Waduh. Jantung Alia mulai berdebar. Mario sudah memberi restu. Bagaimana dengan Caroline? Apa akan menyuruh Alia agar berpisah dengan Abian? Tidak. Jangan sampai!
"Ada apa?" tanya Alia panik."Masuk saja."Alia pun masuk ke dalam Villa tersebut dan menghampiri Caroline yang sedang duduk manis di ruang makan. Alia berdiri, diam tak bergerak dari jarak agak jauh. Alia berpikir positif dan tetap mencoba bersabar menghadapi Caroline."Alia," panggil Caroline."Ada apa, Bu?" tanya Alia sesopan mungkin. Duduk tepat di depan Caroline. Dia menampilkan senyuman tipisnya. Ya walaupun Caroline tidak memandang lawan bicara. Alia harus ramah padanya. Tidak mungkin bersikap kurang ajar pada mertuanya itu."Cuci semua piring kotor itu!" Caroline menunjuk semua piring kotor bekas sarapan tadi.Alia ternganga lebar. Dia tampak syok berat. Dipanggil hanya untuk mencuci piring. Hah, apa? Mencuci piring? Yang benar saja!"K-kenapaJakarta. Pukul 19.00.Di tengah pancaran cahaya lampu jalanan, seorang lelaki berpakaian lusuh dan kumal berjalan kaki di sepanjang tepi jalan, menggendong ransel hitam. Dari ujung kepala dan kaki tidak terawat dengan baik.Entah sudah Minggu ke berapa jalan kaki—lelaki itu rasanya hampir menyerah mencari pekerjaan tapi tidak ada yang menerimanya.Tiba-tiba perut melilit sakit dan bunyi cacing kelaparan. Ah, baru ingat sejak pagi belum mengisi perut. Pantas saja bagian perut nyeri tak tertahan. Untuk membeli makanan susah. Uang dan cek pemberian Alia sudah habis begitu cepat.Fahmi sempat ke apartemen Alia lagi untuk meminta uang. Fahmi merasa Alia menjadi salah satu orang yang Fahmi andalkan dan diharapkan. Tanpa tahu malu mendatangi Alia, tetapi harapan musnah saat mendengar kabar Alia dan Abian sedang pergi entah kemana.Lelaki itu pun beristirahat di depan toko sambil menatap jalanan. Sepasang mata tak sengaja menangkap mobil tak asin
Alis Fahmi terangkat satu. "Hei, kamu tidak punya sopan santun ya! Tamu adalah raja. Tugasmu hanya melayani!”“Kamu mencurigakan! Seperti ingin maling saja,” ceplos waiter itu tanpa dosa.“Kurang ajar kamu!” kesal Fahmi. Dia membatin, "Seharusnya aku tidak menunjukkan gelagat mencurigakan di sini. Duh, sial! Eh tunggu, waiter itu tidak asing bagiku.”Salah satu waiter datang. Melerai keduanya. “Maaf atas pelayan tadi yang kurang sopan. Dia masih baru di sini. Harap bisa dimaklumi.” Dia menunduk sopan pada Fahmi dan terus mengucapkan kata maaf.“Begitu dong. Dia jadi waiter galak sekali. Memangnya dia pemilik restoran ini!” decak Fahmi kesal.“Saya meminta maaf sekali lagi atas perbuatannya. Silahkan Anda memilih tempat duduk dan ini menunya.”Fahmi mengangguk, tersenyum miring pada waiter pertama yang mengusirnya. “Lain kali jangan memandang tamu dari penampilan! Apalagi mengusir. Itu tidak sopan! Aku bisa melaporkan ke atasanmu,
"Aku tidak mungkin salah liat, kan!" Misella yakin, dia tadi melihat sekilas lelaki yang mirip dengan Fahmi di restoran itu. "Sialan! Kenapa aku malah mencarinya!" umpatnya bergumam.Misella menjauh dari meja lelaki kencan butanya hanya untuk memastikan penglihatan tidak salah liat. Misella akan menerima konsekuensinya dari Robert, karena mengacuhkan lelaki itu. Lagipula siapa yang mau dijodohkan, Robert sibuk memperkenalkan beberapa lelaki pada Misella, dan Misella belum sepenuhnya move on dari Fahmi.Misella duduk di salah satu kursi kosong dekat pintu masuk. Matanya terus mencari. Tidak bisa berbohong bahwa dirinya merindukannya. Sangat rindu. "Hei! Apa yang aku lakukan?" ucap Misella tersadar. Memukul kepalanya sendiri. "Bodoh!!!"Bodoh! Tak seharusnya mencari mantan suaminya itu. Untuk apa? Meminta rujuk? Tidak mungkin! Hanya orang bodoh yang kembali ke masa lalu, hidup bersama lelaki tak tahu diri itu!Grepppp.Seseorang m
Suasana hati Misella buruk setelah bertemu Fahmi. Dia kembali ke apartemen, berteriak memanggil sang Papa. Namun bukannya yang muncul Robert, melainkan Tiffany."Hust! Jangan berteriak. Kayla sedang tidur," peringat Tiffany sedang mendorong stroller baby, Kayla putri Misella. "Ada apa? Kamu tampak murung?"Misella berkacak pinggang dan menghela napas berat. "Papa mana!""Di kamar," jawab Tiffany."Ada apa, sayang?" Robert tiba-tiba muncul, menghampiri mereka. "Bagaimana? Apa kamu tertarik dengan lelaki kenalan Papa?" Robert bertanya the point. Tak sabar mendengar cerita Misella yang baru saja dinner dengan pria pilihannya di cafe."Aku mohon, Pa. Berhenti memperkenalkan lelaki padaku. Aku sungguh malu." "Untuk apa malu? Lelaki yang Papa kenalkan padamu bukanlah lelaki sembarangan, Sella. Papa yakin salah satu dari mereka mampu membuatmu bahagia." Robert sangat berharap Misella menikah untuk kedua kali dengan lelaki pilihannya. "
Seorang Kakak pasti khawatir dengan adiknya bukan?Hening. Tidak ada yang menjawab pertanyaan Bella. Bahkan Misella menunduk kepala. Misella merasa sangat malu pada Bella, dia tidak bisa berkata-kata untuk menjawab pertanyaan itu.Tiga menit berlalu. "Adik kamu telah bercerai." Robert yang menjawab. "HAH? A-A-APA CERAI?!"Terkejut bukan main. Bagaikan disambar petir. Bella melongo mendengar berita itu, tak menyangka adiknya belum lama pernikahan terjalin secapat itu bercerai. "Fahmi berselingkuh," lanjut Robert."Kurang ajar!" Tangan Bella mengepal kuat. "Berani sekali dia! Dasar lelaki tidak tahu diri. Kalau aku bertemu dengannya, akanku bunuh!" Emosi Bella menggebu-gebu. Wajahnya merah padam. "Sudah, Kak. Tenang, jangan marah begitu. Biarkan saja. Fahmi pasti mendapat karmanya," sela Misella menenangkan amarah Bella. "Aku tadi bertemu dengannya. Sepertinya dia menyesal. Sekarang hidupnya menderita."
Abian membelai pipi Alia. "Wajah kamu pucat sekali, bibir kamu pecah-pecah. Kamu sakit?" tanya Abian penuh kekhawatiran. Lelaki itu baru sadar Alia terlihat pucat dan bibir tampak pecah-pecah. "Tidak," jawab Alia sambil menggeleng. "Aku hanya dehidrasi." "Astaga sayang!" Abian menyuruh Alia duduk di tempat tidur. "Tunggu di sini. Akanku ambilkan air putih," lanjutnya penuh perhatian lalu keluar dari kamar."Abian? Belum tidur?" Abian membalikkan badan melihat sang Ibu berdiri tak jauh darinya. "Sebentar lagi, Mom." Melanjutkan mengisi air ke botol minuman sampai terisi penuh. "Ambilkan air putih, dong. Ibu haus," perintah Caroline.Abian menurut, mengambil segelas air putih untuk Caroline. "Ibu menyuruh Alia untuk membujukku untuk kembali ke Amerika?" Caroline meneguk air putih setengah lalu bertanya balik, "Alia memberi tahumu?" "Tidak. Aku hanya menebak.""Bian, kamu tahu kan. Kamu salah satu pu
"Bian?!"Abian dan Alia segera membalikkan badan untuk mengetahui pemilik suara berat yang memanggil nama Abian, tidak lain suara dari Mario. Keduanya secepat kilat tersenyum merekah melihat dua orang tua Abian berdiri di sana dengan masih membawa koper besar. Ya, Mario dan Caroline."Astaga, Mom, Dad!" Abian menghampiri mereka diikuti oleh Alia. *****Caroline mengajak sarapan di salah satu tempat makan terdekat Bandara karena jam terbang masih lama. Awalnya tadi memang ingin sarapan, tidak tahunya melihat Abian di Bandara.Sebelum ke restoran, Abian telah menyuruh seseorang kenalannya untuk membeli baju di toko terdekat, walaupun bukan toko baju mahal, Ya bisa dibilang keduanya membeli baju seadanya daripada sarapan menggunakan baju tidur. Seperti orang tidak waras saja! Alia, Abian sudah mengganti pakaian lebih sopan di toilet Bandara. Keduanya bahkan sudah cuci muka.Setelah sampai di restoran, mereka semua memesan makanan I
"Aku tidak tahu. Perutku rasanya mual saat makan." Perutnya mual kembali, ingin muntah. "Aku pamit ke toilet sebentar.""Aku antar, ya sayang?" tawar Abian."Tidak perlu. Kamu lanjut saja makannya," tolak Alia, buru-buru berdiri lalu pergi mencari toilet di restoran itu dengan bertanya pada salah satu waiters."Bian ... Kamu kan seorang Dokter masa tidak tahu istri kamu sedang sakit? Setelah dari restoran kamu antar Alia ke rumah sakit untuk diperiksa dan cek kesehatannya," kata Caroline panjang lebar. "Kalian tidak perlu ke Bandara lagi. Lagian kita akan bertemu lagi di waktu dekat.""Iya, Mom." Abian menurut."Atau jangan-jangan Alia sedang mengandung?" pikir Caroline.Perkataan Caroline berhasil membuat Abian terbatuk-batuk. Abian segera minum air putih. "A-apa mengandung? Maksudnya hamil?"Caroline mengangguk. "Mungkin saja, 'kan?"Abian tertawa kecil. "T-idak mungkin, Mom. Alia belum menginginkan bayi."