Hujan tipis turun di atas ubin batu istana Zhaoyang, membentuk pola-pola air yang meliuk seperti tinta di atas kanvas. Dingin yang datang bersamaan dengan hujan membawa rasa yang tidak biasa, seolah-olah udara sendiri tahu bahwa masa lalu yang dibungkam selama lima tahun, mulai merangkak naik dari tanah.
Di dalam paviliunnya, Li Qianru duduk diam. Di tangannya ada selembar kertas. Isinya singkat. “Tuan mudamu belum mati. Dan dia mencarimu.” Tangannya bergetar—sesuatu yang tak lagi biasa baginya. Lima tahun dia membangun dirinya dari puing luka menjadi batu karang. Tapi kalimat ini… memecahkan keheningan yang tak pernah berani ia sentuh. Kakaknya, Li Weixian. Putra sulung Jenderal Li. Saudara yang ia lihat terakhir kali terbakar bersama gudang belakang kediaman mereka. “Jika ini benar,” bisiknya lirih, “maka dendam ini bukan lagi milikku sendiri.” Pertemuan Senja: Bayangan dan Darah Sore itu, taman bambu di sisi timur istana basah oleh hujan yang belum selesai. Tapi Qianru berjalan tanpa payung, mengenakan jubah hitam tipis. Di ujung taman, Pangeran Ketiga, Xu Weiyan, telah menunggunya. Tubuhnya disandarkan ke tiang batu, mata penuh senyum namun berbahaya. “Kau terlihat seperti bayangan dalam puisi patah hati,” katanya, menawarkan payung. Qianru tidak mengambilnya. “Dan kau terdengar seperti penghibur yang terlalu sering memuji bulan agar tak terlihat haus kuasa.” Xu Weiyan tertawa. “Begitulah politik. Antara bulan dan bayangan, hanya satu yang terlihat… tapi keduanya saling membunuh dalam diam.” Qianru duduk di bangku batu di depannya. “Aku tidak datang untuk puisi. Aku ingin tahu kenapa kau mengirim surat itu.” “Kakakmu?” tanya Weiyan pelan. “Aku ingin tahu reaksimu dulu, sebelum aku bicara lebih jauh.” Qianru menatap lurus ke matanya. “Kau tak pernah melakukan sesuatu tanpa imbalan. Apa maumu?” Pangeran Ketiga menurunkan nada suaranya. “Aku ingin kau menjatuhkan Menteri Zhou. Dan aku tahu, satu-satunya orang yang punya bukti untuk melakukannya… adalah Li Weixian. Aku tahu dia masih hidup. Aku tahu dia ada di luar tembok istana. Dan aku tahu… dia menunggu lampu dinyalakan dari dalam.” Qianru menggigit bibir. Hatinya dipenuhi badai. “Apa jaminanmu ini bukan perangkap?” “Kau sudah di tengah perang, Qianru. Yang harus kau pilih… hanya arah panahmu.” Hening panjang terjadi di antara mereka. Hujan terus jatuh, tapi perlahan, suara detaknya menyatu dengan detak jantung mereka. “Aku akan cari dia,” ucap Qianru akhirnya. “Tapi jangan ganggu jalanku. Sekali kau mengkhianatiku, Weiyan… aku takkan kirim racun. Aku akan kirim seluruh pengawal pribadi Kaisar.” Weiyan tersenyum. “Satu ancaman darimu terdengar lebih jujur daripada seribu janji dari istana.” Di Balik Tirai Singgasana Malam itu, Kaisar Jiayan memanggil Qianru. Tidak sebagai selir, tidak sebagai pengurus istana, tapi… sebagai seseorang yang ia tak mampu singkirkan dari pikirannya. Mereka duduk di dalam ruang kerja Kaisar. Hanya mereka berdua, tanpa kasim. Tirai sutra merah muda berkibar lembut. Di luar, suara rintik hujan masih samar terdengar. “Kau bertemu Weiyan tadi,” kata Jiayan langsung. Qianru mengangkat alis. “Kau memata-mataiku?” “Aku mengawasimu. Ada perbedaan.” “Mengawasi untuk apa, Jiayan? Kau takut aku akan menikammu?” “Aku takut kau akan menjauh lebih jauh… dari tempat yang bisa kugapai.” Qianru tertawa kecil. “Kalau begitu, seharusnya kau pegang tanganku lima tahun lalu, bukan biarkan aku ditarik pergi oleh pengawal kerajaan.” Jiayan menunduk. Kata-kata itu seperti bilah tipis yang menusuk pelan tapi dalam. “Kalau aku berkata bahwa aku menyesal… bahwa setiap malam aku bermimpi melihatmu terbakar bersama gudang itu—” “—jangan,” potong Qianru. Suaranya lembut, tapi matanya tajam. “Jangan ubah luka menjadi puisi. Aku sudah belajar bertahan hidup di dalamnya.” “Kalau aku berkata aku masih mencintaimu?” Qianru memejamkan mata sejenak. “Cinta yang tidak membela di saat penting, lebih menyakitkan daripada kebencian yang jujur.” “Qianru…” “Aku datang ke sini bukan untuk hatimu, Jiayan. Tapi kalau kau masih menyimpan hati itu… maka berdirilah di sisiku. Bukan di atas singgasana.” “Dan jika aku tidak bisa?” Jiayan menatapnya penuh getir. Qianru berdiri. “Maka aku akan menjadi alasan kenapa kau tidak bisa duduk tenang di atasnya.” Surat Rahasia dan Peta Berdarah Malam itu, Qianru membuka kembali kotak kayu hitam yang ditinggalkan ayahnya. Di dalamnya tersimpan peta tua—bukan peta medan perang, tapi peta jalur pelarian rahasia dari istana ke wilayah perbatasan barat. Di bagian sudutnya, terdapat tanda kecil: “W.X.” Itu bukan hanya peta. Itu adalah rute yang digunakan kakaknya untuk melarikan diri malam pembantaian itu. Dengan tangan gemetar, ia menyalin ulang peta tersebut dan menyelipkannya ke dalam buku puisi tua. Besok malam, ia akan ke tempat itu. Tapi sebelum itu, satu hal harus diselesaikan: Menteri Zhou. Api dari Mata Lama Di sebuah paviliun sunyi, Menteri Zhou Shixuan berdiri di depan cermin, mencabut uban dari janggutnya. “Li Qianru…” gumamnya. “Kau anak dari harimau yang dulu terkubur. Tapi harimau pun bisa dijinakkan, jika kau tahu di mana harus menusukkan pisau.” Ia berjalan menuju rak buku, membuka satu laci rahasia. Di dalamnya, tergolek kalung dengan ukiran lambang keluarga Li—berdarah. “Aku membunuh ayahmu,” bisiknya pelan. “Dan aku akan membunuhmu… saat waktunya tiba.” Dan di kejauhan, bayangan seorang pria berjubah gelap menuruni jalan berbatu menuju kota tua. Di dadanya, kalung yang sama tergantung—retak. Langkahnya ringan. Tapi setiap tapaknya… menggetarkan takdir. Hujan mengguyur Istana Zhaoyang dengan lembut, seperti kenangan yang turun diam-diam ke atas hati yang sudah lama membeku. Di balik tirai putih paviliunnya, Li Qianru duduk dengan punggung lurus, tangan di atas meja giok, memandangi secarik kertas dengan tinta hitam pekat. “Tuan mudamu belum mati. Dan dia mencarimu.” Satu kalimat yang cukup untuk menghancurkan ketenangan yang susah payah ia bangun. Di bawah cahaya lentera, matanya tak berkedip, dan jantungnya berdetak dalam ritme yang asing. Li Weixian. Kakaknya. Orang terakhir yang ia peluk sebelum istana keluarga mereka dilahap api. Ia menggenggam surat itu, lalu merobeknya perlahan. Tidak karena ingin melupakannya. Tapi karena ia tahu—sejak saat ini, semuanya berubah. Dendam yang selama ini terasa pribadi, kini menjadi warisan yang belum lunas. “Jika kau hidup, Gege… maka kita akan menyelesaikannya bersama.” Sore itu, taman bambu sisi barat basah oleh sisa hujan. Kabut melayang di antara batang-batang hijau, seperti bisikan tak kasat mata yang menyambut dua tokoh yang bermain dalam skema kekuasaan. Pangeran Ketiga, Xu Weiyan, berdiri dengan kedua tangan di belakang punggung, mengenakan jubah biru gelap. Ia tampak seperti bayangan yang berpikir. Qianru tiba tanpa suara. “Kau memanggilku.” “Kau datang cepat,” ujar Weiyan. “Mungkin karena suratku.” Qianru tak menjawab, hanya menatap lurus. Dalam dirinya, badai sudah menunggu untuk dilepaskan. Tapi wajahnya tetap tenang seperti permukaan danau yang menyembunyikan arus kuat di bawahnya. “Weixian hidup,” kata Weiyan langsung. “Aku mendapat kabar dari penghubungku di barat. Seorang pria dengan bekas luka bakar di sisi kiri wajah, mengenakan liontin keluarga Li, sedang membentuk jaringan rahasia di wilayah perbatasan. Tapi ia tak berani bergerak sebelum mendapat sinyal dari dalam istana.” “Mengapa kau memberitahuku ini?” Weiyan menoleh, menatapnya penuh makna. “Karena aku tahu kau akan bertindak. Dan aku lebih suka berada di pihakmu daripada di sisimu sebagai lawan.” “Kau ingin menjatuhkan Zhou Shixuan.” “Aku ingin menjatuhkan semua yang membuat takhta ini layak untuk ditaklukkan.” Qianru berjalan perlahan, suaranya rendah. “Jangan kau kira aku berjuang untuk memberimu singgasana.” “Aku tidak. Tapi aku tahu: kau akan membuka jalan. Dan jika nanti singgasana kosong… yang tersisa hanyalah siapa yang cukup cepat untuk duduk.” Mata mereka bertemu. Tak ada cinta di sana, hanya saling pengakuan: dua bidak utama di papan yang sama. Qianru melangkah pergi, tapi sebelum ia menghilang di balik bayangan bambu, ia berkata: “Kalau kau mengkhianatiku sekali saja, Xu Weiyan… kau tidak akan sempat duduk di singgasana yang kau inginkan.” Weiyan tersenyum. “Ancaman darimu lebih jujur daripada janji dari seluruh istana.” Malam turun pelan. Di ruang kerja pribadi Kaisar, Xu Jiayan menatap langit dari balik jendela kayu. Angin membawa wangi bunga plum dari halaman dalam. Tapi hatinya gelisah. Laporan-laporan terus masuk: Qianru bertemu Pangeran Ketiga, pergerakan dapur istana mulai dikendalikan penuh olehnya, dan… rumor bahwa ia sedang mengumpulkan bukti pengkhianatan para menteri. Saat pintu dibuka, Qianru masuk tanpa menunduk. Ia tahu aturan, tapi ia juga tahu siapa dirinya sekarang. “Kau bertemu Weiyan,” kata Jiayan, tidak memutar kata. “Aku tidak datang untuk menjelaskan siapa yang kutemui.” “Dia berbahaya.” “Dan kau?” Qianru menatapnya. “Kau membiarkan orang-orang seperti Zhou Shixuan duduk di sekelilingmu, meracuni setiap keputusanmu. Kau tahu ayahku difitnah. Kau tahu mereka semua pembohong. Tapi kau… kau tetap diam.” “Karena saat itu aku tidak berkuasa.” “Kau sekarang Kaisar. Tapi hatimu masih Putra Mahkota yang takut pada bayangan istana.” Jiayan mendekat, suaranya lebih lembut. “Kalau aku berkata bahwa aku masih mencintaimu, Qianru… apakah itu akan mengubah jalan yang kau pilih?” Qianru memejamkan mata. Untuk sejenak, ada retakan kecil di tembok hatinya. Tapi ia tak memberi celah. “Cinta yang lahir dari kelambanan hanya membawa luka. Aku tidak butuh cinta, Jiayan. Aku butuh keadilan.” “Keadilan yang penuh darah?” “Lebih baik darah dari kebenaran… daripada mahkota yang berdiri di atas kebohongan.” Jiayan terdiam. Tangannya yang ingin menyentuh lengan Qianru terhenti di udara. Ia sadar, jarak mereka bukan pada langkah, tapi pada pilihan yang tak bisa diputar kembali. Malam itu, Qianru membuka kembali kotak rahasia peninggalan ayahnya. Di dalamnya, tersembunyi peta tua jalur pelarian dari istana ke barat. Di sudutnya tertulis inisial: W.X. Tangannya mengusap lambang itu perlahan. “Weixian… kau benar-benar hidup.” Ia membakar peta tiruan, hanya menyimpan ingatan di kepala. Di jari manisnya kini tergantung liontin perak kecil—pecahan dari kalung yang dulu dibagi dua antara ia dan kakaknya. Potongan yang lain… kini ada entah di mana. Tapi tidak lama lagi, mereka akan bertemu. Dan dunia istana akan berubah. Di sisi lain istana, dalam paviliun sunyi yang hanya diterangi satu lentera, Menteri Zhou Shixuan duduk di depan cermin. Ia mencabut satu uban dari janggutnya, matanya kosong. “Li Qianru… anak dari harimau tua. Kau muncul dari abu dengan kepala tegak.” Ia membuka laci rahasia, mengeluarkan liontin tua—retak, berkarat. Lambang keluarga Li. “Dulu aku jatuhkan ayahmu dengan satu surat. Kali ini… aku akan membunuhmu dengan senyuman.” Dan di luar istana, di kota tua yang basah oleh kabut dan kenangan, seorang pria berjubah hitam berjalan perlahan menuruni jalanan batu. Wajahnya tertutup sebagian oleh luka lama. Di lehernya tergantung liontin setengah pecah—serupa dengan milik Qianru. Tatapannya tidak gentar. Langkahnya membawa denting pelan. Tapi setiap langkahnya, mendekatkan dunia pada badai yang tak bisa dihindari. Dan dalam pikirannya hanya satu nama. “Qianru.”Langit barat membakar dirinya sendiri saat matahari terbenam. Jingga dan merah jambu menari di cakrawala, seolah-olah surga sedang membuka tirainya untuk menyambut sesuatu yang agung. Di balik bukit berbatu, seekor burung gagak terbang rendah. Ia membawa kabar, atau kutukan.Dan di bawah langit itu, Li Qianru berdiri di ujung jembatan kayu yang menyeberangi sungai tua di luar kota barat. Hanya ada angin, air, dan harap yang rapuh seperti kaca.Sudah lima tahun.Lima tahun sejak ia terakhir melihat Li Weixian, kakaknya, ditarik oleh para pengawal, terkunci dalam gudang kayu, dan terbakar bersama kehormatan keluarga mereka. Ia memaksa dirinya melupakan suara teriakannya.Tapi malam ini, ia datang karena keyakinannya tak bisa dipadamkan.Langkah kaki terdengar dari sisi lain jembatan.Qianru menoleh perlahan, dan waktu berhenti.Ia masih mengenali sosok itu, meski tubuhnya lebih kurus, dan bekas luka bakar membentuk peta kejam di sisi kiri wajahnya. Tapi mata itu… mata penuh tekad dan ke
Langit ibu kota Chang’an diselimuti kabut tipis saat gerobak kerajaan berhenti perlahan di depan Gerbang Timur Istana Zhaoyang. Aroma dupa dan bunga plum yang mengering menyambut kedatangan seorang perempuan berpakaian putih sederhana, wajahnya tertutup kerudung tipis, namun sorot matanya menembus seperti bilah pedang yang tersembunyi dalam sarung beludru.Li Qianru, putri dari keluarga bangsawan Jenderal Li Xian yang dihukum mati karena tuduhan pemberontakan, kembali ke istana setelah lima tahun pengasingan di daerah terpencil Lembah Baiyun. Tidak ada sambutan, tidak ada musik, hanya keheningan yang menyesakkan. Tapi dia tidak peduli.Langkah kakinya mantap, suara sandal kayunya bergema di lantai batu giok.“Istana masih dingin seperti dulu,” gumamnya lirih.Di balik pintu-pintu megah yang berukir naga dan burung phoenix, para kasim dan pelayan wanita menunduk dalam-dalam. Beberapa mengenali sosok itu. Dahulu, dia adalah bunga istana—calon selir yang disebut-sebut akan menjadi permai
Langit malam menyelimuti istana Zhaoyang dengan cahaya temaram. Rembulan bergantung setengah redup di atas atap melengkung berhiaskan emas. Di taman dalam, suara air mengalir dari kolam batu memecah kesunyian, mengiringi aroma bunga cempaka yang mekar di musim yang terlambat.Li Qianru duduk di bawah pohon plum, matanya memandang langit, bukan untuk mencari bintang, tapi kenangan. Di tangannya tergenggam secawan teh hangat yang perlahan mendingin bersama waktu.Langkah kaki seseorang terdengar pelan. Suara sepatu naga di atas batu giok tak mungkin disalahkan. Ia tidak perlu diperkenalkan. Qianru tahu langkah itu—selalu tahu. Bahkan setelah lima tahun, detak jantung Kaisar Jiayan tetap bisa dikenali dari kejauhan.“Sudah malam, seharusnya kau tidur.”Suara itu dalam, tapi tidak dingin. Seperti sungai yang mengalir pelan, menunggu air pasang.Qianru tidak menoleh. Ia menjawab tanpa memalingkan wajah:“Yang Mulia, bintang-bintang malam ini terlalu terang untuk diabaikan. Dan tidur… adala
Pagi menyapa Istana Zhaoyang dengan cahaya emas yang menyusup dari balik tirai sutra. Tapi di mata para penghuni istana, cahaya itu tak lebih dari sinyal bahaya—karena angin baru telah masuk ke dalam tembok kekuasaan, dan angin itu bernama Li Qianru.Paviliun Dalam - Rapat Para SelirDi Paviliun Bunga Teratai, para selir berkumpul seperti bunga-bunga mahal yang menyembunyikan duri. Hari ini adalah hari pertama Qianru hadir sebagai pengelola urusan dalam istana—sebuah posisi yang hanya diberikan pada wanita kepercayaan Kaisar.Selir Gui, dengan senyum palsunya, membuka pertemuan.“Ah, kita semua menantikan hari ini. Seorang wanita yang pernah dibuang kini kembali mengatur tempat yang dulu menolaknya. Apakah ini ironi… atau tragedi baru yang sedang kita saksikan?”Qianru duduk tenang, pakaiannya sederhana tapi anggun. Ia menyesap tehnya perlahan, lalu berkata dengan lembut,“Ironi hanya menyakitkan bagi mereka yang tidak siap menjadi latar bagi tokoh utama.”Semua diam. Kalimatnya lembu
Langit pagi menyapu Istana Zhaoyang dengan warna keperakan. Kabut tipis menyelusup di antara pilar-pilar giok, menyembunyikan bisik dan bayangan. Di balik dinding dapur kekaisaran, api besar menyala seperti jantung istana yang berdegup, mengolah makanan bukan hanya untuk tubuh, tapi juga untuk kekuasaan.Dapur kekaisaran bukan sekadar tempat untuk memasak. Ia adalah pusat informasi, tempat semua berita dibawa oleh tangan-tangan pelayan, ditaburkan seperti garam, dan dicerna lebih dalam daripada makanan yang dimasak. Dan hari ini, dapur itu menjadi medan perang yang sunyi.Li Qianru berdiri di ujung dapur utama, mengenakan jubah biru pucat, rambutnya disanggul sederhana tanpa perhiasan. Namun, kehadirannya menciptakan tekanan di udara yang tak terlihat tapi terasa—tepat di belakang tulang leher siapa pun yang menatapnya.Di sisinya berdiri kasim muda, Bai Heng, mencatat semua perintah yang keluar dari bibirnya yang tenang namun tajam.“Makanan untuk Yang Mulia harus disiapkan dari tang
Langit barat membakar dirinya sendiri saat matahari terbenam. Jingga dan merah jambu menari di cakrawala, seolah-olah surga sedang membuka tirainya untuk menyambut sesuatu yang agung. Di balik bukit berbatu, seekor burung gagak terbang rendah. Ia membawa kabar, atau kutukan.Dan di bawah langit itu, Li Qianru berdiri di ujung jembatan kayu yang menyeberangi sungai tua di luar kota barat. Hanya ada angin, air, dan harap yang rapuh seperti kaca.Sudah lima tahun.Lima tahun sejak ia terakhir melihat Li Weixian, kakaknya, ditarik oleh para pengawal, terkunci dalam gudang kayu, dan terbakar bersama kehormatan keluarga mereka. Ia memaksa dirinya melupakan suara teriakannya.Tapi malam ini, ia datang karena keyakinannya tak bisa dipadamkan.Langkah kaki terdengar dari sisi lain jembatan.Qianru menoleh perlahan, dan waktu berhenti.Ia masih mengenali sosok itu, meski tubuhnya lebih kurus, dan bekas luka bakar membentuk peta kejam di sisi kiri wajahnya. Tapi mata itu… mata penuh tekad dan ke
Hujan tipis turun di atas ubin batu istana Zhaoyang, membentuk pola-pola air yang meliuk seperti tinta di atas kanvas. Dingin yang datang bersamaan dengan hujan membawa rasa yang tidak biasa, seolah-olah udara sendiri tahu bahwa masa lalu yang dibungkam selama lima tahun, mulai merangkak naik dari tanah.Di dalam paviliunnya, Li Qianru duduk diam. Di tangannya ada selembar kertas. Isinya singkat.“Tuan mudamu belum mati. Dan dia mencarimu.”Tangannya bergetar—sesuatu yang tak lagi biasa baginya. Lima tahun dia membangun dirinya dari puing luka menjadi batu karang. Tapi kalimat ini… memecahkan keheningan yang tak pernah berani ia sentuh.Kakaknya, Li Weixian. Putra sulung Jenderal Li. Saudara yang ia lihat terakhir kali terbakar bersama gudang belakang kediaman mereka.“Jika ini benar,” bisiknya lirih, “maka dendam ini bukan lagi milikku sendiri.”Pertemuan Senja: Bayangan dan DarahSore itu, taman bambu di sisi timur istana basah oleh hujan yang belum selesai. Tapi Qianru berjalan tan
Langit pagi menyapu Istana Zhaoyang dengan warna keperakan. Kabut tipis menyelusup di antara pilar-pilar giok, menyembunyikan bisik dan bayangan. Di balik dinding dapur kekaisaran, api besar menyala seperti jantung istana yang berdegup, mengolah makanan bukan hanya untuk tubuh, tapi juga untuk kekuasaan.Dapur kekaisaran bukan sekadar tempat untuk memasak. Ia adalah pusat informasi, tempat semua berita dibawa oleh tangan-tangan pelayan, ditaburkan seperti garam, dan dicerna lebih dalam daripada makanan yang dimasak. Dan hari ini, dapur itu menjadi medan perang yang sunyi.Li Qianru berdiri di ujung dapur utama, mengenakan jubah biru pucat, rambutnya disanggul sederhana tanpa perhiasan. Namun, kehadirannya menciptakan tekanan di udara yang tak terlihat tapi terasa—tepat di belakang tulang leher siapa pun yang menatapnya.Di sisinya berdiri kasim muda, Bai Heng, mencatat semua perintah yang keluar dari bibirnya yang tenang namun tajam.“Makanan untuk Yang Mulia harus disiapkan dari tang
Pagi menyapa Istana Zhaoyang dengan cahaya emas yang menyusup dari balik tirai sutra. Tapi di mata para penghuni istana, cahaya itu tak lebih dari sinyal bahaya—karena angin baru telah masuk ke dalam tembok kekuasaan, dan angin itu bernama Li Qianru.Paviliun Dalam - Rapat Para SelirDi Paviliun Bunga Teratai, para selir berkumpul seperti bunga-bunga mahal yang menyembunyikan duri. Hari ini adalah hari pertama Qianru hadir sebagai pengelola urusan dalam istana—sebuah posisi yang hanya diberikan pada wanita kepercayaan Kaisar.Selir Gui, dengan senyum palsunya, membuka pertemuan.“Ah, kita semua menantikan hari ini. Seorang wanita yang pernah dibuang kini kembali mengatur tempat yang dulu menolaknya. Apakah ini ironi… atau tragedi baru yang sedang kita saksikan?”Qianru duduk tenang, pakaiannya sederhana tapi anggun. Ia menyesap tehnya perlahan, lalu berkata dengan lembut,“Ironi hanya menyakitkan bagi mereka yang tidak siap menjadi latar bagi tokoh utama.”Semua diam. Kalimatnya lembu
Langit malam menyelimuti istana Zhaoyang dengan cahaya temaram. Rembulan bergantung setengah redup di atas atap melengkung berhiaskan emas. Di taman dalam, suara air mengalir dari kolam batu memecah kesunyian, mengiringi aroma bunga cempaka yang mekar di musim yang terlambat.Li Qianru duduk di bawah pohon plum, matanya memandang langit, bukan untuk mencari bintang, tapi kenangan. Di tangannya tergenggam secawan teh hangat yang perlahan mendingin bersama waktu.Langkah kaki seseorang terdengar pelan. Suara sepatu naga di atas batu giok tak mungkin disalahkan. Ia tidak perlu diperkenalkan. Qianru tahu langkah itu—selalu tahu. Bahkan setelah lima tahun, detak jantung Kaisar Jiayan tetap bisa dikenali dari kejauhan.“Sudah malam, seharusnya kau tidur.”Suara itu dalam, tapi tidak dingin. Seperti sungai yang mengalir pelan, menunggu air pasang.Qianru tidak menoleh. Ia menjawab tanpa memalingkan wajah:“Yang Mulia, bintang-bintang malam ini terlalu terang untuk diabaikan. Dan tidur… adala
Langit ibu kota Chang’an diselimuti kabut tipis saat gerobak kerajaan berhenti perlahan di depan Gerbang Timur Istana Zhaoyang. Aroma dupa dan bunga plum yang mengering menyambut kedatangan seorang perempuan berpakaian putih sederhana, wajahnya tertutup kerudung tipis, namun sorot matanya menembus seperti bilah pedang yang tersembunyi dalam sarung beludru.Li Qianru, putri dari keluarga bangsawan Jenderal Li Xian yang dihukum mati karena tuduhan pemberontakan, kembali ke istana setelah lima tahun pengasingan di daerah terpencil Lembah Baiyun. Tidak ada sambutan, tidak ada musik, hanya keheningan yang menyesakkan. Tapi dia tidak peduli.Langkah kakinya mantap, suara sandal kayunya bergema di lantai batu giok.“Istana masih dingin seperti dulu,” gumamnya lirih.Di balik pintu-pintu megah yang berukir naga dan burung phoenix, para kasim dan pelayan wanita menunduk dalam-dalam. Beberapa mengenali sosok itu. Dahulu, dia adalah bunga istana—calon selir yang disebut-sebut akan menjadi permai