Part 79: Memaafkan itu IndahSatu Minggu setelah kejadian itu, semua terasa hampa. Seperti di belahan bumi yang lain. Rusly kini resah dan gelisah memikirkan mantan istrinya. Rasa penyesalan kini telah menghardik dirinya. 'Andai kutahu kalau sudah tiada, baru terasa kehilangan. Aku pasti tidak akan menyesal di usia senjaku.'Sekarang Rusly masak sendiri, nyuci baju sendiri, tidur sendiri dan bahkan mencari biaya hidup buat diri sendiri. Dia masih merenung bayang-bayang dan kenangan ketika rumah tangganya masih utuh. "Apakah ini yang dirasakan Nesya pada saat aku tidak pulang ke rumah dengan alasan lembur padahal berbagi kasih dengan Lela dan Ririn?" Pertanyaan itu kini menghantui pikirannya.Kopi hitam khas Sosopan kini menyeruak hidungnya. Dia tersadar akan aroma itu dari lamunannya. Tidak sabar ingin mengecap kopi buatannya. Biasanya, selalu dibuatkan oleh istrinya. Kini sudah telah sirna. Ponsel miliknya berdering membuat dirinya semakin fokus kepada siapa yang menelpon dirinya."Y
'Yes ... bisa kaya kembali aku kalau seperti ini.'****Aku baru saja sampai di plataran parkiran rumah sakit. Walau bagaimanapun aku tidak boleh memutuskan untuk terakhir kalinya. Aku bergegas melangkah mencari ruang administrasi dan ternyata tidak jauh dan tidak perlu buang-buang waktu. Namun, Rusly ada di sana dan mengulas senyum. Aku menaruh curiga dan penuh penasaran. "Kenapa kau malah senyum atas kepergian almarhumah ibumu?!" tanyaku penuh selidik. Rusly gelagapan dan terkejut atas kehadiranku. Dari sorot matanya dia laksana melihat Mak lampir di wajahku."Cepat jawab!" desakku dengan nada tinggi dari biasanya. Karena tidak ada respon, aku langsung ke bagian administrasi untuk mendapatkan informasi yang akurat."Maaf, Sus. Aku mau nanya," ucapku setelah sampai di bagian administrasi. Aku masih penasaran dengan rahasia yang disimpan Rusly. Di saat musibah datang, dia malah senyum bahagia.Ada yang bisa saya bantu," jawabnya ramah dengan mengulas senyum."Aku mau mengeluarkan je
[Bu Nesya, aku mau pesan kue kotak 100 box, bisa tidak?] sebuah pesan masuk di mesengger.Aku merasa senang bisa mendapat pesanan kue kotak untuk pertama kalinya. Aku melihat profil akun sosial media yang memesan samaku. Aku tidak mengenalnya sama sekali. Namun, aku modal percaya saja.[Mau kapan dan apa saja menunya dalam box?] Aku mencoba membalas pesan customer-ku dengan ramah.[Aku mau menu ala hotel.]Satu sisi aku sangat senang dikasih tantangan seperti ini. Namun, satu sisi aku harus lebih hati-hati takut terjadi order fiktif. Apalagi masih merintis harus memerlukan modal banyak.[Contohnya seperti apa, Bu?] Aku mencoba membalas pesan beliau dengan sopan dan lembut.[Avocado mouse, macarone dan risol segitiga.] Menu pesanannya mewah dan sangat susah buatnya. Secara alatku masih terbatas. 'Aduh ... bagaimana ya cara bilangnya alatku masih belum lengkap?' batinku seraya berpikir mencari jawaban yang tepat.[Bagaimana, Bu?!] desaknya menunggu kepastian dariku.[Untuk menu yang di
Semua bahan sudah selesai kubelanjakan. Aku juga baru saja sampai di rumah beberapa menit yang lalu. Kini aku mulai mencicil apa yang bisa dikerjakan agar tidak kepepet esok pagi.Mulai melipat kotak, aku melakukannya sendiri. Melipat kotak sambil memanggang kulit pie.Baru Lima puluh kotak terlipat, aku sudah mulai letih dan lelah. Namun, aku harus bertanggungjawab untuk menyelesaikan pesanan.Tiba-tiba, listrik padam. Aku mulai kalang kabut. Takut kalau listriknya lama padam.Sembari melipat kotak aku terus berdoa agar usaha yang aku rintis dari nol berkah dan bisa berkembang menjadi toko kue seperti di Mall.Ketika hendak mau melipat kotak ke enam puluh. Suara salam membuyarkan lamunanku. Aku heran jam segini siapa yang datang bertamu."Waalaikum salam," jawabku sembari berjalan menuju pintu utama. Ketika daun pintu yang terbuat dari papan kubuka lebar. Aku terkejut melihat pemandangan yang tersaji di depan pintu rumah."Maaf mau apa lagi kamu datang kemari?!" seruku seolah tidak i
Daripada naik sasakku meladeni Lala. Aku menutup daun pintu lalu masuk ke dalam rumah. Pekerjaanku masih banyak yang harus dikerjakan."Dasar manusia tidak ada etika. Tamu masih ada dan belum selesai bicara. Seenak jidat main menutup pintu," desis Lala menyeringai. Dia menggedor-godeor daun pintu dengan bringas. Aku tidak peduli sama sekali.Baru saja sampai di depan, listrik menyala. Aku merapalkan hamdalah.Pelan-pelan aku kerjakan mulai dari melipat kotak, menimbang bahan sampai memasak kulakukan dengan sendiri. Di dalam hati aku terus berdoa agar tidak tumbang dalam mengerjakan semua pesan ini.Matahari sudah lama pamit ke peraduannya. Baru selesai melipat kotak. Kini kulit pie sudah seratus biji selesai di panggang. Aku harus lebih giat dan lebih cepat bekerja agar tidak kewalahan untuk besok.Di sela-sela waktu membuat adonan kulit risol. Suara salam kembali memekakkan telinga di depan rumah. Mau tidak mau, aku bangkit dan segera membuka daun pintu."Assalamualaikum," ucap sese
Untung saja salah paham. Kalau tidak Arlan habis di massa sama warga tetangga. Namun, ada untungnya juga aku didatangi warga. Sehingga Arlan diusir dari rumah kontrakanku. Di sisi lain, tidak ada yang membantuku menyelesaikan pesan itu.Akh! Memang pilihan itu sangat rumit. Ketika Arlan ada di sini aku sangat muak melihat wajahnya. Ketika dia tidak ada, aku sangat membutuhkan bantuannya. Walaupun hanya bisa disuruh-suruh.' Aku periksa semua adonan dan membereskan semua. Setelah semua aman, aku mau rehat sejenak agar besok pagi fit kembali."Aku sangat mencintaimu, Nesya," ucap Rusly tepat di daun telingaku. Aku seperti sepasang pengantin yang baru saja halal dalam ikatan suci."Kenapa kamu bisa berkata seperti itu?" tanyaku cuek dan berpaling dari terkamannya. Aku kini sedang di atas dipan mau memanjakan mata setelah penat seharian bekerja demi membiayai hidupku."Aku sudah pernah gagal dalam membina rumah tangga. Aku juga sudah belajar dari kesalahan yang telah kuperbuat selama ini,
Alhamdulillah semua pesanan sudah selesai. Masih ada waktu satu jam lagi untuk mengantar ke alamat yang dituju. Namun, aku masih belum mandi. Belum juga kepikiran pakai apa bawa pesanan dua ratus kotak. Sembari berpikir, aku mandi terlebih dahulu. Tidak mau buang-buang waktu."Aku ke kamar mandi dulu. Biasa mau melapor," ucap Rusly membuatku semakin gerah. "Kenapa tidak dari tadi dia pergi ke kamar mandi? Tiba giliranku mau mandi, dia malah main potong saja. Lama tidak?!" gerutuku kesal. Aku menahan amarah karena dia sudah mau membantu packing. Walau bagaimana pun itu, dia sudah berjasa dalam pesanan pertamaku ini."Sebentar saja! Kalau mau buru-buru kita mandi sama," jawabnya sembarang sambil masuk ke dalam kamar mandi.Tidak tahu kenapa aku kangen masa-masa seperti ini. Ketika mengingat ulahnya yang jahat sampai aku menjadi janda dua kali. Aku malas dan bahkan muak melihat wajahnya yang penuh dengan nista. Huft! Aku menghela napas lalu membuangnya dengan kasar.Sambil menunggu Rusl
Setelah semua pesanan sampai di waktu yang hampir saja telat. Aku sangat bahagia dan merasa senang bisa menyelesaikan semua pesanan dengan waktu yang tepat. Walaupun rasa lelah dan capek menyapa diri ini lembut. Semua hilang sejenak ketika pesanan sudah diterima saya custumer-ku."Eh, Nesya," sapa seseorang dengan lembut dan mesranya. Aku menyapu ke asal suara itu. Mencoba mengulas senyum lalu mengingat siapa wanita ini. Karena aku pribadi tidak banyak teman baik di dunia nyata, maupun di dunia maya."Ya, saya sendiri," balasku mencoba santai. Walaupun di dalam benak masih berpikir keras siapa sebenarnya wanita yang menyapa diriku lembut bak sutera halus."Mohon maaf, ada yang bilang kalau masakanmu tidak enak. Sudah mahal, tidak enak, terus kamu sudah magister lagi. Rasanya percuma kamu menghabiskan waktu, tenaga dan biaya untuk meraih gelar magister-mu kalau makanan yang kamu produksi tidak enak," serunya sambil memperagakan nada bicara seseorang yang dia maksud menghinaku secara ter