Langit barat membakar dirinya sendiri saat matahari terbenam. Jingga dan merah jambu menari di cakrawala, seolah-olah surga sedang membuka tirainya untuk menyambut sesuatu yang agung. Di balik bukit berbatu, seekor burung gagak terbang rendah. Ia membawa kabar, atau kutukan.
Dan di bawah langit itu, Li Qianru berdiri di ujung jembatan kayu yang menyeberangi sungai tua di luar kota barat. Hanya ada angin, air, dan harap yang rapuh seperti kaca. Sudah lima tahun. Lima tahun sejak ia terakhir melihat Li Weixian, kakaknya, ditarik oleh para pengawal, terkunci dalam gudang kayu, dan terbakar bersama kehormatan keluarga mereka. Ia memaksa dirinya melupakan suara teriakannya. Tapi malam ini, ia datang karena keyakinannya tak bisa dipadamkan. Langkah kaki terdengar dari sisi lain jembatan. Qianru menoleh perlahan, dan waktu berhenti. Ia masih mengenali sosok itu, meski tubuhnya lebih kurus, dan bekas luka bakar membentuk peta kejam di sisi kiri wajahnya. Tapi mata itu… mata penuh tekad dan kelembutan yang sama seperti dulu, masih menatapnya seperti gadis kecil yang dulu ia ajari menulis puisi di bawah pohon plum. “Gege…” Suaranya patah, seperti embun yang jatuh sebelum waktunya. Li Weixian berdiri mematung. Seluruh napasnya habis. Tapi ia berjalan. Langkah demi langkah. Tidak terburu-buru. Seolah ingin memastikan ini bukan mimpi, bukan bayangan hantu dari masa lalu yang mengunjunginya lagi. Dan ketika mereka berdiri hanya sejengkal terpisah, Qianru tak mampu menahan air matanya. Ia tak bicara. Ia hanya memeluknya. Erat. Tanpa suara. Tapi seluruh langit seperti menghela napas lega. Di balik bekas luka, tangan Weixian bergetar saat membalas pelukan itu. Tubuh adiknya lebih kuat dari dulu, tapi hatinya masih sama—keras kepala, setia, dan membara seperti api yang dulu membakar rumah mereka… tapi tak pernah membakar cintanya. “Aku pikir… kau benar-benar terbakar,” Qianru berbisik. “Aku terbakar,” jawabnya lirih. “Tapi hatiku tetap mencarimu.” Mereka duduk di bawah pohon tua, hanya diterangi lentera kecil dan suara air sungai. “Aku tak bisa keluar dari bayangan jika tak tahu kau masih hidup,” kata Weixian. “Tapi sekarang… aku di sini. Dan aku melihat, kau tak hanya hidup, tapi memimpin. Ayah pasti bangga.” “Tidak, Gege,” jawab Qianru pelan. “Aku tidak memimpin karena ingin dihormati. Aku berdiri karena kalau aku duduk… tak ada lagi yang akan berdiri.” “Kau sudah melampaui semua harapan. Bahkan lebih dari yang bisa kubayangkan.” Qianru tersenyum. “Tapi kau… kau membawa bagian jiwaku yang tak pernah pulih. Hari ini, kau kembalikan itu padaku.” Malam itu, mereka berbicara panjang. Tentang ayah, tentang ibu yang terakhir memeluk Qianru sebelum ditarik pengawal. Tentang mimpi-mimpi yang patah. Tentang masa kecil yang kini hanya bisa diingat dalam warna sepia. Tapi di antara semua itu, mereka bicara tentang hari esok. “Kau siap kembali ke istana?” tanya Qianru. Weixian mengangguk. “Bukan untuk memohon keadilan. Tapi untuk mengambilnya.” “Kita akan hadapi Zhou Shixuan. Kita akan bongkar semua arsip pengkhianatannya. Aku sudah punya kunci. Yang kupikir takkan pernah kugenggam lagi.” Weixian membuka gulungan kecil dari sakunya: surat tua dari tangan Menteri Zhou, yang dulu memerintahkan penggeledahan fiktif ke kediaman keluarga Li—surat dengan segel pribadi Kaisar yang saat itu belum pernah digunakan. “Ini… akan mengguncang takhta.” Qianru menggenggam tangannya. “Kita tidak ingin takhta. Kita ingin membersihkan jalannya. Dan jika itu berarti menumbangkan semua yang berdiri di atas kebohongan… maka biar seluruh istana gemetar.” Sementara itu, di dalam istana, Kaisar Xu Jiayan duduk sendiri di ruang pribadinya. Lentera belum dinyalakan. Ia hanya menatap langit kosong dari jendela terbuka. Di tangannya tergenggam surat puisi dari Qianru yang ia simpan bertahun-tahun. Surat yang tak pernah dibalas. “Jika kau tidak datang padaku sebagai laki-laki, maka jangan datang padaku sebagai raja. Karena hatiku tidak melayani mahkota.” Suara langkah masuk ke ruangan. Menteri Zhou Shixuan. “Yang Mulia,” katanya tenang, “aku dengar Selir Li menghilang dari paviliunnya malam ini.” Jiayan tetap diam. “Apakah kau tahu ke mana dia pergi?” Jiayan hanya berkata pelan, “Ke masa lalu.” Zhou memicingkan mata. “Maka kita harus bertindak sebelum masa lalu itu menumbangkan masa depan kita.” Tapi Jiayan sudah tahu—semua sedang berubah. Dan ia harus memilih: menjadi Kaisar yang berkuasa… atau pria yang mencintai wanita yang bisa menjatuhkan seluruh kekuasaannya. Kembali di tepi sungai, Qianru dan Weixian berdiri. Angin malam bertiup lembut. Tapi dalam hati mereka, badai telah menyala. Mereka berjalan berdampingan, menapaki jalan kembali ke pusat dunia yang telah menghancurkan segalanya. Tapi kali ini, mereka tidak sendiri. Mereka adalah warisan. Mereka adalah bukti bahwa kejatuhan tak selalu berarti akhir. Dan mereka akan menulis ulang sejarah… dengan tangan mereka sendiri. Langit barat berpendar merah seperti luka lama yang belum sembuh. Di kaki cakrawala, cahaya matahari tenggelam perlahan, menebarkan warna keemasan di atas sungai tua di luar kota barat. Air mengalir pelan, seolah menjaga rahasia yang mengalir bersamanya selama bertahun-tahun. Di ujung jembatan kayu, Li Qianru berdiri dalam diam. Jubah hitamnya berkibar oleh angin petang. Tidak ada pelayan. Tidak ada kasim. Hanya dirinya, langit, dan harap yang telah terlalu lama disimpan seperti barang pusaka. Sudah lima tahun. Lima tahun sejak malam penuh darah dan api itu. Lima tahun sejak nama keluarganya dilenyapkan, dan satu-satunya keluarganya yang tersisa—Li Weixian, kakaknya—dinyatakan mati, terbakar hidup-hidup di gudang belakang kediaman mereka. Dan hari ini… surat tanpa nama itu membawanya ke sini. “Tuan mudamu belum mati. Dan dia mencarimu.” Langkah kaki terdengar dari sisi lain jembatan. Qianru tak menoleh. Tak berani. Karena jika itu bukan dia—jika ini hanya permainan lain dari istana—maka harapan yang dibangunnya akan runtuh sepenuhnya. Tapi suara itu datang. Dalam. Pelan. Penuh beban. “Qianru…” Ia menoleh. Dan dunia berhenti. Sosok itu berdiri tegak. Tubuhnya lebih kurus. Wajahnya tertutup sebagian oleh luka bakar lama di sisi kiri. Tapi mata itu… mata penuh ketegasan dan kelembutan, mata yang sama yang dulu menggendongnya ketika ia menangis, yang dulu mengajarinya mengikat benang layang-layang, yang dulu menatapnya dengan cinta tanpa syarat. “Gege…” Suaranya patah seperti daun jatuh dari pohon yang terlalu tua untuk mekar. Weixian terdiam. Matanya pun berkaca. Tapi ia tetap melangkah—perlahan, pasti—hingga hanya satu langkah memisahkan mereka. Dan di sanalah, tanpa kata-kata besar, Li Qianru memeluknya. Seerat lima tahun penantian. Seerat semua luka yang tak pernah sempat diobati. Mereka tidak menangis seperti anak-anak. Air mata mereka jatuh seperti prajurit yang pulang, dalam diam, dalam hormat kepada rasa kehilangan yang tak sempat dikebumikan. Dan dalam pelukan yang tertunda itu, dua jiwa yang terpisah oleh sejarah kembali menyatu. Di bawah pohon willow dekat sungai, mereka duduk. Lentera kecil menggantung di dahan, memantulkan cahaya temaram di permukaan air. Angin malam membawa suara jangkrik dan aroma tanah basah. Weixian menyeduh teh dari peralatan sederhana. “Aku sempat percaya kau mati, Gege,” kata Qianru. “Aku pikir aku memang mati. Saat kobaran api itu menyala, saat aku mendengar jeritan ibu dan ayah… aku merasa seluruh jiwaku hangus.” “Aku bertahan karena satu hal. Karena aku percaya, kau akan datang mencariku.” Weixian menatapnya dalam. “Dan aku kembali karena satu hal. Karena aku tahu, kau belum menyerah.” Mereka berbicara lama. Tentang malam kelam itu. Tentang pelarian Weixian bersama pengawal rahasia yang menyelamatkannya. Tentang hidup di pengasingan, menyamar sebagai petani, lalu sebagai tabib keliling, hingga akhirnya mendengar kabar bahwa adiknya masih hidup—dan bukan hanya hidup, tapi kembali ke istana sebagai kekuatan. “Ayah benar tentangmu,” ucap Weixian. “Kau bukan hanya bunga. Kau adalah akar yang menolak mati.” “Dan kau adalah bayangan yang kembali saat semua orang mengira terang telah menang.” Qianru menarik napas dalam. “Istana tak pernah berubah. Zhou masih di sana. Jiayan masih dibutakan oleh rasa takut pada sistem. Tapi aku sudah masuk ke dalam. Dan sekarang, aku tak sendiri.” Weixian mengeluarkan gulungan kecil dari balik jubahnya—surat asli bersegel Kaisar, surat yang ditandatangani Zhou Shixuan, memerintahkan penggeledahan fiktif ke kediaman keluarga Li, menciptakan “bukti” pemberontakan. “Ini,” katanya, “adalah nyawa yang dulu mereka pakai untuk membunuh kita. Sekarang… kita bisa menggunakannya untuk hidup kembali.” Qianru memegang surat itu seperti memegang bagian dari dirinya yang hilang. Tangannya gemetar, tapi matanya menyala. “Kita akan menjatuhkan mereka, Gege. Satu per satu. Dengan kepala tegak, tanpa darah yang tak perlu, tapi dengan kebenaran yang tak bisa dibantah.” Weixian tersenyum. “Kau akan jadi legenda, Qianru.” “Tidak,” jawabnya lembut. “Kita akan jadi legenda.” Di dalam istana, Kaisar Xu Jiayan duduk sendiri di ruang pribadinya, surat tua dari Qianru tergenggam di tangannya. Ia tahu ia kehilangan banyak. Tapi hari ini, ia merasa… ia mungkin kehilangan segalanya. “Qianru…” bisiknya. “Apa yang tersisa dariku di matamu?” Tak ada yang menjawab. Hanya bayangan yang bergeser di dinding, seolah mengingatkan bahwa seorang Kaisar pun bisa sendirian. Kembali di tepi sungai, Qianru dan Weixian berdiri. Langit kini gelap, tapi bintang pertama telah muncul. Di dalam hati mereka, bintang itu seperti janji—bahwa malam pun bisa membawa cahaya. Mereka berjalan berdampingan. Tak banyak bicara lagi. Karena kata-kata telah selesai. Yang tersisa kini adalah langkah. Dan dunia akan menyaksikan: bagaimana dua anak dari keluarga yang pernah dihancurkan… bangkit bukan hanya untuk membalas dendam, tapi untuk menulis ulang sejarah.Langit ibu kota Chang’an diselimuti kabut tipis saat gerobak kerajaan berhenti perlahan di depan Gerbang Timur Istana Zhaoyang. Aroma dupa dan bunga plum yang mengering menyambut kedatangan seorang perempuan berpakaian putih sederhana, wajahnya tertutup kerudung tipis, namun sorot matanya menembus seperti bilah pedang yang tersembunyi dalam sarung beludru.Li Qianru, putri dari keluarga bangsawan Jenderal Li Xian yang dihukum mati karena tuduhan pemberontakan, kembali ke istana setelah lima tahun pengasingan di daerah terpencil Lembah Baiyun. Tidak ada sambutan, tidak ada musik, hanya keheningan yang menyesakkan. Tapi dia tidak peduli.Langkah kakinya mantap, suara sandal kayunya bergema di lantai batu giok.“Istana masih dingin seperti dulu,” gumamnya lirih.Di balik pintu-pintu megah yang berukir naga dan burung phoenix, para kasim dan pelayan wanita menunduk dalam-dalam. Beberapa mengenali sosok itu. Dahulu, dia adalah bunga istana—calon selir yang disebut-sebut akan menjadi permai
Langit malam menyelimuti istana Zhaoyang dengan cahaya temaram. Rembulan bergantung setengah redup di atas atap melengkung berhiaskan emas. Di taman dalam, suara air mengalir dari kolam batu memecah kesunyian, mengiringi aroma bunga cempaka yang mekar di musim yang terlambat.Li Qianru duduk di bawah pohon plum, matanya memandang langit, bukan untuk mencari bintang, tapi kenangan. Di tangannya tergenggam secawan teh hangat yang perlahan mendingin bersama waktu.Langkah kaki seseorang terdengar pelan. Suara sepatu naga di atas batu giok tak mungkin disalahkan. Ia tidak perlu diperkenalkan. Qianru tahu langkah itu—selalu tahu. Bahkan setelah lima tahun, detak jantung Kaisar Jiayan tetap bisa dikenali dari kejauhan.“Sudah malam, seharusnya kau tidur.”Suara itu dalam, tapi tidak dingin. Seperti sungai yang mengalir pelan, menunggu air pasang.Qianru tidak menoleh. Ia menjawab tanpa memalingkan wajah:“Yang Mulia, bintang-bintang malam ini terlalu terang untuk diabaikan. Dan tidur… adala
Pagi menyapa Istana Zhaoyang dengan cahaya emas yang menyusup dari balik tirai sutra. Tapi di mata para penghuni istana, cahaya itu tak lebih dari sinyal bahaya—karena angin baru telah masuk ke dalam tembok kekuasaan, dan angin itu bernama Li Qianru.Paviliun Dalam - Rapat Para SelirDi Paviliun Bunga Teratai, para selir berkumpul seperti bunga-bunga mahal yang menyembunyikan duri. Hari ini adalah hari pertama Qianru hadir sebagai pengelola urusan dalam istana—sebuah posisi yang hanya diberikan pada wanita kepercayaan Kaisar.Selir Gui, dengan senyum palsunya, membuka pertemuan.“Ah, kita semua menantikan hari ini. Seorang wanita yang pernah dibuang kini kembali mengatur tempat yang dulu menolaknya. Apakah ini ironi… atau tragedi baru yang sedang kita saksikan?”Qianru duduk tenang, pakaiannya sederhana tapi anggun. Ia menyesap tehnya perlahan, lalu berkata dengan lembut,“Ironi hanya menyakitkan bagi mereka yang tidak siap menjadi latar bagi tokoh utama.”Semua diam. Kalimatnya lembu
Langit pagi menyapu Istana Zhaoyang dengan warna keperakan. Kabut tipis menyelusup di antara pilar-pilar giok, menyembunyikan bisik dan bayangan. Di balik dinding dapur kekaisaran, api besar menyala seperti jantung istana yang berdegup, mengolah makanan bukan hanya untuk tubuh, tapi juga untuk kekuasaan.Dapur kekaisaran bukan sekadar tempat untuk memasak. Ia adalah pusat informasi, tempat semua berita dibawa oleh tangan-tangan pelayan, ditaburkan seperti garam, dan dicerna lebih dalam daripada makanan yang dimasak. Dan hari ini, dapur itu menjadi medan perang yang sunyi.Li Qianru berdiri di ujung dapur utama, mengenakan jubah biru pucat, rambutnya disanggul sederhana tanpa perhiasan. Namun, kehadirannya menciptakan tekanan di udara yang tak terlihat tapi terasa—tepat di belakang tulang leher siapa pun yang menatapnya.Di sisinya berdiri kasim muda, Bai Heng, mencatat semua perintah yang keluar dari bibirnya yang tenang namun tajam.“Makanan untuk Yang Mulia harus disiapkan dari tang
Hujan tipis turun di atas ubin batu istana Zhaoyang, membentuk pola-pola air yang meliuk seperti tinta di atas kanvas. Dingin yang datang bersamaan dengan hujan membawa rasa yang tidak biasa, seolah-olah udara sendiri tahu bahwa masa lalu yang dibungkam selama lima tahun, mulai merangkak naik dari tanah.Di dalam paviliunnya, Li Qianru duduk diam. Di tangannya ada selembar kertas. Isinya singkat.“Tuan mudamu belum mati. Dan dia mencarimu.”Tangannya bergetar—sesuatu yang tak lagi biasa baginya. Lima tahun dia membangun dirinya dari puing luka menjadi batu karang. Tapi kalimat ini… memecahkan keheningan yang tak pernah berani ia sentuh.Kakaknya, Li Weixian. Putra sulung Jenderal Li. Saudara yang ia lihat terakhir kali terbakar bersama gudang belakang kediaman mereka.“Jika ini benar,” bisiknya lirih, “maka dendam ini bukan lagi milikku sendiri.”Pertemuan Senja: Bayangan dan DarahSore itu, taman bambu di sisi timur istana basah oleh hujan yang belum selesai. Tapi Qianru berjalan tan
Langit barat membakar dirinya sendiri saat matahari terbenam. Jingga dan merah jambu menari di cakrawala, seolah-olah surga sedang membuka tirainya untuk menyambut sesuatu yang agung. Di balik bukit berbatu, seekor burung gagak terbang rendah. Ia membawa kabar, atau kutukan.Dan di bawah langit itu, Li Qianru berdiri di ujung jembatan kayu yang menyeberangi sungai tua di luar kota barat. Hanya ada angin, air, dan harap yang rapuh seperti kaca.Sudah lima tahun.Lima tahun sejak ia terakhir melihat Li Weixian, kakaknya, ditarik oleh para pengawal, terkunci dalam gudang kayu, dan terbakar bersama kehormatan keluarga mereka. Ia memaksa dirinya melupakan suara teriakannya.Tapi malam ini, ia datang karena keyakinannya tak bisa dipadamkan.Langkah kaki terdengar dari sisi lain jembatan.Qianru menoleh perlahan, dan waktu berhenti.Ia masih mengenali sosok itu, meski tubuhnya lebih kurus, dan bekas luka bakar membentuk peta kejam di sisi kiri wajahnya. Tapi mata itu… mata penuh tekad dan ke
Hujan tipis turun di atas ubin batu istana Zhaoyang, membentuk pola-pola air yang meliuk seperti tinta di atas kanvas. Dingin yang datang bersamaan dengan hujan membawa rasa yang tidak biasa, seolah-olah udara sendiri tahu bahwa masa lalu yang dibungkam selama lima tahun, mulai merangkak naik dari tanah.Di dalam paviliunnya, Li Qianru duduk diam. Di tangannya ada selembar kertas. Isinya singkat.“Tuan mudamu belum mati. Dan dia mencarimu.”Tangannya bergetar—sesuatu yang tak lagi biasa baginya. Lima tahun dia membangun dirinya dari puing luka menjadi batu karang. Tapi kalimat ini… memecahkan keheningan yang tak pernah berani ia sentuh.Kakaknya, Li Weixian. Putra sulung Jenderal Li. Saudara yang ia lihat terakhir kali terbakar bersama gudang belakang kediaman mereka.“Jika ini benar,” bisiknya lirih, “maka dendam ini bukan lagi milikku sendiri.”Pertemuan Senja: Bayangan dan DarahSore itu, taman bambu di sisi timur istana basah oleh hujan yang belum selesai. Tapi Qianru berjalan tan
Langit pagi menyapu Istana Zhaoyang dengan warna keperakan. Kabut tipis menyelusup di antara pilar-pilar giok, menyembunyikan bisik dan bayangan. Di balik dinding dapur kekaisaran, api besar menyala seperti jantung istana yang berdegup, mengolah makanan bukan hanya untuk tubuh, tapi juga untuk kekuasaan.Dapur kekaisaran bukan sekadar tempat untuk memasak. Ia adalah pusat informasi, tempat semua berita dibawa oleh tangan-tangan pelayan, ditaburkan seperti garam, dan dicerna lebih dalam daripada makanan yang dimasak. Dan hari ini, dapur itu menjadi medan perang yang sunyi.Li Qianru berdiri di ujung dapur utama, mengenakan jubah biru pucat, rambutnya disanggul sederhana tanpa perhiasan. Namun, kehadirannya menciptakan tekanan di udara yang tak terlihat tapi terasa—tepat di belakang tulang leher siapa pun yang menatapnya.Di sisinya berdiri kasim muda, Bai Heng, mencatat semua perintah yang keluar dari bibirnya yang tenang namun tajam.“Makanan untuk Yang Mulia harus disiapkan dari tang
Pagi menyapa Istana Zhaoyang dengan cahaya emas yang menyusup dari balik tirai sutra. Tapi di mata para penghuni istana, cahaya itu tak lebih dari sinyal bahaya—karena angin baru telah masuk ke dalam tembok kekuasaan, dan angin itu bernama Li Qianru.Paviliun Dalam - Rapat Para SelirDi Paviliun Bunga Teratai, para selir berkumpul seperti bunga-bunga mahal yang menyembunyikan duri. Hari ini adalah hari pertama Qianru hadir sebagai pengelola urusan dalam istana—sebuah posisi yang hanya diberikan pada wanita kepercayaan Kaisar.Selir Gui, dengan senyum palsunya, membuka pertemuan.“Ah, kita semua menantikan hari ini. Seorang wanita yang pernah dibuang kini kembali mengatur tempat yang dulu menolaknya. Apakah ini ironi… atau tragedi baru yang sedang kita saksikan?”Qianru duduk tenang, pakaiannya sederhana tapi anggun. Ia menyesap tehnya perlahan, lalu berkata dengan lembut,“Ironi hanya menyakitkan bagi mereka yang tidak siap menjadi latar bagi tokoh utama.”Semua diam. Kalimatnya lembu
Langit malam menyelimuti istana Zhaoyang dengan cahaya temaram. Rembulan bergantung setengah redup di atas atap melengkung berhiaskan emas. Di taman dalam, suara air mengalir dari kolam batu memecah kesunyian, mengiringi aroma bunga cempaka yang mekar di musim yang terlambat.Li Qianru duduk di bawah pohon plum, matanya memandang langit, bukan untuk mencari bintang, tapi kenangan. Di tangannya tergenggam secawan teh hangat yang perlahan mendingin bersama waktu.Langkah kaki seseorang terdengar pelan. Suara sepatu naga di atas batu giok tak mungkin disalahkan. Ia tidak perlu diperkenalkan. Qianru tahu langkah itu—selalu tahu. Bahkan setelah lima tahun, detak jantung Kaisar Jiayan tetap bisa dikenali dari kejauhan.“Sudah malam, seharusnya kau tidur.”Suara itu dalam, tapi tidak dingin. Seperti sungai yang mengalir pelan, menunggu air pasang.Qianru tidak menoleh. Ia menjawab tanpa memalingkan wajah:“Yang Mulia, bintang-bintang malam ini terlalu terang untuk diabaikan. Dan tidur… adala
Langit ibu kota Chang’an diselimuti kabut tipis saat gerobak kerajaan berhenti perlahan di depan Gerbang Timur Istana Zhaoyang. Aroma dupa dan bunga plum yang mengering menyambut kedatangan seorang perempuan berpakaian putih sederhana, wajahnya tertutup kerudung tipis, namun sorot matanya menembus seperti bilah pedang yang tersembunyi dalam sarung beludru.Li Qianru, putri dari keluarga bangsawan Jenderal Li Xian yang dihukum mati karena tuduhan pemberontakan, kembali ke istana setelah lima tahun pengasingan di daerah terpencil Lembah Baiyun. Tidak ada sambutan, tidak ada musik, hanya keheningan yang menyesakkan. Tapi dia tidak peduli.Langkah kakinya mantap, suara sandal kayunya bergema di lantai batu giok.“Istana masih dingin seperti dulu,” gumamnya lirih.Di balik pintu-pintu megah yang berukir naga dan burung phoenix, para kasim dan pelayan wanita menunduk dalam-dalam. Beberapa mengenali sosok itu. Dahulu, dia adalah bunga istana—calon selir yang disebut-sebut akan menjadi permai