Kain Basahan Basah di Kamar MandiPart 41: Sanggup atau Tidak?Suasana hening, tapi dadaku semakin bergemuruh. Tidak seperti suasana pada saat ini."Ibu ... Nggak usah percaya sama ucapan pria ini! Semua laki-laki sama saja kalau ada maunya!" sindirku ketus.Mataku masih menyalang dan menatap ke arah Arlan."Maksud kamu apa, sayang! Kamu tidak boleh ketus dan merah padam seperti itu! Nggak baik loh!"Aku mengalihkan pandanganku ke arah Bu Aisyah. Wajahnya pias, dia menelan salivanya dengan kasar."Siapa yang bilang?!"Aku melangkah menghampiri Bu Aisyah. Dia sedikit mundur seolah-olah takut kepadaku."Nesya! Jangan kamu lakukan itu!"Arlan menghalangi langkahku dengan cara menarik lenganku."Lepaskan aku!""Ok! Aku memang bejat dan nista, tapi itu dulu, waktu masa-masa kuliah.""Sama saja itu kamu bejat!"Aku mengukir senyum smirk. Kubuang pandanganku ke sembarang arah. Aku sangat kesal dan emosi melihat ulah Bu Aisyah yang sangat aneh. Walaupun aku sudah janda, aku juga masih punya h
'Pilihan yang sangat berat. Kenapa Nesya seperti itu?' tanya Arlan dalam hati.Arlan diam seribu bahasa. Pilihan yang sangat sukar dia putuskan pada saat itu juga."Jawab!" desakku.Sedikit pun aku tidak sabar ingin sekali dia menjawab apa."Ti-tidak jadi lah," jawab Arlan lirih."Kenapa tidak jadi? Takut kalau esok kelak termakan sumpah? Kamu takut nggak bisa mengukir bahagia bersama denganku?"Aku sangat muak melihat wajahnya pada saat ini. Aku sudah tahu tingkah lakunya sangat bejat pada saat kuliah. Aku yakin, dia tidak bisa meninggalkan masa lalunya yang kelam gonta-ganti pacar."Jangan seperti itulah! Aku mohon dengan sangat," balas Arlan sambil bersimpuh di hadapanku."Kamu mau apa?!" tantangku dengan menatap kedua bola matanya dengan ekspresi menyalang.Aku sesekali melirik ibu mertuaku. Bu Aisyah diam dan tidak berdaya."Aku tahu kamu pasti kecewa pada saat itu, tapi aku mohon jangan samakan diriku yang dulu dengan yang sekarang," ucapnya lagi memelas dan terus berusaha untuk
"Dasar anak durhaka! Walaupun Bu Aisyah bukan ibu kandungmu, seharusnya kamu tetap patuh dan taat kepadanya. Dia sudah merawat, membesarkanmu bahkan menyisihkan separuh jiwanya untuk mengurus kamu!"Rusly tertawa picik. Dia mengusap peluh di keningnya. Perlahan Rusly melangkah menghampiriku."Apa kamu bilang?!"Rusly menarik lenganku, aku berusaha meronta."Asal kamu tahu, dia duluan membuang aku dan mengakui kalau aku bukan darah dagingnya. Sekarang aku menyiksanya kenapa kamu malah merah padam kepadaku?!""Walau bagaimana pun itu ceritanya, kamu harus berbakti kepada Bu Aisyah. Jangan egois jadi anak!"Tiba-tiba, sebuah pukulan mendarat di punggung Rusly dengan kuat."Argh ...!" teriak Rusly dengan kencang.Rusly menatap ke arah Arlan. Namun, pandangannya sudah kunang-kunang."Kurang ajar kamu! Jangan kamu kira bisa lepas dariku!" ucap Rusly dengan pandangan samar-samar.Tidak berapa lama, Rusly tumbang jatuh ke atas lantai."Rusly ...!" teriak Lala dengan nada kencang.Lala berlari
Kain Basahan Basah di Kamar MandiPart 42: Ketahuan KedoknyaAku terpaksa memukul punggung Lala dengan sepatu high heels membabi buta. Lala meringis kesakitan lalu ambruk ke lantai."Ke-kenapa kamu melakukan itu?" tanya Arlan kikuk.Arlan sepertinya tidak terima kalau aku memukul Lala."Kamu lebih mementingkan dia daripada nyawamu?!" umpatku kesal. Padahal, aku sudah baik menyelamatkan nyawanya dari amukan seekor serigala yang siap memangsa. Begitu pula pertanyaannya kepadaku."Bu-bukan seperti itu juga solusinya. Kalau dia mati, apa kamu sudah bersedia menerima segala konsekuensinya?" tanya Arlan kepadaku."Sudahlah! Nggak usah kamu banyak tanya. Sing penting kamu sudah selamat. Ayo segera bawa dia ke rumah sakit!"Aku melangkah menghampiri Bu Aisyah. Dia masih saja trauma melihat kejadian yang ada di depan mata kepalanya sendiri. Seumur hidupnya, baru kali ini dia melihat adegan seperti itu."Nesya ...!" panggil Arlan.Aku menoleh ke asal suara itu."Ki-kita bawa dia pakai apa? Aku
Arlan mengikuti perintahku tanpa buang-buang waktu."Pelan-pelan juga lah! Nggak usah seperti ini nyetirnya!" celetukku ketus.Selama perjalanan, sudah dua kali keningku terbentur. 'Lama-lama bisa emar dahulu dibuatnya.'Setelah melewati persimpangan, kendaraan lain tidak sabar dan semua pada duluan. Akhirnya membuat macet dan tidak jalan-jalan. Suara klakson motor dan mobil terdengar di sana sini memekakkan telinga."Apa tidak ada jalur lain selain ini, Nesya?" tanya Arlan kepadaku.Arlan melirik dari kaca spion. Aku masih kesal dan tidak mau menjawab pertanyaannya."Tidak ada. Jalan ini satu-satunya. Lagi pula, kita sudah kejebak macet. Maju salah, apalagi mundur.""Terus kita harus bagaimana?!" tanya Arlan sedikit mengukir kecewa.Arlan mengusap peluh di keningnya. Panas, haus dan lapar menjadi satu. Perutnya sudah tidak bisa diajak kompromi."Bagaimana kalau aku turun untuk mengatur lalu lintas. Kalau tidak ada yang mau mengalah, sampai besok juga nggak bakalan jalan.""Nggak usa
"Lala sedang hamil, Dok," jawabku datar."Tapi tidak ada tanda-tanda."Otakku berpikir keras kenapa Dokter Lelo berkata tidak ada tanda-tanda."Apa dia hanya akting agar bisa menikah dengan suamiku?" tanyaku spontan."Bisa jadi! Sudahlah! Nggak usah risau dan galau. Ada aku kok yang setia dan mau menerima kamu apa adanya. Buktinya saja, aku menemani kamu sejauh ini."Aku menatap wajah Arlan. Tidak tahu kenapa aku sangat jijik melihat wajahnya. Apalagi mendengar setiap ucapannya yang keluar dari tepi bibirnya."Aku butuh bukti yang kuat, Dok.""Ma-maksudnya?" tanya Lelo. Dia mengukir wajah masam."Maksudnya gini, Dok. Tolong dicek di depanku dan buktinya aku foto lalu hasil lab atau surat keterangan dari dokter menyatakan Lala tidak hamil. Aku mau mengasih perhitungan kepada Lala."Lelo bergeming. Suasana di depan ruang rawat seketika hening."Bagaimana, Dok?" tanyaku memperjelas apakah dia mau atau tidak.Sudah dua menit aku menunggu jawaban darinya tidak ada sama sekali jawaban yang
Kain Basahan Basah di Kamar MandiPart 43: Benar atau Tidak, Hamil"Ternyata kamu sangat licik, lebih licik dari kancil."Aku sengaja menyindirnya agar merasa dipojokkan."Ma-maksud kamu apa?!" seru Lala.Walaupun kondisinya lemah, masih saja dia bisa mengamuk."Kamu sengaja berbohong 'kan demi menikahi Rusly, mantan suamiku!""Bohong apaan?!"Lala pura-pura tidak tahu. Aku langsung tersulut emosi mendengar jawabannya."Kamu bukan hamil 'kan?!" bentakku dengan sorot mata tajam.Aku sengaja menatap kedua bola matanya dengan tatapan tajam."Aku memang hamil kok! Kenapa kamu bilang seperti itu?""Kalau kamu memang hamil, silahkan minum susu ini agar janin di dalam rahimmu tumbuh sehat!"Lala panik, dia membuang pandangannya ke sembarang arah. Aku sudah menduga dia pasti tidak mau meminumnya."Silahkan diminum?!" paksaku.Aku memaksa dengan tragis. Aku tidak peduli dengan keadaanya yang ada. Air susu itu sebagian tumpah sebagian dia minum. Sesekali dia tersedak lalu mencoba menghindar."A
Dokter Lelo mengikuti perintahku. Dia seperti kerbau yang dicucuk hidungnya. Perlahan ia memasang alat medis untuk memeriksa Lala."Ja-jangan lakukan itu! Aku tidak mau!" Lala mencoba berusaha menepis tangan Lelo dari perutnya."Kamu diam saja di atas brangkar! Pokoknya aku mau membuktikan kamu hamil atau tidak!"Lala terpaksa diam, walaupun dalam hatinya tidak ridho. Dia terus menangis meratapi nasibnya. Dia juga tidak tahu seperti ini akibatnya."Bagaimana, Dok?!" tanyaku.Aku tidak sabar menunggu hasilnya."Kalian jahat! Aku ini sedang hamil, masa kamu tidak percaya."Lala terus merutuk, dia tidak terima atas perlakuan yang didapatkannya.'Sial! Kalau rahasiaku terbongkar, bagaimana ini?" tanya Lala dalam hati.Tidak berapa lama, hasil muncul di layar USG. Ternyata tidak ada sama sekali janin di dalam perutnya, Lala."Tidak ada calon bayi, Bu. Hasilnya nihil.""Tidak mungkin, Dok! Pasti USG nya salah. Aku tidak bohong. Ngapain pula aku bohong masalah titipan Allah."Lala berang men
"Apa?!" tanya Rusly tidak sabaran. "Jangan sesekali memberikan harapan palsu kepadaku," imbuhnya dengan menahan emosi."Siapa juga yang memberikan harapan palsu?" ucapku dengan sedikit menaikkan nada. Aku pergi melangkah. Walaupun sebenarnya aku sok jual mahal. Itu semua aku lakukan agar dia merasa sadar dan terpukul."Kamu mau ke mana?!" tanyanya mendongak. Fokusnya gagal mengirim doa. Dia bangkit lalu berlari mengejarku."Itu bukan urusanmu!" jawabku membentak. "Lepaskan tanganku!" jelasku kembali.Aku pergi begitu saja. Cuaca hari ini sangat panas sehingga aku takut hitam terbakar oleh sinar sang mentari."Lebih baik aku mati bunuh diri daripada lama-lama mati tersiksa untuk mendapatkan cinta dan kasihmu yang ke dua kali.""Silakan kalau kamu tidak punya iman dan Tuhan!" jawabku datar. Walaupun aku sudah jauh dari tempat dia berpijak.Argh!Rusly mengacak-acak rambutnya kembali. Lelah?! jelas dirinya pasti lelah. Kecewa?! Jelas sekali. Sudah berulang kali dia menelan kekecewaan. Na
Wajahnya Rusly berubah masam mendengar perkataanku. Aku tersenyum bahagia setelah dia berubah pias."Sungguh terlalu kamu, Nesya!" rutuknya tidak terima. Aku ini mantan suamimu dan akan menjadi suamimu lagi sebentar lagi," imbuhnya menjelaskan. Dia mengepalkan tangan hendak menamparku. Namun, tangannya hanya mengambang di udara."Kenapa tidak jadi memukulku!" bentakku dengan menatapnya menyalang. "Ayo pukul sebelum Pencipta Alam Semesta mengutuk kamu benar-benar seonggok bangkai," imbuhku kembali."Kalau bukan kamu itu perempuan yang hendak akan kuperjuangkan, tangan ini pasti sudah landing di wajahmu itu," jawab Rusly dengan nada kesal. Dia berkacak pinggang lalu membuang napas kasar. "Aku tidak habis pikir kamu bisa berkata seperti itu," jelasnya dengan memijit kening yang tidak gatal."Maaf aku harus pergi dari sini." Aku melangkah meninggalkan dia sendiri di plataran parkiran.Silakan!" balasnya dengan kesal. Sangking kesalnya, dia memukul udara begitu saja. Argh! Dia berpikir s
"Tolong bebaskan aku dari sini, Nesya!" rengek Lala ketika aku sedang membesuknya di kantor polisi. Aku merasa kasihan setelah melihat keadaannya. Padahal baru tiga hari dia dikurung penampilannya sudah tidak terurus laksana orang gila."Hukum tetap berlaku. Aku tidak akan mengeluarkanmu dari sini sebelum jatuh tempo." Aku harus berkata sejujurnya. Tidak ada manusia yang rela anaknya mati tanpa salah. Apalagi kepergian Dhea masih membekas di dalam ingatan. "Belum lagi bahtera rumah tangga yang selama ini aku idamkan hancur karena kedatanganku ke dalam istana surgaku," jelasku dengan nada datar. "Aku berkata jujur atas semua perbuatanku," serunya dengan mengeluarkan cairan bening dari sudut retinanya. "Aku tidak mau berakhir usiaku di sini, Nesya," imbuhnya menjelaskan dengan raut wajah menyesal. Suasana di ruang besuk hening. Hanya dentuman jarum jam dinding yang terdengar."Aku mohon, Nesya!" pintanya mengiba. Aku tidak merasa kasihan apa yang yang terjadi kepada dirinya. Selama in
Suasana mulai reda. Dia melihatku dengan sorot mata tajam. Namun, aku mencoba santai dan terus memperhatikan setiap gerak yang dia lakukan. Aku tidak boleh lengah apalagi jatuh ke dalam perangkapnya."Jangan kamu merasa menang dalam pergulatan ini!" ucapnya menyindir. Ekor retinanya terus memantau."Mau kalah, mau menang itu urusan Allah." Aku menjawab begitu saja. Kulirik ke arah sekitar tidak ada sama sekali yang mau melerai. Padahal sudah adu mulut dengan nada tinggi. Bahkan hampir saja jambak-jambakan. "Apa aku harus menguburmu hidup-hidup biar kamu tidak bisa lagi menggangguku?" imbuhku menyindirnya."Apa aku tidak salah dengar?!" jawabnya sinis. Dia merasa menang. Idenya kini muncul. "Buktinya saja, aku mampu mengirim Dhea ke alam kubur dalam durasi satu bulan."Deg!Hatiku merasa tersayat bahkan teriris."Apakah kamu tidak curiga atas kepergian buah hatimu dengan Rusly?"Aku berpikir sejenak. Dan ingin menjebaknya kembali."Aa-apa?" tanyaku terbata pura-pura. Aku merogoh ponsel
Hari terus berlalu. Aku merenungi nasib malang yang tidak pernah aku bayangkan. 'Apakah aku harus menerima Rusly kembali? Atau menjanda selamanya?'Tidak tahu harus berbuat apa. Aku semakin bingung dan frustasi. Aku memejamkan mata sejenak untuk sekedar menghilangkan rasa resah dan gelisah."Mau sampai kapan kamu menjanda, Nesya?" tanya Rusly setengah membentak. Pertanyaannya sangat tidak enak didengar telingaku. Aku hanya bisa diam dan membisu dikala pertanyaan saat itu terlontar dari tepi bibirnya.Sakit, perih dan bahkan ngilu begitu kentara ketika aku mengingat semua sifat buruk mantan suamiku.Daripada aku takut putus asa membuat otak tidak bisa mencerna mana yang baik dan mana yang buruk. Aku beranjak dari atas dipan lalu menaut wajah di depan cermin lemari hias."Aku butuh healing sepertinya," ucapku setelah melihat rias wajahku sudah pas dan netral. Aku mengambil nakas di atas nakas yang sedang di cas. Kucopot chatger-nya lalu memesan transportasi online dengan semangat. Ti
"Seharusnya kamu tidak berbuat seperti itu, Rusly!" sindirku dengan nada naik dua oktaf."Rasa empati dan simpatiku sudah hilang semenjak kamu bermesraan dengan pria lain dan disaksikan oleh kedua bola mataku!" kilahnya seolah mau menang sendiri. Aku saja muak mendengar ucapannya. Seolah-olah dirinya lah yang paling suci di atas muka bumi ini."Kalau kamu hilang rasa empati ataupun simpati. Kenapa masih berdiri di situ!" ejekku dengan melipat ke dua tangan lalu diletak sejajar dengan dada. "Bilang saja kamu masih kangen dan ingin berusaha agar kembali ke dalam pelukanmu," imbuhku menyindir.Kepalanya mulai nyut-nyutan dan tidak bisa diajak kompromi untuk mencari jawaban. 'Sial! Bisa saja dia mengetahui apa yang sedang aku alami,' ucapnya bermonolog."Kalau kamu memang tidak suka dan merasa jijik melihatku. Aku rasa kamu tidak akan kembali menemui ku laksana seperti sekarang ini," kilahku sembari mengejek dirinya.Aku memastikan kalau dirinya pasti sudah mati kutu. Buktinya saja, dia
Setelah Pak Bambang merogoh dompet guna untuk mencari tahu identitas korban, aku masih terus terisak dan tidak sabar menunggu hasil yang sesungguhnya. Tidak butuh waktu lama, Pak Bambang sudah mendapat dompet. Dia berdiri tegak lalu membuka dompet yang baru saja dia temukan di dalam kantong celana. "Apakah nama suami ibu bernama Anton?" tanyanya dengan sedikit menatap ke arahku.Aku tidak terlalu menyimak apa yang ditanyakan beliau. "Bo-boleh diulangi lagi?" tanyaku ragu dengan wajah mendongak. "Apakah nama suami ibu Anton?" tanyanya ke dua kalinya dengan nada sedikit kesal.Setelah kupertajam pedengaranku, aku sudah mendapat jawaban pasti. "Be-berarti ii-ini bukan suami saya," jawabku terbata. Aku baru sadar sudah menangisi jasad pria lain. Bisa saja itu suami wanita lain yang sedang menunggu kehadirannya di tengah istana syurga yang dibangun bersama wanita yang tidak lain ibu dari buah hatinya."Kalau nama suami ibu bukan Anton, berarti jasad yang sudah engkau tangis bukan suami at
Dua hari setelah kejadian itu, aku selalu teringat kepada Rusly. Resah dan gelisah kini menghantui diriku. Habis main sosial media sambil rebahan aku bangkit lalu melangkah ke arah dapur. Lapar, tetapi tidak selera makan. Kembali lagi aku ayunkan telapak kaki ke arah teras sampai aku merasa bosan dan jenuh.Ponselku yang berdering tidak aku hiraukan sangking tidak enaknya perasaan dan badanku. 'Apakah Rusly sudah memeletku?' batinku sembari menautkan wajah di cermin. Aku memperhatikan pelan-pelan mukaku di kaca. Padahal kaca itu bukan cermin melainkan kaca jendela. 'Semoga saja tidak ada sangkut pautnya dengan Rusly.' Aku mencoba mengambil handuk yang di jemur di halaman belakang. Resah dan gelisah semakin tidak karuan membuatku ingin segera mandi.Setelah kuraih handuk. Kuayunkan langkah kaki menuju kamar. Di atas dipan layar ponselku sudah kedap-kedip dan nada dering sudah terdengar jelas. Segera aku meraih kotak persegi itu lalu lamat-lamat kuamati. 'Nomor baru memanggil,' ucapku
"Maaf kalau aku sudah lancang menggendongmu dan membawa dirimu ke rumah kontrakanku," Aku terbangun dan ternyata aku hanya mimpi. Andai saja semua itu benar, aku sudah tidak tahu harus berbuat apa. Kusapu pandangan ke arah sekitar. Senyum simpul lahir di sudut bibirnya, Rusly."Apa yang terjadi kepadaku?! Kenapa aku ada di sini?!" amukku seolah tidak terima kalau pria yang tidak mahram itu menyentuhku."Tadi kamu pingsan di pusaranya, Dhea. Untung saja kunci mobilku ketinggalan di sana tepat di batu nisannya, Dhea." Rusly mencoba menjelaskan dengan berkata jujur. Walaupun sebenarnya dia ragu dengan kejujurannya tidak kuterima."Pasti itu semua akal busukmu 'kan?!" sergahku tidak terima."Aa-aku berkata jujur! Aku tidak ada maksud jahat walaupun terlintas di dalam otakku ide jahat untuk menjebakmu," selanya dengan spontan. Dia terkejut kenapa bisa berkata seperti itu."Maksud ide jahat itu apa?!" tanyaku mengintrogasi. Aku mulai duduk dan menyandrkan tubuh ke tepi ranjang.Rusly mulai