Ketika Kakak Ipar Kembali
Part 4
--------
By Lestari Zulkarnain
Usai kepergian Mas Adam dan kakaknya, aku membereskan semua yang ada di meja makan dibantu oleh Mbak Inem. Aku tidak bisa mengandalkan Mbak Inem untuk bekerja sendiri. Rumah sebesar ini memang cukup melelahkan.
Baju yang tadi aku cuci dijemur oleh Mbak Inem, aku mencuci piring bekas makan.
Setelah itu, aku menuju ke kamar untuk membangunkan Awan, putraku. Saat mau masuk ke kamar, kulihat kamar Mbak Ghina sedikit terbuka. Aku menuju ke kamar tersebut dan bermaksud untuk menutupnya.
"Astaghfirullah, Mbak! Kamar berantakan seperti ini kok betah, sih!" gumamku ketika melihat isi kamar Mbak Ghina. Sangat berantakan, bantal dan guling tidak tertata rapi, handuk basah di kasur bercampur dengan bantal. Ingin masuk dan membereskan, tetapi, ah, tidak jadi, khawatir ada yang hilang dan aku tertuduh.
"Hawa, sini!" panggil Emak mengagetkanku. Kulihat Emak duduk di ruang tamu ditemani segelas teh manis dan pisang goreng.
Sebenarnya masih ingin membereskan rumah, halaman belakang belum disapu.
"Iya, Mak, ada apa?" Aku duduk di hadapan Emak. Kursi jati berukiran indah yang aku duduki masih kokoh, padahal sudah berusia puluhan tahun dan dibuat pada saat Bapak mertua masih kecil.
Ada apa gerangan Emak mendudukkanku di sini.
"W*, sebenarnya Emak nggak enak mau bicara padamu, tetapi karena desakan Ghina, Emak beranikan diri."
Nampaknya mertuaku sangat serius. Namun kenapa harus bicara padaku? Kenapa tidak langsung ke anaknya sendiri?
"Iya, Mak, monggo," ucapku sopan. Aku memang sudah menganggap mertuaku seperti orang tua sendiri. Selama ini Emak tidak pernah membedakan aku dengan anaknya. Emak tahu bahwa aku mau tinggal dengan emak saja itu suatu keberuntungan.
"Mbakmu, si Ghina pingin jual tanah. Selama ini baru rumah ini yang Emak bagi sesuai wasiat Bapak dan Adamlah yang akan njujuli. Nah, permintaan Ghina, dia mau minta jujulannya. Katanya untuk modal. Bagaimana?"
Waduh, Mbak Ghina minta jujulan rumah padahal simpanan kami sedang tidak ada. Kemarin baru saja membayar biaya kuliah Mas Adam.
"Mak, Emak sudah sudah bicara sama Mas Adam?" tanyaku. Emak menggeleng.
"Lho kok nggak bicara sama Mas Adam dulu sih, mak."
"Aku nggak berani, W*, nanti kamu yang bicara sendiri saja, ya," ujar Emak.
"Mak, kalau njujuli rumah ini sekarang, kayaknya belum bisa. Uang kami kemarin sudah untuk membayar kuliah Mas Adam," balasku membuat raut wajah emak menjadi kecewa.
"Kata Ghina, jika kamu nggak bisa njujuli, sawah bagian Ghina mau dijual."
Sawah bagian Ghina? Bukankah sawah punya emak belum dibagi-bagi. Baru rumah ini yang dibagi karena wasiat bapak. Lagi pula, emak juga masih ada, kenapa mbak Ghina minta jatah sawah?
"Mak, bukankah sawah peninggalan Almarhum Bapak belum dibagi?" ucapku. Mertuaku terdiam. Beliau memang sangat percaya padaku sehingga segala permasalahan curhatnya padaku.
"Iya, W*, tapi Ghina memohon-mohon. Katanya mau usaha di sini."
"Sebentar, Mak. Emak tahu nggak kenapa Mbak Ghina dan Mas Anton tiba-tiba pulang kampung," tanyaku. Pertanyaan inilah yang selama ini mengganjal pikiranku. Selama ini, Mbak Ghina sangat royal. Kendaraan roda empat ia punya, tetapi ketika pulang, semua itu tiada.
Emak menunduk sambil menggeleng pelan.
"Ghina itu aneh, ia tidak pernah terbuka sama Emak. Emak nanya seperti itu, ia malah marah." Mata wanita yang kini usianya hampir enam puluh tahun itu mulai mengembun.
"Ya udah, Mak, nanti aku bicara sama Mas Adam," ucapku menenangkan. Akupun kembali dengan aktivitasku yakni berkutat dengan dapur, sumur dan kasur. Kulirik di kamar, Awan belum bangun. Mungkin karena semalam tidurnya terlalu larut.
.
.
Jam sebelas Mbak Ghina dan Mas Anton serta Anggi pulang menggunakan mobil jeep. Lho, Mas Adam tidak mengantarnya pulang? Aku mendekati mereka.
"Mbak, mana Mas Adam?" tanyaku pada Mbak Ghina yang baru masuk ke dalam. Ia membawa beberapa tentengan. Mungkin baru saja belanja.
"Adam nggak jadi nganter, katanya ada pekerjaan."
"Owh."
Aku kembali ke dapur membantu Mbak Eni yang sedang memasak. Kali ini tidak seperti biasanya. Semua dilebihkan. Dari memasak nasi, memasak sayur, lauk dan semuanya. Itu semua aku yang belanja.
Belum jam dua belas, mbak Ghina dan Mas Anton ke dapur untuk mengambil makan siang. Aku dan Mbak Eni yang baru selesai masak, hanya memperhatikan sikap keduanya.
"Mbak, masakan siapa ini, kurang asin dikit," ujar Mbak Ghina sambil mengunyah nasi yang baru saja ia masukkan ke mulut.
"Aku, mbak," ucapku.
"Lah, sekarang kamu yang masak?" tanyanya.
"Iya."
"Pantas, dari dulu masakanmu gini aja, nggak ada peningkatan," ujar Mbak Ghinasambil makan dengan lahapnya.
Usai makan, Mas Anton dan Mbak Ghina ke kamar. Giliran aku menyuapi Awan.
Kupanggil Emak mertuaku untuk makan siang dan sekalian Mbak Eni. Sementara itu aku ke teras depan.
Saat menemani putraku bermain, kudengar suara mendehem. Kutengok ke belakang. Mas Anton?
"Hawa," panggil kakak ipar. Matanya tak berkedip menatapku membuatku salah tingkah.
"Hawa, aku tahu, kamu sering ditinggal sama Adam, kan?" tanya pria itu. Ia mendekat dan duduk sejajar denganku. Kumasukkan nasi ke mulut putraku.
"Sudah resiko," jawabku.
"Hawa, kamu wanita yang cantik dan cerdas."
Maksudnya apa Mas Anton bicara seperti itu.
"Alhamdulillah," jawabku singkat. Pria itu tersenyum, deretan giginya sedikit kuning, mungkin jarang gosok gigi.
"Kamu beda dengan Ghina. Dia itu bodoh!"
Astaghfirullah, kenapa ia bicara begitu? Tak kusangka ia menjelekkan istrinya didepanku. Kubiarkan dia bicara untuk mengetahui apa maksudnya dari omongannya itu.
"Hawa, kita sama-sama menantu, bagaimana kalau kita bekerja sama?" Usul kakak ipar.
"Mak, maksudnya?"
"Maksudku, bagaimana kalau meminta agar warisan pasangan kita segera dibagi." Aku kaget dengan ucapan Mas Anton. Apakah ini tujuan dia pulang kampung? Atau ada masalah lain?
"Maaf, mas, aku tidak berani," jawabku. "Menurutku itu sangat lancang. Emak masih hidup dan tak patut kita memintanya, itu akan menyinggung."
Mendengar penjelasanku, Mas Anton langsung pergi.
"Lho, kok pergi!"
---------
bersambung ya gaess, subscribe dan follow dulu, yuk.
makasih đ
KETIKA KAKAK IPAR KEMBALIPART 5-----oOO-----Kenapa Mas Anton berfikir seperti itu? Apakah, Mbak Ghina tidak tahu? Kalau yang ini aku yakin Mbak Ghina tidak tahu. Pasti ini hanya akal-akalan Mas Anton saja. Nanti aku coba bicara ke Mas Adam tentang ini.Setelah menyuapi Awan, aku kembali ke dapur. Kini giliranku makan siang. Sepertinya Emak belum makan, biasanya jam segini sudah makan. Coba aku panggil.Aku menuju ke ruang tamu sekaligus juga ruang keluarga. Ruangan yang sangat lebar. Ruangan ini terbagi menjadi dua tanpa sekat untuk ruang tamu sekaligus ruang keluarga.Khusus ruang tamu sudah tertata kursi sudut yang terbuat yang dari kayu jati dengan ukiran khas Jepara yang etnic. Sementara ruang keluarga hanya lesehan dengan hamparan permadani indah berwarna hijau muda dan dilapisi kasur sofa yang empuk sehingga nyaman untuk diduduki bahkan rebahan. Televisi juga tertem
KETIKA KAKAK IPAR KEMBALIPart 6------oOo-----Kusambut suamiku dengan suka cita. Banyak sekali uneg-uneg yang ingin aku ungkapkan. Kubawakan tas ranselnya dan kemudian menuju ke kamar bersamanya. Secangkir teh manis aku sajikan bersama pisang goreng hangat kesukaan. Sama persis dengan Emaknya."Mandi dulu ya, Mas," ucapku menawarkan. Bau keringat ciri khas menguar menusuk hidung. Namun membuat aku kangen jika lama tak menciumnya, hua ...."Ini handuknya." Kuserahkan handuk warna hijau khas TNI dengan bahan tebal. Sangat lembut dan nyaman.Mas Adam menuju ke kamar mandi."Wa," panggil Mbak Ghina ketika melihatku keluar dari kamar."Ditunggu emak di ruang keluarga," ucapnya. "Eh jangan lupa sama Adam juga, ada yang mau diomongin, penting!"Baru saja suamiku pulang dan akupun belum sempat rembugan, Mbak Ghina sudah memi
PART 7KETIKA KAKAK IPAR KEMBALI-----+++-----Kami membubarkan diri dikarenakan Maghrib telah tiba. Aku dan Mas Adam menuju ke kamar, begitu juga Mbak Ghina dan suami."Mas, memangnya Mas Ada duit?" Pertanyaan yang mengganjal yang ingin kutanyakan padanya saat di luar tadi."Saat ini nggak ada, tapi akan Mas usahakan. Kasihan Mbak Ghina dan Mas Anton. "Sebenarnya aku kurang percaya pada mereka. Gelagat Mas Anton sangat mencurigakan. Aku khawatir kalau dia hanya akan mwrong-rong harta Emak."Lah, Mas, wong cicilan kemarin aja belum lunas, apakah mau ambil di koperasi lagi?" aku menyahut. Kemarin kami meminjam uang di Koperasi Simpan Pinjam KORPRI dan memang belum lunas. Begitulah kalau pegawai, meski tidak semua, seringnya menyekolahkan SK (*surat keputusan)"Mungkin nanti begitu. Sudah, ah, Mas mau sholat dulu, nanti dilanjut ngobrolnya." Dengan cepat
Part 8KAKAK IPARKU BENALU DALAM RUMAH TANGGAKU---------------Hari Ahad tiba. Kali ini kami semua berkumpul di rumah termasuk Mas Adam. Sudah menjadi kebiasaan kami setiap hari Ahad, kami selalu bersih-bersih rumah. Menyiangi rumput, manata taman, mangelap kaca jendala serta membongkar gudang. Barang-barang yang sekiranya tidak terpakai, kami berikan ke tukang rongsok. Mas Adam dan Awan memotong rumput depan, samping kanan dan kiri serta merapikan taman. Aku dan Mas Adam termasuk orang yang suka mengoleksi bunga, jadi bungaku banyak. Untuk urusan memasak, ada asisten rumah tangga. Jadi pagi ini kami sangat sibuk. Sementara Mbak Ghina dan Mas Anton cuma duduk-duduk di teras sambil bermain HP ditemani minuman yang tertuang di teko. Emak mertua ikut bersih-bersih, padahal aku sudahmelarang. Katanya biar gerak. Tepat sebelum Dzuhur, kami selesai. "Alhamdulillah, bersih dan indah ya, Mas," ujarku disertai anggukan oleh Mas Adam. Wajah kami penuh dengan keringat."Mandi dulu sana, Ma
KETIKA KAKAK IPAR KEMBALIPart 1NEW CERBUNG=============="Mas, kabarnya Mbak Ghina dan Mas Anton mau pulang kampung, apa benar?" tanyaku pada Mas Adam, suamiku."Kata emak juga begitu," jawab Mas Adam sambil menyeruput kopi susu BCA yang aku buat.Aku terdiam, tidak dapat aku bayangkan jika mereka benar pulang, maka kami akan tinggal satu atap. Di sini, di rumah ini. Rumah peninggalan mertua yang telah dibagi dua, untuk Mas Adam dan Mbak Ghina. Namun sesuai kesepakatan, Mas Adam yang akan membayar.Sebenarnya tidak masalah karena rumah ini masih ada bagian milik Mbak Ghina kerena Mas Adam belum menggantinya. Namun jika harus bersama-sama dengan mereka dan satu rumah kemudian dalam jangka waktu yang lama, duh, tidak bisa aku bayangkan. Sehari saja dengannya, badan remuk semua karena au tahu kalau Mbak Ghina pemalas dan otoriter.
Barang Mbak Ghina menumpuk di teras depan yang memang tempatnya luas. Rumah zaman dahulu dengan style joglo yang etnic dan unik. Untung saja kami ada pembantu sehingga aku tidak terlalu capek untuk merawatnya."Ghina, cepat bereskan." Kembali suara Mbak Ghina menyayat telinga membuatku kesal. "Kamu beresin sama Mbak Mimi saja sana," perintah kakak iparku. Enak saja main suruh-suruh.Dari kejauhan terlihat mobil jeep menuju ke rumah ini. Alhamdulillah Mas Adam sudah pulang, biar.Mas Adam yang mengurus kakaknya.Usai memarkirkan mobil, Mas Adam langsung menuju ke Mbak Ghina dan menyalaminya. Semenjak kedatangannya tadinoagi, Mas Adam memang belum bertemu dengannya. Mas Adam mengajak kakak.perempuannya untuk duduk di teras."Kok lebih cepat, Mbak," tanya suamiku yang masih berseragam loreng itu."Lha mau ngapain di sana. Masmu itu maunya keluar kerja te
"Mas, bagaimana jika kita pindah ke rumah dinas saja? usulku saat makan di lesehan rumah makan Pak Jumain."Untuk apa? rumah segede itu tidak ada yang merawat," jawab Mas Adam sambil menyesap tulang ayam lunak yang penuh dengan sambel tomat."Sekarang sudah ada Mbak Ghina, biar dia yang menjaganya," sambil menyuapi putraku yang sepertinya sangat lapar karena sedari pagi aku lupa menyuapinya."Hawa Humaira, kewajiban menjaga ibu adalah anak laki-laki, Mbak Ghina itu bertanggung jawab terhadap keluarganya."Gubrak, ucapan Mas Adam memang benar. Masya Allah, jika suamiku seperti itu, aku menjadi lega."Baik, Mas."Usai makan, kami ke warung nasi goreng titipan M ak Ghina yang tak jauh dari situ."Mas, Mbak Ghina nggak ngasih uang?" tanyaku. Mas Adam menggeleng."Nanti sampai rumah juga dikasih, kok.
Part 8KAKAK IPARKU BENALU DALAM RUMAH TANGGAKU---------------Hari Ahad tiba. Kali ini kami semua berkumpul di rumah termasuk Mas Adam. Sudah menjadi kebiasaan kami setiap hari Ahad, kami selalu bersih-bersih rumah. Menyiangi rumput, manata taman, mangelap kaca jendala serta membongkar gudang. Barang-barang yang sekiranya tidak terpakai, kami berikan ke tukang rongsok. Mas Adam dan Awan memotong rumput depan, samping kanan dan kiri serta merapikan taman. Aku dan Mas Adam termasuk orang yang suka mengoleksi bunga, jadi bungaku banyak. Untuk urusan memasak, ada asisten rumah tangga. Jadi pagi ini kami sangat sibuk. Sementara Mbak Ghina dan Mas Anton cuma duduk-duduk di teras sambil bermain HP ditemani minuman yang tertuang di teko. Emak mertua ikut bersih-bersih, padahal aku sudahmelarang. Katanya biar gerak. Tepat sebelum Dzuhur, kami selesai. "Alhamdulillah, bersih dan indah ya, Mas," ujarku disertai anggukan oleh Mas Adam. Wajah kami penuh dengan keringat."Mandi dulu sana, Ma
PART 7KETIKA KAKAK IPAR KEMBALI-----+++-----Kami membubarkan diri dikarenakan Maghrib telah tiba. Aku dan Mas Adam menuju ke kamar, begitu juga Mbak Ghina dan suami."Mas, memangnya Mas Ada duit?" Pertanyaan yang mengganjal yang ingin kutanyakan padanya saat di luar tadi."Saat ini nggak ada, tapi akan Mas usahakan. Kasihan Mbak Ghina dan Mas Anton. "Sebenarnya aku kurang percaya pada mereka. Gelagat Mas Anton sangat mencurigakan. Aku khawatir kalau dia hanya akan mwrong-rong harta Emak."Lah, Mas, wong cicilan kemarin aja belum lunas, apakah mau ambil di koperasi lagi?" aku menyahut. Kemarin kami meminjam uang di Koperasi Simpan Pinjam KORPRI dan memang belum lunas. Begitulah kalau pegawai, meski tidak semua, seringnya menyekolahkan SK (*surat keputusan)"Mungkin nanti begitu. Sudah, ah, Mas mau sholat dulu, nanti dilanjut ngobrolnya." Dengan cepat
KETIKA KAKAK IPAR KEMBALIPart 6------oOo-----Kusambut suamiku dengan suka cita. Banyak sekali uneg-uneg yang ingin aku ungkapkan. Kubawakan tas ranselnya dan kemudian menuju ke kamar bersamanya. Secangkir teh manis aku sajikan bersama pisang goreng hangat kesukaan. Sama persis dengan Emaknya."Mandi dulu ya, Mas," ucapku menawarkan. Bau keringat ciri khas menguar menusuk hidung. Namun membuat aku kangen jika lama tak menciumnya, hua ...."Ini handuknya." Kuserahkan handuk warna hijau khas TNI dengan bahan tebal. Sangat lembut dan nyaman.Mas Adam menuju ke kamar mandi."Wa," panggil Mbak Ghina ketika melihatku keluar dari kamar."Ditunggu emak di ruang keluarga," ucapnya. "Eh jangan lupa sama Adam juga, ada yang mau diomongin, penting!"Baru saja suamiku pulang dan akupun belum sempat rembugan, Mbak Ghina sudah memi
KETIKA KAKAK IPAR KEMBALIPART 5-----oOO-----Kenapa Mas Anton berfikir seperti itu? Apakah, Mbak Ghina tidak tahu? Kalau yang ini aku yakin Mbak Ghina tidak tahu. Pasti ini hanya akal-akalan Mas Anton saja. Nanti aku coba bicara ke Mas Adam tentang ini.Setelah menyuapi Awan, aku kembali ke dapur. Kini giliranku makan siang. Sepertinya Emak belum makan, biasanya jam segini sudah makan. Coba aku panggil.Aku menuju ke ruang tamu sekaligus juga ruang keluarga. Ruangan yang sangat lebar. Ruangan ini terbagi menjadi dua tanpa sekat untuk ruang tamu sekaligus ruang keluarga.Khusus ruang tamu sudah tertata kursi sudut yang terbuat yang dari kayu jati dengan ukiran khas Jepara yang etnic. Sementara ruang keluarga hanya lesehan dengan hamparan permadani indah berwarna hijau muda dan dilapisi kasur sofa yang empuk sehingga nyaman untuk diduduki bahkan rebahan. Televisi juga tertem
Ketika Kakak Ipar KembaliPart 4--------By Lestari ZulkarnainUsai kepergian Mas Adam dan kakaknya, aku membereskan semua yang ada di meja makan dibantu oleh Mbak Inem. Aku tidak bisa mengandalkan Mbak Inem untuk bekerja sendiri. Rumah sebesar ini memang cukup melelahkan.Baju yang tadi aku cuci dijemur oleh Mbak Inem, aku mencuci piring bekas makan.Setelah itu, aku menuju ke kamar untuk membangunkan Awan, putraku. Saat mau masuk ke kamar, kulihat kamar Mbak Ghina sedikit terbuka. Aku menuju ke kamar tersebut dan bermaksud untuk menutupnya."Astaghfirullah, Mbak! Kamar berantakan seperti ini kok betah, sih!" gumamku ketika melihat isi kamar Mbak Ghina. Sangat berantakan, bantal dan guling tidak tertata rapi, handuk basah di kasur bercampur dengan bantal. Ingin masuk dan membereskan, tetapi, ah, tidak jadi, khawatir ada yang hilang dan aku tertuduh.
"Mas, bagaimana jika kita pindah ke rumah dinas saja? usulku saat makan di lesehan rumah makan Pak Jumain."Untuk apa? rumah segede itu tidak ada yang merawat," jawab Mas Adam sambil menyesap tulang ayam lunak yang penuh dengan sambel tomat."Sekarang sudah ada Mbak Ghina, biar dia yang menjaganya," sambil menyuapi putraku yang sepertinya sangat lapar karena sedari pagi aku lupa menyuapinya."Hawa Humaira, kewajiban menjaga ibu adalah anak laki-laki, Mbak Ghina itu bertanggung jawab terhadap keluarganya."Gubrak, ucapan Mas Adam memang benar. Masya Allah, jika suamiku seperti itu, aku menjadi lega."Baik, Mas."Usai makan, kami ke warung nasi goreng titipan M ak Ghina yang tak jauh dari situ."Mas, Mbak Ghina nggak ngasih uang?" tanyaku. Mas Adam menggeleng."Nanti sampai rumah juga dikasih, kok.
Barang Mbak Ghina menumpuk di teras depan yang memang tempatnya luas. Rumah zaman dahulu dengan style joglo yang etnic dan unik. Untung saja kami ada pembantu sehingga aku tidak terlalu capek untuk merawatnya."Ghina, cepat bereskan." Kembali suara Mbak Ghina menyayat telinga membuatku kesal. "Kamu beresin sama Mbak Mimi saja sana," perintah kakak iparku. Enak saja main suruh-suruh.Dari kejauhan terlihat mobil jeep menuju ke rumah ini. Alhamdulillah Mas Adam sudah pulang, biar.Mas Adam yang mengurus kakaknya.Usai memarkirkan mobil, Mas Adam langsung menuju ke Mbak Ghina dan menyalaminya. Semenjak kedatangannya tadinoagi, Mas Adam memang belum bertemu dengannya. Mas Adam mengajak kakak.perempuannya untuk duduk di teras."Kok lebih cepat, Mbak," tanya suamiku yang masih berseragam loreng itu."Lha mau ngapain di sana. Masmu itu maunya keluar kerja te
KETIKA KAKAK IPAR KEMBALIPart 1NEW CERBUNG=============="Mas, kabarnya Mbak Ghina dan Mas Anton mau pulang kampung, apa benar?" tanyaku pada Mas Adam, suamiku."Kata emak juga begitu," jawab Mas Adam sambil menyeruput kopi susu BCA yang aku buat.Aku terdiam, tidak dapat aku bayangkan jika mereka benar pulang, maka kami akan tinggal satu atap. Di sini, di rumah ini. Rumah peninggalan mertua yang telah dibagi dua, untuk Mas Adam dan Mbak Ghina. Namun sesuai kesepakatan, Mas Adam yang akan membayar.Sebenarnya tidak masalah karena rumah ini masih ada bagian milik Mbak Ghina kerena Mas Adam belum menggantinya. Namun jika harus bersama-sama dengan mereka dan satu rumah kemudian dalam jangka waktu yang lama, duh, tidak bisa aku bayangkan. Sehari saja dengannya, badan remuk semua karena au tahu kalau Mbak Ghina pemalas dan otoriter.