"Keluar dari sini, Ra. Gue pengen sendiri," kata Rexi tanpa menatap Kiara.
"Tapi-"
"Gue boleh ikut sama mama gue enggak, sih, Ra?" tanya Rexi tiba-tiba usai memotong ucapan Kiara.
Plak!
Seseorang tiba-tiba menampar wajah Rexi dengan begitu keras, bukan Kiara orangnya.
Rexi dan Kiara menoleh dengan cepat untuk melihat siapa orang yang sudah berani menampar Rexi begitu saja.
"Al! Lo gila?! Kenapa lo nampar Rexi?! Ha?!" tanya Kiara emosi.
"Itu udah setimpal buat cewek kayak dia! Enggak ngehargain
Rexi kini berjalan santai di koridor sekolah. Banyak cibiran yang menyayat hati dan membuat telinga panas terdengar untuk Rexi."Wanita malam lewat. Gue enggak nyangka banget kalau Rexi ternyata ceweknya enggak baik. Mukanya aja yang cantik. Tapi, kelakuannya jelek banget.""Hahaha! Makanya dong, jangan nilai orang dari cover doang, kan?""Kalian semua, sih. Tuduhnya si Renata doang. Rexi juga sama kali!""Ck! Padahal, gue nyangka cuma Renata doang. Kan, lo lihat sendiri kalau Renata sama Rexi enggak akrab walau mereka di satu lingkaran yang sama.""Mungkin, pernah punya masalah buat rebutan Sugar Daddy kali."
"Sayang, ingat sama perkataan mama, yah. Jaga ayah dan kakakmu.""Kakakmu itu tipe pria dingin dan tidak perduli dengan lingkungan sekitar. Sedangkan ayahmu, dia benar-benar pria manja kepada mama.""Mama! Jangan pergi!" teriak Rexi sambil menangis keras.Mama Rexi hanya tersenyum manis. Rexi kembali mengingat bayang-bayang di mana mamanya berusaha untuk melawan penyakit mematikan yang ada di dalam tubuhnya."Hiks ... Mama ... Rexi mau ikut sama mama ... Hiks! Papa ingkar janji, Mama. Hiks! Mama ..."Rexi benar-benar termakan oleh emosinya. Bahkan, dia mengacak-acak rambutnya dengan begitu kuat hingga rontok. Sakit? Ah ... Ha
Rexi kini menjalankan hukuman yang sudah diberikan oleh sang guru killer. Berlari mengelilingi lapangan sekolah yang luas dengan ditemani oleh panasnya terik matahari."Kiara ... Gue enggak apa-apa kalau semuanya benci sama gue. Gue enggak apa-apa kalau semuanya pandang gue dengan hina. Tapi, tolong jangan benci gue, Ki. Gue mohon sama lo, Ki. Jangan pernah benci gue. Lo teman gue yang paling gue percaya, Ra ..." lirih Rexi di dalam hatinya.Ya, Rexi tak apa-apa jika dibenci oleh semua orang, asalkan Kiara tak ikut membencinya. Alasannya? Kiara adalah orang yang paling Rexi percayai setelah almarhumah ibundanya. Bahkan, Rexi amat sangat percaya dengan Kiara dari pada ayah dan kakak kandungnya, Brave Ice.Bugh!
"Pelarian?" tanya Al mengulangi perkataan Deian."Hahaha! Mana mau gue sama wanita malam kayak dia, sih? Cih!" kata Al lagi dengan remeh.Rexi menggelengkan kepalanya dengan cepat."Al ... Lepasin gue, Al! Sakit!" pinta Rexi sambil terus memberontak, dia tak peduli dengan luka pada pergelangan tangannya yang semakin robek.Rasa sakit pada hatinya dan juga rasa sakit pada pergelangan tangannya berhasil meruntuhkan tembok kekuatan Rexi. Dia menangis meraung-raung di tengah-tengah semua orang yang ada di sana."See ... Rexi Alexa yang terkenal Queen Of This Year dan ditakuti sama semua murid karena sikap dinginnya, dia menangis
Rexi beralih untuk menatap Renata. Walaupun Renata selalu bertentangan dengan dirinya, tetapi Renata itu juga temannya."Ren ... Maafin gue kalau gue ada salah sama lo. Maafin gue kalau lo merasa tersaingi karena adanya gue di dalam kehidupan lo. Gue enggak ada maksud buat saingi lo," kata Rexi lembut. Kalimat itu keluar dari lubuk hatinya yang paling dalam.Renata mendecih saat mendengarkan penuturan dari Rexi. Dia masih menganggap kalau Rexi sedang bermain drama agar semua orang iba dan berpihak kepadanya."Sekali lagi, gue minta maaf sama lo, Ren," kata Rexi lembut.Rexi mengalihkan pandangannya untuk melirik ke arah Kiara. Sahabatnya yang paling dia percaya, walaupun pada akhirnya Kiara
- Skip - Tiga Hari Kemudian -"Brave Ice, pulang!" seru Ice saat berjalan memasuki apart kediamannya.Ice baru saja pulang dari acara kemah kampusnya. Untuk masalah Rexi yang diusir oleh sang ayah dari apartemen, Ice belum tahu akan hal itu."Kok, apart sepi banget?" tanya Ice heran."Rex! Rexi! Rex!" teriak Ice."Enggak ada jawaban," gumam Ice.Ice berjalan menuju dapur dan berharap akan bertemu dengan Rexi. Masalahnya, ada sesuatu yang ingin dia bahas bersama sang adik.
Rexi tersenyum miris."Gini rasanya hidup mandiri tanpa ada fasilitas sedikitpun. Hidup nge-kost, mana enggak sekolah pula ..." lirihnya."Besok gue harus dapat kerjaan. Tapi, gue mau cari apa? Gue enggak ad tamat SMA juga," lanjutnya lesu.Rexi mengalihkan pandangannya untuk menatap ke arah kalender yang tergantung pada dinding kamar kost-nya. Dia tersenyum miris."Happy birthday Rexi. Happy birthday Rexi. Happy birthday ... Happy birthday ... Happy birthday, Rexi ..." lirihnya bernyanyi untuk dirinya sendiri.Rexi mengambil ponselnya, lalu memutar sebuah rekaman beberapa tahun yang lalu pada ponselnya."Happy birthday Rexi. Happy birthday Rexi
Al kini sudah berada di dalam mobilnya. Menyetir mobilnya entah ke mana. Dia seperti kehilangan arah saja."Lo di mana, Rex? Lo baik-baik aja, kan?" gumam Al sambil menggigit bibir bawahnya karena khawatir."Maaf kalau gue udah nyakitin lo, Rex, cuma karena balas dendam gue sama lo. Yang padahal itu masalah keluarga kita, bukan masalah kita ..." lirihnya."Gue ... Gue udah lukai hatinya, bahkan tangannya juga sampai terluka parah karena gue. Gue benar-benar minta maaf, Rexi ..." lirihnya lagi sambil mengacak-acak rambutnya dengan begitu frustasi.***Rexi berjalan sambil memasuki sebuah kantor besar. Dia tersenyum dengan begitu ramah dan sopan."Ada yang bisa saya bantu?" tanya sang resepsionis.