"Apa yang kalian lakukan?" teriak Edo, berdiri di pintu masuk kedai, matanya terbelalak saat melihat sosok Alesya dan Zidan yang begitu dekat satu sama lain. Adrenaline Edo berpacu ketika ia menyaksikan Zidan mendekatkan wajahnya ke Alesya, hingga bibir mereka hampir bersentuhan.Alesya kaget, seketika menjauhkan diri dari Zidan, terlihat ragu dan gugup. Matanya berkilat dan pipinya memerah. Zidan memandang Edo dengan wajah tak suka. "Siapa dia, Ale?"Edo tahu betul bahwa Liam sangat mencintai Alesya, begitu juga sebaliknya dan ia merasa perlu melindungi kepercayaan majikannya. Dengan langkah cepat dan berani, Edo menghentakkan pintu dan masuk ke ruangan tersebut. "Nyonya Alesya, Pak Liam memerintahkan saya untuk mengantarkan dokumen ini," ujar Edo dengan suara keras dan tegas, sambil menyodorkan sehelai kertas pada Alesya."Dokumen?"Raut wajah Alesya terlihat bingung, sementara Zidan tampak kesal dengan kedatangan Edo yang tiba-tiba. "Terima kasih, Edo," sahut Alesya dengan suara ge
"Saat kamu pergi meninggalkanku, saat itu juga aku telah menutup hati ini."Air mata Bella mengalir deras, mengguyur pipi mulusnya yang tampak memerah. Bella semakin mengeratkan pelukan sambil berkata, "Maafkan aku, Liam. Aku akan berubah. Aku janji!"Namun, Liam merasa muak melihat tangisan Bella. Baginya, itu semua hanyalah air mata buaya yang tak pernah jujur. Hatinya telah luluh lantak, tak mampu mempercayai istrinya lagi. Liam berusaha keras menahan amarah yang mendidih di dadanya, ia tak ingin meledak di depan Bella yang terus memohon maaf dengan wajah mengenaskan itu.Alih-alih mencoba untuk menghibur istrinya, Liam melepas pelukan Bella, berjalan menuju pintu dan berkata dengan suara tegas, "Aku tidak bisa lagi, Bella. Aku sudah lelah. Terlalu banyak dusta dan pengkhianatan yang harus ku terima. Aku harus pergi …."Bella tercekat, masih mencoba meraih Liam yang kini semakin menjauh darinya. Tangisannya kian menjadi, namun tidak ada lagi yang bisa ia lakukan. Liam telah putus as
Liam sedang duduk termenung di ruang tamu saat pesan WhatsApp masuk dari Alesya, istri yang sudah lama menghilang dari hidupnya. Pesan itu membuat jantungnya berdegup kencang, segera dibuka dan dibaca pesan tersebut. Alesya meminta Liam untuk datang ke rumah sakit karena ia akan menjalani operasi kandungan. Perasaan Liam menjadi campur aduk, antara haru, khawatir, dan bingung. Kedua tangannya gemetar saat memegang ponselnya.Hati Liam merasa hancur berkeping-keping membaca pesan tersebut. Bagaimana mungkin Alesya merasa dirinya tidak bisa menerima anak mereka? Apa yang membuat Alesya begitu takut hingga memilih untuk melarikan diri? Liam menahan air matanya yang mulai menggenang di sudut matanya.Tiba-tiba, sebuah keinginan untuk menemukan Alesya dan anak mereka yang belum lahir menjadi begitu kuat dalam diri Liam. Ia ingin bertemu dengan Alesya, memeluknya erat, dan meyakinkan bahwa ia akan selalu ada untuk mereka berdua. Liam ingin menjadi sosok suami dan ayah yang baik, yang mampu
"Hentikan operasi ini!" teriak Zidan bersama seorang lelaki berusia sekitar 60 tahun."Dia Dokter gadungan!" teriak lelaki berpakaian lusuh itu."Apa?"Delapan jam sebelumnya.Morne bersembunyi di balik jendela, mendengar percakapan antara Bella dan Raka. Bella dengan tegas menyuruh Raka untuk menyamar menjadi Dokter dan membunuh Alesya saat operasi kandungan nanti. Raka juga harus menculik Dokter asli agar rencana mereka berjalan lancar.Morne merasa ngeri dan panik, berita ini harus segera diberitahukan kepada Zidan. Tangan gemetar, ia mengambil ponselnya dan menekan nomor Zidan. Sesaat kemudian, suara Zidan terdengar di ujung sana."Zidan, Nyonya Alesya dalam bahaya! Nyonya Bella berencana membunuhnya saat operasi kandungan!" ungkap Morne dengan nada tergesa-gesa."Apakah kamu yakin?" tanya Zidan dengan suara yang serak karena cemas."Ya, aku baru saja mendengarnya dari Nyonya Bella langsung. Mereka akan menculik Dokter asli dan Raka akan menyamar sebagai Dokter untuk membunuh Ales
"Entahlah, katamu?" teriak Zidan. Dirinya sungguh kesal atas jawaban Rizal."Karena hal ini diluar kendali. Aku sudah berusaha semampuku. Maaf, Zidan."Zidan memasuki kamar Alesya dengan perasaan yang sangat berat. Ia melihat sosok Alesya yang kini terbaring lemah di ranjang, wajah yang dulu selalu tersenyum dan ceria kini terlihat pucat dan tak berdaya. "Ale?!"Zidan merasa sedih dan hampa, hatinya seolah teriris melihat wanita yang dicintai dalam kondisi seperti ini. Belum ada tanda- tanda bahwa Alesya akan segera siuman dan kembali seperti dulu.Zidan duduk di samping ranjang Alesya, menatap wajah yang ia cintai itu dengan air mata yang menggenang di pelupuk matanya. Ia menggenggam erat tangan Alesya, merasakan kehangatan yang masih ada di tubuh gadis itu. "Alesya, semoga kamu segera sembuh. Aku sangat merindukan senyummu yang dulu," bisik Zidan lembut sambil menahan isak tangisnya.Di sudut kamar, Zidan melihat bunga mawar yang baru saja ia beli untuk Alesya. "Lihatlah! Aku membawa
"Kamu?!'"Ya, aku Zidan."8 jam sebelumnyaZidan melangkah gegas melintasi jalanan Paris menuju bandara, ia nekat terbang ke Amerika demi memberitahu Liam tentang kondisi Alesya yang kritis. Di tangan Zidan, ia memegang erat tiket pesawat yang baru saja ia beli. Alesya, kini sedang bergelut dengan maut di rumah sakit dan tak ada kabar yang dapat menghubungkan mereka dengan Liam yang tengah asyik menikmati waktu santainya di Amerika.Setibanya di Amerika, Zidan dengan segera mencari tahu keberadaan Liam. Setelah menemukan taman yang dimaksud, ia mendapati Liam yang sedang asyik menikmati angin sepoi-sepoi sambil membaca buku di bawah pohon yang rindang. Ia menghampiri Liam dengan langkah tegap, menahan amarah yang memuncak di hatinya."Disini kamu rupanya!" teriak Zidan begitu dekat dengan Liam. Liam terkesiap, ia melihat Zidan dengan wajah terkejut. "Kamu?"Liam syok berat melihat lelaki yang selama ini bersama istrinya itu, kini berdiri di hadapannya."Ya, aku Zidan."Zidan semakin m
Liam segera menuju mobil miliknya. Mobil Ferrari berwarna merah itu melaju kencang di jalanan menuju bandara, Liam memacu kendaraannya secepat mungkin. Tak lama berselang, dua mobil hitam berisikan pengawal suruhan Bella tak kalah gesit mengejar Liam. Kecepatan mobil-mobil itu membuat banyak pengendara lain terpaksa menghindar untuk menghindari tabrakan."Brengsek!"Keringat dingin mengucur deras di dahi Liam saat dia mengecek kaca spion dan melihat dua mobil hitam itu semakin mendekat. "Mereka pasti orang orang suruhan Bella."Ciiit.Liam mencoba mengecoh mereka dengan berbelok ke jalan yang lebih sepi. Namun, pengawal Bella tetap terus mengejarnya. Mobil terus melaju dengan kecepatan tinggi.Di sebuah tikungan tajam, Liam mencoba mengerem namun pedal rem tak berfungsi. "Ada apa ini?" Liam berusaha terus menginjak sambil berkonsentrasi pada arah depan. "Sial?! Aaakh"Liam kehilangan kendali atas mobilnya. Brakh.Mobil Ferrari itu terlempar keluar jalur dan menabrak pohon besar di pi
Pov Liam.Hatiku seketika hancur saat mengetahui kenyataan jika sebenarnya yang mendonorkan sumsum tulang belakangnya adalah Alesya. Ya, Alesya lah yang menyelamatkan hidupku. Dan selama ini aku telah menyakiti perasaannya. Membiarkan dia pergi membawa buah hati kami.Sungguh ironis bukan? Aku melepas mutiara paling indah demi sebuah intan imitasi. Aku membiarkan Bella masuk ke dalam kehidupanku dengan mengaku dia pendonor sumsum tulang belakang itu. Dan bodohnya aku, percaya begitu saja tanpa mengetahui kelicikan yang diperbuat.Dengan tekad bulat, aku mencoba menahan rasa malu dan rasa bersalahku untuk menemui Alesya, wanita terbaik di dalam hidupku. Semuanya menjadi jelas saat ini. Kepastian cinta dimana wanita yang benar benar mencintai aku dengan tulus adalah Alesya.Lalu, Bella?? Wanita itu dari dulu hanya memanfaatkan cinta yang aku miliki untuknya. Tak pernah berubah. Bahkan hingga detik ini. Keegoisan yang dimiliki bisa membutakan dirinya. Buktinya, dia berani menyuruh orang