Juan geleng-geleng. "Kamu memang lelaki berbeda, Abian. Ayo, kita bersulang." Juan mengambil Vodka yang sangat mahal itu dan mengangkat ke udara.
Abian dengan datar melihat Diva Vodka milik Juan. "Norak sekali," komentar Abian.Juan langsung menurunkan tangannya. "Bedebah! Ini sangat mahal.""Ya. Aku tahu."***Alia mengejar langkah Abian yang berjalan dengan cepat. Sejak keluar dari club malam itu, Abian sama sekali tidak menanggapi Alia. Saat di dalam mobil tadi, Abian diam saja."Sayang, kamu marah padaku?" Menaiki tangga, masuk ke dalam kamar. "Aku tidak ada niat untuk membohongimu. Sumpah!"Alia duduk di sofa yang ada di dalam kamar itu. Memperhatikan Abian yang sedang elepaskan pakaian. Kini Abian telanjang dada sehingga perut sex pack terlihat di depan mata Alia. Mata Alia berkedip dan menelan ludah berusaha tidak tergoda."Kamu pikir suamimu ini mudah dibohongi hm?" Abian memakai baju tidur.Sementara itu, Amber sibuk menyuapkan makanan ke Xylia. Ibu muda itu berkali-kali menggerutu karena kesal Xylia susah sekali untuk makan. "Xylia, makanan harus dihabiskan. Jangan sampai ada sisa!" tegasnya, berharap Xylia langsung nurut.Xylia menggeleng. "Tidak mau!"Huh. Susahnya membujuk anak kecil. Amber melihat mangkok kecil makanan Xylia yang masih utuh."Tiga suap, okay?" bujuk Amber, menyuruh Xylia membuka mulutnya, tapi bibir Xylia langsung menutup rapat-rapat.Alia yang sudah selesai sarapan melihat Xylia ngambek tidak mau makan, membuatnya ada ide agar cepat pergi dari uang makan itu. "Sini, Kak. Biar saya yang membujuk Xylia makan," tawarnya.Amber tanpa berpikir panjang langsung memberikan mangkuk berisi makanan Xylia dan menyerahkan Xylia pada Alia. Amber ingin sarapan dengan tenang tanpa gangguan.Alia berdiri di samping Xylia lalu berkata lirih dan suara terdengar lembut. "Xylia ...."Xylia menoleh pada A
"Bagaimana dengan Alia?"Caroline membuang muka. Bibirnya menutup rapat. Sikap itu menunjukkan tidak menginginkan Alia ikut bersamanya ke Amerika."Bagaimana pun, Aku tidak bisa meninggalkan Alia!" tegas Abian lalu melanjutkan perkataannya, "Aku dan Alia nyaman tinggal di apartemen. Bisakah Ibu menyukai Alia? Memperlakukan dia seperti putri kandung Ibu sendiri? Aku mohon, jangan sakiti hatinya.""Aku lihat Alia wanita baik-baik," sahut Amber yang sejak tadi hanya menyimak tak berkomentar apa-apa. "Kenapa Mom tidak mencoba menyukai Alia? Dia sudah menjadi bagian keluarga kita karena menjadi istri pilihan Abian.""Tidak," balasnya singkat.Amber terkejut dengan respon Caroline. "Why?"Caroline tak menjelaskan.Mario mengetuk meja menggunakan jari telunjuk. Semua mata tertuju pada arahnya. Menarik napas dalam-dalam, ekspresi wajah serius. "Abian ..." panggilnya. "Ayah sudah memikirkan. Ayah sangat menghargai keputusanmu. Ja
Waduh. Jantung Alia mulai berdebar. Mario sudah memberi restu. Bagaimana dengan Caroline? Apa akan menyuruh Alia agar berpisah dengan Abian? Tidak. Jangan sampai!"Ada apa?" tanya Alia panik."Masuk saja."Alia pun masuk ke dalam Villa tersebut dan menghampiri Caroline yang sedang duduk manis di ruang makan. Alia berdiri, diam tak bergerak dari jarak agak jauh. Alia berpikir positif dan tetap mencoba bersabar menghadapi Caroline."Alia," panggil Caroline."Ada apa, Bu?" tanya Alia sesopan mungkin. Duduk tepat di depan Caroline. Dia menampilkan senyuman tipisnya. Ya walaupun Caroline tidak memandang lawan bicara. Alia harus ramah padanya. Tidak mungkin bersikap kurang ajar pada mertuanya itu."Cuci semua piring kotor itu!" Caroline menunjuk semua piring kotor bekas sarapan tadi.Alia ternganga lebar. Dia tampak syok berat. Dipanggil hanya untuk mencuci piring. Hah, apa? Mencuci piring? Yang benar saja!"K-kenapa
Jakarta. Pukul 19.00.Di tengah pancaran cahaya lampu jalanan, seorang lelaki berpakaian lusuh dan kumal berjalan kaki di sepanjang tepi jalan, menggendong ransel hitam. Dari ujung kepala dan kaki tidak terawat dengan baik.Entah sudah Minggu ke berapa jalan kaki—lelaki itu rasanya hampir menyerah mencari pekerjaan tapi tidak ada yang menerimanya.Tiba-tiba perut melilit sakit dan bunyi cacing kelaparan. Ah, baru ingat sejak pagi belum mengisi perut. Pantas saja bagian perut nyeri tak tertahan. Untuk membeli makanan susah. Uang dan cek pemberian Alia sudah habis begitu cepat.Fahmi sempat ke apartemen Alia lagi untuk meminta uang. Fahmi merasa Alia menjadi salah satu orang yang Fahmi andalkan dan diharapkan. Tanpa tahu malu mendatangi Alia, tetapi harapan musnah saat mendengar kabar Alia dan Abian sedang pergi entah kemana.Lelaki itu pun beristirahat di depan toko sambil menatap jalanan. Sepasang mata tak sengaja menangkap mobil tak asin
Alis Fahmi terangkat satu. "Hei, kamu tidak punya sopan santun ya! Tamu adalah raja. Tugasmu hanya melayani!”“Kamu mencurigakan! Seperti ingin maling saja,” ceplos waiter itu tanpa dosa.“Kurang ajar kamu!” kesal Fahmi. Dia membatin, "Seharusnya aku tidak menunjukkan gelagat mencurigakan di sini. Duh, sial! Eh tunggu, waiter itu tidak asing bagiku.”Salah satu waiter datang. Melerai keduanya. “Maaf atas pelayan tadi yang kurang sopan. Dia masih baru di sini. Harap bisa dimaklumi.” Dia menunduk sopan pada Fahmi dan terus mengucapkan kata maaf.“Begitu dong. Dia jadi waiter galak sekali. Memangnya dia pemilik restoran ini!” decak Fahmi kesal.“Saya meminta maaf sekali lagi atas perbuatannya. Silahkan Anda memilih tempat duduk dan ini menunya.”Fahmi mengangguk, tersenyum miring pada waiter pertama yang mengusirnya. “Lain kali jangan memandang tamu dari penampilan! Apalagi mengusir. Itu tidak sopan! Aku bisa melaporkan ke atasanmu,
"Aku tidak mungkin salah liat, kan!" Misella yakin, dia tadi melihat sekilas lelaki yang mirip dengan Fahmi di restoran itu. "Sialan! Kenapa aku malah mencarinya!" umpatnya bergumam.Misella menjauh dari meja lelaki kencan butanya hanya untuk memastikan penglihatan tidak salah liat. Misella akan menerima konsekuensinya dari Robert, karena mengacuhkan lelaki itu. Lagipula siapa yang mau dijodohkan, Robert sibuk memperkenalkan beberapa lelaki pada Misella, dan Misella belum sepenuhnya move on dari Fahmi.Misella duduk di salah satu kursi kosong dekat pintu masuk. Matanya terus mencari. Tidak bisa berbohong bahwa dirinya merindukannya. Sangat rindu. "Hei! Apa yang aku lakukan?" ucap Misella tersadar. Memukul kepalanya sendiri. "Bodoh!!!"Bodoh! Tak seharusnya mencari mantan suaminya itu. Untuk apa? Meminta rujuk? Tidak mungkin! Hanya orang bodoh yang kembali ke masa lalu, hidup bersama lelaki tak tahu diri itu!Grepppp.Seseorang m
Suasana hati Misella buruk setelah bertemu Fahmi. Dia kembali ke apartemen, berteriak memanggil sang Papa. Namun bukannya yang muncul Robert, melainkan Tiffany."Hust! Jangan berteriak. Kayla sedang tidur," peringat Tiffany sedang mendorong stroller baby, Kayla putri Misella. "Ada apa? Kamu tampak murung?"Misella berkacak pinggang dan menghela napas berat. "Papa mana!""Di kamar," jawab Tiffany."Ada apa, sayang?" Robert tiba-tiba muncul, menghampiri mereka. "Bagaimana? Apa kamu tertarik dengan lelaki kenalan Papa?" Robert bertanya the point. Tak sabar mendengar cerita Misella yang baru saja dinner dengan pria pilihannya di cafe."Aku mohon, Pa. Berhenti memperkenalkan lelaki padaku. Aku sungguh malu." "Untuk apa malu? Lelaki yang Papa kenalkan padamu bukanlah lelaki sembarangan, Sella. Papa yakin salah satu dari mereka mampu membuatmu bahagia." Robert sangat berharap Misella menikah untuk kedua kali dengan lelaki pilihannya. "
Seorang Kakak pasti khawatir dengan adiknya bukan?Hening. Tidak ada yang menjawab pertanyaan Bella. Bahkan Misella menunduk kepala. Misella merasa sangat malu pada Bella, dia tidak bisa berkata-kata untuk menjawab pertanyaan itu.Tiga menit berlalu. "Adik kamu telah bercerai." Robert yang menjawab. "HAH? A-A-APA CERAI?!"Terkejut bukan main. Bagaikan disambar petir. Bella melongo mendengar berita itu, tak menyangka adiknya belum lama pernikahan terjalin secapat itu bercerai. "Fahmi berselingkuh," lanjut Robert."Kurang ajar!" Tangan Bella mengepal kuat. "Berani sekali dia! Dasar lelaki tidak tahu diri. Kalau aku bertemu dengannya, akanku bunuh!" Emosi Bella menggebu-gebu. Wajahnya merah padam. "Sudah, Kak. Tenang, jangan marah begitu. Biarkan saja. Fahmi pasti mendapat karmanya," sela Misella menenangkan amarah Bella. "Aku tadi bertemu dengannya. Sepertinya dia menyesal. Sekarang hidupnya menderita."