Barang Mbak Ghina menumpuk di teras depan yang memang tempatnya luas. Rumah zaman dahulu dengan style joglo yang etnic dan unik. Untung saja kami ada pembantu sehingga aku tidak terlalu capek untuk merawatnya.
"Ghina, cepat bereskan." Kembali suara Mbak Ghina menyayat telinga membuatku kesal. "Kamu beresin sama Mbak Mimi saja sana," perintah kakak iparku. Enak saja main suruh-suruh.
Dari kejauhan terlihat mobil jeep menuju ke rumah ini. Alhamdulillah Mas Adam sudah pulang, biar.Mas Adam yang mengurus kakaknya.
Usai memarkirkan mobil, Mas Adam langsung menuju ke Mbak Ghina dan menyalaminya. Semenjak kedatangannya tadinoagi, Mas Adam memang belum bertemu dengannya. Mas Adam mengajak kakak.perempuannya untuk duduk di teras.
"Kok lebih cepat, Mbak," tanya suamiku yang masih berseragam loreng itu.
"Lha mau ngapain di sana. Masmu itu maunya keluar kerja terus. Namun dia nggak mau pulang ke rumahnya, maunya ke sini," jawab Mbak Ghina sambil memandang ke arah suaminya yang duduk di kursi sebelahnya.
"Oya, cepet beresin kamarnya, aku mau minta kamar itu," perintah Mbak Ghina memaksa.
"Janganlah, mbak! Aku keluarin barang-barangnya susah," suamiku menjawab.
Mas Adam dengan Mbak Ghina sungguh berbeda. Mas Adam meski seorang tentara, tetapi ia tidak judes bahkan sangat ramah. Mungkin karena sudah terjun ke masyarakat dan menangani banyak masalah.
"Bukankah kamar itu masih menjadi bagaianku, kamu belum membayar bagianku, jadi syah-syah saja aku minta kamar itu," ujar Mbak Ghina. Memang benar bahwa bagian Mbak Ghina belum kai bayarin sebab memang baru beberapa bulan ini rumah itu dibagi. Bapak mertuaku baru setahun meninggal.
Mas Adam memberiku kode. Aku sudah paham kalau suamiku itu pasti ingin megabulkan permintaan Mbak Ghina. Mas Adam itu selalu begitu, dia tidak ingin ada keributan apa lagi dengan kakak satu-satunya. Namun Mbak Ghina tidak pernah mengerti dan memahami bahkan kadang memanfaatkan.
"W*, keluarkan barang-barang kita, Mbak Ghina minta kamar kita."
Tuh kan, begitulah Mas Adam, mangalah! sebal! Aku harus membereskan kamar, ribet. Nau mau tidak mau au harus menuruti suami. Semoga dengan menurutinya, rezeki tambah lancar.
"Baik, Mas," ucapku berat. Aku mengajak Mbak Inem untuk membantuku. Jika pekerjaan mbak Inem di luar dari kebiasaan, maka aku memberi bayaran lebih. Itulah mengapa Mbak Inem betah bekerja denganku.
Mbak Inem dan Mas Adam mengeluarkan semua barang-barangku dan memindahnya ke kamar sebelah yang ukurannya lebih kecil. Padahal hanya selisih beberapa meter saja, tetapi entahlah, kenapa Mbak Ghina begitu menyukai kamarku itu.
Alhamdulillah sampai jam sembilan lebih beres-beres selesai. Capek sekali rasanya sampai si kecilku menangis karena aku tinggal beberes.
"Makasih, ya," ucap Mbak Ghina puas. Kini aku di kamar yang luasnya dua belas meter persegi, beda dengan kamar sebelumnya yang memiliki luas enam belas meter persegi. Memang luas, tetapi karena barang kami banyak, maka terasa sedikit sempit.
"Mas, laper. Kita keluar, yuk," pintaku pada Mas Adam yag sedang duduk di sofa kamar.
"Memang Emak nggak masak?" tanya prianyang telah menikahiku lima tahun itu.
"Nggak tahu, aku nggak ke dapur. Semenjak pagi, aku beres-beres membantu Mbak Ghina. Oya, Mas, aku heran dengan Mas Anton, dia itu gimana, sih, sama sekali nggak bantuin," keluhku.
"Sudahlah, memang begitu sikapnya. Yuk keluar, kita makan di warungnya Pak Jumain," ajak suamiku. Dengan semangat akupunbergegas bangkit. Awan--putraku yang berusia empat tahun aku pakaiakan jaket. Aku segera mengambil jilbab bergo yang tergantung di balik pintu dan keluar bersamaan dengan suamiku tercinta.
"Mau kemana, Dam?" tanya Emak mertuaku yang sedang duduk dengan Mbak Ghina di ruang tamu.
"Mau keluar, Mak," jawab suamiku.
"O," balas Emak. "Kalian nggak makan? kok sayurnya utuh."
"Nggak sempat, Mak," sahutku.
"Ya sudah sana, pergilah," ucap Emak mertua.
"Dam, titip nasi goreng, ya, dua bungkus," ucap wanita yang sebenarnya tertaut tidak terlalu jauh dengan Mas Adam. Paling dua tahun, tetapi nikah muda. Lulus SMU langsung nikah sehingga kini anaknya sudah SMP.
"Pedes apa enggak?" balas suamiku.
"Yang satu pedas, yang satu sedengan."
"Du ...."Mas Adam menghentikan ucapanku.
"Sssttt, baik Mbak," sahut Mas Adam menghentikan ucapanku. Padahal aku ingin meminta uangnya. Nitip tetapi tidak memberi uang sama saja minta.
Mas Adam mengeluarkan motor king-nya. Motor melaju ke tengah kota yang jaraknya sepuluh menit dari rumah. Rumah emak memang di kampung, tetapi akses jalannya sudah baik. Apa lagi ada Mas Adam yang selaku babinsa di kecamatan kami.
"Mas, bagaimana jika kita pindah ke rumah dinas saja? usulku saat makan di lesehan rumah makan Pak Jumain."Untuk apa? rumah segede itu tidak ada yang merawat," jawab Mas Adam sambil menyesap tulang ayam lunak yang penuh dengan sambel tomat."Sekarang sudah ada Mbak Ghina, biar dia yang menjaganya," sambil menyuapi putraku yang sepertinya sangat lapar karena sedari pagi aku lupa menyuapinya."Hawa Humaira, kewajiban menjaga ibu adalah anak laki-laki, Mbak Ghina itu bertanggung jawab terhadap keluarganya."Gubrak, ucapan Mas Adam memang benar. Masya Allah, jika suamiku seperti itu, aku menjadi lega."Baik, Mas."Usai makan, kami ke warung nasi goreng titipan M ak Ghina yang tak jauh dari situ."Mas, Mbak Ghina nggak ngasih uang?" tanyaku. Mas Adam menggeleng."Nanti sampai rumah juga dikasih, kok.
Ketika Kakak Ipar KembaliPart 4--------By Lestari ZulkarnainUsai kepergian Mas Adam dan kakaknya, aku membereskan semua yang ada di meja makan dibantu oleh Mbak Inem. Aku tidak bisa mengandalkan Mbak Inem untuk bekerja sendiri. Rumah sebesar ini memang cukup melelahkan.Baju yang tadi aku cuci dijemur oleh Mbak Inem, aku mencuci piring bekas makan.Setelah itu, aku menuju ke kamar untuk membangunkan Awan, putraku. Saat mau masuk ke kamar, kulihat kamar Mbak Ghina sedikit terbuka. Aku menuju ke kamar tersebut dan bermaksud untuk menutupnya."Astaghfirullah, Mbak! Kamar berantakan seperti ini kok betah, sih!" gumamku ketika melihat isi kamar Mbak Ghina. Sangat berantakan, bantal dan guling tidak tertata rapi, handuk basah di kasur bercampur dengan bantal. Ingin masuk dan membereskan, tetapi, ah, tidak jadi, khawatir ada yang hilang dan aku tertuduh.
KETIKA KAKAK IPAR KEMBALIPART 5-----oOO-----Kenapa Mas Anton berfikir seperti itu? Apakah, Mbak Ghina tidak tahu? Kalau yang ini aku yakin Mbak Ghina tidak tahu. Pasti ini hanya akal-akalan Mas Anton saja. Nanti aku coba bicara ke Mas Adam tentang ini.Setelah menyuapi Awan, aku kembali ke dapur. Kini giliranku makan siang. Sepertinya Emak belum makan, biasanya jam segini sudah makan. Coba aku panggil.Aku menuju ke ruang tamu sekaligus juga ruang keluarga. Ruangan yang sangat lebar. Ruangan ini terbagi menjadi dua tanpa sekat untuk ruang tamu sekaligus ruang keluarga.Khusus ruang tamu sudah tertata kursi sudut yang terbuat yang dari kayu jati dengan ukiran khas Jepara yang etnic. Sementara ruang keluarga hanya lesehan dengan hamparan permadani indah berwarna hijau muda dan dilapisi kasur sofa yang empuk sehingga nyaman untuk diduduki bahkan rebahan. Televisi juga tertem
KETIKA KAKAK IPAR KEMBALIPart 6------oOo-----Kusambut suamiku dengan suka cita. Banyak sekali uneg-uneg yang ingin aku ungkapkan. Kubawakan tas ranselnya dan kemudian menuju ke kamar bersamanya. Secangkir teh manis aku sajikan bersama pisang goreng hangat kesukaan. Sama persis dengan Emaknya."Mandi dulu ya, Mas," ucapku menawarkan. Bau keringat ciri khas menguar menusuk hidung. Namun membuat aku kangen jika lama tak menciumnya, hua ...."Ini handuknya." Kuserahkan handuk warna hijau khas TNI dengan bahan tebal. Sangat lembut dan nyaman.Mas Adam menuju ke kamar mandi."Wa," panggil Mbak Ghina ketika melihatku keluar dari kamar."Ditunggu emak di ruang keluarga," ucapnya. "Eh jangan lupa sama Adam juga, ada yang mau diomongin, penting!"Baru saja suamiku pulang dan akupun belum sempat rembugan, Mbak Ghina sudah memi
PART 7KETIKA KAKAK IPAR KEMBALI-----+++-----Kami membubarkan diri dikarenakan Maghrib telah tiba. Aku dan Mas Adam menuju ke kamar, begitu juga Mbak Ghina dan suami."Mas, memangnya Mas Ada duit?" Pertanyaan yang mengganjal yang ingin kutanyakan padanya saat di luar tadi."Saat ini nggak ada, tapi akan Mas usahakan. Kasihan Mbak Ghina dan Mas Anton. "Sebenarnya aku kurang percaya pada mereka. Gelagat Mas Anton sangat mencurigakan. Aku khawatir kalau dia hanya akan mwrong-rong harta Emak."Lah, Mas, wong cicilan kemarin aja belum lunas, apakah mau ambil di koperasi lagi?" aku menyahut. Kemarin kami meminjam uang di Koperasi Simpan Pinjam KORPRI dan memang belum lunas. Begitulah kalau pegawai, meski tidak semua, seringnya menyekolahkan SK (*surat keputusan)"Mungkin nanti begitu. Sudah, ah, Mas mau sholat dulu, nanti dilanjut ngobrolnya." Dengan cepat
Part 8KAKAK IPARKU BENALU DALAM RUMAH TANGGAKU---------------Hari Ahad tiba. Kali ini kami semua berkumpul di rumah termasuk Mas Adam. Sudah menjadi kebiasaan kami setiap hari Ahad, kami selalu bersih-bersih rumah. Menyiangi rumput, manata taman, mangelap kaca jendala serta membongkar gudang. Barang-barang yang sekiranya tidak terpakai, kami berikan ke tukang rongsok. Mas Adam dan Awan memotong rumput depan, samping kanan dan kiri serta merapikan taman. Aku dan Mas Adam termasuk orang yang suka mengoleksi bunga, jadi bungaku banyak. Untuk urusan memasak, ada asisten rumah tangga. Jadi pagi ini kami sangat sibuk. Sementara Mbak Ghina dan Mas Anton cuma duduk-duduk di teras sambil bermain HP ditemani minuman yang tertuang di teko. Emak mertua ikut bersih-bersih, padahal aku sudahmelarang. Katanya biar gerak. Tepat sebelum Dzuhur, kami selesai. "Alhamdulillah, bersih dan indah ya, Mas," ujarku disertai anggukan oleh Mas Adam. Wajah kami penuh dengan keringat."Mandi dulu sana, Ma
KETIKA KAKAK IPAR KEMBALIPart 1NEW CERBUNG=============="Mas, kabarnya Mbak Ghina dan Mas Anton mau pulang kampung, apa benar?" tanyaku pada Mas Adam, suamiku."Kata emak juga begitu," jawab Mas Adam sambil menyeruput kopi susu BCA yang aku buat.Aku terdiam, tidak dapat aku bayangkan jika mereka benar pulang, maka kami akan tinggal satu atap. Di sini, di rumah ini. Rumah peninggalan mertua yang telah dibagi dua, untuk Mas Adam dan Mbak Ghina. Namun sesuai kesepakatan, Mas Adam yang akan membayar.Sebenarnya tidak masalah karena rumah ini masih ada bagian milik Mbak Ghina kerena Mas Adam belum menggantinya. Namun jika harus bersama-sama dengan mereka dan satu rumah kemudian dalam jangka waktu yang lama, duh, tidak bisa aku bayangkan. Sehari saja dengannya, badan remuk semua karena au tahu kalau Mbak Ghina pemalas dan otoriter.
Part 8KAKAK IPARKU BENALU DALAM RUMAH TANGGAKU---------------Hari Ahad tiba. Kali ini kami semua berkumpul di rumah termasuk Mas Adam. Sudah menjadi kebiasaan kami setiap hari Ahad, kami selalu bersih-bersih rumah. Menyiangi rumput, manata taman, mangelap kaca jendala serta membongkar gudang. Barang-barang yang sekiranya tidak terpakai, kami berikan ke tukang rongsok. Mas Adam dan Awan memotong rumput depan, samping kanan dan kiri serta merapikan taman. Aku dan Mas Adam termasuk orang yang suka mengoleksi bunga, jadi bungaku banyak. Untuk urusan memasak, ada asisten rumah tangga. Jadi pagi ini kami sangat sibuk. Sementara Mbak Ghina dan Mas Anton cuma duduk-duduk di teras sambil bermain HP ditemani minuman yang tertuang di teko. Emak mertua ikut bersih-bersih, padahal aku sudahmelarang. Katanya biar gerak. Tepat sebelum Dzuhur, kami selesai. "Alhamdulillah, bersih dan indah ya, Mas," ujarku disertai anggukan oleh Mas Adam. Wajah kami penuh dengan keringat."Mandi dulu sana, Ma
PART 7KETIKA KAKAK IPAR KEMBALI-----+++-----Kami membubarkan diri dikarenakan Maghrib telah tiba. Aku dan Mas Adam menuju ke kamar, begitu juga Mbak Ghina dan suami."Mas, memangnya Mas Ada duit?" Pertanyaan yang mengganjal yang ingin kutanyakan padanya saat di luar tadi."Saat ini nggak ada, tapi akan Mas usahakan. Kasihan Mbak Ghina dan Mas Anton. "Sebenarnya aku kurang percaya pada mereka. Gelagat Mas Anton sangat mencurigakan. Aku khawatir kalau dia hanya akan mwrong-rong harta Emak."Lah, Mas, wong cicilan kemarin aja belum lunas, apakah mau ambil di koperasi lagi?" aku menyahut. Kemarin kami meminjam uang di Koperasi Simpan Pinjam KORPRI dan memang belum lunas. Begitulah kalau pegawai, meski tidak semua, seringnya menyekolahkan SK (*surat keputusan)"Mungkin nanti begitu. Sudah, ah, Mas mau sholat dulu, nanti dilanjut ngobrolnya." Dengan cepat
KETIKA KAKAK IPAR KEMBALIPart 6------oOo-----Kusambut suamiku dengan suka cita. Banyak sekali uneg-uneg yang ingin aku ungkapkan. Kubawakan tas ranselnya dan kemudian menuju ke kamar bersamanya. Secangkir teh manis aku sajikan bersama pisang goreng hangat kesukaan. Sama persis dengan Emaknya."Mandi dulu ya, Mas," ucapku menawarkan. Bau keringat ciri khas menguar menusuk hidung. Namun membuat aku kangen jika lama tak menciumnya, hua ...."Ini handuknya." Kuserahkan handuk warna hijau khas TNI dengan bahan tebal. Sangat lembut dan nyaman.Mas Adam menuju ke kamar mandi."Wa," panggil Mbak Ghina ketika melihatku keluar dari kamar."Ditunggu emak di ruang keluarga," ucapnya. "Eh jangan lupa sama Adam juga, ada yang mau diomongin, penting!"Baru saja suamiku pulang dan akupun belum sempat rembugan, Mbak Ghina sudah memi
KETIKA KAKAK IPAR KEMBALIPART 5-----oOO-----Kenapa Mas Anton berfikir seperti itu? Apakah, Mbak Ghina tidak tahu? Kalau yang ini aku yakin Mbak Ghina tidak tahu. Pasti ini hanya akal-akalan Mas Anton saja. Nanti aku coba bicara ke Mas Adam tentang ini.Setelah menyuapi Awan, aku kembali ke dapur. Kini giliranku makan siang. Sepertinya Emak belum makan, biasanya jam segini sudah makan. Coba aku panggil.Aku menuju ke ruang tamu sekaligus juga ruang keluarga. Ruangan yang sangat lebar. Ruangan ini terbagi menjadi dua tanpa sekat untuk ruang tamu sekaligus ruang keluarga.Khusus ruang tamu sudah tertata kursi sudut yang terbuat yang dari kayu jati dengan ukiran khas Jepara yang etnic. Sementara ruang keluarga hanya lesehan dengan hamparan permadani indah berwarna hijau muda dan dilapisi kasur sofa yang empuk sehingga nyaman untuk diduduki bahkan rebahan. Televisi juga tertem
Ketika Kakak Ipar KembaliPart 4--------By Lestari ZulkarnainUsai kepergian Mas Adam dan kakaknya, aku membereskan semua yang ada di meja makan dibantu oleh Mbak Inem. Aku tidak bisa mengandalkan Mbak Inem untuk bekerja sendiri. Rumah sebesar ini memang cukup melelahkan.Baju yang tadi aku cuci dijemur oleh Mbak Inem, aku mencuci piring bekas makan.Setelah itu, aku menuju ke kamar untuk membangunkan Awan, putraku. Saat mau masuk ke kamar, kulihat kamar Mbak Ghina sedikit terbuka. Aku menuju ke kamar tersebut dan bermaksud untuk menutupnya."Astaghfirullah, Mbak! Kamar berantakan seperti ini kok betah, sih!" gumamku ketika melihat isi kamar Mbak Ghina. Sangat berantakan, bantal dan guling tidak tertata rapi, handuk basah di kasur bercampur dengan bantal. Ingin masuk dan membereskan, tetapi, ah, tidak jadi, khawatir ada yang hilang dan aku tertuduh.
"Mas, bagaimana jika kita pindah ke rumah dinas saja? usulku saat makan di lesehan rumah makan Pak Jumain."Untuk apa? rumah segede itu tidak ada yang merawat," jawab Mas Adam sambil menyesap tulang ayam lunak yang penuh dengan sambel tomat."Sekarang sudah ada Mbak Ghina, biar dia yang menjaganya," sambil menyuapi putraku yang sepertinya sangat lapar karena sedari pagi aku lupa menyuapinya."Hawa Humaira, kewajiban menjaga ibu adalah anak laki-laki, Mbak Ghina itu bertanggung jawab terhadap keluarganya."Gubrak, ucapan Mas Adam memang benar. Masya Allah, jika suamiku seperti itu, aku menjadi lega."Baik, Mas."Usai makan, kami ke warung nasi goreng titipan M ak Ghina yang tak jauh dari situ."Mas, Mbak Ghina nggak ngasih uang?" tanyaku. Mas Adam menggeleng."Nanti sampai rumah juga dikasih, kok.
Barang Mbak Ghina menumpuk di teras depan yang memang tempatnya luas. Rumah zaman dahulu dengan style joglo yang etnic dan unik. Untung saja kami ada pembantu sehingga aku tidak terlalu capek untuk merawatnya."Ghina, cepat bereskan." Kembali suara Mbak Ghina menyayat telinga membuatku kesal. "Kamu beresin sama Mbak Mimi saja sana," perintah kakak iparku. Enak saja main suruh-suruh.Dari kejauhan terlihat mobil jeep menuju ke rumah ini. Alhamdulillah Mas Adam sudah pulang, biar.Mas Adam yang mengurus kakaknya.Usai memarkirkan mobil, Mas Adam langsung menuju ke Mbak Ghina dan menyalaminya. Semenjak kedatangannya tadinoagi, Mas Adam memang belum bertemu dengannya. Mas Adam mengajak kakak.perempuannya untuk duduk di teras."Kok lebih cepat, Mbak," tanya suamiku yang masih berseragam loreng itu."Lha mau ngapain di sana. Masmu itu maunya keluar kerja te
KETIKA KAKAK IPAR KEMBALIPart 1NEW CERBUNG=============="Mas, kabarnya Mbak Ghina dan Mas Anton mau pulang kampung, apa benar?" tanyaku pada Mas Adam, suamiku."Kata emak juga begitu," jawab Mas Adam sambil menyeruput kopi susu BCA yang aku buat.Aku terdiam, tidak dapat aku bayangkan jika mereka benar pulang, maka kami akan tinggal satu atap. Di sini, di rumah ini. Rumah peninggalan mertua yang telah dibagi dua, untuk Mas Adam dan Mbak Ghina. Namun sesuai kesepakatan, Mas Adam yang akan membayar.Sebenarnya tidak masalah karena rumah ini masih ada bagian milik Mbak Ghina kerena Mas Adam belum menggantinya. Namun jika harus bersama-sama dengan mereka dan satu rumah kemudian dalam jangka waktu yang lama, duh, tidak bisa aku bayangkan. Sehari saja dengannya, badan remuk semua karena au tahu kalau Mbak Ghina pemalas dan otoriter.