deras dari dahi dan pelipis Fahmi.“Jangan sampai Papa tahu dan curiga! Kalau tahu. Tamatlah riwayatku!” batin Fahmi berharap Misella tidak mengadu kepada Papanya.“Kamu membuat kesalahan pada putriku?” tebak Robert memincingkan matanya. “Dia menjadi murung. Pasti kamu penyebabnya! Mengaku saja.”“Misella akan baik-baik saja setelah ini, Pa. Aku akan membujuknya agar masalah terselesaikan dengan cepat.”Fahmi tidak ingin Robert ikut campur da
Pukul 19.00. Abian hari ini tidak lembur. Lelaki itu sangat bersemangat untuk segera pulang, tidak sabar bertemu istri tercintanya. Entah mengapa semenjak Alia datang ke tempat kerjanya, Abian menjadi sangat merindukan Alia. Terpikirkan olehnya memberi hadiah untuk Alia. Seingat Abian, dirinya jarang sekali memberi kejutan. “Ini waktu yang tepat memberi hadiah untuk Alia,” gumamnya saat menuruni lift menuju parkir mobil. Sebelum pulang ke apartemen. Abian mengunjungi suatu tempat. Tangannya hendak membuka pintu mobil, namun ditarik oleh seseorang secara tiba-tiba. “Kamu menghindariku?” terka seorang wanita dengan nada agak tinggi dan kesal. Abian hampir ingin memaki orang itu karena perbuatan tidak sopan. Tetapi, Abian paham pemilik suara itu, tidak lain adalah Adeline. Abian pun menahan kesabaran. Merusak mood saja!