"Hentikan operasi ini!" teriak Zidan bersama seorang lelaki berusia sekitar 60 tahun."Dia Dokter gadungan!" teriak lelaki berpakaian lusuh itu."Apa?"Delapan jam sebelumnya.Morne bersembunyi di balik jendela, mendengar percakapan antara Bella dan Raka. Bella dengan tegas menyuruh Raka untuk menyamar menjadi Dokter dan membunuh Alesya saat operasi kandungan nanti. Raka juga harus menculik Dokter asli agar rencana mereka berjalan lancar.Morne merasa ngeri dan panik, berita ini harus segera diberitahukan kepada Zidan. Tangan gemetar, ia mengambil ponselnya dan menekan nomor Zidan. Sesaat kemudian, suara Zidan terdengar di ujung sana."Zidan, Nyonya Alesya dalam bahaya! Nyonya Bella berencana membunuhnya saat operasi kandungan!" ungkap Morne dengan nada tergesa-gesa."Apakah kamu yakin?" tanya Zidan dengan suara yang serak karena cemas."Ya, aku baru saja mendengarnya dari Nyonya Bella langsung. Mereka akan menculik Dokter asli dan Raka akan menyamar sebagai Dokter untuk membunuh Ales
"Entahlah, katamu?" teriak Zidan. Dirinya sungguh kesal atas jawaban Rizal."Karena hal ini diluar kendali. Aku sudah berusaha semampuku. Maaf, Zidan."Zidan memasuki kamar Alesya dengan perasaan yang sangat berat. Ia melihat sosok Alesya yang kini terbaring lemah di ranjang, wajah yang dulu selalu tersenyum dan ceria kini terlihat pucat dan tak berdaya. "Ale?!"Zidan merasa sedih dan hampa, hatinya seolah teriris melihat wanita yang dicintai dalam kondisi seperti ini. Belum ada tanda- tanda bahwa Alesya akan segera siuman dan kembali seperti dulu.Zidan duduk di samping ranjang Alesya, menatap wajah yang ia cintai itu dengan air mata yang menggenang di pelupuk matanya. Ia menggenggam erat tangan Alesya, merasakan kehangatan yang masih ada di tubuh gadis itu. "Alesya, semoga kamu segera sembuh. Aku sangat merindukan senyummu yang dulu," bisik Zidan lembut sambil menahan isak tangisnya.Di sudut kamar, Zidan melihat bunga mawar yang baru saja ia beli untuk Alesya. "Lihatlah! Aku membawa
"Kamu?!'"Ya, aku Zidan."8 jam sebelumnyaZidan melangkah gegas melintasi jalanan Paris menuju bandara, ia nekat terbang ke Amerika demi memberitahu Liam tentang kondisi Alesya yang kritis. Di tangan Zidan, ia memegang erat tiket pesawat yang baru saja ia beli. Alesya, kini sedang bergelut dengan maut di rumah sakit dan tak ada kabar yang dapat menghubungkan mereka dengan Liam yang tengah asyik menikmati waktu santainya di Amerika.Setibanya di Amerika, Zidan dengan segera mencari tahu keberadaan Liam. Setelah menemukan taman yang dimaksud, ia mendapati Liam yang sedang asyik menikmati angin sepoi-sepoi sambil membaca buku di bawah pohon yang rindang. Ia menghampiri Liam dengan langkah tegap, menahan amarah yang memuncak di hatinya."Disini kamu rupanya!" teriak Zidan begitu dekat dengan Liam. Liam terkesiap, ia melihat Zidan dengan wajah terkejut. "Kamu?"Liam syok berat melihat lelaki yang selama ini bersama istrinya itu, kini berdiri di hadapannya."Ya, aku Zidan."Zidan semakin m
Liam segera menuju mobil miliknya. Mobil Ferrari berwarna merah itu melaju kencang di jalanan menuju bandara, Liam memacu kendaraannya secepat mungkin. Tak lama berselang, dua mobil hitam berisikan pengawal suruhan Bella tak kalah gesit mengejar Liam. Kecepatan mobil-mobil itu membuat banyak pengendara lain terpaksa menghindar untuk menghindari tabrakan."Brengsek!"Keringat dingin mengucur deras di dahi Liam saat dia mengecek kaca spion dan melihat dua mobil hitam itu semakin mendekat. "Mereka pasti orang orang suruhan Bella."Ciiit.Liam mencoba mengecoh mereka dengan berbelok ke jalan yang lebih sepi. Namun, pengawal Bella tetap terus mengejarnya. Mobil terus melaju dengan kecepatan tinggi.Di sebuah tikungan tajam, Liam mencoba mengerem namun pedal rem tak berfungsi. "Ada apa ini?" Liam berusaha terus menginjak sambil berkonsentrasi pada arah depan. "Sial?! Aaakh"Liam kehilangan kendali atas mobilnya. Brakh.Mobil Ferrari itu terlempar keluar jalur dan menabrak pohon besar di pi
Pov Liam.Hatiku seketika hancur saat mengetahui kenyataan jika sebenarnya yang mendonorkan sumsum tulang belakangnya adalah Alesya. Ya, Alesya lah yang menyelamatkan hidupku. Dan selama ini aku telah menyakiti perasaannya. Membiarkan dia pergi membawa buah hati kami.Sungguh ironis bukan? Aku melepas mutiara paling indah demi sebuah intan imitasi. Aku membiarkan Bella masuk ke dalam kehidupanku dengan mengaku dia pendonor sumsum tulang belakang itu. Dan bodohnya aku, percaya begitu saja tanpa mengetahui kelicikan yang diperbuat.Dengan tekad bulat, aku mencoba menahan rasa malu dan rasa bersalahku untuk menemui Alesya, wanita terbaik di dalam hidupku. Semuanya menjadi jelas saat ini. Kepastian cinta dimana wanita yang benar benar mencintai aku dengan tulus adalah Alesya.Lalu, Bella?? Wanita itu dari dulu hanya memanfaatkan cinta yang aku miliki untuknya. Tak pernah berubah. Bahkan hingga detik ini. Keegoisan yang dimiliki bisa membutakan dirinya. Buktinya, dia berani menyuruh orang
Alesya terbangun di sebuah ruangan yang asing, dengan dinding berwarna pastel yang lembut dan peralatan medis yang berjejer di sisi tempat tidur. Aroma khas rumah sakit - campuran antiseptik dan bau obat-obatan - mengisi paru-parunya saat dia mencoba menarik napas dalam-dalam. Di sudut ruangan, sebuah vas berisi bunga mawar segar menambah kehangatan suasana.Dari balik jendela yang tertutup rapat, sinar matahari merayap masuk, menciptakan bayangan-bayangan lembut yang bermain di dinding ruangan. Sementara itu, suara langkah kaki dan percakapan para perawat di luar ruangan terdengar seperti latar musik yang tenang, mengingatkan Alesya bahwa dia tidak sendirian dalam perjuangannya untuk pulih.Saat mencoba bangkit, Alesya merasa sakit yang menyengat pada bagian perutnya, mengingatkannya pada operasi besar yang baru saja dijalani. Tangan gemetar mencoba menggenggam pinggiran tempat tidur, mencari dukungan agar dapat duduk lebih tegak. "Apa yang kamu lakukan, Ale?!""Kamu?!"Alesya syok
"Bayi? Bagaimana dengan bayiku? Apakah dia selamat?" tanya Alesya cemas.Dokter dan Zidan terdiam, bingung untuk mengatakan kondisi bayi Alesya saat ini. Mereka takut jika dia akan syok dan kembali tak sadarkan diri."Em, itu …. Bayimu sehat, Ale. Setelah kamu sadar dan pulih, kita bisa bertemu dengannya," jelas Zidan.Alesya menggigit bibir, matanya berkaca-kaca mendengar kabar bahwa bayinya berhasil diselamatkan dari maut setelah menjalani operasi caesar. Hatinya berbunga-bunga ingin segera bertemu dengan malaikat kecil yang baru saja terlahir ke dunia ini. "Tapi, Zidan. Aku ingin menggendongnya sekarang?""Maaf Nyonya, tidak untuk saat ini," jawab Dokter yang menangani Alesya, tidak mengizinkannya untuk segera bertemu dengan bayinya, dikarenakan kondisi Alesya yang masih sangat lemah pasca operasi dan juga baru sadar."Baiklah jika tidak boleh menggendong, aku akan melihatnya saja, Dok," pinta Alesya dengan suara lirih dan penuh harap, namun Dokter kembali menggelengkan kepala sam
Marco segera menghubungi Morne. "Halo, Morne? Ini aku, Marco. Aku butuh bantuanmu segera.""Ya, Tuan Marco. Ada apa? Bagaimana saya bisa membantu?""Aku baru saja menghentikan Bella namun gagal. Dia dalam keadaan emosi yang terbakar dan berencana untuk menemui Liam dan Alesya. Aku khawatir ini akan menjadi masalah besar. Bisakah kamu segera pergi ke tempat Bella dan menghentikannya?""Tentu saja, Tuan Marco. Aku akan segera ke sana dan menenangkannya. Terima kasih telah memberitahu saya.""Terima kasih, Morne. Aku sangat mengandalkanmu dalam hal ini. Beri tahu aku segera jika kamu berhasil menemui Bella.""Baik, Tuan Marco. Akan saya beri tahu begitu berhasil menemukan Bella. Sampai jumpa."Panggilan berakhir.Morne segera menyalakan mesin mobilnya, kemudian mengaktifkan alat pelacak yang telah dipasang di ponsel Bella. Dengan cepat, ia mengejar lokasi yang tertera pada layar GPS mobilnya. Morne merasa cemas, namun tak ingin menunjukkan kekhawatirannya. Ia menggenggam kemudi dengan er
Matahari telah tenggelam ketika Liam akhirnya sampai di rumah. Kepenatan terlihat jelas di raut wajahnya setelah lembur panjang di kantor. Namun, ketika ia membuka pintu kamar dan melihat Alesya, istrinya yang cantik, terbaring lelap dalam kedamaian, rasa lelah itu seolah sirna. "Alesya!" Liam duduk di tepi ranjang, menatap lembut wajah yang damai itu. Dengan hati-hati, Liam mengulurkan tangannya, mengelus pipi Alesya dengan penuh kasih. Dia tersenyum, merasa begitu bersyukur memiliki istri secantik dia, meski seharian ini Alesya marah padanya. Ya, Liam mengetahuinya dari Angel dan Devano.Sambil terus memandang, Liam tidak menyadari bahwa gerakan tangannya yang lembut telah membuat Alesya merasa tak nyaman. Tiba-tiba, Alesya membuka matanya, memandang objek yang mengganggunya sedangkan Liam yang terkejut, segera mengalihkan pandangannya."Alesya kenapa kamu bangun? Itu …. Itu, aku tidak bermaksud, em …."Liam bergumam dengan kata-kata yang tidak jelas, mencoba menyembunyikan kebing
"Aku tak sabar untuk memulai kembali malam pertama kita.""Liam!"Liam tersenyum menggoda, pergi ke tempat Marco. Mereka berbisik-bisik, entah membicarakan apa, Alesya tak bisa mendengarnya. Setelahnya, Liam kembali dan memegang tangan Alesya."Liam, apa yang baru saja kamu katakan pada Ayah?""Tidak penting. Ayo kita pergi.""Tapi …."Liam terus menyeret sang istri menuju kamar mereka. Baik Liam maupun Alesya terkejut bukan main saat masuk kamar. Ruangan yang semula rapi itu terlihat acak acakan dengan banyaknya kelopak bunga yang semburat seisi kamar. Ulah siapakah ini? Tentu saja ulah kedua anak mereka. Devano dan Angel, mereka sengaja menyulap kamar Liam yang biasa menjadi luar biasa. Bahkan tempat tidur mereka juga penuh kelopak mawar. Banyak juga balon beterbangan di langit langit kamar dengan berbagai tulisan. "Happy wedding, with love, I love you, making love dan masih banyak kata-kata cinta lainnya."Semua ini pasti ulah Angel dan devano," tebak Liam, mencoba menyingkirkan k
"Ale, apa menurutmu kita harus menikah lagi?""Apa?"Alesya tidak mengerti, mengapa Liam tiba-tiba ingin menikah ulang? Mungkin karena perpisahan yang terlalu lama."Bagaimana, Sayang?""Terserah kamu saja, Liam.""Baiklah aku akan membicarakannya dengan Angel, Devano dan Ayah Marco."Liam tak mau menunggu lebih lama lagi. Dia segera menuruni tangga, menuju lantai bawah, di mana Marco berada. Terlihat jika lelaki yang berstatus mertua itu sedang menonton Televisi sendirian."Ayah, anak-anak sudah tidur?""Sudah.""Apa Ayah ada waktu sebentar?""Tentu saja. Ada perlu apa? Bicaralah!""Terima kasih telah meluangkan waktu sebentar.""Tidak masalah, jika ada yang ingin kamu bicarakan, bicara saja."Liam menghela napas panjang dan mulai berkata, "Baik, Ayah. Seperti yang Ayah tahu, aku dan Alesya telah berpisah selama lima tahun ini. Meskipun kami belum resmi bercerai dan masih dianggap suami istri, aku ingin meminta izin Ayah untuk mengadakan ritual pernikahan kami lagi.""Oh, begitu. Apa
Siang itu, langit tampak cerah seolah turut merayakan kebahagiaan yang dirasakan oleh Liam. Liam dengan langkah gembira mendekati Alesya yang sedang berdiri di samping mobilnya. "Aku datang, Sayang."Liam langsung memeluk Alesya dengan erat, seolah tak ingin melepaskan lagi. "Alesya, kabar baik! Mona akhirnya di penjara," bisik Liam dengan suara yang bergetar, mencampurkan rasa lega dan kebahagiaan.Wajah Alesya yang semula teduh itu berubah menjadi sangat cerah. Senyum lebarnya menghiasi wajah cantiknya, matanya bersinar-sinar menunjukkan kegembiraan yang tak terbendung. "Benarkah, Liam? Ini benar-benar kabar terbaik!" serunya, tidak bisa menyembunyikan antusiasme yang membanjiri hatinya.Liam mengangguk, matanya terpejam sejenak menikmati kehangatan dari orang yang dicintainya. Namun, Liam segera melihat sekitar. "Di mana Angel dan Dev?""Mereka pergi ke taman dengan Ayah Marco, mungkin pulang larut. Katanya akan bersenang-senang.""Wah mereka curang. Kita harus membalasnya.""Memb
"Ini berkas berkas gugatan dari saya." Liam menggenggam erat berkas-berkas di tangannya, pandangannya tajam tertuju kepada Nyonya Mona yang duduk di sisi ruangan yang berlawanan. Tension di ruangan itu kian terasa ketika Hakim memasuki ruangan dengan wajah serius. Liam berniat menyerahkan berkas itu pada pengadilan."Pak Liam dan Nyonya Mona, saya memutuskan untuk memberi waktu kepada kedua belah pihak untuk mempertimbangkan kembali kasus yang diajukan hari ini," ujar Hakim dengan tegas. "Kita akan melanjutkan sidang esok hari."Liam, yang merasa keadilan harus segera ditegakkan, mendapati kekecewaan mendalam. Dia menatap Mona yang terlihat tenang dan tidak terganggu. Hal itu membuat Liam frustasi membara.Di sisi lain, Mona berusaha menampilkan ekspresi tenang. Namun, matanya sesekali berkedip cepat, menandakan kecemasan yang dia coba sembunyikan.Keduanya berdiri dan meninggalkan ruangan dengan langkah yang berat, masing-masing tenggelam dalam pikiran mereka sendiri tentang bagaiman
"Bagaimana, Hakim?""Diperbolehkan."Mata Angel terlihat berkaca-kaca saat dia berdiri di depan ruangan persidangan yang penuh sesak. Suara kecilnya bergetar, namun penuh tekad saat dia mulai berbicara. "Yang Mulia, saya ingin tinggal bersama ayah saya, Liam," ujarnya, menatap hakim dengan mata yang memohon.Liam, yang duduk di bangku belakang, memperhatikan putrinya dengan penuh kebanggaan dan sedikit kekhawatiran. Wajahnya yang biasanya tenang, kini tampak tegang."Sejak saya masih bayi, hanya ayah yang selalu ada untuk saya. Ayah yang mengajari saya berjalan, ayah yang selalu menyembuhkan luka saya," lanjut Angel, suaranya semakin mantap. Ruangan itu terdiam, semua mata tertuju padanya.Dia mengambil napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, "Ibu saya, Bella, dia... dia sudah meninggal. Tapi sebenarnya, sejak saya masih kecil, dia jarang ada untuk saya. Saya tidak merasa dicintai olehnya." Air mata mulai mengalir di pipi mungil Angel, tapi dia cepat-cepat menghapusnya."Saya tidak mau
Hari persidangan.Ruang sidang itu terasa besar dan berat dengan hiasan yang minimalis. Dindingnya berwarna abu-abu terang, memberikan suasana yang serius dan formal. Di tengah ruangan, terdapat meja panjang yang ditutupi dengan kain putih rapi, di atasnya berjejer dokumen-dokumen penting yang terorganisir dengan baik. Sidang telah dimulai dengan ruangan yang penuh ketegangan. Mona berdiri dengan mantap di hadapan Hakim, menggenggam beberapa dokumen penting. Raut wajahnya tegang namun bertekad, menunjukkan keseriusannya dalam memperjuangkan hak asuh atas putri sahabatnya, Angel."Yang Mulia, berikut adalah bukti-bukti yang menunjukkan bahwa saya adalah pihak yang lebih layak dalam membesarkan Angel," ucap Mona dengan suara yang bergetar sedikit karena emosi.Dia menyodorkan foto-foto, rekaman video, dan laporan sekolah yang menunjukkan keterlibatan aktifnya dalam kehidupan Angel. Setiap bukti diserahkan dengan tangan yang sedikit gemetar, namun determinasinya tidak luntur.Sementara
"Apa maksudmu, Bu?" tanya Liam tak mengerti."Haha, aku hanya bercanda. Ini, ambillah! Aku memberikan gratis untuk anakmu yang baru sembuh."Liam mengernyitkan kening, bingung mencerna ucapan wanita tua di depannya. Meski berusia lanjut, nenek itu terlihat cantik dan elegan. Sangat tak padu dengan kegiatannya malam ini, sebagai penjual bunga."Benarkah ini gratis? Ah tidak tidak. Aku akan membayarnya. Ini, terimalah!"Liam membuang kasar uang kertas itu, berlalu dengan cepat setelah mendapatkan seikat bunga mawar. Mobil melaju dengan kencang tanpa memperdulikan wanita penjual bunga tadi. Sesekali Liam melirik seikat bunga mawarnya, memikirkan Angel yang pasti tersenyum bahagia."Tunggu aku, Sayang."Kediaman Roderick."Aku pulang.""Papa."Angel menyambut Liam dengan sorot mata yang bersinar saat melihat bunga mawar merah di tangan ayahnya. Anak perempuan kecil itu melompat kegirangan dan berlari menghampiri Liam, "Papa bawa bunga kesukaan Angel!" teriaknya penuh kegembiraan. Dengan
"Aku …, baiklah. Aku akan membantumu."Liam segera memegang tangan Andi. Senyuman terulas di bibir seksinya, juga bulir bening menetes di pipi. Andi segera merengkuh sahabatnya itu, memberi dukungan terhadap Liam. Namun, pelukan segera diakhiri. Dengan tatapan penuh telisik, Andi memandang Liam."Katakan padaku, bagaimana bisa kamu menyembunyikan rahasia besar tentang pernikahanmu padaku?"Liam tersenyum kecut, mengingat betapa egoisnya kala itu. "Saat itu aku benar benar kecewa, saking kecewanya pada Bella, Alesya lah sebagai pelampiasan nya. Dan aku tak ingin mengumbar aib keluargaku. Bagaimanapun juga, Bella pernah menjadi wanita yang kucintai. Sekarang, aku hanya fokus hidup pada keluarga kecilku bersama Alesya."Andi mengangguk, memahami betapa sulitnya kehidupan Liam selama ini. Dan sahabatnya itu sukses menutup rapat masalah sehingga tak ada satupun yang mengerti kesulitan yang dihadapi. Bahkan perusahaan Roderick sama sekali tak terpengaruh. Sungguh lelaki yang bijaksana dan d