Pagi menyapa Istana Zhaoyang dengan cahaya emas yang menyusup dari balik tirai sutra. Tapi di mata para penghuni istana, cahaya itu tak lebih dari sinyal bahaya—karena angin baru telah masuk ke dalam tembok kekuasaan, dan angin itu bernama Li Qianru.
Paviliun Dalam - Rapat Para Selir Di Paviliun Bunga Teratai, para selir berkumpul seperti bunga-bunga mahal yang menyembunyikan duri. Hari ini adalah hari pertama Qianru hadir sebagai pengelola urusan dalam istana—sebuah posisi yang hanya diberikan pada wanita kepercayaan Kaisar. Selir Gui, dengan senyum palsunya, membuka pertemuan. “Ah, kita semua menantikan hari ini. Seorang wanita yang pernah dibuang kini kembali mengatur tempat yang dulu menolaknya. Apakah ini ironi… atau tragedi baru yang sedang kita saksikan?” Qianru duduk tenang, pakaiannya sederhana tapi anggun. Ia menyesap tehnya perlahan, lalu berkata dengan lembut, “Ironi hanya menyakitkan bagi mereka yang tidak siap menjadi latar bagi tokoh utama.” Semua diam. Kalimatnya lembut, tapi seperti jarum menusuk kulit. Selir Yan mengangkat alis. “Dan siapakah tokoh utamanya di sini, Selir Li? Kau?” Qianru menatap lurus ke arah mereka, senyum tipis menghiasi bibirnya. “Bukan aku. Tapi kebenaran yang telah lama kalian sembunyikan di balik bedak tebal dan kain sutra mahal. Aku hanya cermin—dan siapa pun yang menatapku akan melihat wajah aslinya.” Langkah Politik Pertama Setelah pertemuan selesai, Qianru memanggil kasim tua setia ayahnya dulu, Kasim Zhen, yang kini ditempatkan di dapur istana. “Kau masih ingat apa yang ayahku ajarkan?” tanya Qianru, berjalan pelan di halaman belakang yang sepi. Kasim Zhen menunduk, air mata menggantung. “Tuan putri… aku pikir hari ini tidak akan pernah datang.” Qianru mengangguk. “Hari ini datang karena aku tidak menunggu takdir, aku datang menjemputnya. Kumpulkan semua pelayan senior yang masih setia pada keluarga Li. Aku akan membentuk jaringan dalam. Dan kita mulai dari dapur.” “Dapur, tuan putri?” “Tempat informasi paling panas bukan ruang rapat, tapi tungku api. Di sana, semua lidah tak bisa menahan rasa.” Malam Hari - Kunjungan Tak Terduga Saat malam turun, suara ketukan lembut terdengar di pintu Paviliun Bayangan Giok. Qianru membuka pintu dan mendapati Pangeran Ketiga, Xu Weiyan, berdiri di ambang dengan senyum seperti bulan sabit—terang, tapi menyembunyikan sisi gelap. “Putri Li… atau harus kukatakan, Sang Mawar Berduri yang kembali dari kematian?” katanya, suaranya lembut seperti sutra yang menyelimuti pisau. Qianru tidak menjawab langsung. Ia menyingkirkan tirai dan membiarkannya masuk. “Pangeran tidak biasanya berkunjung ke paviliun wanita,” katanya sambil menuang teh. “Dan wanita tidak biasanya kembali dari pengasingan dengan kepala tegak,” balas sang Pangeran. Mereka duduk, seperti dua pemain catur yang baru menyusun pion pertama. “Aku dengar kau menolak bekerja sama denganku lewat kasimku,” kata Xu Weiyan dengan nada bersahabat tapi beracun. “Karena aku tak bekerja untuk seseorang yang tak tahu batas antara sekutu dan umpan.” “Lalu mengapa kau mengundangku malam ini?” Qianru menatapnya tajam. “Karena lebih baik berjabat tangan dengan naga yang kutahu daripada dibakar oleh naga yang menyamar sebagai rusa.” Pangeran tertawa kecil. “Lalu, apa yang kau inginkan dariku?” Qianru menggeser sebuah gulungan kecil di atas meja. Isinya adalah peta wilayah pasokan istana—dapur, lumbung, ruang logistik. “Kendalikan jalur makanan, maka kau kendalikan lidah. Kendalikan lidah, maka kau kendalikan kebenaran.” “Mengagumkan.” “Ini hanya pembukaan. Tapi ingat, Pangeran. Aku bukan sekutumu. Aku hanya berjalan searah… selama arahmu tidak mengarahkanku ke jurang.” Bayangan Lama dan Surat yang Terbakar Setelah sang Pangeran pergi, Qianru membuka laci dan mengambil sepucuk surat yang telah ia bakar sebagian. Di atas kertas itu, hanya tertinggal satu kalimat yang ia tulis sendiri sebelum meninggalkan Lembah Baiyun: “Jika aku kembali, maka tidak ada yang akan berdiri di tengah antara aku dan kebenaran—termasuk kau, Jiayan.” Ia membakar sisanya malam itu. Di ruang kerja Kaisar, Jiayan duduk di depan cermin perunggu, matanya sayu menatap bayangannya sendiri. Kasim utama mendatanginya dengan gulungan laporan. “Yang Mulia… Selir Li mulai mengatur sistem logistik. Ia memindahkan beberapa pelayan senior, menyusun ulang penjaga dapur, dan menolak hadiah dari selir lain.” Jiayan menutup matanya. “Dia sedang menyusun panggung. Dan kita semua sedang berjalan ke arahnya.” “Haruskah kita hentikan?” Jiayan berdiri, berjalan ke balkon. Angin malam meniup rambut hitamnya. “Tidak. Biarkan dia membangun panggungnya… karena aku ingin tahu, ketika pertunjukan dimulai… siapa yang akan menjadi penontonnya, dan siapa yang akan menjadi korbannya.”Langit pagi menyapu Istana Zhaoyang dengan warna keperakan. Kabut tipis menyelusup di antara pilar-pilar giok, menyembunyikan bisik dan bayangan. Di balik dinding dapur kekaisaran, api besar menyala seperti jantung istana yang berdegup, mengolah makanan bukan hanya untuk tubuh, tapi juga untuk kekuasaan.Dapur kekaisaran bukan sekadar tempat untuk memasak. Ia adalah pusat informasi, tempat semua berita dibawa oleh tangan-tangan pelayan, ditaburkan seperti garam, dan dicerna lebih dalam daripada makanan yang dimasak. Dan hari ini, dapur itu menjadi medan perang yang sunyi.Li Qianru berdiri di ujung dapur utama, mengenakan jubah biru pucat, rambutnya disanggul sederhana tanpa perhiasan. Namun, kehadirannya menciptakan tekanan di udara yang tak terlihat tapi terasa—tepat di belakang tulang leher siapa pun yang menatapnya.Di sisinya berdiri kasim muda, Bai Heng, mencatat semua perintah yang keluar dari bibirnya yang tenang namun tajam.“Makanan untuk Yang Mulia harus disiapkan dari tang
Hujan tipis turun di atas ubin batu istana Zhaoyang, membentuk pola-pola air yang meliuk seperti tinta di atas kanvas. Dingin yang datang bersamaan dengan hujan membawa rasa yang tidak biasa, seolah-olah udara sendiri tahu bahwa masa lalu yang dibungkam selama lima tahun, mulai merangkak naik dari tanah.Di dalam paviliunnya, Li Qianru duduk diam. Di tangannya ada selembar kertas. Isinya singkat.“Tuan mudamu belum mati. Dan dia mencarimu.”Tangannya bergetar—sesuatu yang tak lagi biasa baginya. Lima tahun dia membangun dirinya dari puing luka menjadi batu karang. Tapi kalimat ini… memecahkan keheningan yang tak pernah berani ia sentuh.Kakaknya, Li Weixian. Putra sulung Jenderal Li. Saudara yang ia lihat terakhir kali terbakar bersama gudang belakang kediaman mereka.“Jika ini benar,” bisiknya lirih, “maka dendam ini bukan lagi milikku sendiri.”Pertemuan Senja: Bayangan dan DarahSore itu, taman bambu di sisi timur istana basah oleh hujan yang belum selesai. Tapi Qianru berjalan tan
Langit barat membakar dirinya sendiri saat matahari terbenam. Jingga dan merah jambu menari di cakrawala, seolah-olah surga sedang membuka tirainya untuk menyambut sesuatu yang agung. Di balik bukit berbatu, seekor burung gagak terbang rendah. Ia membawa kabar, atau kutukan.Dan di bawah langit itu, Li Qianru berdiri di ujung jembatan kayu yang menyeberangi sungai tua di luar kota barat. Hanya ada angin, air, dan harap yang rapuh seperti kaca.Sudah lima tahun.Lima tahun sejak ia terakhir melihat Li Weixian, kakaknya, ditarik oleh para pengawal, terkunci dalam gudang kayu, dan terbakar bersama kehormatan keluarga mereka. Ia memaksa dirinya melupakan suara teriakannya.Tapi malam ini, ia datang karena keyakinannya tak bisa dipadamkan.Langkah kaki terdengar dari sisi lain jembatan.Qianru menoleh perlahan, dan waktu berhenti.Ia masih mengenali sosok itu, meski tubuhnya lebih kurus, dan bekas luka bakar membentuk peta kejam di sisi kiri wajahnya. Tapi mata itu… mata penuh tekad dan ke
Langit ibu kota Chang’an diselimuti kabut tipis saat gerobak kerajaan berhenti perlahan di depan Gerbang Timur Istana Zhaoyang. Aroma dupa dan bunga plum yang mengering menyambut kedatangan seorang perempuan berpakaian putih sederhana, wajahnya tertutup kerudung tipis, namun sorot matanya menembus seperti bilah pedang yang tersembunyi dalam sarung beludru.Li Qianru, putri dari keluarga bangsawan Jenderal Li Xian yang dihukum mati karena tuduhan pemberontakan, kembali ke istana setelah lima tahun pengasingan di daerah terpencil Lembah Baiyun. Tidak ada sambutan, tidak ada musik, hanya keheningan yang menyesakkan. Tapi dia tidak peduli.Langkah kakinya mantap, suara sandal kayunya bergema di lantai batu giok.“Istana masih dingin seperti dulu,” gumamnya lirih.Di balik pintu-pintu megah yang berukir naga dan burung phoenix, para kasim dan pelayan wanita menunduk dalam-dalam. Beberapa mengenali sosok itu. Dahulu, dia adalah bunga istana—calon selir yang disebut-sebut akan menjadi permai
Langit malam menyelimuti istana Zhaoyang dengan cahaya temaram. Rembulan bergantung setengah redup di atas atap melengkung berhiaskan emas. Di taman dalam, suara air mengalir dari kolam batu memecah kesunyian, mengiringi aroma bunga cempaka yang mekar di musim yang terlambat.Li Qianru duduk di bawah pohon plum, matanya memandang langit, bukan untuk mencari bintang, tapi kenangan. Di tangannya tergenggam secawan teh hangat yang perlahan mendingin bersama waktu.Langkah kaki seseorang terdengar pelan. Suara sepatu naga di atas batu giok tak mungkin disalahkan. Ia tidak perlu diperkenalkan. Qianru tahu langkah itu—selalu tahu. Bahkan setelah lima tahun, detak jantung Kaisar Jiayan tetap bisa dikenali dari kejauhan.“Sudah malam, seharusnya kau tidur.”Suara itu dalam, tapi tidak dingin. Seperti sungai yang mengalir pelan, menunggu air pasang.Qianru tidak menoleh. Ia menjawab tanpa memalingkan wajah:“Yang Mulia, bintang-bintang malam ini terlalu terang untuk diabaikan. Dan tidur… adala
Langit barat membakar dirinya sendiri saat matahari terbenam. Jingga dan merah jambu menari di cakrawala, seolah-olah surga sedang membuka tirainya untuk menyambut sesuatu yang agung. Di balik bukit berbatu, seekor burung gagak terbang rendah. Ia membawa kabar, atau kutukan.Dan di bawah langit itu, Li Qianru berdiri di ujung jembatan kayu yang menyeberangi sungai tua di luar kota barat. Hanya ada angin, air, dan harap yang rapuh seperti kaca.Sudah lima tahun.Lima tahun sejak ia terakhir melihat Li Weixian, kakaknya, ditarik oleh para pengawal, terkunci dalam gudang kayu, dan terbakar bersama kehormatan keluarga mereka. Ia memaksa dirinya melupakan suara teriakannya.Tapi malam ini, ia datang karena keyakinannya tak bisa dipadamkan.Langkah kaki terdengar dari sisi lain jembatan.Qianru menoleh perlahan, dan waktu berhenti.Ia masih mengenali sosok itu, meski tubuhnya lebih kurus, dan bekas luka bakar membentuk peta kejam di sisi kiri wajahnya. Tapi mata itu… mata penuh tekad dan ke
Hujan tipis turun di atas ubin batu istana Zhaoyang, membentuk pola-pola air yang meliuk seperti tinta di atas kanvas. Dingin yang datang bersamaan dengan hujan membawa rasa yang tidak biasa, seolah-olah udara sendiri tahu bahwa masa lalu yang dibungkam selama lima tahun, mulai merangkak naik dari tanah.Di dalam paviliunnya, Li Qianru duduk diam. Di tangannya ada selembar kertas. Isinya singkat.“Tuan mudamu belum mati. Dan dia mencarimu.”Tangannya bergetar—sesuatu yang tak lagi biasa baginya. Lima tahun dia membangun dirinya dari puing luka menjadi batu karang. Tapi kalimat ini… memecahkan keheningan yang tak pernah berani ia sentuh.Kakaknya, Li Weixian. Putra sulung Jenderal Li. Saudara yang ia lihat terakhir kali terbakar bersama gudang belakang kediaman mereka.“Jika ini benar,” bisiknya lirih, “maka dendam ini bukan lagi milikku sendiri.”Pertemuan Senja: Bayangan dan DarahSore itu, taman bambu di sisi timur istana basah oleh hujan yang belum selesai. Tapi Qianru berjalan tan
Langit pagi menyapu Istana Zhaoyang dengan warna keperakan. Kabut tipis menyelusup di antara pilar-pilar giok, menyembunyikan bisik dan bayangan. Di balik dinding dapur kekaisaran, api besar menyala seperti jantung istana yang berdegup, mengolah makanan bukan hanya untuk tubuh, tapi juga untuk kekuasaan.Dapur kekaisaran bukan sekadar tempat untuk memasak. Ia adalah pusat informasi, tempat semua berita dibawa oleh tangan-tangan pelayan, ditaburkan seperti garam, dan dicerna lebih dalam daripada makanan yang dimasak. Dan hari ini, dapur itu menjadi medan perang yang sunyi.Li Qianru berdiri di ujung dapur utama, mengenakan jubah biru pucat, rambutnya disanggul sederhana tanpa perhiasan. Namun, kehadirannya menciptakan tekanan di udara yang tak terlihat tapi terasa—tepat di belakang tulang leher siapa pun yang menatapnya.Di sisinya berdiri kasim muda, Bai Heng, mencatat semua perintah yang keluar dari bibirnya yang tenang namun tajam.“Makanan untuk Yang Mulia harus disiapkan dari tang
Pagi menyapa Istana Zhaoyang dengan cahaya emas yang menyusup dari balik tirai sutra. Tapi di mata para penghuni istana, cahaya itu tak lebih dari sinyal bahaya—karena angin baru telah masuk ke dalam tembok kekuasaan, dan angin itu bernama Li Qianru.Paviliun Dalam - Rapat Para SelirDi Paviliun Bunga Teratai, para selir berkumpul seperti bunga-bunga mahal yang menyembunyikan duri. Hari ini adalah hari pertama Qianru hadir sebagai pengelola urusan dalam istana—sebuah posisi yang hanya diberikan pada wanita kepercayaan Kaisar.Selir Gui, dengan senyum palsunya, membuka pertemuan.“Ah, kita semua menantikan hari ini. Seorang wanita yang pernah dibuang kini kembali mengatur tempat yang dulu menolaknya. Apakah ini ironi… atau tragedi baru yang sedang kita saksikan?”Qianru duduk tenang, pakaiannya sederhana tapi anggun. Ia menyesap tehnya perlahan, lalu berkata dengan lembut,“Ironi hanya menyakitkan bagi mereka yang tidak siap menjadi latar bagi tokoh utama.”Semua diam. Kalimatnya lembu
Langit malam menyelimuti istana Zhaoyang dengan cahaya temaram. Rembulan bergantung setengah redup di atas atap melengkung berhiaskan emas. Di taman dalam, suara air mengalir dari kolam batu memecah kesunyian, mengiringi aroma bunga cempaka yang mekar di musim yang terlambat.Li Qianru duduk di bawah pohon plum, matanya memandang langit, bukan untuk mencari bintang, tapi kenangan. Di tangannya tergenggam secawan teh hangat yang perlahan mendingin bersama waktu.Langkah kaki seseorang terdengar pelan. Suara sepatu naga di atas batu giok tak mungkin disalahkan. Ia tidak perlu diperkenalkan. Qianru tahu langkah itu—selalu tahu. Bahkan setelah lima tahun, detak jantung Kaisar Jiayan tetap bisa dikenali dari kejauhan.“Sudah malam, seharusnya kau tidur.”Suara itu dalam, tapi tidak dingin. Seperti sungai yang mengalir pelan, menunggu air pasang.Qianru tidak menoleh. Ia menjawab tanpa memalingkan wajah:“Yang Mulia, bintang-bintang malam ini terlalu terang untuk diabaikan. Dan tidur… adala
Langit ibu kota Chang’an diselimuti kabut tipis saat gerobak kerajaan berhenti perlahan di depan Gerbang Timur Istana Zhaoyang. Aroma dupa dan bunga plum yang mengering menyambut kedatangan seorang perempuan berpakaian putih sederhana, wajahnya tertutup kerudung tipis, namun sorot matanya menembus seperti bilah pedang yang tersembunyi dalam sarung beludru.Li Qianru, putri dari keluarga bangsawan Jenderal Li Xian yang dihukum mati karena tuduhan pemberontakan, kembali ke istana setelah lima tahun pengasingan di daerah terpencil Lembah Baiyun. Tidak ada sambutan, tidak ada musik, hanya keheningan yang menyesakkan. Tapi dia tidak peduli.Langkah kakinya mantap, suara sandal kayunya bergema di lantai batu giok.“Istana masih dingin seperti dulu,” gumamnya lirih.Di balik pintu-pintu megah yang berukir naga dan burung phoenix, para kasim dan pelayan wanita menunduk dalam-dalam. Beberapa mengenali sosok itu. Dahulu, dia adalah bunga istana—calon selir yang disebut-sebut akan menjadi permai