"Ada apa, Ale?" tanya Marco. Dia sengaja menengok Alesya, ternyata anak perempuannya itu belum juga tidur."Aku tidak apa apa, Ayah.""Benarkah? Jika kamu baik baik saja, kenapa terbangun di tengah malam seperti ini?""Itu karena …, karena aku sangat haus tadi."Marco tersenyum melihat alasan Alesya. Dia sungguh mengerti anak anaknya dalam hal berbohong atau tidak. "Sudahlah nak, kamu tidur saja. Aku akan menunggumu di sofa itu," ucap Marco sambil menunjuk sofa panjang di samping ranjang."Baik, Ayah."Cukup hening hingga Alesya tertidur membuat Marco beralih duduk di sofa. Marco duduk termenung memandangi album foto yang ia pegang. Hanya benda ini yang dibawa Marco pergi dari kediaman Roderick. Dengan pelan, Marco membuka album foto tersebut. Di dalamnya tersimpan kenangan 10 tahun lalu.Bella dan Alesya, anak-anaknya di dalam foto itu terlihat manis dan lucu serta saling menyayangi satu sama lain. Marco tak menyangka jika saat ini mereka bisa saling membenci. Mungkin hal ini wajar t
"Itu ….""Aku tadi sedang ke kamar mandi saat teman temanku memesan makanan dan minuman. Mungkinkah?""Bisa jadi semua lelaki itu si kurir pengantar makanan dan minuman," tebak Liam. "Rina segera laporkan ke Polisi agar kasus ini segera ditangani.""Baik." Rina berjalan lalu kembali berbalik, "tapi Tuan Liam, saat ini sudah sangat larut. Lebih baik besok saja, saya akan melapor ke Kantor polisi.""Iya."Liam berdiri di luar ruangan inkubator dengan rasa penyesalan yang mendalam. Matanya berkaca-kaca menatap bayinya yang terbaring lemah di dalam inkubator. Dia merasa bodoh karena tadi sempat meninggalkan bayinya sebentar untuk melihat dan menjaga Alesya, padahal seharusnya dia tetap berada di sisi bayinya itu.Tak disangka, saat dia pergi, seorang pria yang tidak dikenal hampir mencelakai bayinya. Beruntung dia segera kembali dan menggagalkan aksi pria itu. Namun, rasa takut akan kehilangan anaknya membuat Liam semakin menyesal telah meninggalkan bayi tersebut.Menghela napas panjang,
"Maaf Boss, kami gagal."Pesan dari suruhan Bella. Seketika dibanting ponsel itu diatas ranjang, meluapkan kekesalan pada dirinya.Bella sempat menyuruh anak buahnya ketika dirinya dikurung di kediaman Roderick. Memastikan jika kehidupan Alesya tak akan pernah bahagia. Jika membunuh Alesya gagal, pilihan jatuh pada bayinya. Ya, Bella lah yang menyuruh orang jangkung kemarin untuk membunuh bayi Alesya."Brengsek!"Bella berjalan mondar mandir tak jelas. "Bagaimana bisa membunuh salah satu diantaranya begitu sulit!" pikirnya. Terlebih saat ini ada Liam bersama Alesya. Bella sangat takut jika Liam semakin jatuh hati pada adiknya itu."Aku harus bagaimana?"Bella memikirkan beberapa peluang dan peluang terbesarnya adalah menemui mereka, memberikan ancaman agar Alesya mau meninggalkan Liam. "Ya, aku harus pergi!"Bella mengambil keputusan untuk pergi ke Paris, menemui Alesya dan Liam, akan membuat perhitungan dengan mereka yang telah mengecewakannya. Begitu masuk ke dalam pesawat, ia meras
Zidan mengunjungi Alesya di rumah sakit dengan membawa sekotak makanan kesukaan Alesya dan seikat mawar putih. Begitu memasuki kamar, dia melihat Alesya yang tengah bahagia menggendong dan memberi ASI kepada bayinya yang baru keluar dari inkubator. Liam, duduk di sampingnya dengan tatapan penuh cinta dan bangga.Zidan menggigit bibirnya, hawa panas seketika menyeruak, berdesir tajam mengiris hatinya. Yang jelas tak bisa dijelaskan suasana hatinya saat ini. Apakah Zidan cemburu? Atau sedih melihat kebahagiaan mereka berdua?Namun, dia tak ingin terlihat menyedihkan di hadapan Alesya dan Liam. Oleh karena itu, dia mencoba mengalihkan perasaannya dengan membuat candaan. "Wah, bayi-ku sudah keluar dari inkubator ya. Selamat sayang, bagaimana jika kamu di gendong Ayah, boy?""A-yah katamu?" tanya Liam kesal.Zidan mengangguk, "jauh sebelum kamu kemari kan aku sudah meminta izin kepada Alesya untuk menjadi ayahnya. Benarkan Ale?"Alesya mengangguk pelan, membenarkan ucapan Zidan. Sudut mata
Zidan berusaha menggoyahkan hati Alesya agar wanita itu tidak ikut bersama Liam. Dia ingin Alesya mandiri di atas kakinya sendiri. Dalamnya rasa sakit yang Alesya rasakan hanya Zidan yang tahu. Jadi karena itulah Zidan menghentikan Alesya."Zidan, kenapa kamu suka sekali mencampuri urusan Alesya. Aku suaminya, aku berhak memutuskan apa yang menurutku benar." Liam sangat kesal, meraih tangan Alesya dan ingin membawanya pergi jauh. Tiba tiba ....Srekh.Alesya melepas genggaman tangan Liam, segera mengambil sang buah hati dari gendongan Liam. Zidan melihat semuanya, ada rasa bahagia karena berhasil memenangkan Alesya."Ale, apa yang ….""Zidan benar, masalah harus dihadapi bukannya lari dari Bella, seperti pecundang saja."Liam menghela nafas berat, mengikis jarak dan mengatakan, “Bella itu psikopat yang bisa membunuh kita kapanpun dia mau." Liam melirik Zidan sesaat dan kembali berkata, "mengenai tes hasil DNA yang aku dapatkan itu …, setelah aku menelusuri dengan seksama, semua itu ad
"Nyonya sebaiknya Anda melihat rekaman CCTV Rumah Sakit," saran anak buah Bella. "Mari saya antar Nyonya."Bella berjalan kaki, bergegas menuju ruang pengawas di Rumah Sakit. Dalam hati, ia berharap dapat menemukan petunjuk tentang kepergian Alesya yang tiba-tiba menghilang. Ruang tersebut sudah di tutup oleh Bella.Hanya butuh waktu lima menit saja, Bella sudah duduk di depan beberapa monitor dengan banyak gambar dari berbagai sudut."Putar dari waktu semalam!" perintah Bella. "Baik Nyonya."Bella menyaksikan dengan seksama dari adanya liam, Marco bersama Alesya dan juga seorang lelaki yang tak dikenal. Lalu, Bella melihat Marco, sedang berbicara dengan seorang lelaki yang tak dikenal."Sepertinya wajah ini cukup familiar, Stuard. Apakah kamu mengenalnya?" tanya Bella pada Stuard namun, lelaki itu acuh tak acuh dan hanya sibuk menyeruput jus jeruknya. Rasa kesal dan marah memenuhi hati Bella."Stuard, sudah kubilang, aku butuh bantuanmu untuk mencari Alesya, tapi kau hanya sibuk den
"Pergi kataku. Pergi?!" teriak Alesya sekencang mungkin membuat bayinya kembali menangis.Oekh.Oekh."Cup cup sayang.""Maaf, maafkan mama ya sayang? Maaf."Bayi Alesya terus menangis hingga Alesya kesal. Dirinya juga lelah karena dari tadi pagi bayinya rewel, minta digendong terus. Liam melihat sang bayi, merasa tak tega. Melihat Alesya, semakin teriris. Meski kesal, Liam meraih sang bayi, mengambil paksa dari ibunya.Liam menggendong bayinya dengan penuh kasih sayang, dia menopang kepala bayi yang mungil itu dengan hati-hati. Kedua tangannya merasa hangat saat memegang tubuh bayi yang lemah dan mungil itu. Liam merasa seolah-olah dia memiliki kekuatan super untuk melindungi bayi kecil itu dari segala bahaya yang mungkin mengintai. Meski baru pertama kali menggendong bayinya, Liam begitu cekatan dan terlihat seperti sudah ahli menggendong.Oekh.Oekh.Bayi itu masih menangis, tangisan yang menyayat hati Liam. Dia berusaha meredakan tangisan si kecil dengan cara mengayun-ayunkan tub
"Jangan pergi, Ale!" gumam Liam dengan mata tertutup. Alesya memandang pilu, merasa jika dia adalah wanita yang paling kejam di dunia ini. "Ale, jangan pergi lagi. Jangan tinggalkan aku!"Tangan Alesya yang bebas terulur untuk melepas tangan Liam. Setelah terlepas, Alesya segera berlari masuk kamar dan menguncinya."Maaf Liam.""Maafkan aku."Hiks, hiks.Alesya terduduk lemah di tepi ranjang kamarnya, tangisannya tersedu-sedu tak terkendali. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya, mengingat kalimat permohonan Liam yang begitu menyayat hati, "Tolong jangan pergi, Alesya. Aku mohon."Dalam hatinya, Alesya merasa dilema yang sangat mendalam. Di satu sisi, ia begitu terluka oleh sikap egois suaminya itu, tapi di sisi lain, ia juga tak ingin anak yang baru lahir itu kehilangan sosok ayah."Haruskah aku memaafkan Liam demi bayi kita?" gumam Alesya pelan, merasa begitu terbebani oleh keputusan yang harus ia ambil.Alesya mencoba mengusap air matanya dan menarik napas dalam-dalam, mencob