“Mantan istrimu seperti apa?”
Fiana bertanya sembari menggoda Fahmi, sengaja menempelkan kepala di dada bidangnya. Wanita itu terlihat begitu murahan dan matre—sudah pasti menginginkan tas branded dari suami orang.
Tidak ada tanda-tanda Fahmi menjawab, alhasil Fiana bertanya lagi, “Apa dia pandai di ranjang?”
Fahmi tidak risih dengan kelakuan Fiana. Justru membiarkan Fiana berbuat semaunya.
Ingatan Fahmi melayang beberapa tahun yang lalu, saat masih menjadi suami Alia. Ya ... Alia wanita yang sangat liar di ranjang, itu yang membuat Fahmi suka, dan masih belum melupakan ingatan itu.
Fiana tersenyum miring. “Pasti dia sangat pandai, ya. Sehingga kamu tidak bisa move on darinya,” tutur Fiana lagi karena Fahmi belum menjawab.
“Dia cukup cantik,” balas Fahmi tanpa berekspresi lalu berdiri.
Fiana kaget ketika Fahmi tiba-tiba berd
Pukul delapan malam.Fahmi pulang ke apartemen. Antara senang dan was-was saat menginjak kaki di unit 002 yang mewah itu. Senang karena sudah mendapatkan cincin kawin itu, was-was karena sudah bisa ditebak dirinya akan mendapatkan pertanyaan tentang luka di wajahnya.Fahmi harus menjawab apa?Ah, tidak mungkin menjawab, luka itu disebabkan karena pukulan dari Abian. Fahmi juga tidak ingin membuat Misella berpikir terlalu jauh dan tidak-tidak.Untung semua luka itu terobati dengan baik oleh Fiana. Sekarang bagi Fahmi, semua luka-luka itu tidak jadi masalah, asalkan cincin kawin dia dapatkan kembali.Di lantai bawah sepi. Kemana kedua orang tua Misella? Apa sudah pulang ke rumah? Dan tidak mendengar suara putrinya.Mendadak hawa dingin meraba-raba kulit Fahmi. Entah suhu dingin karena dinginnya AC atau memang atmosfer rumah itu dingin sejak melangkah kaki semak
“Aku tidak berselingkuh dengannya. Aku hanya menjadikan wanita itu sebagai pelampiasan nafsuku. Aku tidak berniat menduakanmu. Percayalah.”“Bagaimana mungkin aku bisa mempercayaimu lagi?!”Fahmi ingin membela diri, namun lidahnya kelu tidak bisa mengatakan apapun. Dia hanya bisa menelan ludah susah payah saat melihat raut kekecewaan wajah dari istrinya—tidak bisa dibohongi—Misella benar-benar kecewa padanya.“Sadarlah! Aku wanita kedua yang harus menderita karena kamu!”“Aku minta maaf untuk itu ....”Misella menggeleng kepala cepat. “Tidak. Aku tidak akan pernah memaafkanmu! Sekarang. Keluarlah dari kamar ini,” ujar Misella menahan kekecewaan. “Sejauh mana kamu akan menyakitiku, hm?” sindirnya.Fahmi diam mematung. Tidak bisa menjawab. Hal itu membuat Misella geram.“KELUAR!” usir Misella lagi dengan suara lantang, jari telunjuk menunjuk ke pintu.Fahmi menggeleng, bertanda tidak akan menuruti perintah Misella. “T-tidak, sayang. Aku tidak akan keluar dari kamar ini,” ucapnya dengan
Saat Alia hendak tidur, mendengar notifikasi dari ponselnya. Wanita itu segera meraih ponsel yang ada di nakas.'Dia berselingkuh.'Kening Alia berkerut bingung membaca pesan itu. Pesan dari nomor tidak dikenal. “Apa maksudnya?” gumamnya tak mengerti.“Ada apa sayang?” Abian bertanya sambil memeluk tubuh Alia dari samping dengan manja. Bahkan mencium aroma coklat rambut Alia yang tergerai indah. Abian suka aroma itu.“Tidak tahu. Aku mendapatkan pesan dari orang asing,“ jawab Alia.“Apa isinya?” Abian menjadi penasaran.Lantas Alia membalikan badan, tiduran menghadap wajah Abian—memberikan ponselnya agar Abian membaca. “Aku benar-benar tidak paham apa maksudnya.”Abian membaca pesan itu secepat kilat. Lelaki itu lebih bingung daripada Alia, bertanya-tanya—menyerahkan ponsel milik Alia. “Dari siapa ini?”Bibir Alia menutup rapat-rapat. Tentu saja Alia tidak tahu.Hening beberapa menit.“Kamu tidak berselingkuh, kan?”Tiba-tiba pertanyaan itu terucap dari bibir Alia. Sekejap saja membua
Fahmi ingin ke ruang makan, tetapi diurungkan setelah menyadari Misella sedang duduk melamun di sana. Lelaki itu merasa Misella masih marah padanya.Saat Fahmi membalikkan badan, terdengar suara Misella—membuatnya menghentikan langkah mendadak.“Terima kasih telah berkata jujur padaku.”Muka Fahmi pucat pasi. Dia berjalan ke arah Misella, duduk di sebelahnya—tanpa berani menatap wajah Misella saat itu juga—hanya menunduk memainkan jemarinya.Tanpa Fahmi lihat, mata Misella sembap akibat menangis semalam. Misella juga baru sadar paginya mengecek ponsel, mengirimkan pesan pada Alia—karena Misella membutuhkan seseorang saat itu untuk mendengar keluh kesahnya. Dia tidak mempunyai teman atau sahabat.“Kamu memaafkanku, kan?” tanya Fahmi dengan suara kecil. Harapan besar dari lubuk hatinya, Misella tidak memperpanjang apa yang telah terjadi dan memaafkan dirinya.Tarikan napas panjang sebelum Misella menjawab, “Aku tidak bisa memaafkanmu.” Misella berderai air mata, dia menangis sesenggukan
“Kamu mencari Fiana?”Fahmi menoleh mendengar suara tiba-tiba ingin berbicara padanya. Di sana salah satu waiter berdiri dengan kemeja putih dan rok span hitam ketat, sejak dari menguping percakapan Fahmi dengan Liana.Fahmi mengangguk.“Sepertinya kamu pernah ke sini sebelumnya bersama istri yang cantik itu, kan?” Waiter itu masih mengingat wajah Fahmi.“Benar.”“Lalu untuk apa mencari Fiana?”“Aku mencarinya karena dia telah membuat masalah besar,” jelas Fahmi setelah waiter itu berdiri tepat di depannya. Berharap waiter itu memberi informasi mengenai Fiana. “Kamu tahu dia di mana sekarang?”“Tidak tahu di mana Fiana. Aku dengar dia sudah mengundurkan diri semalam,” balas waiter itu lantas pergi begitu saja tanpa peduli dengan ekspresi Fahmi yang tegang.
“Kenapa kamu mengajak bertemu di sini?”Alia membuka pembicaraan lebih dulu, sebab Misella tidak kunjung mengatakan sepatah katapun. Tidak mungkin terus-terusan saling diam.Misella mengangkat wajahnya. Memberanikan beradu pandang dengan Alia. Dia sempat menelan ludah saking kikuknya.“Ada yang ingin aku katakan padamu,” balas Misella.“Apa yang ingin kamu katakan?”Nada suara Alia terdengar dingin. Ekspresi wajah juga sama sekali tidak tersenyum, datar saja. Hal itu membuat Misella tidak nyaman dan bingung menjawab apa. Misella kembali menunduk memainkan sedotan minuman orange juice. Meskipun kesannya tidak sopan berbicara tanpa menatap mata lawan bicara, tapi itu jauh lebih baik dan berhasil membuat Misella berani berkata.“Kita satu apartemen. Suka atau tidak. Kita akan terus bertemu bukan?”&nbs
Alia mendesah kasar. Abian tidak bisa dihubungi. Dia kembali menyimpan ponsel di dalam handbag, melirik ke bingkisan berisi makanan yang sudah Alia beli di restoran untuk Abian.Alia berencana pergi ke ruang kerja Abian. Dia meninggalkan taman rumah sakit itu, menaiki lift.“Alia!”Alia dipanggil saat baru saja keluar dari lift. Mata Alia menyipit mencari sumber suara dari sekian banyak orang berjalan ke sana kemari, kemudian Alia melihat wanita berdiri agak jauh sedang melambaikan tangannya.“Ayora?” gumam Alia lantas berlari ke arah Ayora dengan senyuman lebar.Ya. Ternyata benar. Dia Ayora sahabat Alia.“Hei! Sudah lama tidak bertemu. Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Ayora setibanya Alia di hadapannya. Dia senang sekaligus dibuat penasaran dengan kedatangan Alia di rumah sakit.Alia memamerkan b
"Tunggu, jadi kamu sudah menikah?”Abian mengangguk cepat.Adeline terkejut. Demi apapun. Adeline tidak tahu soal itu. Dia pikir Dokter Abian belum menikah, dia kira wanita itu adalah pacar atau tunangan Abian, ternyata istrinya. Tidak disangka-sangka.Adeline tersenyum canggung, maju selangkah, sejajar dengan Abian. Berniat memperkenalkan diri, “Jadi wanita itu istrinya Dokter Abian,” batin Adeline. “Cantik juga istrinya,” lanjutnya dalam hati memuji kecantikan Alia.Adeline baru sadar, mengapa tadi malah memuji kecantikan Alia?Alia mengulurkan tangan, memperkenalkan diri lebih dulu tanpa seulas senyuman. “Thalia. Istri dari Dokter Abian,” ujarnya dingin dan menekan semua kalimat.Entah mengapa, Alia ingin memamerkan dirinya dengan bangga telah menjadi istri Dokter Abian yang tampan itu.Kalau saja sore itu A