"Nyonya sebaiknya Anda melihat rekaman CCTV Rumah Sakit," saran anak buah Bella. "Mari saya antar Nyonya."Bella berjalan kaki, bergegas menuju ruang pengawas di Rumah Sakit. Dalam hati, ia berharap dapat menemukan petunjuk tentang kepergian Alesya yang tiba-tiba menghilang. Ruang tersebut sudah di tutup oleh Bella.Hanya butuh waktu lima menit saja, Bella sudah duduk di depan beberapa monitor dengan banyak gambar dari berbagai sudut."Putar dari waktu semalam!" perintah Bella. "Baik Nyonya."Bella menyaksikan dengan seksama dari adanya liam, Marco bersama Alesya dan juga seorang lelaki yang tak dikenal. Lalu, Bella melihat Marco, sedang berbicara dengan seorang lelaki yang tak dikenal."Sepertinya wajah ini cukup familiar, Stuard. Apakah kamu mengenalnya?" tanya Bella pada Stuard namun, lelaki itu acuh tak acuh dan hanya sibuk menyeruput jus jeruknya. Rasa kesal dan marah memenuhi hati Bella."Stuard, sudah kubilang, aku butuh bantuanmu untuk mencari Alesya, tapi kau hanya sibuk den
"Pergi kataku. Pergi?!" teriak Alesya sekencang mungkin membuat bayinya kembali menangis.Oekh.Oekh."Cup cup sayang.""Maaf, maafkan mama ya sayang? Maaf."Bayi Alesya terus menangis hingga Alesya kesal. Dirinya juga lelah karena dari tadi pagi bayinya rewel, minta digendong terus. Liam melihat sang bayi, merasa tak tega. Melihat Alesya, semakin teriris. Meski kesal, Liam meraih sang bayi, mengambil paksa dari ibunya.Liam menggendong bayinya dengan penuh kasih sayang, dia menopang kepala bayi yang mungil itu dengan hati-hati. Kedua tangannya merasa hangat saat memegang tubuh bayi yang lemah dan mungil itu. Liam merasa seolah-olah dia memiliki kekuatan super untuk melindungi bayi kecil itu dari segala bahaya yang mungkin mengintai. Meski baru pertama kali menggendong bayinya, Liam begitu cekatan dan terlihat seperti sudah ahli menggendong.Oekh.Oekh.Bayi itu masih menangis, tangisan yang menyayat hati Liam. Dia berusaha meredakan tangisan si kecil dengan cara mengayun-ayunkan tub
"Jangan pergi, Ale!" gumam Liam dengan mata tertutup. Alesya memandang pilu, merasa jika dia adalah wanita yang paling kejam di dunia ini. "Ale, jangan pergi lagi. Jangan tinggalkan aku!"Tangan Alesya yang bebas terulur untuk melepas tangan Liam. Setelah terlepas, Alesya segera berlari masuk kamar dan menguncinya."Maaf Liam.""Maafkan aku."Hiks, hiks.Alesya terduduk lemah di tepi ranjang kamarnya, tangisannya tersedu-sedu tak terkendali. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya, mengingat kalimat permohonan Liam yang begitu menyayat hati, "Tolong jangan pergi, Alesya. Aku mohon."Dalam hatinya, Alesya merasa dilema yang sangat mendalam. Di satu sisi, ia begitu terluka oleh sikap egois suaminya itu, tapi di sisi lain, ia juga tak ingin anak yang baru lahir itu kehilangan sosok ayah."Haruskah aku memaafkan Liam demi bayi kita?" gumam Alesya pelan, merasa begitu terbebani oleh keputusan yang harus ia ambil.Alesya mencoba mengusap air matanya dan menarik napas dalam-dalam, mencob
Bella merasa seperti disiram air panas, wajahnya memerah karena kemarahan yang memuncak. Anak buahnya yang berdiri di depannya dengan senyum sinis, telah mengolok-ngolok harga dirinya. "Jadi, kau bilang aku tidak punya harga diri?" tanya Bella dengan nada menggelegar.Anak buah tersebut tertawa kecil, "Itulah kenyataannya, Nyonya Bella. Seperti saat ini, Anda mencari Bos tanpa berpikir dua kali. Seperti boneka tanpa pendirian."Bella mengepalkan tangannya, berusaha menahan emosinya agar tidak meledak. Dia mendekati anak buahnya tersebut, berdiri tegap di depannya, dan menatap mata anak buahnya yang sinis itu dengan tatapan tajam."Kalian semua yang buta!" ucap Bella sambil menunjuk-nunjuk anak buahnya. "Aku melakukan semua ini bukan karena tak punya harga diri, melainkan karena aku punya tujuan yang lebih besar! Tujuan yang tidak bisa kalian pahami!"Anak buahnya itu tertegun, tak menyangka bahwa Bella akan melawan balik. Bella menatap mereka satu per satu, memastikan bahwa mereka men
Malam hari.Alesya tampak gelisah, langkah kakinya bolak-balik di ruang tamu rumahnya, menantikan kedatangan sang ayah. Wajahnya pucat dan jelas terlihat kekhawatiran yang mendalam. Matanya menatap pintu utama, berharap segera melihat sosok ayah yang selalu ia sayangi itu muncul dengan selamat dan tanpa kekurangan apapun.Liam, melihat raut wajah istrinya yang ketakutan, berjalan mendekat, menepuk bahu Alesya dengan lembut, mencoba menenangkan hatinya. "Ale, tenanglah. Ayah pasti baik-baik saja. Tenanglah, jangan terlalu khawatir," ucap Liam dengan suara lembut dan penuh kasih sayang.Alesya menoleh, menatap Liam dengan air mata yang mulai menggenang di pelupuk matanya. "Tapi, Liam, aku takut ada yang terjadi pada ayah. Dia sudah terlambat beberapa jam dari waktu yang dijanjikan," gumam Alesya dengan suara yang bergetar.Liam menggenggam tangan Alesya erat, mencoba memberikan kekuatan dan dukungan pada istrinya. "Percayalah, Ayah pasti segera sampai. Mungkin ada hal yang membuatnya te
"Liam, aku juga mengandung anakmu, mengapa kamu lebih memperhatikan Alesya dan bayinya?" tanyanya dengan suara yang keras.Liam, yang sedang duduk di sofa sambil memeluk Alesya, terkejut dan melepaskan pelukannya. "Apa maksudmu, Bella?" tanyanya dengan nada yang seolah olah terkejut, berusaha menutupi diri dari kenyataan bahwa dia mengetahui kehamilan Bella itu.Alesya sendiri menatap Liam, mencari penilaian terhadap sikap apa yang akan dilakukan Liam jika dihadapkan dengan dua kasus yang sama. Dan pada akhirnya salah satu diantara mereka akan mundur dari sisi Liam. Meski Alesya mengetahui kehamilan Bella, dia juga berpura pura tidak tahu."Aku ingin hak yang sama, Liam. Aku ingin kau kembali ke kota bersamaku dan menafkahi aku yang sedang hamil ini," ujar Bella dengan tegas. "Aku tak mau diperlakukan seperti ini lagi."Liam menatap Bella dengan tatapan yang bingung. Alesya, yang juga terkejut, menggenggam tangannya sendiri erat-erat. "Jadi, kamu juga hamil, Bella? Apakah dia juga ana
Alesya memandang kepergian Liam beberapa menit yang lalu. Dia teringat kejadian tadi malam setelah Liam berjanji untuk kembali. Flasback.Liam berdiri, berjalan mengunci pintu kamar Alesya dan berbalik duduk di sampingnya. Sedangkan Alesya merasa gugup, menghadap lantai sambil meremas dressnya, dia merasa sangat tertekan saat ini. Antara menerima perlakuan Liam setelah ini atau menolaknya karena keraguan di hati.Tanpa persetujuan Alesya, Liam menggenggam tangan sang istri dan mengecupnya dengan lembut. Manik hitam pekat yang dimiliki Liam beradu pandang dengan manik coklat hazel Alesya. Berpandangan cukup lama bagai sihir ya membangkitkan api gairah di dalam diri mereka."Aku baru menyadari rasa cinta ini saat kamu pergi meninggalkanku, Ale. Semua terasa hampa, tak ada semangat untuk hidup. Setiap pagi, aku berharap kamu ada di sisi ketika aku membuka mata," jelas Liam, mengeluarkan isi hatinya. Alesya hanya diam, tak tahu harus berkata apa, Liam telah berhasil memporak porandakan
Malam makin larut, Liam tidak bisa tidur dengan nyenyak berbeda dengan Bella, wanita itu terlihat sedang tertidur pulas di sampingnya. Liam mengambil ponselnya di atas nakas dan mengetik pesan singkat untuk Alesya. "Aku merindukanmu, Sayang. Hanya tinggal menunggu bayi yang dikandung Bella lahir, lalu aku akan kembali padamu. Tunggu aku, ya," tulis Liam dengan perasaan campur aduk antara harap dan takut.Dalam hati, Liam tahu bahwa keputusannya mungkin akan mengecewakan banyak orang, terutama Bella yang telah menantikannya selama ini. Namun, Liam juga tahu bahwa dia tidak bisa membohongi hatinya sendiri. Cintanya pada Alesya begitu kuat, dan dia merasa tak bisa hidup tanpanya.Bayinya dengan Alesya telah lahir dengan selamat namun Liam tak bisa menunggu dan melihat perkembangan bayinya itu. Liam harus terjebak dengan Bella yang begitu bahagia. Liam tak sabar menunggu saat itu tiba dan mengambil keputusan yang sulit. Saat ini, Liam harus memilih antara menjalani hidup yang dipaksakan b