Setelah semua pesanan sampai di waktu yang hampir saja telat. Aku sangat bahagia dan merasa senang bisa menyelesaikan semua pesanan dengan waktu yang tepat. Walaupun rasa lelah dan capek menyapa diri ini lembut. Semua hilang sejenak ketika pesanan sudah diterima saya custumer-ku."Eh, Nesya," sapa seseorang dengan lembut dan mesranya. Aku menyapu ke asal suara itu. Mencoba mengulas senyum lalu mengingat siapa wanita ini. Karena aku pribadi tidak banyak teman baik di dunia nyata, maupun di dunia maya."Ya, saya sendiri," balasku mencoba santai. Walaupun di dalam benak masih berpikir keras siapa sebenarnya wanita yang menyapa diriku lembut bak sutera halus."Mohon maaf, ada yang bilang kalau masakanmu tidak enak. Sudah mahal, tidak enak, terus kamu sudah magister lagi. Rasanya percuma kamu menghabiskan waktu, tenaga dan biaya untuk meraih gelar magister-mu kalau makanan yang kamu produksi tidak enak," serunya sambil memperagakan nada bicara seseorang yang dia maksud menghinaku secara ter
Pesanan demi pesanan masuk. Aku tidak menyangka kalau usaha yang aku rintis dengan modal bismillah dan mulai dari 0 mulai berkembang. Sejauh ini halangan dan rintangan sudah menghunus ke jantung. Namun, aku tetap sabar dan terus mengimprovisasi makanan yang kusajikan. Aku tidak menghiraukan itu semua. Kuanggap saja itu iklan promo gratis.Hari ini aku sedang berselancar di dunia Maya. Sesekali scroll makanan yang lagi viral agar mengikuti apa yang lagi trend.Cocok juga dessert yang satu ini untuk dinaikkan iklan?' ucapku bermonolog. Aku meng-srcreen shoot resepnya. Lalu beranjak melangka untuk menguji cobanya ke dapur. Sesampainya di sana, aku menggeleng karena salah satu bahannya tidak ada stoknya. Aku menghela napas panjang lalu membuangnya dengan kasar.Akhirnya, aku memutuskan belanja dulu baru mengeksekusi resep yang ingin diuji coba. Tidak berapa lama, aku sampai di depan pagar kontrakan. Sebuah pemandangan yang sangat membuat aku tidak bisa mengedipkan mata walau hanya sekejap
Aku terkejut melihat seorang wanita yang sedang berhadapan dengan warga yang menerorku."Lala!" pekikku sembari menutup mulut dengan telapak tanganku. Mentari yang panas sudah tidak terasa lagi bagiku. Aku menahan larva emosi agar tidak keluar. Lamat-lamat kuperhatikan dari jauh. Tidak lama kemudian, Lala memberikan selembar uang kertas berwarna merah."Ini sebagai upah kalian!" ucap Lala sembari memberikan gaji mereka semua. Namun, ada pria yang tidak suka dengan apa yang dia terima."Bukannya janjinya dua ratus ribu?!" amuknya sembari melempar uang itu tepat ke wajahnya, Lala. Wajah yang anggun dan ayu itu kini berubah merah akibat diperlakukan seperti itu."Siapa yang berjanji dua ratus ribu?!" bentaknya tidak terima. "Untung saja aku masih berbaik hati dan mau membayar jasa kalian." Alisnya naik turun seolah tidak terima dikritik. "Toh apa yang aku inginkan tidak tercapai!" amuknya dengan napas sudah tidak teratur. Darahnya terus mendidih ingin meluapkan emosi seketika. Namun, di
"Bang!" teriakku dengan menaikkan nada suara sembari melambaikan tangan ke arah kurir paket. Tiba-tiba, pria itu langsung pergi begitu saja. Aku sudah menangkap siapa lelaki itu sebenarnya. Namun, masalahnya lupa untuk memfoto atau merekam mereka. "Akh! Sial! Kenapa tidak –," ucapku terjeda karena sang kurir sudah tiba di depan mata kepalaku."Maaf, Bu. Boleh pesanan paketnya diselesaikan terlebih dahulu?" tanya sang kurir dengan santainya. Aku masih berpikir keras, apa maksud dan tujuan semua ini? Siapa dalang dari pengirim paket ini? Aku termangu sambil mencari tahu. Otakku tidak berhenti berselancar untuk mencari tahunya."Maaf, ibu," ujarnya kembali dengan melambaikan tangan tepat di depan wajahku.Aku mengerjap lalu pura-pura menggaruk kepala. Padahal kepalaku sama sekali tidak gatal."Silakan dibayar tagihan sesuai dengan COD!" perintahnya mulai tidak sabar.'Apa yang harus aku bayar? Pesanan ini aku tidak tahu isinya apa? Dan kenapa bisa atas namaku dan begitu juga kenapa paka
Perempuan mana yang mau menyandang gelar janda. Aku juga kalau mau memilih tidak mau menjadi janda. Apalagi usiaku masih muda dan cantik. Namun, kalau tetap bertahan. Selalu makan hati dan tidak ada setitik kebahagiaan lahir di dalam jiwa. Apakah aku harus mengorbankan kebahagiaanku demi bertahan agar tidak menyabet gelar janda? Tidak! Aku tidak akan bodoh dalam hal itu."Eh, kok kamu malah naik pula sasakmu?!" ledek Rusly. Dia malah bercanda ngatain aku dengan sebutan itu. Belum lagi sejuta gunung hinaan yang akan aku telan di luar sana. "Maka dari itu, ayo segera menikah denganku," imbuhnya dengan sedikit menggombal."Kamu seorang lelaki dan tidak menggunakan perasaan. Hanya nafsu belaka yang kamu gunakan." Aku bergeming menyapu pandangan ke arah bunga yang baru saja kutanam disela-sela orderan tidak ada. Jika kamu ingin hidup bersamaku, silakan kamu bertaubat dan segera memperbaiki diri!" nasihatku menimpali."Nggak usah sok ok menasihatiku!" sangkalnya tidak terima. "Apakah kamu s
Aku terkejut mendengar suara itu. Kali ini semua pria yang ada di belakang laki-laki yang bersuara itu. Dia mulai melangkah menghampiriku dan Rusly."Kalian bukan suami istri, tapi malah berani melakukan hal senonoh di muka bumi!" sindirnya tajam dengan sorot mata menyeringai. "Perbuatan kalian bisa membawa mala petaka kepada warga di sini!" ucapnya menimpali.Aku juga terlalu bodoh dan selalu meladeni Rusly yang selalu berusaha keras meluluhkan hatiku. Aku tidak tahu kenapa jurus andalannya dikeluarkan aku seolah terhipnotis."Kalian harus dinikahkan dan tidak boleh menghindar!" ucap pria separuh baya dengan mata menelisik tajam."Aku tidak ada berzina di sini!" sanggahku membela diri. Aku tidak habis pikir kalau bisikan Rusly membuat salah paham.Kusapu pandangan ke arah wajah Rusly. Sebuah ekspresi senang tercipta rapi. Aku malah ketar-ketir agar pernikahan paksa ini tidak terjadi. Napasku mulai tidak beraturan dan sesekali aku membuangnya dengan kasar."Mana ada manusia mengakui d
Pertikaian, ujian dan segala macam cobaan selalu datang silih berganti. Tidak pernah habis. Sehingga aku sempat down dan bahkan putus asa menghadapi semuanya."Semua total empat ratus dua puluh enam ribu lima ratus, Bu," jawab penjaga tokoh bahan kue tempat aku belanja. Tidak membuang waktu aku langsung merogoh dompet untuk segera membayar jumlah tagihan belanja. Kuserahkan uang kertas berwarna merah tujuh lembar. Pikiranku masih saja nanar tidak karuan. Tidak tahu apa yang aku resahkan dalam hidup ini. 'Apakah ini yang dinamakan mati rasa atau mati iman?' tanyaku bermonolog."Uangnya lebih, Bu," ucap penjaga tokoh setelah menghitung uang yang baru saja kukasih. "Ambil saja!" tolakku dengan santai.Penjaga tokoh itu merasa aneh akan hal yang aku lakukan. Masa lebih seratus ribu mau dikasih cuma-cuma," sahutnya dengan mengulas senyum. "Ada-ada saja ibu ini," sambungnya dengan mengembalikan uang lebihnya.Aku menerima uang itu kembali lalu menghitung. Ternyata benar apa kata penjaga to
[Jangan pernah mencoba menerima lamaran Rusly!] Suara Lala meruntuhkan semangatku buat mengadon kue untuk pesanan hari ini. Aku juga tidak tahu dia dapat dari mana nomor teleponku. Kalau promo pun di akun sosial media, tidak pernah mencantumkan nomor telepon.[Siapa juga yang mau menerima lamarannya,] jawabku judes. Aku sudah panik produksi cake, ditambah lagi meladeni wanita yang tidak pernah senang melihatku damai dan bahagia.[Nggak usah sok berkata manis.] Lala melangkah menuju kursi. Dia sudah lelah berdiri dari tadi mondar-mandir saat bertelepon. [Rusly sendiri bercerita kepadaku kalau kamu itu sebentar lagi mau menerima lamarannya.] [Aku tidak punya banyak waktu buat meladeni perempuan murahan seperti kamu! Wanita bodoh yang mau merebut pria yang tidak perlu diperebutkan. Apakah kamu tidak terlalu merasa bodoh dan tidak punya harga diri seperti itu?!] Aku sengaja berkata seperti itu untuk menyindir Lala. Terserah mau perasaan atau tidak. Sing penting aku sudah melawannya. [Ja