Aku tidak tahu siapa pemilik nomor ini. Tidak ada sama sekali nomor ini tersimpan di ponselku.[Kamu ada di mana? Aku sekarang lagi di Indonesia, tepatnya di sebuah cafe. Kalau nggak salah dekat dengan alamatmu, loh!]Aku mencoba mengingat siapa pemilik suara ini. Sudah satu menit aku mencoba menerka, tidak juga ada hasil.'Suaranya nggak asing, tapi siapa ya?' tanyaku dalam hati. Inisial namanya sudah ada di ujung bibirku, tapi tidak bisa aku katakan siapa namanya. Aku mengumpat kesal kenapa bisa lupa dengan suara khas ini.[Halo ... Halo ...! Apakah masih ada orang?]Suara bariton itu masih menghantui pikiranku untuk terus menerkanya."Ya ..., Maaf kalau aku ....]Aku me-landing-kan bibirku ke kursi. Otakku sangat lelah menerka dan mencari tahu siapa lawan bicaraku.[Kamu kenapa bisa seperti orang linglung? Bukannya kamu dulu pernah kagum kepadaku?]Aku semakin bingung. Tidak tahu kenapa bisa seperti ini.[Ka-kamu itu siapa sebenarnya, sih? Terus, kamu mau apa?!][Aku mau melamarmu.
Kuputuskan untuk kembali duduk. Aku tidak mau terlalu ambisi untuk menjawab semua penasaranku. Kuputuskan sambungan telepon sepihak. Pada saat aku mau duduk, punggungku ditampar pelan."Astagfirullah! Siapa kamu?" ucapku kaget.Aku langsung menoleh ke arah belakang. Aku heran melihat seseorang yang masih saja terus menatapku. Aku kewalahan mengenalnya. Dia pakai kaca mata hitam dan masker."Siapa kamu? Kenapa kamu menyentuhku?"Aku memasang wajah sangar, kupasang kuda-kuda agar aku bisa menjaga diri."Hei ... Kamu lupa samaku? Dulu kamu pernah menjadi pengagum rahasiaku. Masa kamu sudah lupa begitu saja."Perlahan pria itu membuka kaca mata hitamnya. Dari sorot matanya dan alisnya aku sudah mulai ingat. Namun, namanya tidak bisa kusebut."Masih belum kenal samaku?" cecarnya sambil membuka maskernya.Aku tidak tahu harus merasa sedih atau senang. Pria yang kudambakan kini telah ada di depan mata kepalaku."Ka-kamu?" tanyaku gugup.Aku tidak berani menatap wajahnya. Aku takut kalau rasa
"Judulnya Bidadari surga 'kan?" tanyaku memperjelas ucapannya.Aku mencoba menerka-nerka. Walaupun aku belum paham betul apa maksud dan tujuannya."Ya, anda benar sekali. Kamu berhak mendapatkan hadiah senilai satu unit mobil dibayar tunai," celetuknya sambil mengulum senyum."Maaf, aku nggak butuh hadiah dari kamu. Aku takut kalau kamu hanya mempermainkan hati dan perasaan seorang wanita."Aku tidak mau berharap lebih lagi kepada seorang pria. Memang benar, pada saat usia remaja aku sangat mencintainya. Aku saja tidak tahu apakah cintaku memang benar-benar tulus atau hanya sekedar cinta monyet atau cinta karet."Kenapa bisa begitu?" potongnya. Dia mengukir wajah heran."Ya. Aku tidak mau jatuh ke dalam lobang yang sama. Aku sudah trauma dengan lika-liku pernikahanku yang penuh dengan drama.""Jangan sama 'kan semua pria seperti yang kamu pikirkan! Aku bukan seperti dia yang telah melukai hati dan perasaanmu."Dia mencoba menghampiri lalu memegang bahuku.Aku terkejut, belum apa-apa,
Kain Basahan Basah di Kamar MandiPart 40: Melamarku"Bu, nggak usah terlalu capek-capek!"Aku meletakkan barang belanjaanku di atas meja makan."Pekerjaan seperti ini sudah hal biasa. Lagi pula nggak capek kok."Bu Aisyah menghampiriku lalu mengeluarkan belanjaanku dari dalam plastik kresek.Aku baru saja pulang dari pasar tradisional. Aku sengaja belanja di sana, selain membantu ekonomi penjual. Aku juga bisa berbaur dengan penjualnya."Aku tahu, Bu. Cuma aku tidak mau ibu terlalu lelah bekerja di rumahku. Biarkan saja aku yang mengerjakannya semua, Bu!"Aku merenggangkan tanganku, rasanya sangat pegal dibagian leher dan punggungku. Setelah perasaanku sudah membaik, aku memasukkan beberapa sayuran ke dalam kulkas."Nesya ...! Kamu nggak ada niat mau mulai lembaran baru?"Aku menoleh ke arah Bu Aisyah spontan. Keningku kejedot ke pintu kulkas sangking tidak hati-hatinya aku. Aku memijit bagian keningku yang sakit sambil memasukkan belanjaanku ke dalam kulkas."Pelan-pelan, Nesya!"Bu
"Ka-kamu?" jawabku gugup.Apa sebenarnya yang dia mau? Kenapa dia malah tahu alamat rumahku? Aneh, tapi sangat nyata."Ya.""Kenapa kamu bisa mengetahui alamat rumahku? Padahal aku tidak ada sama sekali mengasih tahu kamu," ucapku sedikit penasaran."Nggak usah dibahas."Aku mengernyitkan kening. Padahal aku sangat penasaran kenapa dia bisa mengetahui alamat rumahku.Sudah dua menit aku dan dia berdiri, tidak ada sama sekali kupersilahkan masuk. Pikiranku masih dihantui penasaran."Nak Arlan! Sudah lama menunggu?" tanya Bu Aisyah. Dia melirik ke arahku yang masih berdiri tegak di samping pintu utama. "Ibu ... Apa kabar?"Arlan menyalam tangan Bu Aisyah lalu menciumnya dengan takjim. Mataku membulat melihat pemandangan yang sangat aneh dan janggal bagiku."Kabar ibu baik, Nak. Ayo masuk!""Tunggu! Siapa yang kasih izin kepada dia masuk ke dalam rumahku tanpa ada izin dariku?"Aku melipat kedua tanganku lalu meletakkannya sejajar dengan dada. Wajahku sengaja kuukir tajam agar dia tidak
"Ma-maksud kamu apa?!" balasku.Aku mendongak lalu kulawan pandangannya."Aku kemari untuk menghalalkanmu. Aku sudah mengetahui semua tentang jati dirimu, Nesya!""Dari mana kamu bisa mengetahui itu semua? Mungkin yang kamu ketahui cuma kulitnya saja 'kan?!"Aku beranjak dari tempat dudukku lalu berjalan sekitar situ sambil melipat kedua tangan dan kuletak sejajar dengan dada."Aku sudah menceritakan semuanya kepada Arlan, Nes," seru Bu Aisyah."Kenapa kamu membeberkan aib rumah tanggaku, Bu?! Aku tidak suka kalau drama rumah tanggaku diketahui semua orang, apalagi dia yang super duper jutek dan selalu mempermainkan perasaan wanita."Dadaku bergemuruh. Amarahku sudah tidak bisa lagi kukontrol. Aku menatap tajam ke arah wajah Bu Aisyah."Bukankah cerita lika-liku yang ibu ceritakan kepada Arlan sebuah aib yang tidak boleh diumbar?! Aku saja tidak ada cerita sama ibu. Semua kututup rapat dan tidak ada sama sekali kusampaikan kepada ibu! Aku tidak mau balada rumah tanggaku jadi beban bag
Kain Basahan Basah di Kamar MandiPart 41: Sanggup atau Tidak?Suasana hening, tapi dadaku semakin bergemuruh. Tidak seperti suasana pada saat ini."Ibu ... Nggak usah percaya sama ucapan pria ini! Semua laki-laki sama saja kalau ada maunya!" sindirku ketus.Mataku masih menyalang dan menatap ke arah Arlan."Maksud kamu apa, sayang! Kamu tidak boleh ketus dan merah padam seperti itu! Nggak baik loh!"Aku mengalihkan pandanganku ke arah Bu Aisyah. Wajahnya pias, dia menelan salivanya dengan kasar."Siapa yang bilang?!"Aku melangkah menghampiri Bu Aisyah. Dia sedikit mundur seolah-olah takut kepadaku."Nesya! Jangan kamu lakukan itu!"Arlan menghalangi langkahku dengan cara menarik lenganku."Lepaskan aku!""Ok! Aku memang bejat dan nista, tapi itu dulu, waktu masa-masa kuliah.""Sama saja itu kamu bejat!"Aku mengukir senyum smirk. Kubuang pandanganku ke sembarang arah. Aku sangat kesal dan emosi melihat ulah Bu Aisyah yang sangat aneh. Walaupun aku sudah janda, aku juga masih punya h
'Pilihan yang sangat berat. Kenapa Nesya seperti itu?' tanya Arlan dalam hati.Arlan diam seribu bahasa. Pilihan yang sangat sukar dia putuskan pada saat itu juga."Jawab!" desakku.Sedikit pun aku tidak sabar ingin sekali dia menjawab apa."Ti-tidak jadi lah," jawab Arlan lirih."Kenapa tidak jadi? Takut kalau esok kelak termakan sumpah? Kamu takut nggak bisa mengukir bahagia bersama denganku?"Aku sangat muak melihat wajahnya pada saat ini. Aku sudah tahu tingkah lakunya sangat bejat pada saat kuliah. Aku yakin, dia tidak bisa meninggalkan masa lalunya yang kelam gonta-ganti pacar."Jangan seperti itulah! Aku mohon dengan sangat," balas Arlan sambil bersimpuh di hadapanku."Kamu mau apa?!" tantangku dengan menatap kedua bola matanya dengan ekspresi menyalang.Aku sesekali melirik ibu mertuaku. Bu Aisyah diam dan tidak berdaya."Aku tahu kamu pasti kecewa pada saat itu, tapi aku mohon jangan samakan diriku yang dulu dengan yang sekarang," ucapnya lagi memelas dan terus berusaha untuk
"Apa?!" tanya Rusly tidak sabaran. "Jangan sesekali memberikan harapan palsu kepadaku," imbuhnya dengan menahan emosi."Siapa juga yang memberikan harapan palsu?" ucapku dengan sedikit menaikkan nada. Aku pergi melangkah. Walaupun sebenarnya aku sok jual mahal. Itu semua aku lakukan agar dia merasa sadar dan terpukul."Kamu mau ke mana?!" tanyanya mendongak. Fokusnya gagal mengirim doa. Dia bangkit lalu berlari mengejarku."Itu bukan urusanmu!" jawabku membentak. "Lepaskan tanganku!" jelasku kembali.Aku pergi begitu saja. Cuaca hari ini sangat panas sehingga aku takut hitam terbakar oleh sinar sang mentari."Lebih baik aku mati bunuh diri daripada lama-lama mati tersiksa untuk mendapatkan cinta dan kasihmu yang ke dua kali.""Silakan kalau kamu tidak punya iman dan Tuhan!" jawabku datar. Walaupun aku sudah jauh dari tempat dia berpijak.Argh!Rusly mengacak-acak rambutnya kembali. Lelah?! jelas dirinya pasti lelah. Kecewa?! Jelas sekali. Sudah berulang kali dia menelan kekecewaan. Na
Wajahnya Rusly berubah masam mendengar perkataanku. Aku tersenyum bahagia setelah dia berubah pias."Sungguh terlalu kamu, Nesya!" rutuknya tidak terima. Aku ini mantan suamimu dan akan menjadi suamimu lagi sebentar lagi," imbuhnya menjelaskan. Dia mengepalkan tangan hendak menamparku. Namun, tangannya hanya mengambang di udara."Kenapa tidak jadi memukulku!" bentakku dengan menatapnya menyalang. "Ayo pukul sebelum Pencipta Alam Semesta mengutuk kamu benar-benar seonggok bangkai," imbuhku kembali."Kalau bukan kamu itu perempuan yang hendak akan kuperjuangkan, tangan ini pasti sudah landing di wajahmu itu," jawab Rusly dengan nada kesal. Dia berkacak pinggang lalu membuang napas kasar. "Aku tidak habis pikir kamu bisa berkata seperti itu," jelasnya dengan memijit kening yang tidak gatal."Maaf aku harus pergi dari sini." Aku melangkah meninggalkan dia sendiri di plataran parkiran.Silakan!" balasnya dengan kesal. Sangking kesalnya, dia memukul udara begitu saja. Argh! Dia berpikir s
"Tolong bebaskan aku dari sini, Nesya!" rengek Lala ketika aku sedang membesuknya di kantor polisi. Aku merasa kasihan setelah melihat keadaannya. Padahal baru tiga hari dia dikurung penampilannya sudah tidak terurus laksana orang gila."Hukum tetap berlaku. Aku tidak akan mengeluarkanmu dari sini sebelum jatuh tempo." Aku harus berkata sejujurnya. Tidak ada manusia yang rela anaknya mati tanpa salah. Apalagi kepergian Dhea masih membekas di dalam ingatan. "Belum lagi bahtera rumah tangga yang selama ini aku idamkan hancur karena kedatanganku ke dalam istana surgaku," jelasku dengan nada datar. "Aku berkata jujur atas semua perbuatanku," serunya dengan mengeluarkan cairan bening dari sudut retinanya. "Aku tidak mau berakhir usiaku di sini, Nesya," imbuhnya menjelaskan dengan raut wajah menyesal. Suasana di ruang besuk hening. Hanya dentuman jarum jam dinding yang terdengar."Aku mohon, Nesya!" pintanya mengiba. Aku tidak merasa kasihan apa yang yang terjadi kepada dirinya. Selama in
Suasana mulai reda. Dia melihatku dengan sorot mata tajam. Namun, aku mencoba santai dan terus memperhatikan setiap gerak yang dia lakukan. Aku tidak boleh lengah apalagi jatuh ke dalam perangkapnya."Jangan kamu merasa menang dalam pergulatan ini!" ucapnya menyindir. Ekor retinanya terus memantau."Mau kalah, mau menang itu urusan Allah." Aku menjawab begitu saja. Kulirik ke arah sekitar tidak ada sama sekali yang mau melerai. Padahal sudah adu mulut dengan nada tinggi. Bahkan hampir saja jambak-jambakan. "Apa aku harus menguburmu hidup-hidup biar kamu tidak bisa lagi menggangguku?" imbuhku menyindirnya."Apa aku tidak salah dengar?!" jawabnya sinis. Dia merasa menang. Idenya kini muncul. "Buktinya saja, aku mampu mengirim Dhea ke alam kubur dalam durasi satu bulan."Deg!Hatiku merasa tersayat bahkan teriris."Apakah kamu tidak curiga atas kepergian buah hatimu dengan Rusly?"Aku berpikir sejenak. Dan ingin menjebaknya kembali."Aa-apa?" tanyaku terbata pura-pura. Aku merogoh ponsel
Hari terus berlalu. Aku merenungi nasib malang yang tidak pernah aku bayangkan. 'Apakah aku harus menerima Rusly kembali? Atau menjanda selamanya?'Tidak tahu harus berbuat apa. Aku semakin bingung dan frustasi. Aku memejamkan mata sejenak untuk sekedar menghilangkan rasa resah dan gelisah."Mau sampai kapan kamu menjanda, Nesya?" tanya Rusly setengah membentak. Pertanyaannya sangat tidak enak didengar telingaku. Aku hanya bisa diam dan membisu dikala pertanyaan saat itu terlontar dari tepi bibirnya.Sakit, perih dan bahkan ngilu begitu kentara ketika aku mengingat semua sifat buruk mantan suamiku.Daripada aku takut putus asa membuat otak tidak bisa mencerna mana yang baik dan mana yang buruk. Aku beranjak dari atas dipan lalu menaut wajah di depan cermin lemari hias."Aku butuh healing sepertinya," ucapku setelah melihat rias wajahku sudah pas dan netral. Aku mengambil nakas di atas nakas yang sedang di cas. Kucopot chatger-nya lalu memesan transportasi online dengan semangat. Ti
"Seharusnya kamu tidak berbuat seperti itu, Rusly!" sindirku dengan nada naik dua oktaf."Rasa empati dan simpatiku sudah hilang semenjak kamu bermesraan dengan pria lain dan disaksikan oleh kedua bola mataku!" kilahnya seolah mau menang sendiri. Aku saja muak mendengar ucapannya. Seolah-olah dirinya lah yang paling suci di atas muka bumi ini."Kalau kamu hilang rasa empati ataupun simpati. Kenapa masih berdiri di situ!" ejekku dengan melipat ke dua tangan lalu diletak sejajar dengan dada. "Bilang saja kamu masih kangen dan ingin berusaha agar kembali ke dalam pelukanmu," imbuhku menyindir.Kepalanya mulai nyut-nyutan dan tidak bisa diajak kompromi untuk mencari jawaban. 'Sial! Bisa saja dia mengetahui apa yang sedang aku alami,' ucapnya bermonolog."Kalau kamu memang tidak suka dan merasa jijik melihatku. Aku rasa kamu tidak akan kembali menemui ku laksana seperti sekarang ini," kilahku sembari mengejek dirinya.Aku memastikan kalau dirinya pasti sudah mati kutu. Buktinya saja, dia
Setelah Pak Bambang merogoh dompet guna untuk mencari tahu identitas korban, aku masih terus terisak dan tidak sabar menunggu hasil yang sesungguhnya. Tidak butuh waktu lama, Pak Bambang sudah mendapat dompet. Dia berdiri tegak lalu membuka dompet yang baru saja dia temukan di dalam kantong celana. "Apakah nama suami ibu bernama Anton?" tanyanya dengan sedikit menatap ke arahku.Aku tidak terlalu menyimak apa yang ditanyakan beliau. "Bo-boleh diulangi lagi?" tanyaku ragu dengan wajah mendongak. "Apakah nama suami ibu Anton?" tanyanya ke dua kalinya dengan nada sedikit kesal.Setelah kupertajam pedengaranku, aku sudah mendapat jawaban pasti. "Be-berarti ii-ini bukan suami saya," jawabku terbata. Aku baru sadar sudah menangisi jasad pria lain. Bisa saja itu suami wanita lain yang sedang menunggu kehadirannya di tengah istana syurga yang dibangun bersama wanita yang tidak lain ibu dari buah hatinya."Kalau nama suami ibu bukan Anton, berarti jasad yang sudah engkau tangis bukan suami at
Dua hari setelah kejadian itu, aku selalu teringat kepada Rusly. Resah dan gelisah kini menghantui diriku. Habis main sosial media sambil rebahan aku bangkit lalu melangkah ke arah dapur. Lapar, tetapi tidak selera makan. Kembali lagi aku ayunkan telapak kaki ke arah teras sampai aku merasa bosan dan jenuh.Ponselku yang berdering tidak aku hiraukan sangking tidak enaknya perasaan dan badanku. 'Apakah Rusly sudah memeletku?' batinku sembari menautkan wajah di cermin. Aku memperhatikan pelan-pelan mukaku di kaca. Padahal kaca itu bukan cermin melainkan kaca jendela. 'Semoga saja tidak ada sangkut pautnya dengan Rusly.' Aku mencoba mengambil handuk yang di jemur di halaman belakang. Resah dan gelisah semakin tidak karuan membuatku ingin segera mandi.Setelah kuraih handuk. Kuayunkan langkah kaki menuju kamar. Di atas dipan layar ponselku sudah kedap-kedip dan nada dering sudah terdengar jelas. Segera aku meraih kotak persegi itu lalu lamat-lamat kuamati. 'Nomor baru memanggil,' ucapku
"Maaf kalau aku sudah lancang menggendongmu dan membawa dirimu ke rumah kontrakanku," Aku terbangun dan ternyata aku hanya mimpi. Andai saja semua itu benar, aku sudah tidak tahu harus berbuat apa. Kusapu pandangan ke arah sekitar. Senyum simpul lahir di sudut bibirnya, Rusly."Apa yang terjadi kepadaku?! Kenapa aku ada di sini?!" amukku seolah tidak terima kalau pria yang tidak mahram itu menyentuhku."Tadi kamu pingsan di pusaranya, Dhea. Untung saja kunci mobilku ketinggalan di sana tepat di batu nisannya, Dhea." Rusly mencoba menjelaskan dengan berkata jujur. Walaupun sebenarnya dia ragu dengan kejujurannya tidak kuterima."Pasti itu semua akal busukmu 'kan?!" sergahku tidak terima."Aa-aku berkata jujur! Aku tidak ada maksud jahat walaupun terlintas di dalam otakku ide jahat untuk menjebakmu," selanya dengan spontan. Dia terkejut kenapa bisa berkata seperti itu."Maksud ide jahat itu apa?!" tanyaku mengintrogasi. Aku mulai duduk dan menyandrkan tubuh ke tepi ranjang.Rusly mulai