Alesya terbangun di sebuah ruangan yang asing, dengan dinding berwarna pastel yang lembut dan peralatan medis yang berjejer di sisi tempat tidur. Aroma khas rumah sakit - campuran antiseptik dan bau obat-obatan - mengisi paru-parunya saat dia mencoba menarik napas dalam-dalam. Di sudut ruangan, sebuah vas berisi bunga mawar segar menambah kehangatan suasana.Dari balik jendela yang tertutup rapat, sinar matahari merayap masuk, menciptakan bayangan-bayangan lembut yang bermain di dinding ruangan. Sementara itu, suara langkah kaki dan percakapan para perawat di luar ruangan terdengar seperti latar musik yang tenang, mengingatkan Alesya bahwa dia tidak sendirian dalam perjuangannya untuk pulih.Saat mencoba bangkit, Alesya merasa sakit yang menyengat pada bagian perutnya, mengingatkannya pada operasi besar yang baru saja dijalani. Tangan gemetar mencoba menggenggam pinggiran tempat tidur, mencari dukungan agar dapat duduk lebih tegak. "Apa yang kamu lakukan, Ale?!""Kamu?!"Alesya syok
"Bayi? Bagaimana dengan bayiku? Apakah dia selamat?" tanya Alesya cemas.Dokter dan Zidan terdiam, bingung untuk mengatakan kondisi bayi Alesya saat ini. Mereka takut jika dia akan syok dan kembali tak sadarkan diri."Em, itu …. Bayimu sehat, Ale. Setelah kamu sadar dan pulih, kita bisa bertemu dengannya," jelas Zidan.Alesya menggigit bibir, matanya berkaca-kaca mendengar kabar bahwa bayinya berhasil diselamatkan dari maut setelah menjalani operasi caesar. Hatinya berbunga-bunga ingin segera bertemu dengan malaikat kecil yang baru saja terlahir ke dunia ini. "Tapi, Zidan. Aku ingin menggendongnya sekarang?""Maaf Nyonya, tidak untuk saat ini," jawab Dokter yang menangani Alesya, tidak mengizinkannya untuk segera bertemu dengan bayinya, dikarenakan kondisi Alesya yang masih sangat lemah pasca operasi dan juga baru sadar."Baiklah jika tidak boleh menggendong, aku akan melihatnya saja, Dok," pinta Alesya dengan suara lirih dan penuh harap, namun Dokter kembali menggelengkan kepala sam
Marco segera menghubungi Morne. "Halo, Morne? Ini aku, Marco. Aku butuh bantuanmu segera.""Ya, Tuan Marco. Ada apa? Bagaimana saya bisa membantu?""Aku baru saja menghentikan Bella namun gagal. Dia dalam keadaan emosi yang terbakar dan berencana untuk menemui Liam dan Alesya. Aku khawatir ini akan menjadi masalah besar. Bisakah kamu segera pergi ke tempat Bella dan menghentikannya?""Tentu saja, Tuan Marco. Aku akan segera ke sana dan menenangkannya. Terima kasih telah memberitahu saya.""Terima kasih, Morne. Aku sangat mengandalkanmu dalam hal ini. Beri tahu aku segera jika kamu berhasil menemui Bella.""Baik, Tuan Marco. Akan saya beri tahu begitu berhasil menemukan Bella. Sampai jumpa."Panggilan berakhir.Morne segera menyalakan mesin mobilnya, kemudian mengaktifkan alat pelacak yang telah dipasang di ponsel Bella. Dengan cepat, ia mengejar lokasi yang tertera pada layar GPS mobilnya. Morne merasa cemas, namun tak ingin menunjukkan kekhawatirannya. Ia menggenggam kemudi dengan er
Alesya terkejut menatap selembar kertas yang diberikan Liam. Alesya menatap Liam dengan penuh kecurigaan saat pria itu memberikan selembar kertas kepadanya tadi. "Buka dan bacalah, Ale!"Liam menyuruh Alesya untuk membaca isinya dengan ekspresi serius. Alesya merasa ada yang aneh, namun rasa penasarannya lebih besar. Dengan gemetar, ia membuka lipatan kertas tersebut dan mulai membaca.Saat membaca hasil tes DNA yang ada di kertas itu, Alesya merasa tubuhnya melemah. Kertas tersebut menunjukkan bahwa bayi yang ia kandung bukanlah anak dari Liam. Alesya tak bisa menyembunyikan rasa syok, tak percaya dan kecewa. Air matanya mulai mengalir deras, dan jantungnya berdebar kencang."Liam …, dari mana kamu mendapatkan hasil tes ini?" tanya Alesya dengan suara lirih dan bergetar, menatap pria itu dengan mata berkaca-kaca.Liam menatap Alesya dengan wajah datar, namun matanya terlihat sedikit berkaca. "Tentu saja darimu. Hasil tes DNA ini membuktikan bahwa aku bukan ayah dari anakmu. Aku sang
"Alesya!"Alesya menoleh dan sungguh terkejut melihat siapa yang datang. "Ayah?"Alesya berlari menyambut Marco yang berjalan pelan demi menjaga keseimbangannya. Tiba tiba …, "akh, aduh!"Alesya meringis kesakitan pada bagian perutnya. "Alesya, kamu tidak apa apa Nak?" ucap Marco yang kini di depan Alesya. Seketika Alesya menggeleng. "Tidak apa apa, Ayah."Marco mengecup kening Alesya, putri kecilnya yang telah lama tidak ia temui, putri yang kini telah menjadi wanita dewasa sekaligus seorang Ibu. Marco tahu hal itu dari Morne. Pengawalnya itu selalu memberi kabar terbaru dari Alesya.Ditemani Morne, pengawal setia, Marco berdiri di depan Alesya yang kini beralih duduk di kursi roda setelah Zidan membantunya. Air mata terlihat mengalir di wajah Marco yang menggambarkan perasaan bahagia dan sedih bercampur menjadi satu.Marco melirik Zidan, "Ale, siapa dia?" tanya Marco melihat Zidan yang begitu perhatian memberi selimut pada Alesya saat ini."Dia adalah Zidan. Zidan ini ayahku, Marco
Stuard tiba di kediaman Roderick dengan niatan untuk membantu Bella yang terkunci di dalam kamarnya. Dengan langkah pasti, ia segera menuju pintu kamar Bella sambil membawa kunci yang ia percayai bisa membuka pintu tersebut. "Bella, kamu mendengarku?" tanya Stuard memastikan.Bella, yang mendengar suara Stuard dari balik pintu, merasa lega dan bahagia karena ada yang datang menolongnya. Dia adalah Stuard."Tunggu sebentar, Bella. Aku akan membantumu keluar dari sana," teriak Stuard bersemangat, berharap Bella mendengar suaranya.Stuard mencoba memasukkan kunci yang ia bawa ke dalam lubang kunci pintu, menggoyangkan kunci itu perlahan untuk mencari posisi yang tepat agar pintu bisa terbuka. Setelah beberapa kali mencoba, akhirnya ia berhasil menemukan posisi yang pas dan pintu pun terbuka."Yes, berhasil."Ceklek.Pintu terbuka.Bella, yang sudah tidak sabar menunggu, segera meloncat keluar dari kamar dan memeluk Stuard erat-erat sebagai tanda terima kasih. "Terima kasih banyak, Stuar
Alesya berdiri di balik pintu, tangannya menahan nafas agar tak terdengar oleh Liam dan Marco, suaminya dan mertuanya yang sedang berbincang serius di ruang tunggu. Dari celah pintu, Alesya bisa melihat ekspresi wajah Marco yang penuh kekhawatiran."Aku tahu kamu mencintai Alesya, Liam," ujar Marco dengan lembut. "Ayah percaya padamu dan kamu harus tahu bahwa pernikahan bukan hanya soal cinta. Kalian berdua harus saling menghargai dan bekerja sama untuk menjaga rumah tangga ini."Liam mengangguk, matanya tampak berkaca-kaca. "Aku tahu, Ayah. Aku berusaha, meski terkadang sulit."Marco menghela napas, kemudian menepuk-nepuk pundak Liam. "Anakku, kamu harus ingat betapa sulitnya masa lalu yang pernah kalian lewati. Jangan biarkan sejarah buruk itu menghancurkan pernikahanmu."Alesya menutup mulutnya, berusaha menahan isak tangis yang muncul begitu saja. Rasa benci yang sempat memenuhi hatinya terhadap suaminya kini perlahan sirna. Entahlah tak bisa dijelaskan. Semua perjuangannya untuk
"Ada apa, Ale?" tanya Marco. Dia sengaja menengok Alesya, ternyata anak perempuannya itu belum juga tidur."Aku tidak apa apa, Ayah.""Benarkah? Jika kamu baik baik saja, kenapa terbangun di tengah malam seperti ini?""Itu karena …, karena aku sangat haus tadi."Marco tersenyum melihat alasan Alesya. Dia sungguh mengerti anak anaknya dalam hal berbohong atau tidak. "Sudahlah nak, kamu tidur saja. Aku akan menunggumu di sofa itu," ucap Marco sambil menunjuk sofa panjang di samping ranjang."Baik, Ayah."Cukup hening hingga Alesya tertidur membuat Marco beralih duduk di sofa. Marco duduk termenung memandangi album foto yang ia pegang. Hanya benda ini yang dibawa Marco pergi dari kediaman Roderick. Dengan pelan, Marco membuka album foto tersebut. Di dalamnya tersimpan kenangan 10 tahun lalu.Bella dan Alesya, anak-anaknya di dalam foto itu terlihat manis dan lucu serta saling menyayangi satu sama lain. Marco tak menyangka jika saat ini mereka bisa saling membenci. Mungkin hal ini wajar t