"Kamu?!'"Ya, aku Zidan."8 jam sebelumnyaZidan melangkah gegas melintasi jalanan Paris menuju bandara, ia nekat terbang ke Amerika demi memberitahu Liam tentang kondisi Alesya yang kritis. Di tangan Zidan, ia memegang erat tiket pesawat yang baru saja ia beli. Alesya, kini sedang bergelut dengan maut di rumah sakit dan tak ada kabar yang dapat menghubungkan mereka dengan Liam yang tengah asyik menikmati waktu santainya di Amerika.Setibanya di Amerika, Zidan dengan segera mencari tahu keberadaan Liam. Setelah menemukan taman yang dimaksud, ia mendapati Liam yang sedang asyik menikmati angin sepoi-sepoi sambil membaca buku di bawah pohon yang rindang. Ia menghampiri Liam dengan langkah tegap, menahan amarah yang memuncak di hatinya."Disini kamu rupanya!" teriak Zidan begitu dekat dengan Liam. Liam terkesiap, ia melihat Zidan dengan wajah terkejut. "Kamu?"Liam syok berat melihat lelaki yang selama ini bersama istrinya itu, kini berdiri di hadapannya."Ya, aku Zidan."Zidan semakin m
Liam segera menuju mobil miliknya. Mobil Ferrari berwarna merah itu melaju kencang di jalanan menuju bandara, Liam memacu kendaraannya secepat mungkin. Tak lama berselang, dua mobil hitam berisikan pengawal suruhan Bella tak kalah gesit mengejar Liam. Kecepatan mobil-mobil itu membuat banyak pengendara lain terpaksa menghindar untuk menghindari tabrakan."Brengsek!"Keringat dingin mengucur deras di dahi Liam saat dia mengecek kaca spion dan melihat dua mobil hitam itu semakin mendekat. "Mereka pasti orang orang suruhan Bella."Ciiit.Liam mencoba mengecoh mereka dengan berbelok ke jalan yang lebih sepi. Namun, pengawal Bella tetap terus mengejarnya. Mobil terus melaju dengan kecepatan tinggi.Di sebuah tikungan tajam, Liam mencoba mengerem namun pedal rem tak berfungsi. "Ada apa ini?" Liam berusaha terus menginjak sambil berkonsentrasi pada arah depan. "Sial?! Aaakh"Liam kehilangan kendali atas mobilnya. Brakh.Mobil Ferrari itu terlempar keluar jalur dan menabrak pohon besar di pi
Pov Liam.Hatiku seketika hancur saat mengetahui kenyataan jika sebenarnya yang mendonorkan sumsum tulang belakangnya adalah Alesya. Ya, Alesya lah yang menyelamatkan hidupku. Dan selama ini aku telah menyakiti perasaannya. Membiarkan dia pergi membawa buah hati kami.Sungguh ironis bukan? Aku melepas mutiara paling indah demi sebuah intan imitasi. Aku membiarkan Bella masuk ke dalam kehidupanku dengan mengaku dia pendonor sumsum tulang belakang itu. Dan bodohnya aku, percaya begitu saja tanpa mengetahui kelicikan yang diperbuat.Dengan tekad bulat, aku mencoba menahan rasa malu dan rasa bersalahku untuk menemui Alesya, wanita terbaik di dalam hidupku. Semuanya menjadi jelas saat ini. Kepastian cinta dimana wanita yang benar benar mencintai aku dengan tulus adalah Alesya.Lalu, Bella?? Wanita itu dari dulu hanya memanfaatkan cinta yang aku miliki untuknya. Tak pernah berubah. Bahkan hingga detik ini. Keegoisan yang dimiliki bisa membutakan dirinya. Buktinya, dia berani menyuruh orang
Alesya terbangun di sebuah ruangan yang asing, dengan dinding berwarna pastel yang lembut dan peralatan medis yang berjejer di sisi tempat tidur. Aroma khas rumah sakit - campuran antiseptik dan bau obat-obatan - mengisi paru-parunya saat dia mencoba menarik napas dalam-dalam. Di sudut ruangan, sebuah vas berisi bunga mawar segar menambah kehangatan suasana.Dari balik jendela yang tertutup rapat, sinar matahari merayap masuk, menciptakan bayangan-bayangan lembut yang bermain di dinding ruangan. Sementara itu, suara langkah kaki dan percakapan para perawat di luar ruangan terdengar seperti latar musik yang tenang, mengingatkan Alesya bahwa dia tidak sendirian dalam perjuangannya untuk pulih.Saat mencoba bangkit, Alesya merasa sakit yang menyengat pada bagian perutnya, mengingatkannya pada operasi besar yang baru saja dijalani. Tangan gemetar mencoba menggenggam pinggiran tempat tidur, mencari dukungan agar dapat duduk lebih tegak. "Apa yang kamu lakukan, Ale?!""Kamu?!"Alesya syok
"Bayi? Bagaimana dengan bayiku? Apakah dia selamat?" tanya Alesya cemas.Dokter dan Zidan terdiam, bingung untuk mengatakan kondisi bayi Alesya saat ini. Mereka takut jika dia akan syok dan kembali tak sadarkan diri."Em, itu …. Bayimu sehat, Ale. Setelah kamu sadar dan pulih, kita bisa bertemu dengannya," jelas Zidan.Alesya menggigit bibir, matanya berkaca-kaca mendengar kabar bahwa bayinya berhasil diselamatkan dari maut setelah menjalani operasi caesar. Hatinya berbunga-bunga ingin segera bertemu dengan malaikat kecil yang baru saja terlahir ke dunia ini. "Tapi, Zidan. Aku ingin menggendongnya sekarang?""Maaf Nyonya, tidak untuk saat ini," jawab Dokter yang menangani Alesya, tidak mengizinkannya untuk segera bertemu dengan bayinya, dikarenakan kondisi Alesya yang masih sangat lemah pasca operasi dan juga baru sadar."Baiklah jika tidak boleh menggendong, aku akan melihatnya saja, Dok," pinta Alesya dengan suara lirih dan penuh harap, namun Dokter kembali menggelengkan kepala sam
Marco segera menghubungi Morne. "Halo, Morne? Ini aku, Marco. Aku butuh bantuanmu segera.""Ya, Tuan Marco. Ada apa? Bagaimana saya bisa membantu?""Aku baru saja menghentikan Bella namun gagal. Dia dalam keadaan emosi yang terbakar dan berencana untuk menemui Liam dan Alesya. Aku khawatir ini akan menjadi masalah besar. Bisakah kamu segera pergi ke tempat Bella dan menghentikannya?""Tentu saja, Tuan Marco. Aku akan segera ke sana dan menenangkannya. Terima kasih telah memberitahu saya.""Terima kasih, Morne. Aku sangat mengandalkanmu dalam hal ini. Beri tahu aku segera jika kamu berhasil menemui Bella.""Baik, Tuan Marco. Akan saya beri tahu begitu berhasil menemukan Bella. Sampai jumpa."Panggilan berakhir.Morne segera menyalakan mesin mobilnya, kemudian mengaktifkan alat pelacak yang telah dipasang di ponsel Bella. Dengan cepat, ia mengejar lokasi yang tertera pada layar GPS mobilnya. Morne merasa cemas, namun tak ingin menunjukkan kekhawatirannya. Ia menggenggam kemudi dengan er
Alesya terkejut menatap selembar kertas yang diberikan Liam. Alesya menatap Liam dengan penuh kecurigaan saat pria itu memberikan selembar kertas kepadanya tadi. "Buka dan bacalah, Ale!"Liam menyuruh Alesya untuk membaca isinya dengan ekspresi serius. Alesya merasa ada yang aneh, namun rasa penasarannya lebih besar. Dengan gemetar, ia membuka lipatan kertas tersebut dan mulai membaca.Saat membaca hasil tes DNA yang ada di kertas itu, Alesya merasa tubuhnya melemah. Kertas tersebut menunjukkan bahwa bayi yang ia kandung bukanlah anak dari Liam. Alesya tak bisa menyembunyikan rasa syok, tak percaya dan kecewa. Air matanya mulai mengalir deras, dan jantungnya berdebar kencang."Liam …, dari mana kamu mendapatkan hasil tes ini?" tanya Alesya dengan suara lirih dan bergetar, menatap pria itu dengan mata berkaca-kaca.Liam menatap Alesya dengan wajah datar, namun matanya terlihat sedikit berkaca. "Tentu saja darimu. Hasil tes DNA ini membuktikan bahwa aku bukan ayah dari anakmu. Aku sang
"Alesya!"Alesya menoleh dan sungguh terkejut melihat siapa yang datang. "Ayah?"Alesya berlari menyambut Marco yang berjalan pelan demi menjaga keseimbangannya. Tiba tiba …, "akh, aduh!"Alesya meringis kesakitan pada bagian perutnya. "Alesya, kamu tidak apa apa Nak?" ucap Marco yang kini di depan Alesya. Seketika Alesya menggeleng. "Tidak apa apa, Ayah."Marco mengecup kening Alesya, putri kecilnya yang telah lama tidak ia temui, putri yang kini telah menjadi wanita dewasa sekaligus seorang Ibu. Marco tahu hal itu dari Morne. Pengawalnya itu selalu memberi kabar terbaru dari Alesya.Ditemani Morne, pengawal setia, Marco berdiri di depan Alesya yang kini beralih duduk di kursi roda setelah Zidan membantunya. Air mata terlihat mengalir di wajah Marco yang menggambarkan perasaan bahagia dan sedih bercampur menjadi satu.Marco melirik Zidan, "Ale, siapa dia?" tanya Marco melihat Zidan yang begitu perhatian memberi selimut pada Alesya saat ini."Dia adalah Zidan. Zidan ini ayahku, Marco