"Liam, aku juga mengandung anakmu, mengapa kamu lebih memperhatikan Alesya dan bayinya?" tanyanya dengan suara yang keras.Liam, yang sedang duduk di sofa sambil memeluk Alesya, terkejut dan melepaskan pelukannya. "Apa maksudmu, Bella?" tanyanya dengan nada yang seolah olah terkejut, berusaha menutupi diri dari kenyataan bahwa dia mengetahui kehamilan Bella itu.Alesya sendiri menatap Liam, mencari penilaian terhadap sikap apa yang akan dilakukan Liam jika dihadapkan dengan dua kasus yang sama. Dan pada akhirnya salah satu diantara mereka akan mundur dari sisi Liam. Meski Alesya mengetahui kehamilan Bella, dia juga berpura pura tidak tahu."Aku ingin hak yang sama, Liam. Aku ingin kau kembali ke kota bersamaku dan menafkahi aku yang sedang hamil ini," ujar Bella dengan tegas. "Aku tak mau diperlakukan seperti ini lagi."Liam menatap Bella dengan tatapan yang bingung. Alesya, yang juga terkejut, menggenggam tangannya sendiri erat-erat. "Jadi, kamu juga hamil, Bella? Apakah dia juga ana
Alesya memandang kepergian Liam beberapa menit yang lalu. Dia teringat kejadian tadi malam setelah Liam berjanji untuk kembali. Flasback.Liam berdiri, berjalan mengunci pintu kamar Alesya dan berbalik duduk di sampingnya. Sedangkan Alesya merasa gugup, menghadap lantai sambil meremas dressnya, dia merasa sangat tertekan saat ini. Antara menerima perlakuan Liam setelah ini atau menolaknya karena keraguan di hati.Tanpa persetujuan Alesya, Liam menggenggam tangan sang istri dan mengecupnya dengan lembut. Manik hitam pekat yang dimiliki Liam beradu pandang dengan manik coklat hazel Alesya. Berpandangan cukup lama bagai sihir ya membangkitkan api gairah di dalam diri mereka."Aku baru menyadari rasa cinta ini saat kamu pergi meninggalkanku, Ale. Semua terasa hampa, tak ada semangat untuk hidup. Setiap pagi, aku berharap kamu ada di sisi ketika aku membuka mata," jelas Liam, mengeluarkan isi hatinya. Alesya hanya diam, tak tahu harus berkata apa, Liam telah berhasil memporak porandakan
Malam makin larut, Liam tidak bisa tidur dengan nyenyak berbeda dengan Bella, wanita itu terlihat sedang tertidur pulas di sampingnya. Liam mengambil ponselnya di atas nakas dan mengetik pesan singkat untuk Alesya. "Aku merindukanmu, Sayang. Hanya tinggal menunggu bayi yang dikandung Bella lahir, lalu aku akan kembali padamu. Tunggu aku, ya," tulis Liam dengan perasaan campur aduk antara harap dan takut.Dalam hati, Liam tahu bahwa keputusannya mungkin akan mengecewakan banyak orang, terutama Bella yang telah menantikannya selama ini. Namun, Liam juga tahu bahwa dia tidak bisa membohongi hatinya sendiri. Cintanya pada Alesya begitu kuat, dan dia merasa tak bisa hidup tanpanya.Bayinya dengan Alesya telah lahir dengan selamat namun Liam tak bisa menunggu dan melihat perkembangan bayinya itu. Liam harus terjebak dengan Bella yang begitu bahagia. Liam tak sabar menunggu saat itu tiba dan mengambil keputusan yang sulit. Saat ini, Liam harus memilih antara menjalani hidup yang dipaksakan b
Alesya tersenyum tipis, menepuk bahu Zidan dengan lembut. "Terima kasih, Zidan. Aku tahu, kau hanya peduli pada kami."Zidan mengangguk, mencoba menenangkan hatinya yang masih resah. Ia berharap, Alesya dan Marco segera menyadari betapa berbahayanya tinggal di tengah hutan dan mau menerima tawarannya untuk pindah ke tempat yang lebih aman dan nyaman.Tiba tiba ….Pletak."Suara apa itu?" tanya Zidan, terkejut bukan main mendengar suara asing di tengah kesunyian yang mencekam."Entahlah," jawab Marco ikut panik sedangkan Alesya segera memeluk erat Devano."Kita pergi saja dari sini, sekarang!" titah Zidan penuh penekanan.Hal itu berhasil, Alesya dan Marco mengangguk setuju. Mereka segera mengepaki barang barangnya dan bersiap untuk pergi."Ayo kita pergi, nak Zidan. Alesya juga setuju untuk pergi."Mereka telah memutuskan untuk pergi dari rumah yang dipenuhi teka teki penuh misteri. Berjalan beriringan untuk ke luar rumah.Setelah sampai di luar rumah, Zidan menatap rumah yang terleta
"Halo, Bos Bella? Kami punya kabar baik. Misi kita berhasil, Alesya mati bersama meledaknya mobil yang ditumpanginya.""Sungguh? Ha, akhirnya! Kalian telah melakukan pekerjaan yang luar biasa. Sekarang, dengarkan baik-baik. Setelah kalian mendapatkan uang hasil kerja keras kalian, segera pergi dan tinggalkan kota ini. Jangan biarkan jejak apapun dan pastikan kalian aman.""Baik, Bos Bella. Terima kasih atas kepercayaanmu kepada kami. Kami akan segera melakukannya dan bersembunyi sampai semuanya aman.""Sempurna. Jangan lupa untuk mengabari saya saat kalian sudah jauh dari kota. Selamat beraksi.""Tentu, Bos Bella. Terima kasih dan sampai jumpa."Mereka semua senyum bahagia sambil melihat puing-puing mobil sedan sidang yang masih terbakar."Apakah mereka benar benar terbakar bos?" tanya salah satu anak buah."Tentu saja, mereka semua sudah mati. Kenapa kamu mengatakan begitu?""Ah, tidak apa apa. Bukankah mereka saling berteriak jika memang tubuh mereka terbakar bos? Sedangkan sedari t
"Mau kemana kamu?" tanya Bella. Dia tak ingin Liam kembali meninggalkannya lagi. Saat Liam pergi dia sangat kesulitan mencari akses untuk menggapainya. Semua yang telah diraih tak boleh dengan mudah lepas dari genggaman."Aku akan pergi. Sudah tak ada lagi kesepakatan yang harus dipenuhi. Kamu sudah melewati batasanmu, Bella.""Kenapa harus begitu? Padahal aku sudah meminta apa yang seharusnya menjadi milikku. Aku tak mau cintamu terbagi. Hanya untuk aku, Liam."Liam menatap tajam ke arah Bella, wanita yang telah berhasil menipu hatinya. Ia tak ingin jatuh ke dalam perangkap rayuan Bella untuk kedua kalinya. Dengan tekad yang bulat, Liam memutuskan untuk meninggalkan wanita itu.Namun, sebelum pergi, Liam menghampiri Bella yang tampak terkejut dan ketakutan akan sikap Liam. Liam membungkukkan tubuhnya hingga mendekat ke telinga Bella. "Bella, dengarkan baik-baik," bisik Liam dengan suara yang berat namun penuh ancaman. "Jika kamu berani menghalangiku pergi lagi atau mencoba merusak hi
Alesya berlari tergesa-gesa ke ruang gawat darurat, hatinya berdebar kencang dan tak bisa menahan rasa cemas yang melanda. Wajahnya pucat dan tangannya gemetar saat mencoba mencari keberadaan Zidan yang terlibat dalam kecelakaan lalu lintas beberapa jam yang lalu. Begitu mengetahui kabar dari orang tadi, Alesya langsung menuju rumah sakit terdekat, berharap Zidan baik-baik saja.Di dalam ruang informasi, Alesya bertanya dengan panik dan khawatir. "Zidan, pasien bernama Zidan, di mana?" tanya Alesya, suaranya bergetar."Ibu ini siapa?""Saya Alesya. Sahabat Zidan."Perawat itu mengernyitkan kening, merasa aneh dan bingung namun dia memilih untuk memberikannya informasi. "Dokter bilang, Zidan sedang dalam pemeriksaan. Silahkan ditunggu dulu."Alesya merasa putus asa, dia duduk di bangku ruang tunggu dengan wajah lesu dan air mata yang tak henti-hentinya mengalir. Tak lama kemudian, Dokter keluar dari ruang gawat darurat dengan wajah serius."Siapa wali dari Zidan?""Saya, Dokter," jawa
Liam menghampiri temannya yang seorang dokter, dengan tatapan yang penuh harap dan sedikit putus asa. "Dokter Tomy, bisakah Anda memberikan ramuan yang bisa membuat mabuk, namun tidak berbahaya bagi tubuh? Saya ingin Bella merasakan sedikit kelegaan dari beban di hatinya, tapi tidak mengganggu kesehatannya. Bella sedang hamil anak kami," ujarnya dengan hati-hati.Dokter itu menghela napas, menatap Liam dengan simpati. "Liam, saya mengerti kekhawatiranmu. Tetapi, kamu harus tahu bahwa memberikan ramuan semacam itu kepada Bella bisa sangat berisiko, terutama karena dia sedang hamil. Kesehatan ibu dan janin harus selalu diutamakan," ucap dokter bernama Tomy itu dengan tegas.Liam menatap sayu pada Tomy, hatinya berkecamuk. "Tapi, bagaimana jika beban di hatinya terus menumpuk? Bella sangat tertekan, Dok. Saya takut jika hal itu juga berdampak pada kesehatan anak kami."Tomy mengangguk angguk sambil mengusap dagu, berpikir sejenak. "Baiklah, ada satu ramuan yang mungkin bisa membantu Bell