KETIKA KAKAK IPAR KEMBALI
PART 5
-----oOO-----
Kenapa Mas Anton berfikir seperti itu? Apakah, Mbak Ghina tidak tahu? Kalau yang ini aku yakin Mbak Ghina tidak tahu. Pasti ini hanya akal-akalan Mas Anton saja. Nanti aku coba bicara ke Mas Adam tentang ini.
Setelah menyuapi Awan, aku kembali ke dapur. Kini giliranku makan siang. Sepertinya Emak belum makan, biasanya jam segini sudah makan. Coba aku panggil.
Aku menuju ke ruang tamu sekaligus juga ruang keluarga. Ruangan yang sangat lebar. Ruangan ini terbagi menjadi dua tanpa sekat untuk ruang tamu sekaligus ruang keluarga.
Khusus ruang tamu sudah tertata kursi sudut yang terbuat yang dari kayu jati dengan ukiran khas Jepara yang etnic. Sementara ruang keluarga hanya lesehan dengan hamparan permadani indah berwarna hijau muda dan dilapisi kasur sofa yang empuk sehingga nyaman untuk diduduki bahkan rebahan. Televisi juga tertempel di dinding.
Kulihat Emak mertuaku sedang menonton televisi di ruang keluarga sambil ditemani teh tawar hangat dan pisang goreng kesukaan.
Aku memberanikan diri menemui beliau. Namun setelah menimbang-nimbang juga dengan pergulatan hati yang lama, kuurungkan diri untuk bicara. Ah lebih baik memang menunggu suamiku pulang.
Aku kembali ke dapur.
Astaghfirullah, kenapa piliranku melayang begini. Tadi niatku manggil emak adalah untuk menyuruhnya makan. Oho .... Akhirnya aku kembali.
Saat kembali, Mbak Ghina sudah berada di sana.
"Hawa, sini!" Panggil Emak. Aku berhenti. "Kamu mau apa? Dari tadi bolak-balik."
"Iya, Mak, aku mau manggil Emak buat makan," ucapku.
"Owh, ya sudah, nanti aku makan," ucap Emak. Mbak Ghina tampak serius ingin bicara dengan Emak.
Aku kembali ke dapur. Memang sebaiknya meununggu Mas Adam pulang untuk membahas hal ini.
"Mama!" panggil Awan, ia melambaikan tangan memberi kode agar aku mendekat. Akhirnya aku ke kamar sekaligus rebahan.
.
.
Sore tiba. Di musim kemarau, angin mulai kencang. Sore terasa dingin apalagi pagi dan berkabut. Mau mandi rasanya malas.
"Mas Adam kok belum pulang, sudah jam 16.30, apa mungkin ada kunjungan?" Gumamku. Menjadi istri tentara memang seperti ini, harus sabar. Sering ditinggal-tinggal. Ya memang ini resikonya, dan sekarang Mas Adam sudah ditempatkan di Kodim, jadi lebih banyak waktu. Tidak seperti dulu yang hampir setahun sekali tugas. Bahkan pernah sampai ke luar negri yang membuatku stres memikirkannya. Bayangkan saja, Mas Adam pernah ke Libanon dimana negara tersebut berdekatan dengan Yahudi. Konflik hampir tiap hari antara penduduk Yahudi (maaf saya tidak menyebutnya Israel) dengan penduduk setempat.
"Wan, mandi, yuk, mama rebusin air, ya," ucapku pada anak laki-lakiku.
"Dingin, ma," jawabnya sambil asyik mewarnai buku gambar yang aku belikan.
"Kan pakai air hangat."
Ia mengangguk.
"Baiklah, Mama rebusin, ya."
Aku menuju ke arah dapur untuk merebus air. Kulihat mbak Eni juga sedang duduk santai. Jam segini, biasanya ia melipat pakaian yang tadi pagi di cuci dan besok disetrika karena jatahnya dua hari sekali.
"Udah selasai nglipetnya, mbak?" Tanyaku pada asisten rumah tangga yang telah puluhan tahun bekerja di sini semenjak Simboknya masih ada. Dulu, simboknya yang di sini dan sekarang dia yang menggantikan.
"Udah, mbak." Kulihat tumpukan pakaian memang sudah rapi, tetapi lebih banyak dan tidak seperti biasanya. Itu karena ada tambahan dari Mbak Ghina dan keluarganya.
'Bulan depan harus aku tambah honornya, seharusnya Mbak Ghina mikir.'
"Tambah banyak ya, mbak?" ucapku.
"Iya, tapi nggak apa-apa asal pekerjaan lain ada yang bantu. Kalau semua aku yang ngerjain, seharian nggak akan selesai."
"Iya juga, mbak. Nanti kalau aku sempat, aku bantuin."
"Makasih," ujar wanita yang usianya jauh lebih tua dariku itu.
Aku mengambil panci ukuran besar untuk merebus air. Rencananya untuk mandi Awan dan untukku juga.
"W*, mau ngapain?" Tiba-tiba mbak Ghina datang.
"Ngrebus air."
"Wah, kebetulan, nitip ya! Ini untukku dulu," pinta kakak ipar.
"Buat mandi Awan, mbak, belum mandi soalnya sudah sore."
"Alah, nggak apa-apa, dulu Anggi aja aku mandiin sore-sore," tukasnya.
"Ya itu Anggi, mbak, kalau aku nggak bisa gitu." Mbak Ghina mengerucutkan bibirnya lalu kembali ke kamar.
Saat air mendidih, aku buru-buru mengangkat panci yang berisi air panas, lalu menuangkan ke bak mandi dan ember. Setelah itu, aku mengisi panci dengan air dan merebusnya kembali untuk Mbak Ghina.
Awan kumandikan dan sekalian aku pakaikan baju, setelah itu gantian aku yang mandi.
Saat keluar dari kamar mandi, Mbak Ghina telah menghadangku.
"Kamu gimana, sih! Bukankah aku yang minta mandi duluan?" Ucapnya sambil berkacak pinggang.
"Kan sudah aku bilang, mbak, kasihan Awan jika mandi kesorean," balasku lalu meninggalkannya. Bodo amat jika tidak sopan, Mbak Ghina lebih tidak sopan.
"Tunggu!" cegah Mbak Ghina. Aku menghentikan langkah dan menengok ke arahnya.
"Emak sudah bilang?" tanyanya. Kali ini tidak judes.
"Bilang apa?" balasku pura-pura. Mungkin yang ia maksud adalah tanah dan rumah ini.
"Masalah tanah dan rumah."
"Sudah, tapi itu bukan ranahku. Aku hanya mantu. Keputusan ada di Mas Adam. Oya, Emak masih hidup, jadi jangan bertanya soal warisan, itu tidak etis."
Kemudian aku berlalu dari hadapannya. Aku tidak mau berdebat panjang. Dari dulu, mbak Ghina memang sangat egois maunya menang sendiri.
Alhamdulillah Mas Adam pulang, terdengar suara deru mobilnya. Banyak sekali uneg-uneg yang ingin aku sampaikan padanya.
_____________
bersambung
KETIKA KAKAK IPAR KEMBALIPart 6------oOo-----Kusambut suamiku dengan suka cita. Banyak sekali uneg-uneg yang ingin aku ungkapkan. Kubawakan tas ranselnya dan kemudian menuju ke kamar bersamanya. Secangkir teh manis aku sajikan bersama pisang goreng hangat kesukaan. Sama persis dengan Emaknya."Mandi dulu ya, Mas," ucapku menawarkan. Bau keringat ciri khas menguar menusuk hidung. Namun membuat aku kangen jika lama tak menciumnya, hua ...."Ini handuknya." Kuserahkan handuk warna hijau khas TNI dengan bahan tebal. Sangat lembut dan nyaman.Mas Adam menuju ke kamar mandi."Wa," panggil Mbak Ghina ketika melihatku keluar dari kamar."Ditunggu emak di ruang keluarga," ucapnya. "Eh jangan lupa sama Adam juga, ada yang mau diomongin, penting!"Baru saja suamiku pulang dan akupun belum sempat rembugan, Mbak Ghina sudah memi
PART 7KETIKA KAKAK IPAR KEMBALI-----+++-----Kami membubarkan diri dikarenakan Maghrib telah tiba. Aku dan Mas Adam menuju ke kamar, begitu juga Mbak Ghina dan suami."Mas, memangnya Mas Ada duit?" Pertanyaan yang mengganjal yang ingin kutanyakan padanya saat di luar tadi."Saat ini nggak ada, tapi akan Mas usahakan. Kasihan Mbak Ghina dan Mas Anton. "Sebenarnya aku kurang percaya pada mereka. Gelagat Mas Anton sangat mencurigakan. Aku khawatir kalau dia hanya akan mwrong-rong harta Emak."Lah, Mas, wong cicilan kemarin aja belum lunas, apakah mau ambil di koperasi lagi?" aku menyahut. Kemarin kami meminjam uang di Koperasi Simpan Pinjam KORPRI dan memang belum lunas. Begitulah kalau pegawai, meski tidak semua, seringnya menyekolahkan SK (*surat keputusan)"Mungkin nanti begitu. Sudah, ah, Mas mau sholat dulu, nanti dilanjut ngobrolnya." Dengan cepat
Part 8KAKAK IPARKU BENALU DALAM RUMAH TANGGAKU---------------Hari Ahad tiba. Kali ini kami semua berkumpul di rumah termasuk Mas Adam. Sudah menjadi kebiasaan kami setiap hari Ahad, kami selalu bersih-bersih rumah. Menyiangi rumput, manata taman, mangelap kaca jendala serta membongkar gudang. Barang-barang yang sekiranya tidak terpakai, kami berikan ke tukang rongsok. Mas Adam dan Awan memotong rumput depan, samping kanan dan kiri serta merapikan taman. Aku dan Mas Adam termasuk orang yang suka mengoleksi bunga, jadi bungaku banyak. Untuk urusan memasak, ada asisten rumah tangga. Jadi pagi ini kami sangat sibuk. Sementara Mbak Ghina dan Mas Anton cuma duduk-duduk di teras sambil bermain HP ditemani minuman yang tertuang di teko. Emak mertua ikut bersih-bersih, padahal aku sudahmelarang. Katanya biar gerak. Tepat sebelum Dzuhur, kami selesai. "Alhamdulillah, bersih dan indah ya, Mas," ujarku disertai anggukan oleh Mas Adam. Wajah kami penuh dengan keringat."Mandi dulu sana, Ma
KETIKA KAKAK IPAR KEMBALIPart 1NEW CERBUNG=============="Mas, kabarnya Mbak Ghina dan Mas Anton mau pulang kampung, apa benar?" tanyaku pada Mas Adam, suamiku."Kata emak juga begitu," jawab Mas Adam sambil menyeruput kopi susu BCA yang aku buat.Aku terdiam, tidak dapat aku bayangkan jika mereka benar pulang, maka kami akan tinggal satu atap. Di sini, di rumah ini. Rumah peninggalan mertua yang telah dibagi dua, untuk Mas Adam dan Mbak Ghina. Namun sesuai kesepakatan, Mas Adam yang akan membayar.Sebenarnya tidak masalah karena rumah ini masih ada bagian milik Mbak Ghina kerena Mas Adam belum menggantinya. Namun jika harus bersama-sama dengan mereka dan satu rumah kemudian dalam jangka waktu yang lama, duh, tidak bisa aku bayangkan. Sehari saja dengannya, badan remuk semua karena au tahu kalau Mbak Ghina pemalas dan otoriter.
Barang Mbak Ghina menumpuk di teras depan yang memang tempatnya luas. Rumah zaman dahulu dengan style joglo yang etnic dan unik. Untung saja kami ada pembantu sehingga aku tidak terlalu capek untuk merawatnya."Ghina, cepat bereskan." Kembali suara Mbak Ghina menyayat telinga membuatku kesal. "Kamu beresin sama Mbak Mimi saja sana," perintah kakak iparku. Enak saja main suruh-suruh.Dari kejauhan terlihat mobil jeep menuju ke rumah ini. Alhamdulillah Mas Adam sudah pulang, biar.Mas Adam yang mengurus kakaknya.Usai memarkirkan mobil, Mas Adam langsung menuju ke Mbak Ghina dan menyalaminya. Semenjak kedatangannya tadinoagi, Mas Adam memang belum bertemu dengannya. Mas Adam mengajak kakak.perempuannya untuk duduk di teras."Kok lebih cepat, Mbak," tanya suamiku yang masih berseragam loreng itu."Lha mau ngapain di sana. Masmu itu maunya keluar kerja te
"Mas, bagaimana jika kita pindah ke rumah dinas saja? usulku saat makan di lesehan rumah makan Pak Jumain."Untuk apa? rumah segede itu tidak ada yang merawat," jawab Mas Adam sambil menyesap tulang ayam lunak yang penuh dengan sambel tomat."Sekarang sudah ada Mbak Ghina, biar dia yang menjaganya," sambil menyuapi putraku yang sepertinya sangat lapar karena sedari pagi aku lupa menyuapinya."Hawa Humaira, kewajiban menjaga ibu adalah anak laki-laki, Mbak Ghina itu bertanggung jawab terhadap keluarganya."Gubrak, ucapan Mas Adam memang benar. Masya Allah, jika suamiku seperti itu, aku menjadi lega."Baik, Mas."Usai makan, kami ke warung nasi goreng titipan M ak Ghina yang tak jauh dari situ."Mas, Mbak Ghina nggak ngasih uang?" tanyaku. Mas Adam menggeleng."Nanti sampai rumah juga dikasih, kok.
Ketika Kakak Ipar KembaliPart 4--------By Lestari ZulkarnainUsai kepergian Mas Adam dan kakaknya, aku membereskan semua yang ada di meja makan dibantu oleh Mbak Inem. Aku tidak bisa mengandalkan Mbak Inem untuk bekerja sendiri. Rumah sebesar ini memang cukup melelahkan.Baju yang tadi aku cuci dijemur oleh Mbak Inem, aku mencuci piring bekas makan.Setelah itu, aku menuju ke kamar untuk membangunkan Awan, putraku. Saat mau masuk ke kamar, kulihat kamar Mbak Ghina sedikit terbuka. Aku menuju ke kamar tersebut dan bermaksud untuk menutupnya."Astaghfirullah, Mbak! Kamar berantakan seperti ini kok betah, sih!" gumamku ketika melihat isi kamar Mbak Ghina. Sangat berantakan, bantal dan guling tidak tertata rapi, handuk basah di kasur bercampur dengan bantal. Ingin masuk dan membereskan, tetapi, ah, tidak jadi, khawatir ada yang hilang dan aku tertuduh.
Part 8KAKAK IPARKU BENALU DALAM RUMAH TANGGAKU---------------Hari Ahad tiba. Kali ini kami semua berkumpul di rumah termasuk Mas Adam. Sudah menjadi kebiasaan kami setiap hari Ahad, kami selalu bersih-bersih rumah. Menyiangi rumput, manata taman, mangelap kaca jendala serta membongkar gudang. Barang-barang yang sekiranya tidak terpakai, kami berikan ke tukang rongsok. Mas Adam dan Awan memotong rumput depan, samping kanan dan kiri serta merapikan taman. Aku dan Mas Adam termasuk orang yang suka mengoleksi bunga, jadi bungaku banyak. Untuk urusan memasak, ada asisten rumah tangga. Jadi pagi ini kami sangat sibuk. Sementara Mbak Ghina dan Mas Anton cuma duduk-duduk di teras sambil bermain HP ditemani minuman yang tertuang di teko. Emak mertua ikut bersih-bersih, padahal aku sudahmelarang. Katanya biar gerak. Tepat sebelum Dzuhur, kami selesai. "Alhamdulillah, bersih dan indah ya, Mas," ujarku disertai anggukan oleh Mas Adam. Wajah kami penuh dengan keringat."Mandi dulu sana, Ma
PART 7KETIKA KAKAK IPAR KEMBALI-----+++-----Kami membubarkan diri dikarenakan Maghrib telah tiba. Aku dan Mas Adam menuju ke kamar, begitu juga Mbak Ghina dan suami."Mas, memangnya Mas Ada duit?" Pertanyaan yang mengganjal yang ingin kutanyakan padanya saat di luar tadi."Saat ini nggak ada, tapi akan Mas usahakan. Kasihan Mbak Ghina dan Mas Anton. "Sebenarnya aku kurang percaya pada mereka. Gelagat Mas Anton sangat mencurigakan. Aku khawatir kalau dia hanya akan mwrong-rong harta Emak."Lah, Mas, wong cicilan kemarin aja belum lunas, apakah mau ambil di koperasi lagi?" aku menyahut. Kemarin kami meminjam uang di Koperasi Simpan Pinjam KORPRI dan memang belum lunas. Begitulah kalau pegawai, meski tidak semua, seringnya menyekolahkan SK (*surat keputusan)"Mungkin nanti begitu. Sudah, ah, Mas mau sholat dulu, nanti dilanjut ngobrolnya." Dengan cepat
KETIKA KAKAK IPAR KEMBALIPart 6------oOo-----Kusambut suamiku dengan suka cita. Banyak sekali uneg-uneg yang ingin aku ungkapkan. Kubawakan tas ranselnya dan kemudian menuju ke kamar bersamanya. Secangkir teh manis aku sajikan bersama pisang goreng hangat kesukaan. Sama persis dengan Emaknya."Mandi dulu ya, Mas," ucapku menawarkan. Bau keringat ciri khas menguar menusuk hidung. Namun membuat aku kangen jika lama tak menciumnya, hua ...."Ini handuknya." Kuserahkan handuk warna hijau khas TNI dengan bahan tebal. Sangat lembut dan nyaman.Mas Adam menuju ke kamar mandi."Wa," panggil Mbak Ghina ketika melihatku keluar dari kamar."Ditunggu emak di ruang keluarga," ucapnya. "Eh jangan lupa sama Adam juga, ada yang mau diomongin, penting!"Baru saja suamiku pulang dan akupun belum sempat rembugan, Mbak Ghina sudah memi
KETIKA KAKAK IPAR KEMBALIPART 5-----oOO-----Kenapa Mas Anton berfikir seperti itu? Apakah, Mbak Ghina tidak tahu? Kalau yang ini aku yakin Mbak Ghina tidak tahu. Pasti ini hanya akal-akalan Mas Anton saja. Nanti aku coba bicara ke Mas Adam tentang ini.Setelah menyuapi Awan, aku kembali ke dapur. Kini giliranku makan siang. Sepertinya Emak belum makan, biasanya jam segini sudah makan. Coba aku panggil.Aku menuju ke ruang tamu sekaligus juga ruang keluarga. Ruangan yang sangat lebar. Ruangan ini terbagi menjadi dua tanpa sekat untuk ruang tamu sekaligus ruang keluarga.Khusus ruang tamu sudah tertata kursi sudut yang terbuat yang dari kayu jati dengan ukiran khas Jepara yang etnic. Sementara ruang keluarga hanya lesehan dengan hamparan permadani indah berwarna hijau muda dan dilapisi kasur sofa yang empuk sehingga nyaman untuk diduduki bahkan rebahan. Televisi juga tertem
Ketika Kakak Ipar KembaliPart 4--------By Lestari ZulkarnainUsai kepergian Mas Adam dan kakaknya, aku membereskan semua yang ada di meja makan dibantu oleh Mbak Inem. Aku tidak bisa mengandalkan Mbak Inem untuk bekerja sendiri. Rumah sebesar ini memang cukup melelahkan.Baju yang tadi aku cuci dijemur oleh Mbak Inem, aku mencuci piring bekas makan.Setelah itu, aku menuju ke kamar untuk membangunkan Awan, putraku. Saat mau masuk ke kamar, kulihat kamar Mbak Ghina sedikit terbuka. Aku menuju ke kamar tersebut dan bermaksud untuk menutupnya."Astaghfirullah, Mbak! Kamar berantakan seperti ini kok betah, sih!" gumamku ketika melihat isi kamar Mbak Ghina. Sangat berantakan, bantal dan guling tidak tertata rapi, handuk basah di kasur bercampur dengan bantal. Ingin masuk dan membereskan, tetapi, ah, tidak jadi, khawatir ada yang hilang dan aku tertuduh.
"Mas, bagaimana jika kita pindah ke rumah dinas saja? usulku saat makan di lesehan rumah makan Pak Jumain."Untuk apa? rumah segede itu tidak ada yang merawat," jawab Mas Adam sambil menyesap tulang ayam lunak yang penuh dengan sambel tomat."Sekarang sudah ada Mbak Ghina, biar dia yang menjaganya," sambil menyuapi putraku yang sepertinya sangat lapar karena sedari pagi aku lupa menyuapinya."Hawa Humaira, kewajiban menjaga ibu adalah anak laki-laki, Mbak Ghina itu bertanggung jawab terhadap keluarganya."Gubrak, ucapan Mas Adam memang benar. Masya Allah, jika suamiku seperti itu, aku menjadi lega."Baik, Mas."Usai makan, kami ke warung nasi goreng titipan M ak Ghina yang tak jauh dari situ."Mas, Mbak Ghina nggak ngasih uang?" tanyaku. Mas Adam menggeleng."Nanti sampai rumah juga dikasih, kok.
Barang Mbak Ghina menumpuk di teras depan yang memang tempatnya luas. Rumah zaman dahulu dengan style joglo yang etnic dan unik. Untung saja kami ada pembantu sehingga aku tidak terlalu capek untuk merawatnya."Ghina, cepat bereskan." Kembali suara Mbak Ghina menyayat telinga membuatku kesal. "Kamu beresin sama Mbak Mimi saja sana," perintah kakak iparku. Enak saja main suruh-suruh.Dari kejauhan terlihat mobil jeep menuju ke rumah ini. Alhamdulillah Mas Adam sudah pulang, biar.Mas Adam yang mengurus kakaknya.Usai memarkirkan mobil, Mas Adam langsung menuju ke Mbak Ghina dan menyalaminya. Semenjak kedatangannya tadinoagi, Mas Adam memang belum bertemu dengannya. Mas Adam mengajak kakak.perempuannya untuk duduk di teras."Kok lebih cepat, Mbak," tanya suamiku yang masih berseragam loreng itu."Lha mau ngapain di sana. Masmu itu maunya keluar kerja te
KETIKA KAKAK IPAR KEMBALIPart 1NEW CERBUNG=============="Mas, kabarnya Mbak Ghina dan Mas Anton mau pulang kampung, apa benar?" tanyaku pada Mas Adam, suamiku."Kata emak juga begitu," jawab Mas Adam sambil menyeruput kopi susu BCA yang aku buat.Aku terdiam, tidak dapat aku bayangkan jika mereka benar pulang, maka kami akan tinggal satu atap. Di sini, di rumah ini. Rumah peninggalan mertua yang telah dibagi dua, untuk Mas Adam dan Mbak Ghina. Namun sesuai kesepakatan, Mas Adam yang akan membayar.Sebenarnya tidak masalah karena rumah ini masih ada bagian milik Mbak Ghina kerena Mas Adam belum menggantinya. Namun jika harus bersama-sama dengan mereka dan satu rumah kemudian dalam jangka waktu yang lama, duh, tidak bisa aku bayangkan. Sehari saja dengannya, badan remuk semua karena au tahu kalau Mbak Ghina pemalas dan otoriter.