Mobil tiba-tiba berhenti, mata Niken menatap sekelilingnya.
"Ini di mana? Kenapa sepi sekali?" cicitnya.
Wira membuka pintu, ia nampak menarik paksa Niken untuk turun mengikuti dirinya. Bayu bahkan hanya berdiam diri melihat Wira yang hampir kewalahan.
"Sialan, bantuin woi. Bantengnya lagi nyerang nih," serunya.
Dengan terpaksa Bayu harus turun tangan, ia menarik sisi lain dari tangan Niken hingga membuat wanita itu terjatuh dan berguling ke bawah.
"Wah gila loe, main dorong aja. Loe pikir dia drum ?"
"Biar cepat, loe lelet kerjanya."
Bayu dengan santainya menuruni bukit diikuti oleh Wira di belakangnya. Keduanya perlahan berjalan mengikuti jejak Niken yang berada di atas tanah.
"Awww," pekiknya menghantam batu dengan cukup keras.
Niken mencoba untuk bangkit, namun rasa nyeri begitu menyiksanya ke
Larasati benar-benar tak terima dengan perlakuan teman-teman Ardan pada Nikennya. Wajahnya sungguh iba melihat kondisi Niken saat ini."Keterlaluan sekali kalian ini, di mana letak nurani kalian?" bentak Larasati pada Bayu serta Ardan."Jangan memarahi mereka, andai wanita ini nggak ke gatelan mungkin dia masih baik-baik saja.""Lancang sekali mulutmu itu bocah, bahkan Niken jauh lebih terhormat dari pada kamu.""Cukup ibu! Kali ini anda benar-benar keterlaluan, bagaimanapun dia cucu kandungmu.""Sampai kapan pun aku hanya akan mengakui Ardan sebagai cucu kandungku."Hatinya sakit, luka lama itu belum sembuh dan kini sudah kembali di sayat dengan luka baru."Maaf menyela, tapi saya harus membawa Lecy pergi. Nyonya Dewi saya ijin pamit.""Pergilah, bawa pergi putriku." serunya tanpa menatap Beno maupun Lecy.&nb
"Loe benar-benar nggak tahu diri emang ya, ingat loe itu cuma tamu jadi jangan banyak tingkah.""Gue memang tamu, tapi tamu loe ini jauh lebih berharga dari pada diri loe sendiri," ejek Niken."Cih, mana gue peduli sama itu semua. Bagi gue, loe nggak lebih dari seekor semut yang mengharapkan sayap bak burung.""Maksud loe apa?" kesalnya."Maksud gue loe itu kayak badut yang mengharapkan pangeran, wleeekkk.""Lama-lama mulut loe kurang aja ya, minta di kasih pelajaran emang."Duk,"Awwwww.""Upss, nggak sengaja tuh. Tapi nggak mau minta maaf," melenggang meninggalkan dapur di mana tadi dia bertengkar.Pagi yang harusnya di awali dengan senyuman kini di awali dengan pertengkaran, namun pertengkaran dengan Lecy sang pemenang.Setelah menendang tongkat Niken hingga membuat Niken t
Semua mata menatap tak percaya dengan apa yang terjadi di depan matanya, Tian yang biasanya lembut saat bersikap kini nampak jauh lebih berbeda."Kurang ajar! Berani sekali berulah di depanku," bentaknya."Bukan saya yang berulah, tapi tamu anda yang terlalu bertingkah."Dewi membulatkan matanya, Tian yang berdiri di hadapannya berani menjawab ucapan Larasati sang mertua."Tian," menyentuh lengannya."Sama halnya dengan oma yang tidak terima tamunya di perlakukan buruk, saya pun tidak terima jika Bunda saya di perlakukan dengan buruk juga.""Maksud kamu apa, mana mungkin Niken kurang aja. Kecuali jika dia di serang lebih dulu," melirik tajam Dewi di hadapannya."Maksud ibu saya menyerang Niken duluan?" dengan rasa tak percayanya."Mungkin saja, nggak ada yang nggak mungkin.""Oma benar, nggak ada
Ardan membawa Niken ke sebuah rumah yang sempat ia lihat sewaktu dalam perjalanan pulang, rumah yang di sewakan dan tak begitu jauh dari rumahnya."Loe bisa istirahat di sini, oma akan sering-sering datang.""Loe? Ar, kamu pakai loe gue ?" tak menyangka.Ardan yang sempat menjauh kini menghentikan langkahnya, berbalik menatap Niken dengan kerut di keningnya."Kenapa? Kita nggak cukup dekat hingga harus melebihi loe gue.""Nggak Ar, aku yakin kamu masih menyimpan aku di sini." menyentuh lembut dada Ardan."Loe salah, sejak loe memutuskan pergi maka sejak saat itulah semua tentang kita juga ikut pergi. Sekarang dan sampai kapanpun hanya ada istri gue."Niken terperosot mendengar jawaban Ardan barusan, kini ia hanya dapat menatap punggung yang mulai menjauh dari jangkauan matanya.Hati yang semula yakin, penuh percaya di
Beno memutuskan untuk kembali ke Jakarta malam ini, mendengar hal itu Bayu juga memutuskan untuk ikut kembali.Keduanya terlihat sibuk mengemas perlengkapannya, melihat hal itu membuat Wira Nico juga Ambar ikut pulang."Apa kamu yakin Tian ada di Jakarta?""Yakin Om, nggak ada alasan untuk mereka menyembunyikan nona muda di sini. Dan saya yakin ini ada hubungannya dengan Hera juga suaminya.""Baiklah, dua hari dari sekarang saya akan menemuimu di Jakarta."Setelah mengatakan hal itu Wirma keluar mencari istrinya.Hilangnya Tian menjadi pukulan tersendiri untuk Dewi, sejak tadi ia hanya duduk diam di tepian ranjangnya.Wirma masuk, berjalan perlahan mendekati istrinya."Bunda," sapanya."Apa Tian sudah di temukan?"Wirma menghela nafasnya, entah apa yang harus ia katakan pada i
Ardan terbangun karena kerasnya dering ponselnya. Rasanya ia begitu lelah, ingin sekali memejamkan kembali matanya."Tian. Jangan-jangan Tian yang nelfon," meraih ponselnya.Matanya membulat sempurnya, pemandangan di layar ponsel membuat darahnya mendidih seketika."Kurang ajar!""Berani mereka menyentuh istriku, bosan hidup memang."Ardan bergegas membersihkan tubuhnya. Tak lupa ia juga mengemas beberapa barang yang mungkin akan di butuhkannya.Di lantai bawah nampak Dewi sedang sarapan di temani Wirma juga Lecy, tak nampak Larasati di sana."Mau ke mana kamu Ar?""Ayah, aku harus balik ke Jakarta sekarang.""Ada apa? Apa kamu dapat kabar dari Tian?""Iya Bun, dan keadaan Tian nggak baik sekarang. Aku harus kembali dan membawa istriku pulang."Wirma
Beno sudah bersiap, Bayu Wira serta Nico juga ambil bagian dalam penyelematan Tian kali ini.Sejak pagi Ardan sudah tak nampak batang hidungnya, bahkan Wirma juga tak tahu ke mana putranya itu pergi."Om," panggilnya."Ya?""Apa sudah ada kabar dari Ardan ?""Itulah nak Beno, om juga cemas memikirkannya. Om takut dia gegabah, sejak semalam dia nggak bisa tenang.""Om tenang aja, Ardan nggak akan berbuat sesuatu yang akan mencelakai istrinya."Wirma menghela nafas resahnya, ia benar-benar resah kali ini. Bukan main-main ketika mereka berani menyekap menantunya, dia benar-benar di buat tak tenang kali ini."Om, semua udah siap."Wira datang, ia juga yang lainnya sudah selesai menyiapkan semua perbekalannya. Bahkan semua anak buah yang Beno siapkan sudah menanti di depan.&nb
Habis sudah Ardan di hajar Ferdy, wajahnya kini penuh dengan lebam serta darah segar. Tian meraung menangis tiap kali melihat suaminya terluka."Aku mohon hentikan."Bugh..Bugh..Bugh.."Ini akibat berani masuk wilayah gue diam-diam."Bugh.."Eghh..""Dan ini untuk kebodohan loe yang terlalu percaya diri."Tak tahan sudah, Tian meronta hingga cengkraman tangan Hera terlepas dari bahunya. Ia berlari, memeluk tubuh Ardan yang sedang bersimpuh tak berdaya.Brakk..Ferdy berniat memukul Ardan sengan vas bunga, namun sayangnya vas itu malah mengenai kepala Tian yang sedang memeluk suaminya."Bodoh, kenapa kamu ke sini." seru lemah Ardan. Matanya berkaca-kaca kala melihat aliran darah mulai turun membasahi pelipis istrinya.&nb