Rojali mundur untuk membenarkan penutup wajah sebelum kembali menerjang lawan. Serangannya saat ini lebih banyak didorong oleh amarah karena sosok yang amat dihormatinya dihina. Baginya, selain sebagai pemuka agama, pemilik pesantren dan guru, Kiai adalah sosok ayah yang telah mendidik dan memberinya kehangatan keluarga. Jadi, sebagai seorang anak, ia tak akan gentar saat mendengar penghinaan pada orang tuanya.
“Kamu harus tarik kata-kata kamu tadi!” perintah Rojali tegas. Pemuda itu kian intens menyerang dibanding memilih bertahan. Alhasil, ia mampu membuat lawan mundur walau sesaat.
Namun, serangan Rojali yang didorong emosi tersebut, tak serta-merta membuatnya berada di atas angin. Gerakannya malah terkesan asal sehingga menimbulkan banyak celah.
Hal itu jelas dimanfaatkan Badru dengan baik untuk bisa menghajar Rojali hingga babak belur. Kemudian, setelah pemuda itu tak sadarkan diri, ia akan membawa Rojali ke markas dan meminta bapaknya untuk seg
Silaing butuh bantuan kaula?Di ambang batas kesadarannya, Rojali mendengar suara tersebut. Begitu matanya tertutup, ia tiba-tiba saja berada di sebuah ruangan bernuasa putih dengan asap yang mengitari sekeliling.Rojali sontak memeriksa keadaannya. Ia terperanjat kaget saat menyadari kalau tak ada nyeri maupun luka, padahal ia masih ingat kalau Badru mengahajarnya habis-habisan. Ini aneh, sangat aneh, pikirnya.Rojali refleks mundur begitu melihat sosok serupa dirinya sudah berada di depannya, lengkap dengan busana dan atribut kerajaan. Sosok itu berjalan mendekat ke arahnya dengan kedua tangan berada di balik punggung.“Silaing butuh bantuan kaula?” tanya sosok serupa Rojali.“Di mana saya?” Rojali balik bertanya. “Kunaon kamu selalu ganggu saya? Apa yang kamu mau dari saya?”Pria berbusana kerajaan itu berhenti tepat di samping Rojali. Tatapannya lurus ke depan. “
Lalu siapa yang berbicara barusan? tanya Badru dalam hati.Saat sibuk mencermati keadaan, Badru dikagetkan dengan serangan Rojali yang tiba-tiba ke arah dadanya. Dalam hitungan detik, ia yang tak siap terdorong kuat ke belakang hingga punggungnya menabrak dahan pohon di sisi sungai.Badru meringis saat merasakan sakit yang teramat sangat di punggungnya. Ia tak sempat terkejut dengan kekuatan besar Rojali karena tak lama kemudian, dirinya tak sadarkan diri.Rojali yang sebelumnya terpaku karena sudah berbusana kerajaan, mendadak terkejut begitu pakaiannya kembali seperti semula. Ketika ia menatap ke arah depan, ruangan putih yang mengurungnya tiba-tiba menghilang dan berganti menjadi suasana sungai dan hutan seperti terakhir kali ia bertarung dengan Badru.Meski masih dihinggapi kebingungan, Rojali segera mengecek keadaan dirinya. Ia mengembus napas lega kala melihat kunci itu masih menjuntai di dadanya. Pandangannya kemudian memindai sekeli
“Bukannya itu berbahaya, Sep?” tanya Pak Yayat, “mereka sudah mewanti-wanti kita untuk jangan macam-macam. Lagi pula apa yang bisa lakukan? Bisa saja nanti kita bernasib sama seperti ... Ki Udin.”Kekhawatiran Pak Yayat diamini yang lain.“Rencana yang saya maksud itu bukan rencana melawan mereka, tapi rencana menyelematkan warga desa, Pak,” ujar Asep menyakinkan, “tentu saya juga tahu kalau mereka berbahaya.”“Kumaha carana, Sep?” tanya Pak Juju.“Kahiji, kita amankan kelompak warga yang terdiri orang tua, wanita sama anak-anak di persawahan dan perkebunan sekitar desa. Kita tempatkan juga beberapa pemuda sebagai penjaga mereka. Kadua, kita bentuk kelompok yang terdiri dari para pemuda dan orang dewasa untuk mengawasi ritual.”“Tunggu, Sep.” Pak Harun memotong. “Kenapa warga biasa tidak ditempatkan di rumah masing-
Rojali menoleh ke arah Euis saat lagi-lagi gadis itu segera memintanya pergi dari desa. Ia bisa melihat bening air mata di pipi gadis itu.Keheningan malam dengan cepat tergerus dengan aksi warga yang berondong-bondong keluar rumah dengan membawa golok dan parang, juga kemarahan. Warga Ciboeh yang didominasi para laki-laki menyatu menjadi satu pasukan, memadati jalan-jalan perkampungan. Senjata yang mereka bawa teracung ke atas. Bila malam kemarin mereka membakar habis rumah Rojali, maka malam ini mereka akan memusnahkan pemiliknya.“Kepung penipu itu! Jangan biarkan kabur!” teriak Aep memerintah.“Kang, pergi,” bisik Euis yang kemudian berlari menjauh.Bukannya menurut, Rojali malah diam mematung, memindai warga yang sudah mengepungnya. Tidak ada jalan kabur baginya. Kini, ia bagai buruan yang menanti dikerumuni pemangsa.“Ada apa ini, bapak-bapak?” tanya Rojali yang masih berusaha mencerna suasana.
Tahun 1988Bulan purnama menggantung gagah di langit yang bertabur bintang, menjadi pelita di pekatnya hutan Lancah Darah. Di sisi bangunan markas, tampak Badru tengah berdiri seorang diri. Pandangannya lurus ke depan, sedang pikirannya melanglangbuana ke masa lalu.Kepalan tangan pria berusia setengah abad itu mengeras seirama dengan api obor yang bergerak karena disapa angin. Cukup lama Badru tenggelam dalam lamunan hingga ia menoleh ke belakang saat mendengar suara jejak kaki mendekat.“Badru,” panggil Ki Jalu yang kini berada di samping putranya. Ia dengan jelas bisa melihat kesedihan dan kehilangan mendalam dari tatapan sang anak. “Rek nepi iraha maneh kawas kieu wae (mau sampai kapan kamu seperti ini terus)? Maneh kudu sadar kalau kelompok kita kudu boga (punya) generasi penerus. Bapak sudah tua, sebentar lagi mati. Dan maneh kudu jadi pengganti bapak.”&l
Pria tambun berkumis lebat di samping Ujang hanya bisa menggigiti bibir agar tak berteriak. Tubuhnya mendadak dibanjiri keringat, dan matanya membulat lebar bak telur ayam. Sementara itu, sopir hanya bisa menuruti perintah Ujang tanpa banyak bertanya meski beberapa kali tampak mengintip kondisi di belakang.“Siapa ... kamu?” tanya orang di samping Ujang. Posisinya berada di sisi mobil dengan kondisi terpojok. Meski kedua tangannya terbebas, tetapi rasanya sangat sulit untuk digerakkan, terlebih memberi perlawanan.Mobil kian melaju cepat, membelah kegelapan. Pohon-pohon yang berjejer di sepanjang sisi jalan tampak seirama menggoyangkan daun dan ranting saat angin menerjang. Udara dingin yang berada di luar nyatanya tak mampu mengusir ketegangan di dalam mobil. Hal yang terjadi justru keringat kian deras menetes di sekujur tubuh dua orang di dekat Ujang.“Kamu ... boleh ... ambil semua uang saya. Kalau perlu ... kamu bisa ambil mobil ini. Tapi .
Sial, maki Ujang dalam hati.Kalau sampai waktu pagi tiba dan ia belum berhasil keluar, sudah dipastikan ia akan dalam masalah, terlebih ini adalah pesantren, tempat yang harus dihindari oleh orang sepertinya. Saat situasi mulai lengang, Ujang kembali berlari. Kalau perkiraannya tak salah, ia sekarang pasti berada di sekitar pondok santriwati.Ujang terus menyisir sekeliling dan berhenti begitu mendengar suara deru air. Pria itu mengatur napas beberapa saat sekaligus mengecek lukanya. Meski tak sesakit tadi, tetapi perih itu masih belum sepenuhnya mereda.Ujang kembali berlari bersamaan dengan lantunan azan subuh yang mulai mengudara. Tubuhnya mendadak kepanasan dan berkeringat. Dengan kondisinya saat ini, akan sangat sulit bila berhadapan dengan seseorang. Untuk itu, pria itu berusaha tenang, meski pada kenyataannya malah dikagetkan saat mendengar suara langkah kaki mendekat.Ujang melihat tangga batu menuju ke arah bawah. Tanpa pikir panjang, d
Rojali sudah sepenuhnya tak sadarkan diri. Meski begitu, darah masih mengucur deras dari kepala. Untuk beberapa waktu, kondisinya hanya mejadi tontonan para warga. Tak sedikit dari mereka yang tertawa, merasa bangga karena sudah berhasil melumpuhkan musuh utama. Aep tersenyum lebar begitu mendengar umpatan yang tak kunjung reda dari warga pada Rojali. Suara-suara yang terdengar bagai nyanyian merdu di telinga, dan pemandangan yang Aep lihat sekarang teramat memanjakan mata. Ia benar-benar puas dan lega melihat kondisi musuhnya tak berdaya. “Bawa si Rojali ke kantor desa!” perintah Pak Dede yang langsung maju melewati Aep. Satu tangannya seketika berkacak pinggang, sedang satunya menunjuk tubuh Rojali. “Kita bakar saja dia di sini!” ucap Aep memprovokasi. “Lagi pula untuk apa orang seperti dia dibiarkan hidup. Teu guna.” “Bakar! Bakar!” Aep mengacung-acungkan obor, berteriak lantang untuk mendapat dukungan warga. Ia melihat beberapa orang masi