Tian menangis, ia merasa dadanya begitu sesak seakan ada batu yang tengah menghimpitnya. Ingin ia menjerit mengeluarkan isi hatinya, namun ia tak ingin semua orang tahu tentang lukanya.
"Sebaiknya cari udara segar," Tian yang sedang penat memilih untuk kembali keluar sedang ia juga baru saja datang.
Namun sialnya ia harus kembali merasakan sakit di hatinya, dengan mata kepalanya sendiri ia melihat Ardan tengah memeluk Niken di halaman depan.
"Carilah kamar, jangan menodai mata orang lain."
Mendengar hal itu membuat Ardan reflek mendorong Niken hingga membuatnya terbentur pintu mobil.
"Awww.."
"Tian, kasar sekali ucapanmu itu. Kamu tahu sedang bicara dengan siapa?"
Langkahnya terhenti, ia seakan di paksa menatap sesuatu yang akan melukainya.
"Nggak, nggak akan pernah lupa."
"Lalu kenapa bicaramu se
Mobil tiba-tiba berhenti, mata Niken menatap sekelilingnya."Ini di mana? Kenapa sepi sekali?" cicitnya.Wira membuka pintu, ia nampak menarik paksa Niken untuk turun mengikuti dirinya. Bayu bahkan hanya berdiam diri melihat Wira yang hampir kewalahan."Sialan, bantuin woi. Bantengnya lagi nyerang nih," serunya.Dengan terpaksa Bayu harus turun tangan, ia menarik sisi lain dari tangan Niken hingga membuat wanita itu terjatuh dan berguling ke bawah."Wah gila loe, main dorong aja. Loe pikir dia drum ?""Biar cepat, loe lelet kerjanya."Bayu dengan santainya menuruni bukit diikuti oleh Wira di belakangnya. Keduanya perlahan berjalan mengikuti jejak Niken yang berada di atas tanah."Awww," pekiknya menghantam batu dengan cukup keras.Niken mencoba untuk bangkit, namun rasa nyeri begitu menyiksanya ke
Larasati benar-benar tak terima dengan perlakuan teman-teman Ardan pada Nikennya. Wajahnya sungguh iba melihat kondisi Niken saat ini."Keterlaluan sekali kalian ini, di mana letak nurani kalian?" bentak Larasati pada Bayu serta Ardan."Jangan memarahi mereka, andai wanita ini nggak ke gatelan mungkin dia masih baik-baik saja.""Lancang sekali mulutmu itu bocah, bahkan Niken jauh lebih terhormat dari pada kamu.""Cukup ibu! Kali ini anda benar-benar keterlaluan, bagaimanapun dia cucu kandungmu.""Sampai kapan pun aku hanya akan mengakui Ardan sebagai cucu kandungku."Hatinya sakit, luka lama itu belum sembuh dan kini sudah kembali di sayat dengan luka baru."Maaf menyela, tapi saya harus membawa Lecy pergi. Nyonya Dewi saya ijin pamit.""Pergilah, bawa pergi putriku." serunya tanpa menatap Beno maupun Lecy.&nb
"Loe benar-benar nggak tahu diri emang ya, ingat loe itu cuma tamu jadi jangan banyak tingkah.""Gue memang tamu, tapi tamu loe ini jauh lebih berharga dari pada diri loe sendiri," ejek Niken."Cih, mana gue peduli sama itu semua. Bagi gue, loe nggak lebih dari seekor semut yang mengharapkan sayap bak burung.""Maksud loe apa?" kesalnya."Maksud gue loe itu kayak badut yang mengharapkan pangeran, wleeekkk.""Lama-lama mulut loe kurang aja ya, minta di kasih pelajaran emang."Duk,"Awwwww.""Upss, nggak sengaja tuh. Tapi nggak mau minta maaf," melenggang meninggalkan dapur di mana tadi dia bertengkar.Pagi yang harusnya di awali dengan senyuman kini di awali dengan pertengkaran, namun pertengkaran dengan Lecy sang pemenang.Setelah menendang tongkat Niken hingga membuat Niken t
Semua mata menatap tak percaya dengan apa yang terjadi di depan matanya, Tian yang biasanya lembut saat bersikap kini nampak jauh lebih berbeda."Kurang ajar! Berani sekali berulah di depanku," bentaknya."Bukan saya yang berulah, tapi tamu anda yang terlalu bertingkah."Dewi membulatkan matanya, Tian yang berdiri di hadapannya berani menjawab ucapan Larasati sang mertua."Tian," menyentuh lengannya."Sama halnya dengan oma yang tidak terima tamunya di perlakukan buruk, saya pun tidak terima jika Bunda saya di perlakukan dengan buruk juga.""Maksud kamu apa, mana mungkin Niken kurang aja. Kecuali jika dia di serang lebih dulu," melirik tajam Dewi di hadapannya."Maksud ibu saya menyerang Niken duluan?" dengan rasa tak percayanya."Mungkin saja, nggak ada yang nggak mungkin.""Oma benar, nggak ada
Ardan membawa Niken ke sebuah rumah yang sempat ia lihat sewaktu dalam perjalanan pulang, rumah yang di sewakan dan tak begitu jauh dari rumahnya."Loe bisa istirahat di sini, oma akan sering-sering datang.""Loe? Ar, kamu pakai loe gue ?" tak menyangka.Ardan yang sempat menjauh kini menghentikan langkahnya, berbalik menatap Niken dengan kerut di keningnya."Kenapa? Kita nggak cukup dekat hingga harus melebihi loe gue.""Nggak Ar, aku yakin kamu masih menyimpan aku di sini." menyentuh lembut dada Ardan."Loe salah, sejak loe memutuskan pergi maka sejak saat itulah semua tentang kita juga ikut pergi. Sekarang dan sampai kapanpun hanya ada istri gue."Niken terperosot mendengar jawaban Ardan barusan, kini ia hanya dapat menatap punggung yang mulai menjauh dari jangkauan matanya.Hati yang semula yakin, penuh percaya di
Beno memutuskan untuk kembali ke Jakarta malam ini, mendengar hal itu Bayu juga memutuskan untuk ikut kembali.Keduanya terlihat sibuk mengemas perlengkapannya, melihat hal itu membuat Wira Nico juga Ambar ikut pulang."Apa kamu yakin Tian ada di Jakarta?""Yakin Om, nggak ada alasan untuk mereka menyembunyikan nona muda di sini. Dan saya yakin ini ada hubungannya dengan Hera juga suaminya.""Baiklah, dua hari dari sekarang saya akan menemuimu di Jakarta."Setelah mengatakan hal itu Wirma keluar mencari istrinya.Hilangnya Tian menjadi pukulan tersendiri untuk Dewi, sejak tadi ia hanya duduk diam di tepian ranjangnya.Wirma masuk, berjalan perlahan mendekati istrinya."Bunda," sapanya."Apa Tian sudah di temukan?"Wirma menghela nafasnya, entah apa yang harus ia katakan pada i
Ardan terbangun karena kerasnya dering ponselnya. Rasanya ia begitu lelah, ingin sekali memejamkan kembali matanya."Tian. Jangan-jangan Tian yang nelfon," meraih ponselnya.Matanya membulat sempurnya, pemandangan di layar ponsel membuat darahnya mendidih seketika."Kurang ajar!""Berani mereka menyentuh istriku, bosan hidup memang."Ardan bergegas membersihkan tubuhnya. Tak lupa ia juga mengemas beberapa barang yang mungkin akan di butuhkannya.Di lantai bawah nampak Dewi sedang sarapan di temani Wirma juga Lecy, tak nampak Larasati di sana."Mau ke mana kamu Ar?""Ayah, aku harus balik ke Jakarta sekarang.""Ada apa? Apa kamu dapat kabar dari Tian?""Iya Bun, dan keadaan Tian nggak baik sekarang. Aku harus kembali dan membawa istriku pulang."Wirma
Beno sudah bersiap, Bayu Wira serta Nico juga ambil bagian dalam penyelematan Tian kali ini.Sejak pagi Ardan sudah tak nampak batang hidungnya, bahkan Wirma juga tak tahu ke mana putranya itu pergi."Om," panggilnya."Ya?""Apa sudah ada kabar dari Ardan ?""Itulah nak Beno, om juga cemas memikirkannya. Om takut dia gegabah, sejak semalam dia nggak bisa tenang.""Om tenang aja, Ardan nggak akan berbuat sesuatu yang akan mencelakai istrinya."Wirma menghela nafas resahnya, ia benar-benar resah kali ini. Bukan main-main ketika mereka berani menyekap menantunya, dia benar-benar di buat tak tenang kali ini."Om, semua udah siap."Wira datang, ia juga yang lainnya sudah selesai menyiapkan semua perbekalannya. Bahkan semua anak buah yang Beno siapkan sudah menanti di depan.&nb
Han segera masuk setelah mendapat instruksi dari tuan nya, dengan beberapa anak buahnya ia menerobos masuk begitu saja.Niken tak bergeming dengan kedatangan Han, ia menatap santai beberapa orang yang kini ada di depan matanya.Ve terluka lengan nya akibat sabetan pisau, ia merintih menahan perih dengan darah yang terus mengalir.Axel melangkah semakin maju, mengikis jarak antara dirinya juga Niken. Tak ada perlawanan apapun dari wanita itu pada awal nya.Namun saat Axel berusaha membawanya keluar, tiba-tiba Niken berbalik dan menyerang Ardan dengan pisau yang ada di balik baju nya."Awas," seru Han.Dengan cepat Han mendorong tubuh Ardan hingga tak sampai terkena pisaunya.Niken meronta, ia histeris karena gagal melakukan rencanannya. Gagal sudah semua yang sudah ia rencanakan sebelumnya. I
Ve berlari ke sudut ruangan, ia benar-benar takut dengan Niken yang semakin menggila itu. Rasa penyesalan kini tengah menggerogoti hatinya perlahan.Ingin sekali Ve kabur saat itu juga, namun kakinya begitu lemah dengan apa yang terjadi di depan matanya."Lo bebas mau ngapain aja, please biarin gue pergi dari gudang busuk ini."Niken menatap tajam Ve yang adalah kaki tangan nya itu, ia merasa geram dengan semua yang wanita itu serukan sedari tadi."Bisa diam nggak, atau lo mau nasih lo sama seperti dia." tunjuknya pada Cyra ynag sudah benar-benar tak berdaya.Niken kembali mengarahkan matanya pada Cyra, menatap penuh kemenangan pada gadis yang bersimbah darah di bawahnya."Hari ini lo bakal mati, hari ini adalah hari terakhir lo melihat dunia yang hitam ini.""Hhhahhahaaaaaaaaaaaaaa.."
Di kantor, Arvan masih tak habis pikir dengan sikap istri kecilnya itu. Tiba-tiba datang seolah tak ada apa-apa, namun tiba-tiba pergi begitu saja.Ia pun memanggil Han ke dalam ruangannya."Bagaimana semuanya?""Semua sudah saya bereskan, Tuan. Semua perjanjian kerja sama kita juga sudah selesai tanpa pinalti sepeserpun."Arvan tersenyum miring, ia kembali mengingat rencananya bersama Han tentang client barunya itu. Awal nya ia berniat bermain-main terlebih dahulu, namun karena rasa cemburu dan keputusan istrinya itu membuat Arvan segera memutuskan semua kerja sama mereka."Lalu bagaimana tanggapan pihak mereka? Terutama perusahaan nya.""Tan Haxel mengatakan akan mendatangi anda sendiri untuk menyampaikan semua permintaan maaf dari mereka. Beliau juga meminta untuk tidak menghapus atau mengecualikan perusahaan mereka dari k
Cyra menatap berang perempuan yang duduk bersebelahan dengan suamimya itu, terlebih suaminya itu hanya diam tak menanggapi diri nya. Membuat Cyra mau tak mau meninggalkan meja itu dan kembali ke meja nya sendiri."Udah dong, mungkin clienrt nya itu." ucap Gabriel mencoba menenangkan adiknya itu.Namun apa yang di lakukan Gabriel malah semakin menyulut panas di hari Cyra. Ia masih tak hentinya memberi tatapan tajam pada Arvan yang duduk tak jauh dari tempatnya.***Malam semakin larut, namun sepasang suami istri itu masih betah saling diam dan mengabaikan.Arvan masih kesal dengan istrinya lantaran berani menyentuh laki-laki lain di depan matanya. Sedang Cyra merasa kesal lantaran suaminya itu lebih memilih wanita jadi-jadian nya itu.Tidur saling memunggungi membuat Cyra tak bisa meme
Hari ini Arvan mengajak serta Yomi untuk mengikuti rapat tentang kerja sama keduanya nanti. Sebuah layar plasma menunjukkan kerangka bangunan dari model apartemen garapan keduanya.Yomi nampak kagum dengan desain juga kejelasan kerangka bangunan yang di tampilkan oleh pihak Arvan, ia tak pernah menyangka jika semua akan di persiapkan dengan sangat matang."Bagaimana ibu Yomi, apa ada yang ingin anda sampaikan setelah presentasi team saya?" tanya Arvan.Yomi masih terdiam, matanya menatap pada gambar tiga dimensi bangunan apartemen itu."Sempurna."Satu kata yang lolos begitu saja dari bibir manisnya, entah karena kekaguman nya atau bahkan memang di lebih-lebihkan nya."Mungkin ada yang ingin anda koreksi, jadi team saya bisa sekalian kerjanya.""Tidak, untuk sementara ini sudah lebih
Dokter Lita tak henti-hentinya mentertawakan panggilan sayang Cyra untuk suami baru nya itu."HHhahhahahha, aduh sakit perut gue.""Gue tembak sampai mati loe kalau masih ketawa," teriak Arvan dari dalam ruangan nya.Sedang Cyra, gadis itu hanya duduk sembari memainkan ponselnya. Eh, lupa udah nggak gadis lagi (hheheh :D)"Siap abang siomay," ledek Lita hingga tawanya kembali meledak."Udak kali kak ketawanya, nggak kering tuh gigi emang nya?""Ya habis kamu lucu banget sih."Cyra hanya mengangkat bahu nya acuh, ia kemudian berjalan menuju meja makan. Mengecek menu untuk mereka makan malam.Namun sesampainya disana ternyata para pelayan sudah hampir selesai menghidangkan semuanya."Yah, padahal mau bantuin. Kok udah selesai sih?"
Ve terus berjalan mencari keberadaan Niken saat ini, sesuai dengan janji mereka harus nya bertemu dan membicarakan tentang rencana keduanya."Kemana wanita itu?" Ve di buat celingukan mencari keberadaan Niken.Lalu tiba-tiba ponselnya bergetar, satu pesan masuk ke dalam ponsel pintarnya itu._Temui aku di taman belakang kampus, pastikan nggak ada yang ikut dan tahu soal ini_Begitulah pesan yang ia terima dari Niken."Sok misterius banget jadi orang," gerutunya namun tetap berjalan menghampirinya.Niken tengah duduk bersantai di bawah sebuah pohon sembari menghisap sepuntung rokoknya. Kepulan asap memenuhi udara di sekitarnya, namun sama sekali tak mengganggu pernafasan nya."Apa rencana loe?" tanya Ve yang tak ingin berbasa-basi."Duduklah, jangan jadi tak
Acara dilanjutkan dengan makan-makan, semua orang nampak berbaur bersama sembari menikmati hidangan yang di sediakan.Arvan sedang duduk bersama dengan istrinya, juga dengan keluarga yang lainnya."Permisi nona," sapa salah satu pelayan yang menghampiri Cyra."Ya?""Pesanan anda sudah siap semuanya, sekarang ada di halaman depan."Cyra tersenyum mendengarnya, ia langsung menyincing gaun kebaya nya dan melangkah meninggalkan mejanya."Mau kemana tu anak?" selorok Sandrina.Arvan tak bertanya, ia lebih ke mengikuti istrinya kemanapun ia melangkah."Berapa total nya?""Ada tiga puluh mobil truck, sesuai dengan pesanan anda."Arvan tak banyak komentar, ia hanya terdiam menatap banyakny foodtruck yang terparkir di halaman mertuanya itu."Sayang, apa ini?"
Cyra tak henti-hentinya merasa kesal dengan calon suaminya itu. Ingin sekali rasanya ia menarik paksa Arvan tadi di atas mimbar saat sedang berbicara."Bener-bener ya tu si om, pengen banget gue kandangin." kesalnya.Cyra yang sedang kesal mengemudikan mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata. Ia melaju menuju ke arah perusahaan orang tuanya.Kedatangan Cyra di sambut dengan hangat oleh para karyawan, banyak yang menunduk hormat ketika berpapasan dengan Cyra.Menjadi anak pengusaha ternama tak membuat Cyra menjadi besar kepala juga congkak hatinya, justru ia selalu bersikap rendah hati hingga banyak orang yang menyukainya."Pagi nona Cyra," sapa Syerli sekretaris Ardan."Pagi kak. Apa daddy ku ada di ruangan nya?""Beliau ada di ruangan tuan Axel.""Baiklah, terima kasih infonya kak."