"Semua kenangan indah dan menyedihkan, tentu suatu saat akan anda ceritakan pada anak cucu, bukan? Ya tentu saja supaya anak cucu tahu, bagaimana perjuangan Pak Fahmi dan Bu Hanum dalam membina rumah tangga. Apakah rumah tangga ini tidak bisa diperbaiki dan dipertahankan?" tanya Pak Akbar."Maaf, Pak. Saya sudah mantap untuk berpisah," jawabku dengan tegas dengan mata masih berkaca-kaca."Disini tertulis karena sudah tidak ada kecocokan. Maksudnya yang seperti apa ya? Saya rasa kalau hanya ketidakcocokan, pasti bisa diperbaiki. Seperti yang saya bilang tadi, saling menerima kekurangan dan kelebihan.""Saya tidak tahu kalau alasan perceraiannya yang tertulis seperti itu," kataku pelan."Tapi Ibu tahu kan kalau Ibu digugat cerai oleh Pak Fahmi?""Istri saya yang menyuruh saya menggugat dan mengurus perceraian ini. Karena status saya sebagai PNS, istri saya tidak mau repot-repot mengurus proses perceraian. Sebenarnya saya tidak mau bercerai, karena anak-anak yang sudah besar. Pasti butuh
Mobil berbelok ke arah sebuah rumah makan, aku langsung menoleh padanya."Ngapain kesini?" tanyaku."Ngisi BBM."Aku mengernyitkan dahi. Mobil pun berhenti di tempat parkir."Namanya ke rumah makan, tentu saja untuk makan. Ngisi BBM untuk perut, biar semakin kuat. Kuat menghadapi kenyataan hidup yang tidak sesuai harapan." Ray berkata dengan ekspresi datar. "Maksudnya?"Ray tidak menjawab pertanyaanku."Ayo turun," ajaknya."Aku nggak mau turun, di mobil saja.""Kamu nggak lapar?"Aku menggelengkan kepala. Tiba-tiba perutku berbunyi, mukaku langsung memanas, mungkin tampak merah karena malu. Ray pun tersenyum."Lain di bibir lain di hati kan? Ayolah, nanti kamu pingsan," bujuk Ray."Biarin." "Atau memang kamu ingin pingsan, biar nanti aku gendong kamu?"Aku mendelik pada Ray yang tampak tersenyum."Aku nggak mau nanti menimbulkan fitnah. Apa kata orang nanti, perempuan bersuami asyik makan berdua dengan laki-laki beristri." Aku berkata dengan hati-hati, takut ia tersinggung."Memang
"Hanum, aku belum selesai berbicara," teriak Dinda.Aku tidak memperdulikan mereka, tetap berjalan bersama Ray menuju ke mobil. Aku baru tersadar, ternyata tanganku masih bergandengan dengan tangan Ray. Aku pun melepaskan tanganku, kebetulan juga sudah ada di dekat mobil Ray. Ray membukakan pintu mobil dan mempersilahkan aku masuk. Kemudian menutup pintu, dan berjalan menuju ke samping.Aku hanya terdiam mengingat kejadian yang baru saja terjadi. Kesal sekali rasanya."Kalau mau menangis, menangis saja. Nggak usah ditahan," kata Ray."Air mataku terlalu berharga untuk menangisi mereka.""Sip! Buktikan kalau kamu bisa bahagia walaupun berpisah dengan Fahmi. Jangan pernah meladeni perempuan itu. Bukan levelmu. Kamu harus terlihat anggun dan elegan di depan mereka. Pasti suatu saat Fahmi akan menyesal telah melepaskanmu."Aku kaget, bagaimana ia tahu nama suamiku?"Nggak usah kaget gitu. Aku kan sudah bilang kalau aku tahu semua tentangmu.""Pasti Opik yang bercerita.""Bukan.""Untuk a
"Kenapa kaget seperti itu? Kamu nggak mau menjauhinya?""Hanum nggak tahu, Mas.""Kalau kamu tidak mau menjauhinya, kamu harus bisa menerima semua konsekuensinya. Kamu sendiri bilang kalau kamu tidak suka dengan anaknya yang angkuh. Dia cerai hidup atau cerai mati?""Hanum nggak tahu apa-apa tentang Ray. Hanum hanya beberapa kali bertemu dengannya dan sekali bertemu dengan anaknya.""Kalau ia duda cerai, kamu harus bersiap jika mantan istrinya selalu berhubungan dengan Ray karena alasan anak. Apalagi kamu nggak tahu apa alasan perceraian mereka.""Entahlah Mas, Hanum belum memikirkan ke arah situ. Mau fokus dulu dengan perceraian.""Kalau mau fokus dengan perceraian, kamu harus menjaga jarak dengan Ray. Mas nggak mau kamu terluka lagi, Num. Apalagi levelnya tinggi, Mas takut kalau kamu nanti hanya dipermainkan saja oleh Ray. Dia seorang dokter, tampan, kaya, siapa sih perempuan yang tidak tertarik dengannya. Mudah baginya mendapatkan perempuan cantik, muda dan masih gadis."Aku terdia
"Ini Pak uangnya. Terima kasih," kata Arya sambil menyerahkan ongkos taksi online yang kami tumpangi."Sama-sama, terimakasih juga," sahut sopir taksi online.Arya keluar dari mobil, aku dan Adiva juga. Kami sampai di hotel tempat resepsi pernikahan Duta. Hari ini aku dan anak-anak datang ke pesta pernikahan Duta. Mengingat Duta sangat baik pada Arya, aku ikut hadir juga. Karena aku pun diundang untuk menyaksikan kebahagiaan Duta.Memasuki hotel kami disambut oleh penyambut tamu, yang tampak cantik-cantik. Kemudian menulis nama di buku tamu. Begitu masuk ke ruangan resepsi, berbagai hiasan dan dekorasi menambah meriah suasana. Tentu saja acara sedang berlangsung, karena kami memang sengaja datang lebih lama dari jadwal acara. Tamu yang hadir ikut bersuka cita menyaksikan pengantin yang tampak serasi. Raja dan ratu hari ini, karena semua mata tertuju pada sang pengantin Sepertinya pengantin perempuannya berasal dari orang yang berada. Karena tamu yang hadir juga kelihatan orang berkel
"Om Ray, kami duluan ya?" pamit Arya."Kalian naik apa?" tanya Ray."Taksi, Om." Arya menjawab sambil berjalan."Om antar ya?""Nggak usah repot-repot Mas Ray. Kami duluan," kataku sambil menggandeng tangan Adiva. Kami berjalan keluar ruang resepsi. Arya tampak memesan taksi melalui aplikasi. "Lama sekali, Kak," kata Adiva yang sudah merasa lelah. "Nggak ada taksi yang ada di sekitar sini. Bentar, Kakak cari lagi," kata Arya sambil mengutak-atik ponselnya."Ayo, Om antar," ajak Ray yang tiba-tiba muncul sambil merangkul pundak Arya dan mengajak berjalan."Mobil Om ada di luar sana, jadi gampang keluarnya." Ray melanjutkan berbicara.Mau tidak mau aku mengikuti Arya yang berjalan bersama dengan Ray. Kulihat Ray dan Arya hampir sama tingginya.Sampailah kami di depan mobil Ray. Aku mengkode Arya biar duduk di depan bersama dengan Ray. Aku dan Adiva duduk di tengah.Sepanjang perjalanan Ray dan Arya berbincang seru. Tampak keduanya saling nyambung dalam obrolan. Adiva sibuk dengan pon
Frida tampak sangat kesal dengan ucapanku tadi. Aku pun juga kesal dengan hinaan dia."Apa maksudmu?" tanya Frida."Silahkan pikir sendiri. Aku lihat Sepertinya pendidikanmu tinggi, pasti pola pikirmu sangat luas. Kalau tidak, cari di internet sana, tutorial mendekati laki-laki. Gunakan ini," kataku sambil menunjuk kepalaku sendiri. Supaya ia paham, bahwa segala sesuatu itu harus dipikir dulu. Frida tampak emosi."Jangan sok pintar kamu. Lihat diri kamu sendiri, suamimu selingkuh pasti karena tidak tahan melihat tingkahku yang sok pintar itu.""Kamu nggak usah mencampuri urusan rumah tanggaku. Kamu sendiri bagaimana? Sudah menikah atau masih gadis?""Aku masih gadis, perawan.""Iya, perawan tua. Tapi kelakuan tidak mencerminkan seorang gadis. Kamu itu cantik karena make up mu yang terlalu tebal. Coba hapus make up mu, pasti sudah ada keriput juga." Aku sudah sangat kesal dengan Frida. Frida tampak semakin emosi mendengar ucapanku."Tante Lily, ternyata Tante minta alamat rumahku hany
"Kamu kenapa? Ada apa ini?" Aku berteriak histeris. "Ada apa, Bu," terdengar suara Adiva di kamar Arya."Ya Allah, Kak. Kakak kenapa?" tanya Adiva kaget melihat wajah Arya.Arya pun duduk kemudian menunduk."Ibu butuh penjelasanmu." Aku berkata dengan tegas."Hanya sedikit salah paham, Bu. Tapi nggak apa-apa?" "Kamu berkelahi ya? Dimana? Disekolah?" cecarku dengan beberapa pertanyaan."Pulang sekolah. Sudah Arya bilang, hanya salah paham. Arya nggak apa-apa, hanya capek saja.""Kayak gini kok bilang nggak apa-apa. Adiva, ambilkan Betadine ya?" pintaku pada Adiva. Adiva pun bergegas keluar dari kamar Arya. Tak berapa lama, Adiva masuk membawa Betadine dan kassa. Aku pun mengoles Betadine pada luka Arya. Arya hanya meringis menahan kesakitan. "Berkelahi itu bukan pertanda jagoan. Apa yang kamu dapat dengan berkelahi? Wajahmu jadi babak belur seperti ini. Apakah kamu puas?"Arya terdiam dan menunduk."Berkelahi tidak menyelesaikan masalah. Kalau ada masalah, bicarakan dengan baik-bai
Kondisi kesehatan Mbak Hani sudah mulai membaik, Mbak Hani juga sangat menerapkan gaya hidup yang sehat. Tentu saja kami semua bahagia mendengarnya. Mbak Hani juga memiliki semangat yang tinggi untuk sehat. Ia ingin menjadi Mama yang baik untuk Nadya.Arya dan Nadya juga sudah mulai kuliah di kampus yang sama tapi beda fakultas. Aku meminta Arya untuk menjaga Nadya. Ternyata benar dugaan Mbak Hani, Mas Kevin tidak mau membiayai Nadya kuliah. Dengan berbagai macam alasan. Untung saja Mbak Hani sudah menyiapkan semuanya.Untuk Arya, aku juga patut bersyukur. Mas Fahmi membantu biaya masuk kuliah. Arya juga bercerita kalau Yang Kung beberapa kali mentransfer uang untuk biaya hidup bulanan. Padahal kalau mereka tidak mau membantu biaya kuliah, Mas Ray juga sudah menyiapkannya. Hubungan kami dengan keluarga Mas Fahmi juga sangat baik. Beberapa kali aku mengajak Mas Ray ke rumah orang tua Mas Fahmi. Alhamdulillah mereka menerima kami dengan baik.Kehamilanku sendiri sudah memasuki bulan ke
"Mas, ada fans berat tuh," kataku pada Mas Ray."Boleh Mas samperin dia?""Boleh, siapa takut." Kami pun berjalan menuju ke arah dokter Vanya yang sedang berbincang dengan dokter Ismail dan seseorang."Gandengan terus," ledek seseorang yg tidak aku kenal."Iya, dong. Truk aja gandengan, masa kita enggak." Mas Ray berkata sambil tertawa. Dokter Ismail dan orang itu tertawa, sedangkan dokter Vanya hanya terdiam saja."Selamat ya Ray, bentar lagi punya bayi?" kata dokter Ismail. "Terimakasih dokter.""Cepet bener hamilnya, jangan-jangan sudah…." Dokter Vanya menggantung ucapannya."Hush nggak boleh ngomong gitu," potong dokter Ismail."Biarlah dokter, hanya kami berdua dan Allah yang tahu. Kami menikah sudah tiga bulan dan istri saya hamil dua bulan." Mas Ray menjelaskan.Kami pun berpamitan pada dokter Ismail.Sampai dirumah sudah ada Mama sama Papa yang duduk di ruang keluarga. Adiva sedang menghidangkan minuman."Diminum Opa, Oma," kata Adiva."Terima kasih ya sayang," jawab Mama.
"Baru saja Hani mau manggil Bapak dan Ibu, nggak tahunya sudah keluar," kata Mbak Hani."Anak-anak kemana, Mbak?" tanyaku pada Mbak Hani."Tadi katanya mau keluar sebentar, entah kemana.""Naik apa?" tanyaku lagi."Jalan kaki."Kami semua berkumpul di ruang keluarga. Menikmati makanan buatan Mbak Hani dan bercerita tentang berbagai hal."Hani, kamu semangat ya, ikuti semua anjuran dokter. Ibu akan selalu mendukungmu," kata Ibu dengan tersenyum."Iya, Bu. Hani senang melihat Ibu bisa tersenyum lagi. Tadi Hani sempat merasa kalau Hani yang membuat Ibu bersedih. Senyum Ibu membuat Hani menjadi bersemangat." Mbak Hani menimpali."Kami semua disini mendukungmu. Selain berusaha jangan lupa juga berdoa dengan yang di atas. Semua terjadi karena izin dari Allah," kata Bapak."Iya, Pak. Hani terharu. Terima kasih untuk semua doa dan dukungannya. Hani sangat semangat untuk sembuh, demi Nadya, keluarga kita dan tentu saja demi Hani sendiri," kata Mbak Hani."Mbak, kami semua ada untuk Mbak Hani,"
Ceklek! Pintu pun dibuka."Ada apa Pa?" tanya Lea. Adiva pun memegang tanganku.Aku nggak tahu apa yang diucapkan Mas Ray pada anak-anak. Aku tidak bisa fokus. Aku tetap menangis, tiba-tiba pandanganku menjadi gelap. Yang kuingat hanyalah suara Adiva memanggilku."Ibu," panggil Adiva, ketika aku membuka mata. Mas Ray dan anak-anak ada di dekatku. Aku masih mencoba mengingat-ingat apa yang telah terjadi. Aku pun menangis ketika mampu mengingat lagi apa yang terjadi."Ayo ke rumah Bapak," ajakku pada Mas Ray.Mas Ray menggelengkan kepalanya. Aku mencoba beranjak dari tidurku, tapi kepalaku sangat sakit. "Kenapa, Bu?" tanya Arya."Pusing.""Aku mau ke rumah Bapak. Arya, antar Ibu ke rumah Akung," kataku dengan kesal karena Mas Ray tidak menuruti permintaanku.Kulihat Arya seperti kebingungan, mungkin dia ingin mengantarku, tapi takut pada Mas Ray.Mas Ray menatap tajam padaku, aku segera memalingkan wajahku. "Sayang, lihat Mas."Aku masih kesal dengannya."Lihatlah Ibu kalian kalau mer
Aku mengajak Mbak Hani ke kamar Ibu untuk melihat kondisi Ibu. Kulihat Mas Ray baru saja selesai memeriksa tekanan darah Ibu. "Bagaimana Ibu, Mas?" tanyaku pada Mas Ray."Ibu hanya shock saja, semua butuh proses. Sepertinya Ibu belum bisa menerima sebuah kenyataan. Tekanan darah agak naik sedikit. Apa Ibu punya penyakit hipertensi?" tanya Mas Ray."Enggak ada," jawab Bapak."Kita tunggu sebentar lagi, mudah-mudahan segera siuman," kata Mas Ray. Aku dan Mbak Hani duduk di tepi tempat tidur."Maafkan Hani, Bu." Mbak Hani masih saja menangis."Semua bukan salahmu, Hani? Ibu hanya butuh waktu untuk menerima semua ini," kata Bapak membesarkan hati Mbak Hani.Kami semua hanya terdiam, tak berapa lama Ibu membuka matanya. Ibu tampak bingung melihat kami semua disini."Apa aku sudah mati? Kenapa semuanya berkumpul disini?" tanya Ibu."Ibu masih hidup, dan harus tetap sehat, karena Bapak masih sangat membutuhkan Ibu." Bapak menjawab sambil tersenyum."Apa yang terjadi?" tanya Ibu."Ibu hanya
Bapak dan Ibu sangat terkejut mendengar kata-kata Mbak Hani. Kemudian Ibu menangis lagi. Suasana menjadi penuh haru. Hanya Bapak yang tidak menangis, tapi aku yakin kalau Bapak menahan air matanya supaya tidak jatuh. "Pernah? Berarti sekarang sudah sembuh?" tanya Ibu lagi, masih dengan air mata yang mengalir di pipinya."Sudah operasi pengangkatan, Bu. Hani survivor kanker." Mbak Hani berkata sambil meneteskan air mata.Ibu semakin keras menangisnya."Oalah Hani, kenapa kamu nggak cerita sama Bapak dan Ibu? Pak, lihatlah anak kita, menderita seorang diri. Orang tua macam apa kita, membiarkan anak sakit dan kita tidak mendampinginya." Ibu berkata sambil menangis. Aku jadi ikut menangis. Mbak Hani mendekati Ibu dan memeluknya. Mbak Hani memegang tangan Ibu dan menariknya untuk ditempelkan ke bagian dada Mbak Hani yang sebelah kiri. Ibu tampak terkejut. "Ini yang dioperasi?" tanya Ibu.Mbak Hani mengangguk pelan."Maafkan Hani, Bu. Hani hanya tidak mau merepotkan Ibu, makanya Hani mel
"Nggak ada, kok, Num. Memangnya ada apa?" kilah Mbak Hani."Mbak, nggak usah bohong. Aku sudah tahu semuanya. Aku kan pernah nanya sama Mbak Hani, apa Mbak Hani sakit. Tapi jawaban Mbak Hani, nggak apa-apa, hanya kurang tidur saja. Apa Mbak Hani mau cerita padaku, apa yang terjadi sebenarnya?"Mbak Hani hanya diam saja."Mbak aku sering memperhatikan Mbak Hani. Aku merasa ada yang lain dari Mbak Hani. Kulihat Mbak Hani badannya menyusut dan terlihat tidak bercahaya. Mbak, aku sayang sama Mbak Hani, tidak mau terjadi apa-apa pada Mbak Hani. Karena itu aku mencari informasi tentang Mbak Hani. Apa Bapak dan Ibu tahu? Mas Hanif, tahu juga?"Mbak Hani menghela nafas panjang."Nggak ada yang tahu, Num. Aku nggak mau membebani mereka.""Bukannya membebani, Mbak. Tapi kalau mereka tahu mereka akan merasa dibutuhkan, bisa untuk saling bertukar pikiran. Aku yakin, mereka pasti akan kesal kalau sampai tahu dari orang lain.""Aku bingung mau memulai dari mana untuk menjelaskan pada mereka." "Bic
Aku menoleh ke arah datangnya suara, ternyata Mas Fahmi bersama Dinda dan anak mereka. Aku tersenyum."Mas Fahmi," sapaku sambil tersenyum ke arahnya. Dinda diam, tampak wajah yang tidak bersahabat. Memandangku tak berkedip."Apa kabar Hanum," kata Mas Fahmi."Kabar baik. Kenalin Mas ini suamiku," kataku pada Mas Fahmi."O ya. Fahmi, ini Dinda." Mas Fahmi memperkenalkan istrinya."Ray." Mas Ray mengulurkan tangannya."Kami duluan ya, Mas?" pamitku."Oh iya." Mas Fahmi menjawab dengan gugup.Aku dan Mas Ray pun masuk ke dalam mobil. Mobil melaju meninggalkan rumah makan."Kok diam saja?" tanya Mas Ray. Kamu memang hanya terdiam sepanjang perjalanan pulang. Pikiranku terasa buntu, banyak sekali yang aku pikirkan."Terus harus ngapain?" "Ngobrol kek, atau apa.""Mas yang ngomong, nanti aku dengar," kataku.Mas Ray hanya diam, kebetulan juga sudah sampai rumah. Aku turun dari mobil, kemudian membuka pintu pagar dan membuka pintu rumah. Meletakkan makanan yang tadi aku beli di meja makan.
Dokter Fajar menarik nafas panjang dan kemudian berkata padaku."Begini Mbak Hanum, Ibu Hanifah Zahira menderita penyakit hipertiroidisme.""Penyakit apa itu dokter?" tanyaku, karena memang aku kurang paham. Lebih baik aku bertanya daripada sok tahu."Penyakit hipertiroidisme adalah gangguan yang terjadi saat kadar hormon tiroksin dalam tubuh terlalu tinggi. Hormon tiroksin yang diproduksi oleh kelenjar tiroid ini memiliki peran penting dalam proses metabolisme tubuh. Jika kadarnya berlebihan, maka proses metabolisme pun akan terganggu. Penderita hipertiroidisme dapat mengalami gejala berupa: tremor,turunnya berat badan, mudah berkeringat,gangguan tidur, gugup, cemas, dan mudah tersinggung, jantung berdebar.""Yang saya tahu Mbak Hani itu berat badannya turun dan mengalami gangguan tidur." Aku berkata dengan pelan."Iya, Ibu Hanifah mengalami yang Mbak Hanum sebutkan tadi." Dokter Fajar menambahi."Apa penyakit ini bisa sembuh?" tanyaku lagi."Bisa, pengobatan rutin selama enam bula