"Kalau memang sudah benar-benar hilang. Kumohon, hargai perasaanku yang masih ada."
- Kakakku Yang Berengsek -
***
Sepasang kekasih yang masih tengah mengatur deru nafas berbaring di atas ranjang king size dalam posisi berpelukan. Selimut putih tebal itu menutupi tubuh telanjang mereka.
Muach!
Kecupan itu berhasil melayang pada kening Renata. Renata menggeliat pelan saat Al sedikit mengganggu waktu istirahatnya selepas berhubungan intim dengan Al.
Ya. Renata dan Al beberapa menit yang lalu sudah melakukan hubungan badan, sex.
Al mengambil bajunya yang tergeletak di atas lantai, lalu kemudian menggunakannya. Al sekilas melirik ke arah Renata yang masih berbaring dalam keadaan mata tertutup.
"Gue enggak tahu, yang gue lakuin sekarang ini benar atau enggak. Gue lakuin ini demi nyelamatin nyawa Renata. Enggak ada jalan lain
Bukan hanya cinta yang bisa membuat seseorang bahagia. Tapi, saudara sedarah juga bisa.- Kakakku Yang Berengsek -- Written By Fitriani Nastar -***Ice bersandar pada dinding kamar Rexi sambil menghela napas dengan begitu berat."Hah ... Rexi ... Buat jadi lo emang sulit banget buat mencintai orang yang enggak akan pernah ngebales perasaan lo. Mencintai sesuatu yang enggak mungkin," batin Ice, sekilas dia melirik ke arah kamar Al."Hah ... Gue berharap, lo nemuin kebahagiaan lo, Dek," lanjut Ice di dalam hatinya.Ice menundukkan kepalanya dengan begitu dalam. Tiba-tiba dia teringat akan mendiang mamanya."Mama ... Ice minta maaf sebesar-besarnya. Ice enggak bisa jaga Eci untuk enggak menangis. Dan Ice, buat Eci luka kayak gini, Ma ..." lirih Ice di dalam hatinya.Ya. Ice tadinya lewat di depan pintu kamar Rexi d
Ice dan Rexi masih setia untuk saling berpelukan di balik selimut satu sama lain."Hangat dan nyaman. Rexi suka pelukan Bang Ice," kata Rexi pelan."Ck! Gue tahu, kok, kalau pelukan gue emang senyaman itu. Nyaman banget malahan, kan?" kata Ice sombong."Iya, Bang. Pelukan lo emang nyaman banget, Bang," jawab Rexi membenarkan."Tapi, enggak sehangat pelukannya Al," lanjut Rexi di dalam hatinya dengan begitu sedih.Rexi menghela napas panjang, tanpa dia sadari kalau dia tak sengaja memasang ekspresi sedihnya."Ngapain wajah lo kayak gitu?" tanya Ice dan berhasil membuat Rexi kaget."Loh! Bang Ice belum bobok?!" tanya Rexi kaget."Anjir! Bahasa lo, ngapain pakai bahasa bobok?!" tanya Ice geli sambil tertawa geli."Ck! Kan, tadi lo sendiri yang bilang sama gue ..." Rexi menjeda ucapannya. 
"Jangan satukan keluarga dengan perasaan, karena keluarga adalah keluarga, dan perasaan adalah perasaan. Mereka berbeda."- My Brother -***- In the morning : 06:12 AM -Al, Rexi dan juga Ice terduduk di kursi mereka masing-masing di ruang makan itu. Rexi bahkan makan dengan tenang dan juga nyaman."Pantas aja kemarin apart kacau banget, ternyata kalian satu kamar," kata Al sambil terkekeh."Hum ..." Ice berdeham sebagai jawaban."Ck! Kalian berdua malah enggak ngajak gue buat gabung lag
Masih di dalam perjalanan menuju sekolah, Rexi dan Al masih mengobrol."Jadi, gimana? Apa masalah lo?" tanya Al."Gini-"Drrttt ...Handphone Al tiba-tiba bergetar dan berhasil membuat Rexi refleks mengatupkan bibirnya.Rexi sekilas melirik ke arah layar ponsel Al untuk melihat sang penelepon. Senyuman masam dibibir Rexi langsung terbentuk saat Al tersenyum melihat ID sang penelpon."Renata," gumam Rexi, lalu menghela napas panjang.Al mengambil ponselnya dan mulai mengangkat panggilan telepon
Al meringis dan kembali mengusap bekas pukulan Deian pada wajah dan juga perutnya."Sial ..." lirihnya.Al mengangkat pandangannya dan tak sengaja kedua bola matanya menatap Kiara yang baru saja berjalan di koridor sekolah."Kiara!" teriak Al."Hum?" balas Kiara saat setelah menghentikan langkah kakinya."Rexi udah ada di kelas lo, enggak?" tanya Al.Kiara tersenyum kecut."Lo cariin Rexi? Tumben banget," kata Kiara sinis.Al me
"Keluar dari sini, Ra. Gue pengen sendiri," kata Rexi tanpa menatap Kiara."Tapi-""Gue boleh ikut sama mama gue enggak, sih, Ra?" tanya Rexi tiba-tiba usai memotong ucapan Kiara.Plak!Seseorang tiba-tiba menampar wajah Rexi dengan begitu keras, bukan Kiara orangnya.Rexi dan Kiara menoleh dengan cepat untuk melihat siapa orang yang sudah berani menampar Rexi begitu saja."Al! Lo gila?! Kenapa lo nampar Rexi?! Ha?!" tanya Kiara emosi."Itu udah setimpal buat cewek kayak dia! Enggak ngehargain
Rexi kini berjalan santai di koridor sekolah. Banyak cibiran yang menyayat hati dan membuat telinga panas terdengar untuk Rexi."Wanita malam lewat. Gue enggak nyangka banget kalau Rexi ternyata ceweknya enggak baik. Mukanya aja yang cantik. Tapi, kelakuannya jelek banget.""Hahaha! Makanya dong, jangan nilai orang dari cover doang, kan?""Kalian semua, sih. Tuduhnya si Renata doang. Rexi juga sama kali!""Ck! Padahal, gue nyangka cuma Renata doang. Kan, lo lihat sendiri kalau Renata sama Rexi enggak akrab walau mereka di satu lingkaran yang sama.""Mungkin, pernah punya masalah buat rebutan Sugar Daddy kali."
"Sayang, ingat sama perkataan mama, yah. Jaga ayah dan kakakmu.""Kakakmu itu tipe pria dingin dan tidak perduli dengan lingkungan sekitar. Sedangkan ayahmu, dia benar-benar pria manja kepada mama.""Mama! Jangan pergi!" teriak Rexi sambil menangis keras.Mama Rexi hanya tersenyum manis. Rexi kembali mengingat bayang-bayang di mana mamanya berusaha untuk melawan penyakit mematikan yang ada di dalam tubuhnya."Hiks ... Mama ... Rexi mau ikut sama mama ... Hiks! Papa ingkar janji, Mama. Hiks! Mama ..."Rexi benar-benar termakan oleh emosinya. Bahkan, dia mengacak-acak rambutnya dengan begitu kuat hingga rontok. Sakit? Ah ... Ha