Langit malam menyelimuti istana Zhaoyang dengan cahaya temaram. Rembulan bergantung setengah redup di atas atap melengkung berhiaskan emas. Di taman dalam, suara air mengalir dari kolam batu memecah kesunyian, mengiringi aroma bunga cempaka yang mekar di musim yang terlambat.
Li Qianru duduk di bawah pohon plum, matanya memandang langit, bukan untuk mencari bintang, tapi kenangan. Di tangannya tergenggam secawan teh hangat yang perlahan mendingin bersama waktu. Langkah kaki seseorang terdengar pelan. Suara sepatu naga di atas batu giok tak mungkin disalahkan. Ia tidak perlu diperkenalkan. Qianru tahu langkah itu—selalu tahu. Bahkan setelah lima tahun, detak jantung Kaisar Jiayan tetap bisa dikenali dari kejauhan. “Sudah malam, seharusnya kau tidur.” Suara itu dalam, tapi tidak dingin. Seperti sungai yang mengalir pelan, menunggu air pasang. Qianru tidak menoleh. Ia menjawab tanpa memalingkan wajah: “Yang Mulia, bintang-bintang malam ini terlalu terang untuk diabaikan. Dan tidur… adalah hak istimewa mereka yang damainya tak direnggut oleh masa lalu.” Hening. Jiayan berhenti di beberapa langkah darinya. Mereka terpisah hanya beberapa jengkal, tapi terasa seperti dua dunia yang terpisah ribuan tahun. “Aku tidak mengundangmu ke istana ini untuk menyiksamu dengan kenangan,” kata Jiayan pelan. “Aku hanya… ingin melihatmu sekali lagi. Dalam damai.” “Damai?” Qianru menoleh, akhirnya memandang matanya. “Apa yang damai dari membiarkanku terbuang lima tahun, dihina rakyat, dibunuh oleh sejarah yang tidak kutulis?” “Jika aku bisa mengubah waktu, aku akan—” “Waktu tidak untuk diubah, Yang Mulia. Waktu untuk dijawab. Dan aku kembali untuk itu.” Dialog yang Membuka Luka Lama Jiayan menarik napas panjang. “Kau tahu betapa hancurnya aku saat surat kabar datang… mengabarkan kau mati di perbatasan. Aku menghancurkan segala yang ada di paviliunku.” Qianru tertawa kecil, getir. “Dan kau tahu betapa hancurnya aku saat melihatmu tetap duduk di sana, menjadi Putra Mahkota mulia… seolah-olah ayahku tidak pernah menyelamatkan nyawamu saat kau diserang di perbatasan Utara.” Jiayan menunduk. “Itu sebabnya aku memanggilmu kembali. Untuk menebusnya.” “Tebusanku bukan simpati. Dan luka ini bukan untuk dilap sejuta penyesalan.” Qianru berdiri, melangkah mendekat. Kini hanya satu jengkal yang memisahkan mereka. “Aku kembali bukan untuk dilindungi. Aku kembali untuk menjadi badai yang kau undang sendiri.” Bergulirnya Rasa yang Tak Pernah Padam Rembulan tertutup awan. Bayangan wajah Qianru tertangkap di mata Jiayan, seperti puisi yang ia simpan tapi tak pernah sempat dibacakan. Dia mengangkat tangannya, hampir menyentuh pipi wanita itu, namun berhenti di udara. “Qianru…” bisiknya. “Jangan sebut namaku seolah itu milikmu,” jawabnya. “Karena lima tahun lalu, kau menyerahkannya pada pengadilan istana dan membiarkannya dikubur bersama kehormatan keluarga Li.” Jiayan menghela napas. Suaranya bergetar. “Aku… hanya putra mahkota saat itu. Aku tidak punya kuasa.” Qianru mendekat, napasnya hangat di wajah Kaisar. “Dan sekarang kau Kaisar. Maka dengarkan baik-baik: aku bukan lagi Qianru yang kau kenal. Aku adalah bayangan dari apa yang kau bunuh, dan pantulan dari semua yang kau sesali.” Saat Sunyi Bicara Lebih Tajam dari Pedang Hening kembali turun seperti salju tak bersuara. Tak ada kasim. Tak ada pelayan. Hanya mereka berdua dan malam yang tidak berpihak pada siapa pun. Akhirnya Jiayan berkata, “Apakah ada satu bagian dari dirimu… yang masih mencintaiku?” Qianru menatapnya, lama. Terlalu lama. Kemudian ia menjawab, “Cinta, Yang Mulia, adalah benda lemah yang mudah patah. Tapi serpihannya… tajam. Kadang masih kutemukan di dadaku, menancap diam-diam.” Jiayan tak mampu menjawab. Dalam hatinya, ia merasakan luka yang tidak bisa ia sembuhkan—karena luka itu bukan miliknya saja. Tawaran dari Kaisar “Aku tahu kau tidak kembali hanya untuk bicara soal cinta,” kata Jiayan, mengubah topik. “Pangeran Ketiga mengincar tahta. Dewan Menteri terpecah. Perbatasan Timur terbakar oleh ancaman dari Kerajaan Yan. Aku butuhmu.” “Dan aku butuh kebenaran,” jawab Qianru tajam. “Aku bersumpah akan memberikannya. Tapi tidak dengan cara kotor. Aku ingin menebus semuanya… bukan dengan air mata, tapi dengan kekuasaan.” Qianru memejamkan mata sejenak, lalu membuka kembali, penuh tekad. “Kalau begitu, mulai besok pagi, beri aku izin mengelola istana bagian dalam. Aku akan merapikannya. Tapi jangan salah paham—ini bukan bentuk penerimaan. Ini hanya permulaan.” Momen Terakhir Sebelum Berpisah Sebelum pergi, Qianru menoleh sekali lagi. “Kau tahu apa yang paling menyakitkan?” bisiknya. “Bukan saat aku dibuang, bukan saat aku dibenci. Tapi saat aku menari untukmu lima tahun lalu, dan kau tidak mengangkat tangan untuk menghentikan mereka menarikku pergi.” Jiayan menunduk. Untuk pertama kalinya sebagai Kaisar, dia merasa kecil. “Selamat malam, Kaisar. Tidurlah dalam damai. Karena aku tidak akan membiarkanmu bermimpi tenang setelah ini.”Pagi menyapa Istana Zhaoyang dengan cahaya emas yang menyusup dari balik tirai sutra. Tapi di mata para penghuni istana, cahaya itu tak lebih dari sinyal bahaya—karena angin baru telah masuk ke dalam tembok kekuasaan, dan angin itu bernama Li Qianru.Paviliun Dalam - Rapat Para SelirDi Paviliun Bunga Teratai, para selir berkumpul seperti bunga-bunga mahal yang menyembunyikan duri. Hari ini adalah hari pertama Qianru hadir sebagai pengelola urusan dalam istana—sebuah posisi yang hanya diberikan pada wanita kepercayaan Kaisar.Selir Gui, dengan senyum palsunya, membuka pertemuan.“Ah, kita semua menantikan hari ini. Seorang wanita yang pernah dibuang kini kembali mengatur tempat yang dulu menolaknya. Apakah ini ironi… atau tragedi baru yang sedang kita saksikan?”Qianru duduk tenang, pakaiannya sederhana tapi anggun. Ia menyesap tehnya perlahan, lalu berkata dengan lembut,“Ironi hanya menyakitkan bagi mereka yang tidak siap menjadi latar bagi tokoh utama.”Semua diam. Kalimatnya lembu
Langit pagi menyapu Istana Zhaoyang dengan warna keperakan. Kabut tipis menyelusup di antara pilar-pilar giok, menyembunyikan bisik dan bayangan. Di balik dinding dapur kekaisaran, api besar menyala seperti jantung istana yang berdegup, mengolah makanan bukan hanya untuk tubuh, tapi juga untuk kekuasaan.Dapur kekaisaran bukan sekadar tempat untuk memasak. Ia adalah pusat informasi, tempat semua berita dibawa oleh tangan-tangan pelayan, ditaburkan seperti garam, dan dicerna lebih dalam daripada makanan yang dimasak. Dan hari ini, dapur itu menjadi medan perang yang sunyi.Li Qianru berdiri di ujung dapur utama, mengenakan jubah biru pucat, rambutnya disanggul sederhana tanpa perhiasan. Namun, kehadirannya menciptakan tekanan di udara yang tak terlihat tapi terasa—tepat di belakang tulang leher siapa pun yang menatapnya.Di sisinya berdiri kasim muda, Bai Heng, mencatat semua perintah yang keluar dari bibirnya yang tenang namun tajam.“Makanan untuk Yang Mulia harus disiapkan dari tang
Hujan tipis turun di atas ubin batu istana Zhaoyang, membentuk pola-pola air yang meliuk seperti tinta di atas kanvas. Dingin yang datang bersamaan dengan hujan membawa rasa yang tidak biasa, seolah-olah udara sendiri tahu bahwa masa lalu yang dibungkam selama lima tahun, mulai merangkak naik dari tanah.Di dalam paviliunnya, Li Qianru duduk diam. Di tangannya ada selembar kertas. Isinya singkat.“Tuan mudamu belum mati. Dan dia mencarimu.”Tangannya bergetar—sesuatu yang tak lagi biasa baginya. Lima tahun dia membangun dirinya dari puing luka menjadi batu karang. Tapi kalimat ini… memecahkan keheningan yang tak pernah berani ia sentuh.Kakaknya, Li Weixian. Putra sulung Jenderal Li. Saudara yang ia lihat terakhir kali terbakar bersama gudang belakang kediaman mereka.“Jika ini benar,” bisiknya lirih, “maka dendam ini bukan lagi milikku sendiri.”Pertemuan Senja: Bayangan dan DarahSore itu, taman bambu di sisi timur istana basah oleh hujan yang belum selesai. Tapi Qianru berjalan tan
Langit barat membakar dirinya sendiri saat matahari terbenam. Jingga dan merah jambu menari di cakrawala, seolah-olah surga sedang membuka tirainya untuk menyambut sesuatu yang agung. Di balik bukit berbatu, seekor burung gagak terbang rendah. Ia membawa kabar, atau kutukan.Dan di bawah langit itu, Li Qianru berdiri di ujung jembatan kayu yang menyeberangi sungai tua di luar kota barat. Hanya ada angin, air, dan harap yang rapuh seperti kaca.Sudah lima tahun.Lima tahun sejak ia terakhir melihat Li Weixian, kakaknya, ditarik oleh para pengawal, terkunci dalam gudang kayu, dan terbakar bersama kehormatan keluarga mereka. Ia memaksa dirinya melupakan suara teriakannya.Tapi malam ini, ia datang karena keyakinannya tak bisa dipadamkan.Langkah kaki terdengar dari sisi lain jembatan.Qianru menoleh perlahan, dan waktu berhenti.Ia masih mengenali sosok itu, meski tubuhnya lebih kurus, dan bekas luka bakar membentuk peta kejam di sisi kiri wajahnya. Tapi mata itu… mata penuh tekad dan ke
Langit ibu kota Chang’an diselimuti kabut tipis saat gerobak kerajaan berhenti perlahan di depan Gerbang Timur Istana Zhaoyang. Aroma dupa dan bunga plum yang mengering menyambut kedatangan seorang perempuan berpakaian putih sederhana, wajahnya tertutup kerudung tipis, namun sorot matanya menembus seperti bilah pedang yang tersembunyi dalam sarung beludru.Li Qianru, putri dari keluarga bangsawan Jenderal Li Xian yang dihukum mati karena tuduhan pemberontakan, kembali ke istana setelah lima tahun pengasingan di daerah terpencil Lembah Baiyun. Tidak ada sambutan, tidak ada musik, hanya keheningan yang menyesakkan. Tapi dia tidak peduli.Langkah kakinya mantap, suara sandal kayunya bergema di lantai batu giok.“Istana masih dingin seperti dulu,” gumamnya lirih.Di balik pintu-pintu megah yang berukir naga dan burung phoenix, para kasim dan pelayan wanita menunduk dalam-dalam. Beberapa mengenali sosok itu. Dahulu, dia adalah bunga istana—calon selir yang disebut-sebut akan menjadi permai
Langit barat membakar dirinya sendiri saat matahari terbenam. Jingga dan merah jambu menari di cakrawala, seolah-olah surga sedang membuka tirainya untuk menyambut sesuatu yang agung. Di balik bukit berbatu, seekor burung gagak terbang rendah. Ia membawa kabar, atau kutukan.Dan di bawah langit itu, Li Qianru berdiri di ujung jembatan kayu yang menyeberangi sungai tua di luar kota barat. Hanya ada angin, air, dan harap yang rapuh seperti kaca.Sudah lima tahun.Lima tahun sejak ia terakhir melihat Li Weixian, kakaknya, ditarik oleh para pengawal, terkunci dalam gudang kayu, dan terbakar bersama kehormatan keluarga mereka. Ia memaksa dirinya melupakan suara teriakannya.Tapi malam ini, ia datang karena keyakinannya tak bisa dipadamkan.Langkah kaki terdengar dari sisi lain jembatan.Qianru menoleh perlahan, dan waktu berhenti.Ia masih mengenali sosok itu, meski tubuhnya lebih kurus, dan bekas luka bakar membentuk peta kejam di sisi kiri wajahnya. Tapi mata itu… mata penuh tekad dan ke
Hujan tipis turun di atas ubin batu istana Zhaoyang, membentuk pola-pola air yang meliuk seperti tinta di atas kanvas. Dingin yang datang bersamaan dengan hujan membawa rasa yang tidak biasa, seolah-olah udara sendiri tahu bahwa masa lalu yang dibungkam selama lima tahun, mulai merangkak naik dari tanah.Di dalam paviliunnya, Li Qianru duduk diam. Di tangannya ada selembar kertas. Isinya singkat.“Tuan mudamu belum mati. Dan dia mencarimu.”Tangannya bergetar—sesuatu yang tak lagi biasa baginya. Lima tahun dia membangun dirinya dari puing luka menjadi batu karang. Tapi kalimat ini… memecahkan keheningan yang tak pernah berani ia sentuh.Kakaknya, Li Weixian. Putra sulung Jenderal Li. Saudara yang ia lihat terakhir kali terbakar bersama gudang belakang kediaman mereka.“Jika ini benar,” bisiknya lirih, “maka dendam ini bukan lagi milikku sendiri.”Pertemuan Senja: Bayangan dan DarahSore itu, taman bambu di sisi timur istana basah oleh hujan yang belum selesai. Tapi Qianru berjalan tan
Langit pagi menyapu Istana Zhaoyang dengan warna keperakan. Kabut tipis menyelusup di antara pilar-pilar giok, menyembunyikan bisik dan bayangan. Di balik dinding dapur kekaisaran, api besar menyala seperti jantung istana yang berdegup, mengolah makanan bukan hanya untuk tubuh, tapi juga untuk kekuasaan.Dapur kekaisaran bukan sekadar tempat untuk memasak. Ia adalah pusat informasi, tempat semua berita dibawa oleh tangan-tangan pelayan, ditaburkan seperti garam, dan dicerna lebih dalam daripada makanan yang dimasak. Dan hari ini, dapur itu menjadi medan perang yang sunyi.Li Qianru berdiri di ujung dapur utama, mengenakan jubah biru pucat, rambutnya disanggul sederhana tanpa perhiasan. Namun, kehadirannya menciptakan tekanan di udara yang tak terlihat tapi terasa—tepat di belakang tulang leher siapa pun yang menatapnya.Di sisinya berdiri kasim muda, Bai Heng, mencatat semua perintah yang keluar dari bibirnya yang tenang namun tajam.“Makanan untuk Yang Mulia harus disiapkan dari tang
Pagi menyapa Istana Zhaoyang dengan cahaya emas yang menyusup dari balik tirai sutra. Tapi di mata para penghuni istana, cahaya itu tak lebih dari sinyal bahaya—karena angin baru telah masuk ke dalam tembok kekuasaan, dan angin itu bernama Li Qianru.Paviliun Dalam - Rapat Para SelirDi Paviliun Bunga Teratai, para selir berkumpul seperti bunga-bunga mahal yang menyembunyikan duri. Hari ini adalah hari pertama Qianru hadir sebagai pengelola urusan dalam istana—sebuah posisi yang hanya diberikan pada wanita kepercayaan Kaisar.Selir Gui, dengan senyum palsunya, membuka pertemuan.“Ah, kita semua menantikan hari ini. Seorang wanita yang pernah dibuang kini kembali mengatur tempat yang dulu menolaknya. Apakah ini ironi… atau tragedi baru yang sedang kita saksikan?”Qianru duduk tenang, pakaiannya sederhana tapi anggun. Ia menyesap tehnya perlahan, lalu berkata dengan lembut,“Ironi hanya menyakitkan bagi mereka yang tidak siap menjadi latar bagi tokoh utama.”Semua diam. Kalimatnya lembu
Langit malam menyelimuti istana Zhaoyang dengan cahaya temaram. Rembulan bergantung setengah redup di atas atap melengkung berhiaskan emas. Di taman dalam, suara air mengalir dari kolam batu memecah kesunyian, mengiringi aroma bunga cempaka yang mekar di musim yang terlambat.Li Qianru duduk di bawah pohon plum, matanya memandang langit, bukan untuk mencari bintang, tapi kenangan. Di tangannya tergenggam secawan teh hangat yang perlahan mendingin bersama waktu.Langkah kaki seseorang terdengar pelan. Suara sepatu naga di atas batu giok tak mungkin disalahkan. Ia tidak perlu diperkenalkan. Qianru tahu langkah itu—selalu tahu. Bahkan setelah lima tahun, detak jantung Kaisar Jiayan tetap bisa dikenali dari kejauhan.“Sudah malam, seharusnya kau tidur.”Suara itu dalam, tapi tidak dingin. Seperti sungai yang mengalir pelan, menunggu air pasang.Qianru tidak menoleh. Ia menjawab tanpa memalingkan wajah:“Yang Mulia, bintang-bintang malam ini terlalu terang untuk diabaikan. Dan tidur… adala
Langit ibu kota Chang’an diselimuti kabut tipis saat gerobak kerajaan berhenti perlahan di depan Gerbang Timur Istana Zhaoyang. Aroma dupa dan bunga plum yang mengering menyambut kedatangan seorang perempuan berpakaian putih sederhana, wajahnya tertutup kerudung tipis, namun sorot matanya menembus seperti bilah pedang yang tersembunyi dalam sarung beludru.Li Qianru, putri dari keluarga bangsawan Jenderal Li Xian yang dihukum mati karena tuduhan pemberontakan, kembali ke istana setelah lima tahun pengasingan di daerah terpencil Lembah Baiyun. Tidak ada sambutan, tidak ada musik, hanya keheningan yang menyesakkan. Tapi dia tidak peduli.Langkah kakinya mantap, suara sandal kayunya bergema di lantai batu giok.“Istana masih dingin seperti dulu,” gumamnya lirih.Di balik pintu-pintu megah yang berukir naga dan burung phoenix, para kasim dan pelayan wanita menunduk dalam-dalam. Beberapa mengenali sosok itu. Dahulu, dia adalah bunga istana—calon selir yang disebut-sebut akan menjadi permai