Di kantor.Masalah di rumah membuat Fahmi gelisah dan tidak tenang sama sekali. Sudah ke lima kali dia mengetuk meja menggunakan jari telunjuknya dengan gusar, ditambah mengigit bibir bawahnya.Fahmi tidak ingin Misella mencurigainya, kalau sampai ketahuan—tamatlah riwayatnya. Apalagi Robert berpesan padanya agar tidak menyakiti Misella.Ting!Layar ponsel menyala. Ada chat masuk. Fahmi berniat untuk melirik sekilas, namun mata terbuka lebar setelah mengetahui pesan itu dari sang istri.Dengan tangan gemetaran, membuka pesan itu.'Aku sudah mengecek di kamar mandi, tidak ada cincin di sini!' tulis Misella diakhiri dengan tanda seru.“Sh*t!” Satu kata kasar terucap begitu saja dari bibir Fahmi setelah membaca pesan itu. Tidak habis pikir, sifat Misella sekarang tidak sabaran.'Okay. Nanti Aku akan membuktikan cincin itu masih ada di tanganku,' balas Fahmi.Lelaki itu segera memakai jas hitam yang tadi letakan di pada tempatnya. Fahmi sudah memikirkan hal ini, memutuskan untuk pergi dar
“BRENGS*K KAU! BERANI SEKALI DATANG KE SINI SETELAH MENYENTUH ISTRIKU, HAH?!” teriak Abian dengan murka dan kedua tangan mengepal.DUAG!TIdak terduga, Abian melayangkan satu pukulan sangat keras menghantam pipi Fahmi. Gerakannya begitu cepat, hingga Fahmi pun tidak sempat menghindar.Siapa sangka, kedatangan Fahmi untuk mengambil cincin yang tertinggal malah mendapat bogeman.“ABIAN!" Alia menjerit histeris, shock dengan tindakan yang dilakukan suaminya—tiba-tiba menghajar Fahmi seperti itu. Alia tahu, Abian tidak pernah bermain fisik, lelaki itu tergolong lembut ketika marah. Tapi kali ini?Abian menghiraukan Alia.Lalu, masih dengan emosi yang meledak-ledak. Abian melempar cincin itu ke lantai yang sedari tadi cincin digenggam di tangan lain.KLINTING!Cincin itu jatuh dan menggelinding cepa
“ASTAGA? ADA APA DENGAN WAJAHMU?!”Fiana heboh dengan kedatangan Fahmi—melihat wajah penuh luka, sudut bibir berdarah.Fahmi menghiraukan pertanyaan Fiana, lelaki itu masuk ke dalam rumah Fiana tanpa permisi dan duduk di ruang tamu. Fahmi merasa tidak tahu tujuan untuk pergi, jadi memutuskan untuk bertemu dengan wanita yang pernah dia tiduri. Wanita matre yang menginginkan dibelikan tas mahal.Lagipula tidak mungkin Fahmi kembali ke kantor, pasti akan ada karyawa melaporkan ke Robert tentang kondisi wajahnya yang babak belur.Fiana duduk bersebelahan dengan Fahmi, dengan centil bercampur kekhawatiran menyentuh dada bidang Fahmi dengan tangannya. Sementara Fahmi hanya diam, menatap lurus ke depan dengan rahangnya mengeras.Bibir Fiana melengkung ke bawah saat tidak ada respon dari Fahmi.“Aku ambil es batu dulu, ya. Untuk mengompres luk
“Mantan istrimu seperti apa?” Fiana bertanya sembari menggoda Fahmi, sengaja menempelkan kepala di dada bidangnya. Wanita itu terlihat begitu murahan dan matre—sudah pasti menginginkan tas branded dari suami orang. Tidak ada tanda-tanda Fahmi menjawab, alhasil Fiana bertanya lagi, “Apa dia pandai di ranjang?” Fahmi tidak risih dengan kelakuan Fiana. Justru membiarkan Fiana berbuat semaunya. Ingatan Fahmi melayang beberapa tahun yang lalu, saat masih menjadi suami Alia. Ya ... Alia wanita yang sangat liar di ranjang, itu yang membuat Fahmi suka, dan masih belum melupakan ingatan itu. Fiana tersenyum miring. “Pasti dia sangat pandai, ya. Sehingga kamu tidak bisa move on darinya,” tutur Fiana lagi karena Fahmi belum menjawab. “Dia cukup cantik,” balas Fahmi tanpa berekspresi lalu berdiri. Fiana kaget ketika Fahmi tiba-tiba berd
Pukul delapan malam.Fahmi pulang ke apartemen. Antara senang dan was-was saat menginjak kaki di unit 002 yang mewah itu. Senang karena sudah mendapatkan cincin kawin itu, was-was karena sudah bisa ditebak dirinya akan mendapatkan pertanyaan tentang luka di wajahnya.Fahmi harus menjawab apa?Ah, tidak mungkin menjawab, luka itu disebabkan karena pukulan dari Abian. Fahmi juga tidak ingin membuat Misella berpikir terlalu jauh dan tidak-tidak.Untung semua luka itu terobati dengan baik oleh Fiana. Sekarang bagi Fahmi, semua luka-luka itu tidak jadi masalah, asalkan cincin kawin dia dapatkan kembali.Di lantai bawah sepi. Kemana kedua orang tua Misella? Apa sudah pulang ke rumah? Dan tidak mendengar suara putrinya.Mendadak hawa dingin meraba-raba kulit Fahmi. Entah suhu dingin karena dinginnya AC atau memang atmosfer rumah itu dingin sejak melangkah kaki semak
“Aku tidak berselingkuh dengannya. Aku hanya menjadikan wanita itu sebagai pelampiasan nafsuku. Aku tidak berniat menduakanmu. Percayalah.”“Bagaimana mungkin aku bisa mempercayaimu lagi?!”Fahmi ingin membela diri, namun lidahnya kelu tidak bisa mengatakan apapun. Dia hanya bisa menelan ludah susah payah saat melihat raut kekecewaan wajah dari istrinya—tidak bisa dibohongi—Misella benar-benar kecewa padanya.“Sadarlah! Aku wanita kedua yang harus menderita karena kamu!”“Aku minta maaf untuk itu ....”Misella menggeleng kepala cepat. “Tidak. Aku tidak akan pernah memaafkanmu! Sekarang. Keluarlah dari kamar ini,” ujar Misella menahan kekecewaan. “Sejauh mana kamu akan menyakitiku, hm?” sindirnya.Fahmi diam mematung. Tidak bisa menjawab. Hal itu membuat Misella geram.“KELUAR!” usir Misella lagi dengan suara lantang, jari telunjuk menunjuk ke pintu.Fahmi menggeleng, bertanda tidak akan menuruti perintah Misella. “T-tidak, sayang. Aku tidak akan keluar dari kamar ini,” ucapnya dengan
Saat Alia hendak tidur, mendengar notifikasi dari ponselnya. Wanita itu segera meraih ponsel yang ada di nakas.'Dia berselingkuh.'Kening Alia berkerut bingung membaca pesan itu. Pesan dari nomor tidak dikenal. “Apa maksudnya?” gumamnya tak mengerti.“Ada apa sayang?” Abian bertanya sambil memeluk tubuh Alia dari samping dengan manja. Bahkan mencium aroma coklat rambut Alia yang tergerai indah. Abian suka aroma itu.“Tidak tahu. Aku mendapatkan pesan dari orang asing,“ jawab Alia.“Apa isinya?” Abian menjadi penasaran.Lantas Alia membalikan badan, tiduran menghadap wajah Abian—memberikan ponselnya agar Abian membaca. “Aku benar-benar tidak paham apa maksudnya.”Abian membaca pesan itu secepat kilat. Lelaki itu lebih bingung daripada Alia, bertanya-tanya—menyerahkan ponsel milik Alia. “Dari siapa ini?”Bibir Alia menutup rapat-rapat. Tentu saja Alia tidak tahu.Hening beberapa menit.“Kamu tidak berselingkuh, kan?”Tiba-tiba pertanyaan itu terucap dari bibir Alia. Sekejap saja membua
Fahmi ingin ke ruang makan, tetapi diurungkan setelah menyadari Misella sedang duduk melamun di sana. Lelaki itu merasa Misella masih marah padanya.Saat Fahmi membalikkan badan, terdengar suara Misella—membuatnya menghentikan langkah mendadak.“Terima kasih telah berkata jujur padaku.”Muka Fahmi pucat pasi. Dia berjalan ke arah Misella, duduk di sebelahnya—tanpa berani menatap wajah Misella saat itu juga—hanya menunduk memainkan jemarinya.Tanpa Fahmi lihat, mata Misella sembap akibat menangis semalam. Misella juga baru sadar paginya mengecek ponsel, mengirimkan pesan pada Alia—karena Misella membutuhkan seseorang saat itu untuk mendengar keluh kesahnya. Dia tidak mempunyai teman atau sahabat.“Kamu memaafkanku, kan?” tanya Fahmi dengan suara kecil. Harapan besar dari lubuk hatinya, Misella tidak memperpanjang apa yang telah terjadi dan memaafkan dirinya.Tarikan napas panjang sebelum Misella menjawab, “Aku tidak bisa memaafkanmu.” Misella berderai air mata, dia menangis sesenggukan