"Kenapa kaget seperti itu? Kamu nggak mau menjauhinya?""Hanum nggak tahu, Mas.""Kalau kamu tidak mau menjauhinya, kamu harus bisa menerima semua konsekuensinya. Kamu sendiri bilang kalau kamu tidak suka dengan anaknya yang angkuh. Dia cerai hidup atau cerai mati?""Hanum nggak tahu apa-apa tentang Ray. Hanum hanya beberapa kali bertemu dengannya dan sekali bertemu dengan anaknya.""Kalau ia duda cerai, kamu harus bersiap jika mantan istrinya selalu berhubungan dengan Ray karena alasan anak. Apalagi kamu nggak tahu apa alasan perceraian mereka.""Entahlah Mas, Hanum belum memikirkan ke arah situ. Mau fokus dulu dengan perceraian.""Kalau mau fokus dengan perceraian, kamu harus menjaga jarak dengan Ray. Mas nggak mau kamu terluka lagi, Num. Apalagi levelnya tinggi, Mas takut kalau kamu nanti hanya dipermainkan saja oleh Ray. Dia seorang dokter, tampan, kaya, siapa sih perempuan yang tidak tertarik dengannya. Mudah baginya mendapatkan perempuan cantik, muda dan masih gadis."Aku terdia
"Ini Pak uangnya. Terima kasih," kata Arya sambil menyerahkan ongkos taksi online yang kami tumpangi."Sama-sama, terimakasih juga," sahut sopir taksi online.Arya keluar dari mobil, aku dan Adiva juga. Kami sampai di hotel tempat resepsi pernikahan Duta. Hari ini aku dan anak-anak datang ke pesta pernikahan Duta. Mengingat Duta sangat baik pada Arya, aku ikut hadir juga. Karena aku pun diundang untuk menyaksikan kebahagiaan Duta.Memasuki hotel kami disambut oleh penyambut tamu, yang tampak cantik-cantik. Kemudian menulis nama di buku tamu. Begitu masuk ke ruangan resepsi, berbagai hiasan dan dekorasi menambah meriah suasana. Tentu saja acara sedang berlangsung, karena kami memang sengaja datang lebih lama dari jadwal acara. Tamu yang hadir ikut bersuka cita menyaksikan pengantin yang tampak serasi. Raja dan ratu hari ini, karena semua mata tertuju pada sang pengantin Sepertinya pengantin perempuannya berasal dari orang yang berada. Karena tamu yang hadir juga kelihatan orang berkel
"Om Ray, kami duluan ya?" pamit Arya."Kalian naik apa?" tanya Ray."Taksi, Om." Arya menjawab sambil berjalan."Om antar ya?""Nggak usah repot-repot Mas Ray. Kami duluan," kataku sambil menggandeng tangan Adiva. Kami berjalan keluar ruang resepsi. Arya tampak memesan taksi melalui aplikasi. "Lama sekali, Kak," kata Adiva yang sudah merasa lelah. "Nggak ada taksi yang ada di sekitar sini. Bentar, Kakak cari lagi," kata Arya sambil mengutak-atik ponselnya."Ayo, Om antar," ajak Ray yang tiba-tiba muncul sambil merangkul pundak Arya dan mengajak berjalan."Mobil Om ada di luar sana, jadi gampang keluarnya." Ray melanjutkan berbicara.Mau tidak mau aku mengikuti Arya yang berjalan bersama dengan Ray. Kulihat Ray dan Arya hampir sama tingginya.Sampailah kami di depan mobil Ray. Aku mengkode Arya biar duduk di depan bersama dengan Ray. Aku dan Adiva duduk di tengah.Sepanjang perjalanan Ray dan Arya berbincang seru. Tampak keduanya saling nyambung dalam obrolan. Adiva sibuk dengan pon
Frida tampak sangat kesal dengan ucapanku tadi. Aku pun juga kesal dengan hinaan dia."Apa maksudmu?" tanya Frida."Silahkan pikir sendiri. Aku lihat Sepertinya pendidikanmu tinggi, pasti pola pikirmu sangat luas. Kalau tidak, cari di internet sana, tutorial mendekati laki-laki. Gunakan ini," kataku sambil menunjuk kepalaku sendiri. Supaya ia paham, bahwa segala sesuatu itu harus dipikir dulu. Frida tampak emosi."Jangan sok pintar kamu. Lihat diri kamu sendiri, suamimu selingkuh pasti karena tidak tahan melihat tingkahku yang sok pintar itu.""Kamu nggak usah mencampuri urusan rumah tanggaku. Kamu sendiri bagaimana? Sudah menikah atau masih gadis?""Aku masih gadis, perawan.""Iya, perawan tua. Tapi kelakuan tidak mencerminkan seorang gadis. Kamu itu cantik karena make up mu yang terlalu tebal. Coba hapus make up mu, pasti sudah ada keriput juga." Aku sudah sangat kesal dengan Frida. Frida tampak semakin emosi mendengar ucapanku."Tante Lily, ternyata Tante minta alamat rumahku hany
"Kamu kenapa? Ada apa ini?" Aku berteriak histeris. "Ada apa, Bu," terdengar suara Adiva di kamar Arya."Ya Allah, Kak. Kakak kenapa?" tanya Adiva kaget melihat wajah Arya.Arya pun duduk kemudian menunduk."Ibu butuh penjelasanmu." Aku berkata dengan tegas."Hanya sedikit salah paham, Bu. Tapi nggak apa-apa?" "Kamu berkelahi ya? Dimana? Disekolah?" cecarku dengan beberapa pertanyaan."Pulang sekolah. Sudah Arya bilang, hanya salah paham. Arya nggak apa-apa, hanya capek saja.""Kayak gini kok bilang nggak apa-apa. Adiva, ambilkan Betadine ya?" pintaku pada Adiva. Adiva pun bergegas keluar dari kamar Arya. Tak berapa lama, Adiva masuk membawa Betadine dan kassa. Aku pun mengoles Betadine pada luka Arya. Arya hanya meringis menahan kesakitan. "Berkelahi itu bukan pertanda jagoan. Apa yang kamu dapat dengan berkelahi? Wajahmu jadi babak belur seperti ini. Apakah kamu puas?"Arya terdiam dan menunduk."Berkelahi tidak menyelesaikan masalah. Kalau ada masalah, bicarakan dengan baik-bai
Pulang sekolah, aku punya rencana untuk datang ke kantor Duta. Ingin meminta penjelasan tentang kejadian kemarin. Aku nggak mau masalah ini menjadi berlarut-larut. Kalaupun Arya tidak mau bekerja disana lagi, nggak apa-apa. Tapi keluar dalam keadaan baik, artinya tidak meninggalkan suatu permasalahan atau permusuhan dengan pegawai yang lain. Mungkin tindakanku ini salah, karena mencampuri urusan Arya. Tapi aku tidak mau nanti Arya punya musuh. Juga bisa-bisa hubungan baikku dengan Duta menjadi tercoreng karena perkelahian Arya. Walaupun aku tahu apa alasan Arya berkelahi.Bismillah saja, niatku baik. Kalau yang salah Arya aku akan meminta maaf dengan tulus. Semoga Duta tidak marah dengan kami.Sampai di kantor Duta, suasana tidak begitu ramai. Hanya ada dua karyawan yang sedang mengerjakan sesuatu. Kantor Duta berada di kompleks yang cukup ramai, berupa ruko dua lantai. "Assalamu'alaikum," sapaku pada dua pemuda yang sedang duduk sambil melipat-lipat undangan."Waalaikumsalam." Mere
"Kenapa dengan Harry? Memang ia belum lama disini, ia keponakannya Lily." Duta menjawab dengan nada yang belum percaya, terhadap yang aku ucapkan."Tanya saja dengan Harry. Ada apa sebenarnya.""Maaf, Om. Aku nggak tahu apa-apa dan tidak terlibat dalam masalah apapun disini." Harry berkata seolah-olah ia tidak tahu menahu. Dasar bermuka dua, ia memang tampak sangat licik. "Kamu pengecut Harry. Tanggung jawab dong dengan semua yang sudah kamu lakukan," ejekku. Ia tampak marah."Maaf, Tante, aku nggak tahu apa yang Tante maksud," kilah Harry dengan senyum liciknya. Aku sangat emosi mendengar perkataan Harry.Harry tampak percaya diri, seolah-olah ia menantangku."Sebenarnya kamu punya masalah apa sama aku? Aku tidak mengenalmu dan aku rasa kamu tidak mengenalku. Kamu itu tidak tahu apa-apa tentangku. Jadi kamu nggak berhak mengolok-olokku di depan Arya. Wajar kalau Arya marah, karena ia membela ibunya." Aku mulai emosi dengan kelakuan Harry."Aku nggak tahu apa yang Tante maksud. Tante
Aku tampar muka Mas Fahmi. Ia tampak terkejut, mungkin tidak menyangka aku akan berani dengannya."Kamu sudah berani denganku? Dasar perempuan tak tahu diri."Plak! Plak! Mas Fahmi menampar kedua pipiku. Aku memegang pipiku yang terasa panas. Tak terasa aku meneteskan air mata. Baru sekali ini Mas Fahmi menamparku."Kamu puas Mas menamparku. Ayo tampar aku lagi, biar kamu benar-benar merasa puas.""Kamu yang kurang ajar, berani-beraninya menamparku.""Sudah, Mas, pergi saja dari sini. Aku sangat muak melihatmu."Mas Fahmi kelihatan semakin emosi."Aku kesini mau bertanya tentang sertifikat rumah dan tanah. Kamu yang membawanya, kan?" tanya Mas Fahmi. Ia segera masuk ke kamarku, aku mengikutinya. Kemudian Mas Fahmi mendekati lemari baju."Keluar, Mas. Apa yang kamu lakukan?" teriakku."Aku mau mengambil punyaku. Sertifikat rumah itu punyaku.""O ya? Apakah hanya kamu yang mengeluarkan uang? Ingat, ada uang Bapak di rumah itu. Keluarlah Mas."Mas Fahmi mendorongku dengan keras, aku terp