“Kamu sendiri datang ke sini?” tanyanya sambil menuangkan alkohol ke dalam unstem glass bentuk high ball glass yang digunakan untuk menyajikan minuman Vodka. “Diva vodka, minuman ini bisa memanjakan selera tinggi bagi pecinta vodka. Rasanya sangat smooth karena telah disaring menggunakan batu permata setelah diolah secara tradisional,” jelasnya panjang lebar.
Alia hanya diam dan semakin mendengarkan apa yang dikatakannya. Tidak menulikan telinga lagi.“Kamu tahu botol kaca itu berhiaskan apa?”Lelaki itu tanpa henti mencoba mengajak Alia berbincang dengannya—membahas Diva Vodka.Ini baru pertama kali Alia mendengar jenis minuman itu. Sedikit menarik. Matanya tertuju pada satu botol di depan lelaki itu. Botol berwarna putih dan dihiasi oleh kristal sehingga terlihat begitu mewah. Alia mengangkat satu bahunya bertanda tidak tahu dengan pertanyaannya barusan.Lelaki itu tersenyum kecil. Akhirnya dirinya telah direspon dan tidak diacuhkan. “BLiat siapa yang datang?"Abian?!" Alia panik setengah mati. Langsung mundur selangkah menjaga jarak dengan Juan.Ya. Benar. Lelaki itu Abian. Astaga. Bagaimana bisa Abian tahu kalau Alia sedang minum? Siapa yang memberi tahunya? Tidak mungkin orang lain menginformasikan pada Abian bahwa Alia sedang berada di salah satu club malam di Bali, berbincang dengan lelaki lain."Apa yang kamu lakukan di sini?" Sorot mata dingin diberikan pada Alia. Tentu. Abian merasa dibohongi."A-a-aku—" Alia terbata-bata. Matanya bergerak tidak tenang. Dia takut Abian marah padanya."Kau mengelabuiku?""Tidak! Aku ke sini untuk menghilangkan stres," jawab Alia sejujur-jujurnya. Memang itu tujuannya, daripada berada di Villa. Telinga Alia panas mendengar suara Caroline yang tidak suka padanya. "Aku tidak bermaksud berbohong." Meyakinkan sekali lagi.Ekspresi Abian datar. Tidak terlihat marah. Itu semakin membuat Alia takut. Orang yang marah den
"Anda tidak bergabung dengan mereka berdua?" tanya bartender itu membuyarkan lamunan Alia. Baru saja mengantarkan sebotol minuman ke meja Abian. "Sepertinya Anda kenal dekat dengan Tuan Abian," imbuhnya.Alia gelagapan. Berusaha tampil elegant. Berdehem sebelum menjawab, "Saya istrinya."Sontak bartender itu terkejut. "Wow .... Saya sungguh kaget mendengar kenyataan itu karena saya baru mengetahui Tuan Abian sudah beristri. Rupanya Tuan Abian telah menikah dengan wanita cantik bak bidadari." Lelaki itu memuji Alia. "Maaf telah lancang bertanya, Nyonya."Alia mengibaskan tangannya. "Tak apa. Santai saja. By the way, kamu sudah mengenali suamiku?"Bartender menggeleng. "Belum, Nyonya. Ini untuk pertama kali saya bertemu dengan Tuan Abian. Saya sangat terkejut tiba-tiba Tuan Abian datang ke club tanpa memberi tahu manager kami lebih dulu."Saat Alia berbincang dengan bartender. Tanpa disadarinya Juan menunjuk Alia dengan kening berkerut."Siapa dia? Kekasihmu kah?" tanya Juan. Penasaran
Juan geleng-geleng. "Kamu memang lelaki berbeda, Abian. Ayo, kita bersulang." Juan mengambil Vodka yang sangat mahal itu dan mengangkat ke udara.Abian dengan datar melihat Diva Vodka milik Juan. "Norak sekali," komentar Abian.Juan langsung menurunkan tangannya. "Bedebah! Ini sangat mahal.""Ya. Aku tahu."***Alia mengejar langkah Abian yang berjalan dengan cepat. Sejak keluar dari club malam itu, Abian sama sekali tidak menanggapi Alia. Saat di dalam mobil tadi, Abian diam saja."Sayang, kamu marah padaku?" Menaiki tangga, masuk ke dalam kamar. "Aku tidak ada niat untuk membohongimu. Sumpah!"Alia duduk di sofa yang ada di dalam kamar itu. Memperhatikan Abian yang sedang elepaskan pakaian. Kini Abian telanjang dada sehingga perut sex pack terlihat di depan mata Alia. Mata Alia berkedip dan menelan ludah berusaha tidak tergoda."Kamu pikir suamimu ini mudah dibohongi hm?" Abian memakai baju tidur.
Sementara itu, Amber sibuk menyuapkan makanan ke Xylia. Ibu muda itu berkali-kali menggerutu karena kesal Xylia susah sekali untuk makan. "Xylia, makanan harus dihabiskan. Jangan sampai ada sisa!" tegasnya, berharap Xylia langsung nurut.Xylia menggeleng. "Tidak mau!"Huh. Susahnya membujuk anak kecil. Amber melihat mangkok kecil makanan Xylia yang masih utuh."Tiga suap, okay?" bujuk Amber, menyuruh Xylia membuka mulutnya, tapi bibir Xylia langsung menutup rapat-rapat.Alia yang sudah selesai sarapan melihat Xylia ngambek tidak mau makan, membuatnya ada ide agar cepat pergi dari uang makan itu. "Sini, Kak. Biar saya yang membujuk Xylia makan," tawarnya.Amber tanpa berpikir panjang langsung memberikan mangkuk berisi makanan Xylia dan menyerahkan Xylia pada Alia. Amber ingin sarapan dengan tenang tanpa gangguan.Alia berdiri di samping Xylia lalu berkata lirih dan suara terdengar lembut. "Xylia ...."Xylia menoleh pada A
"Bagaimana dengan Alia?"Caroline membuang muka. Bibirnya menutup rapat. Sikap itu menunjukkan tidak menginginkan Alia ikut bersamanya ke Amerika."Bagaimana pun, Aku tidak bisa meninggalkan Alia!" tegas Abian lalu melanjutkan perkataannya, "Aku dan Alia nyaman tinggal di apartemen. Bisakah Ibu menyukai Alia? Memperlakukan dia seperti putri kandung Ibu sendiri? Aku mohon, jangan sakiti hatinya.""Aku lihat Alia wanita baik-baik," sahut Amber yang sejak tadi hanya menyimak tak berkomentar apa-apa. "Kenapa Mom tidak mencoba menyukai Alia? Dia sudah menjadi bagian keluarga kita karena menjadi istri pilihan Abian.""Tidak," balasnya singkat.Amber terkejut dengan respon Caroline. "Why?"Caroline tak menjelaskan.Mario mengetuk meja menggunakan jari telunjuk. Semua mata tertuju pada arahnya. Menarik napas dalam-dalam, ekspresi wajah serius. "Abian ..." panggilnya. "Ayah sudah memikirkan. Ayah sangat menghargai keputusanmu. Ja
Waduh. Jantung Alia mulai berdebar. Mario sudah memberi restu. Bagaimana dengan Caroline? Apa akan menyuruh Alia agar berpisah dengan Abian? Tidak. Jangan sampai!"Ada apa?" tanya Alia panik."Masuk saja."Alia pun masuk ke dalam Villa tersebut dan menghampiri Caroline yang sedang duduk manis di ruang makan. Alia berdiri, diam tak bergerak dari jarak agak jauh. Alia berpikir positif dan tetap mencoba bersabar menghadapi Caroline."Alia," panggil Caroline."Ada apa, Bu?" tanya Alia sesopan mungkin. Duduk tepat di depan Caroline. Dia menampilkan senyuman tipisnya. Ya walaupun Caroline tidak memandang lawan bicara. Alia harus ramah padanya. Tidak mungkin bersikap kurang ajar pada mertuanya itu."Cuci semua piring kotor itu!" Caroline menunjuk semua piring kotor bekas sarapan tadi.Alia ternganga lebar. Dia tampak syok berat. Dipanggil hanya untuk mencuci piring. Hah, apa? Mencuci piring? Yang benar saja!"K-kenapa
Jakarta. Pukul 19.00.Di tengah pancaran cahaya lampu jalanan, seorang lelaki berpakaian lusuh dan kumal berjalan kaki di sepanjang tepi jalan, menggendong ransel hitam. Dari ujung kepala dan kaki tidak terawat dengan baik.Entah sudah Minggu ke berapa jalan kaki—lelaki itu rasanya hampir menyerah mencari pekerjaan tapi tidak ada yang menerimanya.Tiba-tiba perut melilit sakit dan bunyi cacing kelaparan. Ah, baru ingat sejak pagi belum mengisi perut. Pantas saja bagian perut nyeri tak tertahan. Untuk membeli makanan susah. Uang dan cek pemberian Alia sudah habis begitu cepat.Fahmi sempat ke apartemen Alia lagi untuk meminta uang. Fahmi merasa Alia menjadi salah satu orang yang Fahmi andalkan dan diharapkan. Tanpa tahu malu mendatangi Alia, tetapi harapan musnah saat mendengar kabar Alia dan Abian sedang pergi entah kemana.Lelaki itu pun beristirahat di depan toko sambil menatap jalanan. Sepasang mata tak sengaja menangkap mobil tak asin
Alis Fahmi terangkat satu. "Hei, kamu tidak punya sopan santun ya! Tamu adalah raja. Tugasmu hanya melayani!”“Kamu mencurigakan! Seperti ingin maling saja,” ceplos waiter itu tanpa dosa.“Kurang ajar kamu!” kesal Fahmi. Dia membatin, "Seharusnya aku tidak menunjukkan gelagat mencurigakan di sini. Duh, sial! Eh tunggu, waiter itu tidak asing bagiku.”Salah satu waiter datang. Melerai keduanya. “Maaf atas pelayan tadi yang kurang sopan. Dia masih baru di sini. Harap bisa dimaklumi.” Dia menunduk sopan pada Fahmi dan terus mengucapkan kata maaf.“Begitu dong. Dia jadi waiter galak sekali. Memangnya dia pemilik restoran ini!” decak Fahmi kesal.“Saya meminta maaf sekali lagi atas perbuatannya. Silahkan Anda memilih tempat duduk dan ini menunya.”Fahmi mengangguk, tersenyum miring pada waiter pertama yang mengusirnya. “Lain kali jangan memandang tamu dari penampilan! Apalagi mengusir. Itu tidak sopan! Aku bisa melaporkan ke atasanmu,