Alhamdulillah semua pesanan sudah selesai. Masih ada waktu satu jam lagi untuk mengantar ke alamat yang dituju. Namun, aku masih belum mandi. Belum juga kepikiran pakai apa bawa pesanan dua ratus kotak. Sembari berpikir, aku mandi terlebih dahulu. Tidak mau buang-buang waktu."Aku ke kamar mandi dulu. Biasa mau melapor," ucap Rusly membuatku semakin gerah. "Kenapa tidak dari tadi dia pergi ke kamar mandi? Tiba giliranku mau mandi, dia malah main potong saja. Lama tidak?!" gerutuku kesal. Aku menahan amarah karena dia sudah mau membantu packing. Walau bagaimana pun itu, dia sudah berjasa dalam pesanan pertamaku ini."Sebentar saja! Kalau mau buru-buru kita mandi sama," jawabnya sembarang sambil masuk ke dalam kamar mandi.Tidak tahu kenapa aku kangen masa-masa seperti ini. Ketika mengingat ulahnya yang jahat sampai aku menjadi janda dua kali. Aku malas dan bahkan muak melihat wajahnya yang penuh dengan nista. Huft! Aku menghela napas lalu membuangnya dengan kasar.Sambil menunggu Rusl
Setelah semua pesanan sampai di waktu yang hampir saja telat. Aku sangat bahagia dan merasa senang bisa menyelesaikan semua pesanan dengan waktu yang tepat. Walaupun rasa lelah dan capek menyapa diri ini lembut. Semua hilang sejenak ketika pesanan sudah diterima saya custumer-ku."Eh, Nesya," sapa seseorang dengan lembut dan mesranya. Aku menyapu ke asal suara itu. Mencoba mengulas senyum lalu mengingat siapa wanita ini. Karena aku pribadi tidak banyak teman baik di dunia nyata, maupun di dunia maya."Ya, saya sendiri," balasku mencoba santai. Walaupun di dalam benak masih berpikir keras siapa sebenarnya wanita yang menyapa diriku lembut bak sutera halus."Mohon maaf, ada yang bilang kalau masakanmu tidak enak. Sudah mahal, tidak enak, terus kamu sudah magister lagi. Rasanya percuma kamu menghabiskan waktu, tenaga dan biaya untuk meraih gelar magister-mu kalau makanan yang kamu produksi tidak enak," serunya sambil memperagakan nada bicara seseorang yang dia maksud menghinaku secara ter
Pesanan demi pesanan masuk. Aku tidak menyangka kalau usaha yang aku rintis dengan modal bismillah dan mulai dari 0 mulai berkembang. Sejauh ini halangan dan rintangan sudah menghunus ke jantung. Namun, aku tetap sabar dan terus mengimprovisasi makanan yang kusajikan. Aku tidak menghiraukan itu semua. Kuanggap saja itu iklan promo gratis.Hari ini aku sedang berselancar di dunia Maya. Sesekali scroll makanan yang lagi viral agar mengikuti apa yang lagi trend.Cocok juga dessert yang satu ini untuk dinaikkan iklan?' ucapku bermonolog. Aku meng-srcreen shoot resepnya. Lalu beranjak melangka untuk menguji cobanya ke dapur. Sesampainya di sana, aku menggeleng karena salah satu bahannya tidak ada stoknya. Aku menghela napas panjang lalu membuangnya dengan kasar.Akhirnya, aku memutuskan belanja dulu baru mengeksekusi resep yang ingin diuji coba. Tidak berapa lama, aku sampai di depan pagar kontrakan. Sebuah pemandangan yang sangat membuat aku tidak bisa mengedipkan mata walau hanya sekejap
Aku terkejut melihat seorang wanita yang sedang berhadapan dengan warga yang menerorku."Lala!" pekikku sembari menutup mulut dengan telapak tanganku. Mentari yang panas sudah tidak terasa lagi bagiku. Aku menahan larva emosi agar tidak keluar. Lamat-lamat kuperhatikan dari jauh. Tidak lama kemudian, Lala memberikan selembar uang kertas berwarna merah."Ini sebagai upah kalian!" ucap Lala sembari memberikan gaji mereka semua. Namun, ada pria yang tidak suka dengan apa yang dia terima."Bukannya janjinya dua ratus ribu?!" amuknya sembari melempar uang itu tepat ke wajahnya, Lala. Wajah yang anggun dan ayu itu kini berubah merah akibat diperlakukan seperti itu."Siapa yang berjanji dua ratus ribu?!" bentaknya tidak terima. "Untung saja aku masih berbaik hati dan mau membayar jasa kalian." Alisnya naik turun seolah tidak terima dikritik. "Toh apa yang aku inginkan tidak tercapai!" amuknya dengan napas sudah tidak teratur. Darahnya terus mendidih ingin meluapkan emosi seketika. Namun, di
"Bang!" teriakku dengan menaikkan nada suara sembari melambaikan tangan ke arah kurir paket. Tiba-tiba, pria itu langsung pergi begitu saja. Aku sudah menangkap siapa lelaki itu sebenarnya. Namun, masalahnya lupa untuk memfoto atau merekam mereka. "Akh! Sial! Kenapa tidak –," ucapku terjeda karena sang kurir sudah tiba di depan mata kepalaku."Maaf, Bu. Boleh pesanan paketnya diselesaikan terlebih dahulu?" tanya sang kurir dengan santainya. Aku masih berpikir keras, apa maksud dan tujuan semua ini? Siapa dalang dari pengirim paket ini? Aku termangu sambil mencari tahu. Otakku tidak berhenti berselancar untuk mencari tahunya."Maaf, ibu," ujarnya kembali dengan melambaikan tangan tepat di depan wajahku.Aku mengerjap lalu pura-pura menggaruk kepala. Padahal kepalaku sama sekali tidak gatal."Silakan dibayar tagihan sesuai dengan COD!" perintahnya mulai tidak sabar.'Apa yang harus aku bayar? Pesanan ini aku tidak tahu isinya apa? Dan kenapa bisa atas namaku dan begitu juga kenapa paka
Perempuan mana yang mau menyandang gelar janda. Aku juga kalau mau memilih tidak mau menjadi janda. Apalagi usiaku masih muda dan cantik. Namun, kalau tetap bertahan. Selalu makan hati dan tidak ada setitik kebahagiaan lahir di dalam jiwa. Apakah aku harus mengorbankan kebahagiaanku demi bertahan agar tidak menyabet gelar janda? Tidak! Aku tidak akan bodoh dalam hal itu."Eh, kok kamu malah naik pula sasakmu?!" ledek Rusly. Dia malah bercanda ngatain aku dengan sebutan itu. Belum lagi sejuta gunung hinaan yang akan aku telan di luar sana. "Maka dari itu, ayo segera menikah denganku," imbuhnya dengan sedikit menggombal."Kamu seorang lelaki dan tidak menggunakan perasaan. Hanya nafsu belaka yang kamu gunakan." Aku bergeming menyapu pandangan ke arah bunga yang baru saja kutanam disela-sela orderan tidak ada. Jika kamu ingin hidup bersamaku, silakan kamu bertaubat dan segera memperbaiki diri!" nasihatku menimpali."Nggak usah sok ok menasihatiku!" sangkalnya tidak terima. "Apakah kamu s
Aku terkejut mendengar suara itu. Kali ini semua pria yang ada di belakang laki-laki yang bersuara itu. Dia mulai melangkah menghampiriku dan Rusly."Kalian bukan suami istri, tapi malah berani melakukan hal senonoh di muka bumi!" sindirnya tajam dengan sorot mata menyeringai. "Perbuatan kalian bisa membawa mala petaka kepada warga di sini!" ucapnya menimpali.Aku juga terlalu bodoh dan selalu meladeni Rusly yang selalu berusaha keras meluluhkan hatiku. Aku tidak tahu kenapa jurus andalannya dikeluarkan aku seolah terhipnotis."Kalian harus dinikahkan dan tidak boleh menghindar!" ucap pria separuh baya dengan mata menelisik tajam."Aku tidak ada berzina di sini!" sanggahku membela diri. Aku tidak habis pikir kalau bisikan Rusly membuat salah paham.Kusapu pandangan ke arah wajah Rusly. Sebuah ekspresi senang tercipta rapi. Aku malah ketar-ketir agar pernikahan paksa ini tidak terjadi. Napasku mulai tidak beraturan dan sesekali aku membuangnya dengan kasar."Mana ada manusia mengakui d
Pertikaian, ujian dan segala macam cobaan selalu datang silih berganti. Tidak pernah habis. Sehingga aku sempat down dan bahkan putus asa menghadapi semuanya."Semua total empat ratus dua puluh enam ribu lima ratus, Bu," jawab penjaga tokoh bahan kue tempat aku belanja. Tidak membuang waktu aku langsung merogoh dompet untuk segera membayar jumlah tagihan belanja. Kuserahkan uang kertas berwarna merah tujuh lembar. Pikiranku masih saja nanar tidak karuan. Tidak tahu apa yang aku resahkan dalam hidup ini. 'Apakah ini yang dinamakan mati rasa atau mati iman?' tanyaku bermonolog."Uangnya lebih, Bu," ucap penjaga tokoh setelah menghitung uang yang baru saja kukasih. "Ambil saja!" tolakku dengan santai.Penjaga tokoh itu merasa aneh akan hal yang aku lakukan. Masa lebih seratus ribu mau dikasih cuma-cuma," sahutnya dengan mengulas senyum. "Ada-ada saja ibu ini," sambungnya dengan mengembalikan uang lebihnya.Aku menerima uang itu kembali lalu menghitung. Ternyata benar apa kata penjaga to
"Apa?!" tanya Rusly tidak sabaran. "Jangan sesekali memberikan harapan palsu kepadaku," imbuhnya dengan menahan emosi."Siapa juga yang memberikan harapan palsu?" ucapku dengan sedikit menaikkan nada. Aku pergi melangkah. Walaupun sebenarnya aku sok jual mahal. Itu semua aku lakukan agar dia merasa sadar dan terpukul."Kamu mau ke mana?!" tanyanya mendongak. Fokusnya gagal mengirim doa. Dia bangkit lalu berlari mengejarku."Itu bukan urusanmu!" jawabku membentak. "Lepaskan tanganku!" jelasku kembali.Aku pergi begitu saja. Cuaca hari ini sangat panas sehingga aku takut hitam terbakar oleh sinar sang mentari."Lebih baik aku mati bunuh diri daripada lama-lama mati tersiksa untuk mendapatkan cinta dan kasihmu yang ke dua kali.""Silakan kalau kamu tidak punya iman dan Tuhan!" jawabku datar. Walaupun aku sudah jauh dari tempat dia berpijak.Argh!Rusly mengacak-acak rambutnya kembali. Lelah?! jelas dirinya pasti lelah. Kecewa?! Jelas sekali. Sudah berulang kali dia menelan kekecewaan. Na
Wajahnya Rusly berubah masam mendengar perkataanku. Aku tersenyum bahagia setelah dia berubah pias."Sungguh terlalu kamu, Nesya!" rutuknya tidak terima. Aku ini mantan suamimu dan akan menjadi suamimu lagi sebentar lagi," imbuhnya menjelaskan. Dia mengepalkan tangan hendak menamparku. Namun, tangannya hanya mengambang di udara."Kenapa tidak jadi memukulku!" bentakku dengan menatapnya menyalang. "Ayo pukul sebelum Pencipta Alam Semesta mengutuk kamu benar-benar seonggok bangkai," imbuhku kembali."Kalau bukan kamu itu perempuan yang hendak akan kuperjuangkan, tangan ini pasti sudah landing di wajahmu itu," jawab Rusly dengan nada kesal. Dia berkacak pinggang lalu membuang napas kasar. "Aku tidak habis pikir kamu bisa berkata seperti itu," jelasnya dengan memijit kening yang tidak gatal."Maaf aku harus pergi dari sini." Aku melangkah meninggalkan dia sendiri di plataran parkiran.Silakan!" balasnya dengan kesal. Sangking kesalnya, dia memukul udara begitu saja. Argh! Dia berpikir s
"Tolong bebaskan aku dari sini, Nesya!" rengek Lala ketika aku sedang membesuknya di kantor polisi. Aku merasa kasihan setelah melihat keadaannya. Padahal baru tiga hari dia dikurung penampilannya sudah tidak terurus laksana orang gila."Hukum tetap berlaku. Aku tidak akan mengeluarkanmu dari sini sebelum jatuh tempo." Aku harus berkata sejujurnya. Tidak ada manusia yang rela anaknya mati tanpa salah. Apalagi kepergian Dhea masih membekas di dalam ingatan. "Belum lagi bahtera rumah tangga yang selama ini aku idamkan hancur karena kedatanganku ke dalam istana surgaku," jelasku dengan nada datar. "Aku berkata jujur atas semua perbuatanku," serunya dengan mengeluarkan cairan bening dari sudut retinanya. "Aku tidak mau berakhir usiaku di sini, Nesya," imbuhnya menjelaskan dengan raut wajah menyesal. Suasana di ruang besuk hening. Hanya dentuman jarum jam dinding yang terdengar."Aku mohon, Nesya!" pintanya mengiba. Aku tidak merasa kasihan apa yang yang terjadi kepada dirinya. Selama in
Suasana mulai reda. Dia melihatku dengan sorot mata tajam. Namun, aku mencoba santai dan terus memperhatikan setiap gerak yang dia lakukan. Aku tidak boleh lengah apalagi jatuh ke dalam perangkapnya."Jangan kamu merasa menang dalam pergulatan ini!" ucapnya menyindir. Ekor retinanya terus memantau."Mau kalah, mau menang itu urusan Allah." Aku menjawab begitu saja. Kulirik ke arah sekitar tidak ada sama sekali yang mau melerai. Padahal sudah adu mulut dengan nada tinggi. Bahkan hampir saja jambak-jambakan. "Apa aku harus menguburmu hidup-hidup biar kamu tidak bisa lagi menggangguku?" imbuhku menyindirnya."Apa aku tidak salah dengar?!" jawabnya sinis. Dia merasa menang. Idenya kini muncul. "Buktinya saja, aku mampu mengirim Dhea ke alam kubur dalam durasi satu bulan."Deg!Hatiku merasa tersayat bahkan teriris."Apakah kamu tidak curiga atas kepergian buah hatimu dengan Rusly?"Aku berpikir sejenak. Dan ingin menjebaknya kembali."Aa-apa?" tanyaku terbata pura-pura. Aku merogoh ponsel
Hari terus berlalu. Aku merenungi nasib malang yang tidak pernah aku bayangkan. 'Apakah aku harus menerima Rusly kembali? Atau menjanda selamanya?'Tidak tahu harus berbuat apa. Aku semakin bingung dan frustasi. Aku memejamkan mata sejenak untuk sekedar menghilangkan rasa resah dan gelisah."Mau sampai kapan kamu menjanda, Nesya?" tanya Rusly setengah membentak. Pertanyaannya sangat tidak enak didengar telingaku. Aku hanya bisa diam dan membisu dikala pertanyaan saat itu terlontar dari tepi bibirnya.Sakit, perih dan bahkan ngilu begitu kentara ketika aku mengingat semua sifat buruk mantan suamiku.Daripada aku takut putus asa membuat otak tidak bisa mencerna mana yang baik dan mana yang buruk. Aku beranjak dari atas dipan lalu menaut wajah di depan cermin lemari hias."Aku butuh healing sepertinya," ucapku setelah melihat rias wajahku sudah pas dan netral. Aku mengambil nakas di atas nakas yang sedang di cas. Kucopot chatger-nya lalu memesan transportasi online dengan semangat. Ti
"Seharusnya kamu tidak berbuat seperti itu, Rusly!" sindirku dengan nada naik dua oktaf."Rasa empati dan simpatiku sudah hilang semenjak kamu bermesraan dengan pria lain dan disaksikan oleh kedua bola mataku!" kilahnya seolah mau menang sendiri. Aku saja muak mendengar ucapannya. Seolah-olah dirinya lah yang paling suci di atas muka bumi ini."Kalau kamu hilang rasa empati ataupun simpati. Kenapa masih berdiri di situ!" ejekku dengan melipat ke dua tangan lalu diletak sejajar dengan dada. "Bilang saja kamu masih kangen dan ingin berusaha agar kembali ke dalam pelukanmu," imbuhku menyindir.Kepalanya mulai nyut-nyutan dan tidak bisa diajak kompromi untuk mencari jawaban. 'Sial! Bisa saja dia mengetahui apa yang sedang aku alami,' ucapnya bermonolog."Kalau kamu memang tidak suka dan merasa jijik melihatku. Aku rasa kamu tidak akan kembali menemui ku laksana seperti sekarang ini," kilahku sembari mengejek dirinya.Aku memastikan kalau dirinya pasti sudah mati kutu. Buktinya saja, dia
Setelah Pak Bambang merogoh dompet guna untuk mencari tahu identitas korban, aku masih terus terisak dan tidak sabar menunggu hasil yang sesungguhnya. Tidak butuh waktu lama, Pak Bambang sudah mendapat dompet. Dia berdiri tegak lalu membuka dompet yang baru saja dia temukan di dalam kantong celana. "Apakah nama suami ibu bernama Anton?" tanyanya dengan sedikit menatap ke arahku.Aku tidak terlalu menyimak apa yang ditanyakan beliau. "Bo-boleh diulangi lagi?" tanyaku ragu dengan wajah mendongak. "Apakah nama suami ibu Anton?" tanyanya ke dua kalinya dengan nada sedikit kesal.Setelah kupertajam pedengaranku, aku sudah mendapat jawaban pasti. "Be-berarti ii-ini bukan suami saya," jawabku terbata. Aku baru sadar sudah menangisi jasad pria lain. Bisa saja itu suami wanita lain yang sedang menunggu kehadirannya di tengah istana syurga yang dibangun bersama wanita yang tidak lain ibu dari buah hatinya."Kalau nama suami ibu bukan Anton, berarti jasad yang sudah engkau tangis bukan suami at
Dua hari setelah kejadian itu, aku selalu teringat kepada Rusly. Resah dan gelisah kini menghantui diriku. Habis main sosial media sambil rebahan aku bangkit lalu melangkah ke arah dapur. Lapar, tetapi tidak selera makan. Kembali lagi aku ayunkan telapak kaki ke arah teras sampai aku merasa bosan dan jenuh.Ponselku yang berdering tidak aku hiraukan sangking tidak enaknya perasaan dan badanku. 'Apakah Rusly sudah memeletku?' batinku sembari menautkan wajah di cermin. Aku memperhatikan pelan-pelan mukaku di kaca. Padahal kaca itu bukan cermin melainkan kaca jendela. 'Semoga saja tidak ada sangkut pautnya dengan Rusly.' Aku mencoba mengambil handuk yang di jemur di halaman belakang. Resah dan gelisah semakin tidak karuan membuatku ingin segera mandi.Setelah kuraih handuk. Kuayunkan langkah kaki menuju kamar. Di atas dipan layar ponselku sudah kedap-kedip dan nada dering sudah terdengar jelas. Segera aku meraih kotak persegi itu lalu lamat-lamat kuamati. 'Nomor baru memanggil,' ucapku
"Maaf kalau aku sudah lancang menggendongmu dan membawa dirimu ke rumah kontrakanku," Aku terbangun dan ternyata aku hanya mimpi. Andai saja semua itu benar, aku sudah tidak tahu harus berbuat apa. Kusapu pandangan ke arah sekitar. Senyum simpul lahir di sudut bibirnya, Rusly."Apa yang terjadi kepadaku?! Kenapa aku ada di sini?!" amukku seolah tidak terima kalau pria yang tidak mahram itu menyentuhku."Tadi kamu pingsan di pusaranya, Dhea. Untung saja kunci mobilku ketinggalan di sana tepat di batu nisannya, Dhea." Rusly mencoba menjelaskan dengan berkata jujur. Walaupun sebenarnya dia ragu dengan kejujurannya tidak kuterima."Pasti itu semua akal busukmu 'kan?!" sergahku tidak terima."Aa-aku berkata jujur! Aku tidak ada maksud jahat walaupun terlintas di dalam otakku ide jahat untuk menjebakmu," selanya dengan spontan. Dia terkejut kenapa bisa berkata seperti itu."Maksud ide jahat itu apa?!" tanyaku mengintrogasi. Aku mulai duduk dan menyandrkan tubuh ke tepi ranjang.Rusly mulai