Ardan terbangun karena kerasnya dering ponselnya. Rasanya ia begitu lelah, ingin sekali memejamkan kembali matanya.
"Tian. Jangan-jangan Tian yang nelfon," meraih ponselnya.
Matanya membulat sempurnya, pemandangan di layar ponsel membuat darahnya mendidih seketika.
"Kurang ajar!"
"Berani mereka menyentuh istriku, bosan hidup memang."
Ardan bergegas membersihkan tubuhnya. Tak lupa ia juga mengemas beberapa barang yang mungkin akan di butuhkannya.
Di lantai bawah nampak Dewi sedang sarapan di temani Wirma juga Lecy, tak nampak Larasati di sana.
"Mau ke mana kamu Ar?"
"Ayah, aku harus balik ke Jakarta sekarang."
"Ada apa? Apa kamu dapat kabar dari Tian?"
"Iya Bun, dan keadaan Tian nggak baik sekarang. Aku harus kembali dan membawa istriku pulang."
Wirma
Beno sudah bersiap, Bayu Wira serta Nico juga ambil bagian dalam penyelematan Tian kali ini.Sejak pagi Ardan sudah tak nampak batang hidungnya, bahkan Wirma juga tak tahu ke mana putranya itu pergi."Om," panggilnya."Ya?""Apa sudah ada kabar dari Ardan ?""Itulah nak Beno, om juga cemas memikirkannya. Om takut dia gegabah, sejak semalam dia nggak bisa tenang.""Om tenang aja, Ardan nggak akan berbuat sesuatu yang akan mencelakai istrinya."Wirma menghela nafas resahnya, ia benar-benar resah kali ini. Bukan main-main ketika mereka berani menyekap menantunya, dia benar-benar di buat tak tenang kali ini."Om, semua udah siap."Wira datang, ia juga yang lainnya sudah selesai menyiapkan semua perbekalannya. Bahkan semua anak buah yang Beno siapkan sudah menanti di depan.&nb
Habis sudah Ardan di hajar Ferdy, wajahnya kini penuh dengan lebam serta darah segar. Tian meraung menangis tiap kali melihat suaminya terluka."Aku mohon hentikan."Bugh..Bugh..Bugh.."Ini akibat berani masuk wilayah gue diam-diam."Bugh.."Eghh..""Dan ini untuk kebodohan loe yang terlalu percaya diri."Tak tahan sudah, Tian meronta hingga cengkraman tangan Hera terlepas dari bahunya. Ia berlari, memeluk tubuh Ardan yang sedang bersimpuh tak berdaya.Brakk..Ferdy berniat memukul Ardan sengan vas bunga, namun sayangnya vas itu malah mengenai kepala Tian yang sedang memeluk suaminya."Bodoh, kenapa kamu ke sini." seru lemah Ardan. Matanya berkaca-kaca kala melihat aliran darah mulai turun membasahi pelipis istrinya.&nb
Bery membawa paksa Tian juga suaminya ke area belakang rumah. Menempatkan keduanya dalam satu ruangan yang begitu pengap udaranya."Kenapa bisa mereka tahu tempat ini?""Honey, tenanglah. Kita aman di sini.""Oh come on darling. Mereka ada di satu area sama kita, bagaimana aku bisa tenang."Hera terus melangkah tak pasti, ia benar-benar cemas dengan keadaan saat ini. Tiba-tiba langkahnya terhenti, ia menatap Tian yang saat ini begitu lemah dalam dekapan suaminya."Kemari kamu." kasarnya menarik tangan Tian. Ardan terus menahan tubuh istrinya hingga Bery menahan tubuh serta tangannya."Akhh, lepasin." rontanya.Hera dengan kasar menarik rambut Tian hingga membuat kepalanya menengadah, tarikan kuat itu bahkan membuat darah segar kembali mengalir di pelipisnya."Honey, apa rencanamu?""Entahlah
Beno mengepung tempat persembunyian Hera, ia meminta semua anak buahnya untuk menutup semua akses keluar."Menyerahlah, kembalikan Tian pada kami." teriak Beno menggema.Masih sunyi, tak ada sahutan atau balasan dari Hera saat ini.Wirma yakin jika saat ini putranya juga ada bersama mereka, ada jaket milik Ardan saat ia menemukan kamar tempat Tian di sekap."Ardan juga bersama mereka, minta Hera untuk menunjukkan keduanya pada kita.""Baik Om.""Tunjukkan Ardan juga Tian, kami ingin melihat mereka sekarang." teriak lagi Beno.Hera begitu cemas, ia terus berjalan mondar-mandir sembari menggigit jarinya."Ayolah, berhenti mondar-mandirnya. Kamu membuatku semakin pusing honey."Seketika itu Hera menghentikan gerakan kakinya, namun matanya masih terlihat cemas dengan menatap sekelilingnya.
Lecy tiba di Jakarta bersama Dewi, bersamaan dengan itu Larasati juga turut datang bersama Niken.Ke empatnya keluar dengan jalur berbeda, Lecy memilih langsung menuju apartemen Beno.Sedang Larasati memilih hotel sebagai tempat istirahatnya."Kenapa perasaan Bunda nggak enak ya?""Ssstttt, Bunda berdoa saja ya. Semoga semuanya baik-baik aja."Dalam kecemasannya Dewi terus berusaha berfikir baik tentang keadaan semuanya. Bayangan Ardan terus saja terlintas dalam fikirannya, menari-nari seakan ingin di kenang.***Dorrrr..Semua orang terkejut, tak terkecuali Tian juga Hera di atas sana.Tembakan itu tepat menengai perutnya, darah segar sudah mengalir membasahi tubuhnya."Honey, tembakan yang bagus."Mata Hera terasa panas, lidahnya kelu hanya untuk menyahu
Semua panik, semua mencari di semua rumah sakit bahkan rumah darah di Jakarta. Namun hanya satu kantong darah yang mereka dapat, sedang Ardan membutuhkan setidaknya tiga kantong darah."Bay, coba kamu hubungi PMI Bogor. Kalau ada kita kesana."Bayu segera menghubungi PMI setempat sesuai dengan instruksi Beno, namun ia kembali menggelengkan kepala.Semua kembali tertunduk lemah."Tolong, tolong selamatkan suami saya. Tolong carikan darah untuknya, tolong."Tian terus terisak, ia terus menangisi kondisi suaminya saat ini. Ia tak akan sanggup jika harus kembali kehilangan orang yang di cintainya."Tuhan, tolong suamiku. Tolong jangan ambil dia dariku, aku mohon selamatkan suamiku."Dewi semakin terisak melihat Tian saat ini. Gadis itu tersiksa dengan rasa cemas juga trauma yang kembali menghampirinya.Tian menangis tanpa
Ambar terus saja berjalan mondar-mandir di depan ruang pemeriksaan. Ia begitu mengkhawatirkan kondisi Tian saat ini."Gue mohon loe harus baik-baik aja, please."Derap langkah terdengar jelas di telinga, hingga Ambar berbalik dan menemukan sang pemilik."Gimana keadaanny?" Ambar hanya diam mengangkat kedua sisi bahunya.Ia masih belum tahu bagaimana kondisi Tian saat ini, sudah lebih dari tiga puluh menit namun belum juga ada kepastian.Keduanya kini sama-sama menunggu dengan cemas, khawatir dengan kondisi Tian yang akan jatuh sakit dengan keputusan yang di ambilnya."Dok, gimana kondisinya?"Serunya begitu pintu itu terbuka."Anda suami pasien?"Semua terdiam dengan pertanyaan itu, bayangan buruk tentang keadaan Tian terus mengalir dalam fikiran mereka."Saya kerabatnya, saat
"Permisi," sapa suster yang masuk ke dalam ruang perawatan Ardan.Semua menatap kedatangan suster tersebut, hanya sekilas lalu sibuk kembali dengan dunianya."Maaf, tapi ruangan harus segera di sterilkan. Pasien butuh ketenangan saat ini.""Maksudmu apa? Kami diam disini, bahkan kami juga tidak berisik apalagi mengganggu cucuku.""Maaf Nyonya, tapi saat ini pasien membutuhkan ketenangan. Mohon ikuti arahan, sebab ini juga demi kebaikan pasien juga."Wirma membantu Dewi bangkit dari kursinya, begitu juga Lecy yang juga bangkit dari duduknya.Ketiganya mulai berjalan keluar tanpa menghiraukan yang lainnya."Tidak, aku akan tetap disini menjaga cucuku!"Wirma menghentikan langkahnya, ia merasa begitu geram dengan tindakan Ibunya. Ingin rasanya ia marah namun sebisa mungkin di tahannya."Kalau I