Akara menyapu pandangannya, melihat kota Lithua yang telah hancur dan diselimuti energi kutukan. Ia kembali menyapu pandangannya, melihat lebih jauh menggunakan mata naganya. Setelah itu melesat ke atas.Cring! Jlarr!... Percikan api dan 2 robekan kehampaan melebar ke arah yang berlawanan, tepat Akara keluar dari kubah pelindung. Walaupun sempat mengeluarkan sepasang pedang kayu untuk menangkisnya, namun tetap membuat Akara terlempar kembali. Menciptakan kepanikan para warga dengan dentuman dan gelombang energi yang menyebar.Ia dihadang oleh Rani dan Violet. Keduanya telah menyalakan aura Naga Sejatinya, dengan cakar Naga yang sudah menyelimuti tangannya. Melihat sepasang pedang kayu hitam yang digunakan untuk menangkis serangannya, Rani langsung melotot tajam dan berteriak."Regeraa!..." Api merah berkobar dan menyelimuti tubuhnya, bahkan cakar naganya yang terbuat dari es juga terselimuti dan tidak meleleh. "Aku yang membunuh Friss, balaskan dendammu padaku! Bukan pada Al!" teriak
"Lisa?!" Akara seketika berdiri dan menutup aura ranahnya."Ohh?" Wanita bertubuh mungil muncul, ia mengamati tubuh pemuda di depannya dari ujung kaki hingga ujung kepala. "Pantes banyak gadis yang jatuh dalam pelukanmu," ucapnya seraya berjalan mendekat. Akara langsung mengeluarkan kain putih polos dan memakainya seperti handuk. "Ternyata guncangannya tidak seperti yang aku kira," gumam Akara saat melihat area sekitarnya yang tidak terlalu berdampak. "Pulau ini memang untuk menahan amukan energi." Serin berhenti di depannya, lalu berkata sambil mengamati bagian atas tubuh anaknya. "Kenapa tidak menggunakan energi ruangmu?""Maksudnya?" Wanita itu malah tersenyum. "Al ternyata memang tidak mengajarkan apa-apa kepadamu." Ia lalu melayang di udara hingga tinggi mereka sama, lalu menjuluran jari-jari lentiknya pada dada bidang Akara. Tiba-tiba keduanya menoleh ke arah yang sama. Di sana ada kilatan listrik me
Melihat kemunculan pemuda berjubah hitam muncul secara tiba-tiba, para pasukan bertopeng serigala segera menghentikan aksinya dan melompat menjauh. Hal itu juga membuat pelaku pemukulan panik, mengacungkan baloknya ke arah Akara.Pemuda itu segera jongkok dan muncul dua butir pil di atas telapak tangannya. "Sembuhkan lukamu."Bocah itu bangkit, terlihat darah keluar dari hidungnya dan luka memar yang membekas berbentuk persegi panjang di pipi. Bukannya menangis atau merasa sakit, ia malah tersenyum menyeringai dan menatap warga yang memukulnya."Terima kasih!" Ia langsung mengambilnya dan langsung melompat, merampas balok dan suara nyaring terdengar saat wajah pelaku dipukul olehnya. Darah langsung berceceran di jalan saat si pelaku berlutut kesakitan. Sedangkan Renggo, berlari pergi sambil melemparkan balok dengan bercak darah dan melempar kedua pil ke dalam mulutnya. Akara kini menoleh ke arah beberapa penjaga kota, mereka kebingungan dan ragu,
Sebuah perpustakaan besar, berbentuk kubah raksasa yang dipenuhi buku, dengan dinding dan lantai berupa kayu. Bukan susunan papan, namun kayu utuh karena lokasinya berada di dalam pohon raksasa. Seorang wanita berbadan seksi dengan rambut emas yang disanggul, melayang di udara, meraih salah satu buku di hamparan jutaan buku lainnya. Mengetahui kedatangan seseorang, ia menoleh perlahan-lahan ke bawah, lalu berteleport di depannya. "Dahh aku tinggal!" Alice segera berteleport pergi. Akara hanya diam saja menatap wajahnya, membuat Viona dengan santai berkata. "Kenapa? Tidak merindukan kekasihmu ini?" Akara langsung memeluknya dengan erat, lalu berbicara dengan suara bergetar. "Syukurlah!"Kebalikan dengan Alice, kini Viona yang mengusap punggungnya dengan lembut. Beberapa saat kemudian ia melepaskan pelukannya, menatap sayu wajah cantik yang tersenyum padanya. Tangannya bergerak ingin meraih wajah kekasihnya, namun malah ia urungkan, mem
Satu tombaknya langsung diayunkan untuk menangkis sarung tinju, sedangkan tombak lainnya diayunkan untuk menyerang. Sarung tangan air terbelah, namun masih meluncur ke arahnya, sedangkan serangan tombaknya telah digenggam batangnya. Merasa tubuhnya tertarik dan sarung air masih meluncur, ia langsung melepaskan tombaknya dan melompat. "Curang!" teriaknya, membuat si peninju terkekeh dan meniru gerakannya memegang tombak. "Kadal, derajatmu jauh di bawahku, mau kekuatanku dibatasi tetap saja kau di bawahku!" Mereka serentak berlari, melompat di udara sambil mengayunkan tombaknya. Cting!... Percikan api bertebaran saat keduanya saling menghantam dan terpental, namun segera mendekat kembali. Percikan api memenuhi sekitarnya saat mereka mengayunkan tombak dengan cepat dan terus menerus. Tanpa sadar, air merembes di bawah kaki penombak, membuat pijakannya licin dan terjatuh ke belakang. Di saat yang bersamaan, lawannya melompat sambil mengayunkan tombak dari atas. Namun, kristal ungu yan
"Segoro!" Akara memerintahkannya, membuatnya menghela napas dan menjawab. "Tidak perlu kau perintah!" Ia langsung melayang di udara, dengan bulir-bulir air yang muncul di sekitarnya. Sangat banyak dan tiba-tiba semua buliran air melesat sangat cepat, memotong tentakel tanah yang mengikat para warga dan mencacahnya. Tidak hanya di lokasi itu, namun hingga lokasi yang lebih jauh."Apa yang terjadi?!" Para warga kebingungan, hingga akhirnya bayangan berakhir. Akara dan yang lainnya telah pergi. Portal muncul di planet baru, tepatnya di atas ketinggian. Mereka melihat pantai, yang lebih mirip oasis raksasa karena tenaman baru tumbuh di sekitar genangan air layaknya laut. Dunia yang belum ada pemukiman, namun ternyata ada banyak manusia di sana yang terlantar. Seperti pengungsi yang terdampar, mereka letih dan terlihat kelaparan. Saat itulah bayangan cincin raksasa seperti di planet sebelumnya datang. "Puja Dewa Eldon!" Mereka bersorak sorai sambil bersujud menyembahnya. Tentakel tanah
Melihat orang-orang yang muncul dari celah kehampaan, Akara langsung menatap tajam ke arah Viona. Ia lalu berbicara dengan geram dan tegas."Kalian tau semua ini akan terjadi, tapi malah membiarkannya?!" Ia lalu meraih tangan dengan jemari lentik yang memeluk lengannya, lalu melepaskan pelukannya dengan perlahan, membuat gadis itu sedikit kebingungan."Adek, teleportasikan kakak dan mereka ke sisi yang berbeda-beda." Ia menunjuk ke arah Segoro dan Komo."Ah, baik kak!" Alice langsung menjentikkan jarinya dan ketiga pemuda itu berteleport pergi, menyisakan aliran listrik yang melebur di udara. Gadis itu lalu mendekati Viona, memeluk lengannya dan menyandarkan kepalanya, dengan ujung bibir yang turun dan mengerutkan keningnya merasa takut."Kak, kak Akara marah …." "Tidak apa-apa!" Gadis berambut emas yang disanggul itutersenyum, sambil mengusap pelan rambut Alice. "Kakakmu masih terguncang setelah kejadian yang merenggut Lina dan ayah Al, sampai lupa kalau teleportasinya sudah tidak
Ruangan yang gelap, namun dipenuhi oleh gemerlap aura jiwa di berbagai tempat. Mereka ranah jiwa tingkat menengah hingga puncak, 2 barisan bintang dan 3 barisan bintang. Begitu Akara muncul di sana, mereka langsung melesat ke arahnya."Tubuh segar!" Mereka berteriak dan berebut, berakhir masuk ke dalam tubuhnya secara bersamaan dan terus menerus karena saking banyaknya. Seakan tidak terganggu, Akara berdiri dengan tenang, disusul aura ranah Amerta yang menyala di belakang pundaknya. Jwesh!... Api hitam berkobar menyelimuti tubuhnya, disusul teriakan para jiwa yang terbakar, sedangkan jiwa lainnya langsung menjauh. Hanya beberapa detik saja teriakan bertahan, ia lalu menyapu pandangan, melihat para jiwa yang ketakutan. "Apa master Aura jiwa memang selemah ini?" gumam Akara, lalu duduk bersila."Makhluk rendahan! Semestamu akan hancur jika berbuat masalah dengan kami!" "Makhluk rendahan?" Akara terkekeh. "Kalian lebih rendah dari manusia! Kalian hanya gumpalan jiwa yang tidak bisa ap
Tempat yang abstrak, berlatar belakang cahaya berbagai warna dari awan panas Nebula di kegelapan angkasa, Dewa Penempa membungkukkan badannya di hadapan tiga gumpalan bercahaya. Dengan sopan dan waspada, ia menjelaskan tentang pemimpin Fraksi Cahaya Ilahi yang memojokkannya. "Jadi, apa maumu?" tanya salah satu leluhur. Sambil sedikit menunduk, Dewa Penempa menjawab dengan lembut. "Mohon maaf, Fraksi Cahaya Ilahi di mata warga sudah bisa dikatakan hancur, bahkan banyak masalah yang terus terjadi. Mungkin sudah seharusnya kepemimpinan Fraksi diganti.""Kondisikan klan Vasto, kami akan segera memanggilmu kembali!" ujar salah satu leluhur, dan Dewa Penempa segera melebur, digantikan dengan seorang pria bermahkota sayap emas. "Ronas memberi salam kepada leluhur!" Ia sedikit menunduk seperti yang dilakukan Dewa Penempa sebelumnya. "Ronas, tiga lentera jiwa tetua Fraksi telah padam, apa yang terjadi?!" Ronas menjawab dengan tenang.
"Regera, kau telah mengalahkanku!" Luce kembali terkekeh, tapi ia segera tersedak saat bilah pedang kayu mengganjal mulutnya. Sebutir pil melesat begitu saja memasuki tenggorokannya. "Tidak perlu kau sembuhkan lukaku!" seru Luce saat ganjalan di mulutnya terlepas. Namun, ia segera menyadari bahwa itu bukanlah pil penyembuhan. Segel belenggu langsung menyala di jantungnya. Melihat Luce tidak menunjukkan tanda-tanda melawan, sepasang pedang kayu segera melebur di udara. Ia lalu berteleport menuju para Dewa lainnya berada, disusul oleh kilatan cahaya emas yang membawa Luce. Ternyata kegaduhan terjadi. Pria bertanduk ranting menyandera Luwang, padahal tubuhnya telah babak belur penuh luka bakar. Cakar tajam telah melingkar di leher pemuda Sheva bertanduk emas, untung ditahan oleh bilah cakar di lengannya. Tangan lain juga menahan lengan Dilvo satunya. Dewa lain nampak ragu untuk bertindak, dan kedatangan Akara menjadi harapan untuk mereka. Namun,
Cukup lama awan panas Nebula memenuhi domain, hingga akhirnya, luapan energi berhenti, bahkan malah kembali ke titik ledakan. Para Dewa hanya bisa menyapu pandangan penuh kebingungan, dan dalam hitungan detik, mereka dapat melihat kegelapan lagi. Awan panas Nebula telah sepenuhnya terhisap. Seketika para Dewa tertegun melihat apa yang menghisap semua itu. Sebuah lubang hitam raksasa, yang terlihat cahaya di pinggirnya dan menggaris, membelahnya. Itu cahaya energi yang terhisap dari kesepuluh esensi surgawi. Daya hisap yang luar biasa yang dapat menelan cahaya, tidak heran jika kesepuluh esensi mulai bergerak. Mereka terhisap, membuat Akara segera melempar dua butir pil ke mulutnya dan menyalakan seluruh auranya. Aura Naga sejati, ranah Jiwa Suci dan aura Alkemis tingkat delapan. Ia langsung melakukan segel tangan. Energi pelindung segera terbentuk di sekitar Esensi surgawi, menjadi sepuluh pilar yang puncaknya mengurung Esensi surgawi. Kesepuluh pilar juga segera saling terhubung d
"Sialan kau Dilvo! Berani-beraninya kau mengusik jasad ayahku!" Luwang sangat geram saat melihat tubuh Dewa bertanduk emas setengah sabit, yang tidak lain adalah leluhur Raja Sheva. Di samping leluhur, Sheva bertanduk ranting langsung terkekeh. "Majulah kalian semua!" Dewa Farz segera mendekati Luwang dan dengan tatapan masih tertuju pada lawan mereka, ia lalu berkata. "Kau lawan Dilvo, biar aku yang menahan leluhur Raja Sheva. Tidak perlu memaksakan diri, tahan saja sampai tuan Regera menjalankan rencananya!" Farz lalu menoleh ke arah dua Dewa Fraksi lainnya. "Jika dua Dewa Sheva lainnya tidak bergerak, kalian tidak perlu ikut campur!" "Baik Dewa Farz!"Ketegangan terjadi pada kedua belah pihak, bahkan belum sempat melesat, dimensi di sekitar mereka melebar, seakan ditarik dari kedua sisi. Dalam sekejap, mereka melesat dengan kecepatan cahaya. Memasuki lubang cacing dalam kekosongan. Pertarungan tidak terlihat dari luar, ta
Dalam dimensi yang hampa dan hanya mendapatkan cahaya dari bintang neutron, titik berkumpulnya kesepuluh energi esensi surgawi. Pusaran energi berwarna emas telah menyala di belakang Akara dan di atasnya, ada lingkaran dengan ukuran lebih besar, memiliki pola rumit berwarna hitam. Aura ranah Jiwa Suci, ditambah aura Naga sejati yang menggelegar, memutar pelan hingga dimensi seakan tertarik energinya.Namun, itu tidak sebanding dengan apa yang ada di depannya. Ia bagaikan sebuah titik kecil dibandingkan sosok Naga raksasa yang tubuhnya berselimutkan cahaya. Keempat kaki berototnya melebar, dengan cakar tajam yang mencengkram dimensi. Sayapnya membentang tak terkira, dengan lekukan-lekukan yang tak kalah tajamnya. Lehernya meliuk, menurunkan kepalanya yang garang dengan deretan gigi dan tanduk tajam. Tepat di atas tulang hidungnya, Luce duduk jegang dan bersandar penuh keangkuhan. Melihat kesepuluh Esensi surgawi dan domain yang sangat luas, Dewa
Sebelum peperangan dengan Dewa klan Sheva, Dewa berpakaian emas mendatangi sebuah tempat yang dipenuhi reruntuhan melayang. Lempengan-lempengan batu beterbangan, tapi tak pernah sekalipun bertabrakan. Di wilayah yang terisolir dari reruntuhan melayang, ada sebuah portal. Bukan pusaran yang gelap, tapi pusaran putih keemasan penuh cahaya yang indah. Begitu memasukinya, ia langsung menyipitkan mata, tersorot oleh cahaya yang lebih terang. Saat mulai bisa beradaptasi, terlihatlah sebuah titik seperti matahari, tapi dengan luapan energi yang sangat dahsyat. "Inti Cahaya Primordial?!" gumamnya cukup terkejut, tapi segera menemukan keberadaan seseorang dalam kekosongan penuh cahaya itu. Pemuda tampan yang sedang bersila, dengan pakaian minim dari cahaya hingga tubuh atletisnya yang bersih terlihat. Namun, di antara keindahan itu, berserakan mayat yang tak terhitung jumlahnya. Aliran energi dari tubuh mereka keluar, menuju ke dalam tubuh Luce. Ia menghisap ene
"Maaf!" Ronas hanya bisa tertunduk merasa bersalah, lalu mulai menjelaskan keadaannya. Mendengar penjelasan panjang lebar, Serin segera menanggapi. "Keputusan di tangan anakku Regera!" "Anak?" Ronas malah merasa bingung dan Serin langsung menyadari bahwa pemimpin Fraksi telah termakan rumor. "Ronas, tidak mungkin kau mempercayai rumor 'kan?" "Itu... Lalu kenapa bisa memasuki peninggalan Dewa Penempa dan bagaimana dengan jiwanya?" Serin tersenyum penuh ketenangan sebelum berkata. "Tenang saja, pak tua itu bersama kami, hanya saja dia belum menyadari identitas asliku."...Deretan pilar-pilar besar yang berlapis emas, menjaga jalan konblok yang semakin naik seperti tangga raksasa. Di puncaknya, berdiri sepasang singgasana emas dengan latar birunya langit dan lautan awan di bawahnya. Dewa Penempa dan sang Maharani duduk di sana. Dewa Vasto bertubuh besar berotot dengan armor emas. Ada pula mahkota yang melayang di atasnya,
"Akara adalah anak kelima dari enam anak ayah, tapi maaf Mama Serin, sepertinya anak Akara akan menjadi cucu kalian yang pertama." Ia tersenyum penuh haru saat meraih potongan rambut tipis nan lembut dari dalam kotak. "Selamat untuk kalian, itu juga peringatan untukmu agar lebih berhati-hati kedepannya. Ada mereka yang menunggu kepulanganmu," nasihat wanita bertubuh mungil dari dalam dimensi, yang juga kebahagiaam turut terpancar di wajahnya....Saat pembicaraan Luwang dan Pemimpin Fraksi Cahaya Ilahi mulai tenang di dalam ruangan, muncul kilatan listrik yang mengantar pemuda berjubah hitam. "Tuan Regera!" Pemimpin Fraksi bangkit dari sofa, tapi kedua pria Sheva langsung melesat di depan Akara, melindunginya. "Siapa dia?" tanya Akara dan segera dihawab oleh Lumpang."Pemimpin Fraksi Cahaya Ilahi!"Pandangan Akara segera menelusuri tubuh kedua Dewa Fraksi, yang bukan bertubuh dari kelima ras Dewa, tapi layaknya manusia pad
Di dalam dimensi abstrak berwarna hitam bergaris putih-putih, Fraz, Dewa Fraksi dengan jubah putih berselimut perhiasan emas mendatangi pemimpin Fraksi Cahaya Ilahi. "Farz menghadap pemimpin!" Ia menelangkupkan tangan dan membungkuk ke arah lempengan emas yang melayang di atas sana. Walau tidak menunjukkan penampilannya, pemimpin Fraksi segera menjawab. "Farz, aku dengar kau berselisih dengan Raja Sheva, Dilvo.""Benar Yang Mulia! Mereka menyandera anak saya, Zurrark Fam. Mereka tertipu oleh taktik adu domba yang dilakukan Regera!""Kau sudah mendengar kabar tentang siapa sebenarnya Regera?"Dewa Farz nampak gugup dan mengangkat wajahnya, menatap lempengan emas yang berputar dan menjawab. "Saya belum bisa memastikannya, tapi informasi yang beredar sesuai dengan dugaan.""Lalu, kau ingin menyinggung dua kekuatan besar sekaligus?""Maaf Yang Mulia! Tapi setidaknya saya harus menyelamatkan anak saya!" Energi men