Alesya terkejut menatap selembar kertas yang diberikan Liam. Alesya menatap Liam dengan penuh kecurigaan saat pria itu memberikan selembar kertas kepadanya tadi. "Buka dan bacalah, Ale!"Liam menyuruh Alesya untuk membaca isinya dengan ekspresi serius. Alesya merasa ada yang aneh, namun rasa penasarannya lebih besar. Dengan gemetar, ia membuka lipatan kertas tersebut dan mulai membaca.Saat membaca hasil tes DNA yang ada di kertas itu, Alesya merasa tubuhnya melemah. Kertas tersebut menunjukkan bahwa bayi yang ia kandung bukanlah anak dari Liam. Alesya tak bisa menyembunyikan rasa syok, tak percaya dan kecewa. Air matanya mulai mengalir deras, dan jantungnya berdebar kencang."Liam …, dari mana kamu mendapatkan hasil tes ini?" tanya Alesya dengan suara lirih dan bergetar, menatap pria itu dengan mata berkaca-kaca.Liam menatap Alesya dengan wajah datar, namun matanya terlihat sedikit berkaca. "Tentu saja darimu. Hasil tes DNA ini membuktikan bahwa aku bukan ayah dari anakmu. Aku sang
"Alesya!"Alesya menoleh dan sungguh terkejut melihat siapa yang datang. "Ayah?"Alesya berlari menyambut Marco yang berjalan pelan demi menjaga keseimbangannya. Tiba tiba …, "akh, aduh!"Alesya meringis kesakitan pada bagian perutnya. "Alesya, kamu tidak apa apa Nak?" ucap Marco yang kini di depan Alesya. Seketika Alesya menggeleng. "Tidak apa apa, Ayah."Marco mengecup kening Alesya, putri kecilnya yang telah lama tidak ia temui, putri yang kini telah menjadi wanita dewasa sekaligus seorang Ibu. Marco tahu hal itu dari Morne. Pengawalnya itu selalu memberi kabar terbaru dari Alesya.Ditemani Morne, pengawal setia, Marco berdiri di depan Alesya yang kini beralih duduk di kursi roda setelah Zidan membantunya. Air mata terlihat mengalir di wajah Marco yang menggambarkan perasaan bahagia dan sedih bercampur menjadi satu.Marco melirik Zidan, "Ale, siapa dia?" tanya Marco melihat Zidan yang begitu perhatian memberi selimut pada Alesya saat ini."Dia adalah Zidan. Zidan ini ayahku, Marco
Stuard tiba di kediaman Roderick dengan niatan untuk membantu Bella yang terkunci di dalam kamarnya. Dengan langkah pasti, ia segera menuju pintu kamar Bella sambil membawa kunci yang ia percayai bisa membuka pintu tersebut. "Bella, kamu mendengarku?" tanya Stuard memastikan.Bella, yang mendengar suara Stuard dari balik pintu, merasa lega dan bahagia karena ada yang datang menolongnya. Dia adalah Stuard."Tunggu sebentar, Bella. Aku akan membantumu keluar dari sana," teriak Stuard bersemangat, berharap Bella mendengar suaranya.Stuard mencoba memasukkan kunci yang ia bawa ke dalam lubang kunci pintu, menggoyangkan kunci itu perlahan untuk mencari posisi yang tepat agar pintu bisa terbuka. Setelah beberapa kali mencoba, akhirnya ia berhasil menemukan posisi yang pas dan pintu pun terbuka."Yes, berhasil."Ceklek.Pintu terbuka.Bella, yang sudah tidak sabar menunggu, segera meloncat keluar dari kamar dan memeluk Stuard erat-erat sebagai tanda terima kasih. "Terima kasih banyak, Stuar
Alesya berdiri di balik pintu, tangannya menahan nafas agar tak terdengar oleh Liam dan Marco, suaminya dan mertuanya yang sedang berbincang serius di ruang tunggu. Dari celah pintu, Alesya bisa melihat ekspresi wajah Marco yang penuh kekhawatiran."Aku tahu kamu mencintai Alesya, Liam," ujar Marco dengan lembut. "Ayah percaya padamu dan kamu harus tahu bahwa pernikahan bukan hanya soal cinta. Kalian berdua harus saling menghargai dan bekerja sama untuk menjaga rumah tangga ini."Liam mengangguk, matanya tampak berkaca-kaca. "Aku tahu, Ayah. Aku berusaha, meski terkadang sulit."Marco menghela napas, kemudian menepuk-nepuk pundak Liam. "Anakku, kamu harus ingat betapa sulitnya masa lalu yang pernah kalian lewati. Jangan biarkan sejarah buruk itu menghancurkan pernikahanmu."Alesya menutup mulutnya, berusaha menahan isak tangis yang muncul begitu saja. Rasa benci yang sempat memenuhi hatinya terhadap suaminya kini perlahan sirna. Entahlah tak bisa dijelaskan. Semua perjuangannya untuk
"Ada apa, Ale?" tanya Marco. Dia sengaja menengok Alesya, ternyata anak perempuannya itu belum juga tidur."Aku tidak apa apa, Ayah.""Benarkah? Jika kamu baik baik saja, kenapa terbangun di tengah malam seperti ini?""Itu karena …, karena aku sangat haus tadi."Marco tersenyum melihat alasan Alesya. Dia sungguh mengerti anak anaknya dalam hal berbohong atau tidak. "Sudahlah nak, kamu tidur saja. Aku akan menunggumu di sofa itu," ucap Marco sambil menunjuk sofa panjang di samping ranjang."Baik, Ayah."Cukup hening hingga Alesya tertidur membuat Marco beralih duduk di sofa. Marco duduk termenung memandangi album foto yang ia pegang. Hanya benda ini yang dibawa Marco pergi dari kediaman Roderick. Dengan pelan, Marco membuka album foto tersebut. Di dalamnya tersimpan kenangan 10 tahun lalu.Bella dan Alesya, anak-anaknya di dalam foto itu terlihat manis dan lucu serta saling menyayangi satu sama lain. Marco tak menyangka jika saat ini mereka bisa saling membenci. Mungkin hal ini wajar t
"Itu ….""Aku tadi sedang ke kamar mandi saat teman temanku memesan makanan dan minuman. Mungkinkah?""Bisa jadi semua lelaki itu si kurir pengantar makanan dan minuman," tebak Liam. "Rina segera laporkan ke Polisi agar kasus ini segera ditangani.""Baik." Rina berjalan lalu kembali berbalik, "tapi Tuan Liam, saat ini sudah sangat larut. Lebih baik besok saja, saya akan melapor ke Kantor polisi.""Iya."Liam berdiri di luar ruangan inkubator dengan rasa penyesalan yang mendalam. Matanya berkaca-kaca menatap bayinya yang terbaring lemah di dalam inkubator. Dia merasa bodoh karena tadi sempat meninggalkan bayinya sebentar untuk melihat dan menjaga Alesya, padahal seharusnya dia tetap berada di sisi bayinya itu.Tak disangka, saat dia pergi, seorang pria yang tidak dikenal hampir mencelakai bayinya. Beruntung dia segera kembali dan menggagalkan aksi pria itu. Namun, rasa takut akan kehilangan anaknya membuat Liam semakin menyesal telah meninggalkan bayi tersebut.Menghela napas panjang,
"Maaf Boss, kami gagal."Pesan dari suruhan Bella. Seketika dibanting ponsel itu diatas ranjang, meluapkan kekesalan pada dirinya.Bella sempat menyuruh anak buahnya ketika dirinya dikurung di kediaman Roderick. Memastikan jika kehidupan Alesya tak akan pernah bahagia. Jika membunuh Alesya gagal, pilihan jatuh pada bayinya. Ya, Bella lah yang menyuruh orang jangkung kemarin untuk membunuh bayi Alesya."Brengsek!"Bella berjalan mondar mandir tak jelas. "Bagaimana bisa membunuh salah satu diantaranya begitu sulit!" pikirnya. Terlebih saat ini ada Liam bersama Alesya. Bella sangat takut jika Liam semakin jatuh hati pada adiknya itu."Aku harus bagaimana?"Bella memikirkan beberapa peluang dan peluang terbesarnya adalah menemui mereka, memberikan ancaman agar Alesya mau meninggalkan Liam. "Ya, aku harus pergi!"Bella mengambil keputusan untuk pergi ke Paris, menemui Alesya dan Liam, akan membuat perhitungan dengan mereka yang telah mengecewakannya. Begitu masuk ke dalam pesawat, ia meras
Zidan mengunjungi Alesya di rumah sakit dengan membawa sekotak makanan kesukaan Alesya dan seikat mawar putih. Begitu memasuki kamar, dia melihat Alesya yang tengah bahagia menggendong dan memberi ASI kepada bayinya yang baru keluar dari inkubator. Liam, duduk di sampingnya dengan tatapan penuh cinta dan bangga.Zidan menggigit bibirnya, hawa panas seketika menyeruak, berdesir tajam mengiris hatinya. Yang jelas tak bisa dijelaskan suasana hatinya saat ini. Apakah Zidan cemburu? Atau sedih melihat kebahagiaan mereka berdua?Namun, dia tak ingin terlihat menyedihkan di hadapan Alesya dan Liam. Oleh karena itu, dia mencoba mengalihkan perasaannya dengan membuat candaan. "Wah, bayi-ku sudah keluar dari inkubator ya. Selamat sayang, bagaimana jika kamu di gendong Ayah, boy?""A-yah katamu?" tanya Liam kesal.Zidan mengangguk, "jauh sebelum kamu kemari kan aku sudah meminta izin kepada Alesya untuk menjadi ayahnya. Benarkan Ale?"Alesya mengangguk pelan, membenarkan ucapan Zidan. Sudut mata