“Aing Badru, Pemimpin Kalong Hideung,” jawab Badru dengan segaris senyum.
“Kunaon kamu ingin menjadikan saya anggota Kalong Hideung?” Rojali kembali bertanya. Ia pikir ini adalah kesempatan bagus untuk mendapat informasi dari musuh walau ia harus tetap memilah informasi karena bisa saja musuh justru memberi keterangan palsu.
Badru terkekeh. “Aing hanya menjalankan perintah.”
“Perintah? Perintah dari kakek itu?” terka Rojali.
Badru mengangguk. “Aing datang kadieu pikeun nguji maneh (ke sini untuk menguji kamu).”
“Menguji?”
“Maneh bakal jadi sosok pengganti aing, Pemimpin Kalong Hideung.”
Mendengarnya, Rojali menggertakkan gigi kuat-kuat. Tak pernah sedetik pun pikiran itu terlintas di benaknya. “Saya tidak berminat. Silakan cari orang lain.”
Badru terkekeh. “
Rojali mundur untuk membenarkan penutup wajah sebelum kembali menerjang lawan. Serangannya saat ini lebih banyak didorong oleh amarah karena sosok yang amat dihormatinya dihina. Baginya, selain sebagai pemuka agama, pemilik pesantren dan guru, Kiai adalah sosok ayah yang telah mendidik dan memberinya kehangatan keluarga. Jadi, sebagai seorang anak, ia tak akan gentar saat mendengar penghinaan pada orang tuanya.“Kamu harus tarik kata-kata kamu tadi!” perintah Rojali tegas. Pemuda itu kian intens menyerang dibanding memilih bertahan. Alhasil, ia mampu membuat lawan mundur walau sesaat.Namun, serangan Rojali yang didorong emosi tersebut, tak serta-merta membuatnya berada di atas angin. Gerakannya malah terkesan asal sehingga menimbulkan banyak celah.Hal itu jelas dimanfaatkan Badru dengan baik untuk bisa menghajar Rojali hingga babak belur. Kemudian, setelah pemuda itu tak sadarkan diri, ia akan membawa Rojali ke markas dan meminta bapaknya untuk seg
Silaing butuh bantuan kaula?Di ambang batas kesadarannya, Rojali mendengar suara tersebut. Begitu matanya tertutup, ia tiba-tiba saja berada di sebuah ruangan bernuasa putih dengan asap yang mengitari sekeliling.Rojali sontak memeriksa keadaannya. Ia terperanjat kaget saat menyadari kalau tak ada nyeri maupun luka, padahal ia masih ingat kalau Badru mengahajarnya habis-habisan. Ini aneh, sangat aneh, pikirnya.Rojali refleks mundur begitu melihat sosok serupa dirinya sudah berada di depannya, lengkap dengan busana dan atribut kerajaan. Sosok itu berjalan mendekat ke arahnya dengan kedua tangan berada di balik punggung.“Silaing butuh bantuan kaula?” tanya sosok serupa Rojali.“Di mana saya?” Rojali balik bertanya. “Kunaon kamu selalu ganggu saya? Apa yang kamu mau dari saya?”Pria berbusana kerajaan itu berhenti tepat di samping Rojali. Tatapannya lurus ke depan. “
Lalu siapa yang berbicara barusan? tanya Badru dalam hati.Saat sibuk mencermati keadaan, Badru dikagetkan dengan serangan Rojali yang tiba-tiba ke arah dadanya. Dalam hitungan detik, ia yang tak siap terdorong kuat ke belakang hingga punggungnya menabrak dahan pohon di sisi sungai.Badru meringis saat merasakan sakit yang teramat sangat di punggungnya. Ia tak sempat terkejut dengan kekuatan besar Rojali karena tak lama kemudian, dirinya tak sadarkan diri.Rojali yang sebelumnya terpaku karena sudah berbusana kerajaan, mendadak terkejut begitu pakaiannya kembali seperti semula. Ketika ia menatap ke arah depan, ruangan putih yang mengurungnya tiba-tiba menghilang dan berganti menjadi suasana sungai dan hutan seperti terakhir kali ia bertarung dengan Badru.Meski masih dihinggapi kebingungan, Rojali segera mengecek keadaan dirinya. Ia mengembus napas lega kala melihat kunci itu masih menjuntai di dadanya. Pandangannya kemudian memindai sekeli
“Bukannya itu berbahaya, Sep?” tanya Pak Yayat, “mereka sudah mewanti-wanti kita untuk jangan macam-macam. Lagi pula apa yang bisa lakukan? Bisa saja nanti kita bernasib sama seperti ... Ki Udin.”Kekhawatiran Pak Yayat diamini yang lain.“Rencana yang saya maksud itu bukan rencana melawan mereka, tapi rencana menyelematkan warga desa, Pak,” ujar Asep menyakinkan, “tentu saya juga tahu kalau mereka berbahaya.”“Kumaha carana, Sep?” tanya Pak Juju.“Kahiji, kita amankan kelompak warga yang terdiri orang tua, wanita sama anak-anak di persawahan dan perkebunan sekitar desa. Kita tempatkan juga beberapa pemuda sebagai penjaga mereka. Kadua, kita bentuk kelompok yang terdiri dari para pemuda dan orang dewasa untuk mengawasi ritual.”“Tunggu, Sep.” Pak Harun memotong. “Kenapa warga biasa tidak ditempatkan di rumah masing-
Rojali menoleh ke arah Euis saat lagi-lagi gadis itu segera memintanya pergi dari desa. Ia bisa melihat bening air mata di pipi gadis itu.Keheningan malam dengan cepat tergerus dengan aksi warga yang berondong-bondong keluar rumah dengan membawa golok dan parang, juga kemarahan. Warga Ciboeh yang didominasi para laki-laki menyatu menjadi satu pasukan, memadati jalan-jalan perkampungan. Senjata yang mereka bawa teracung ke atas. Bila malam kemarin mereka membakar habis rumah Rojali, maka malam ini mereka akan memusnahkan pemiliknya.“Kepung penipu itu! Jangan biarkan kabur!” teriak Aep memerintah.“Kang, pergi,” bisik Euis yang kemudian berlari menjauh.Bukannya menurut, Rojali malah diam mematung, memindai warga yang sudah mengepungnya. Tidak ada jalan kabur baginya. Kini, ia bagai buruan yang menanti dikerumuni pemangsa.“Ada apa ini, bapak-bapak?” tanya Rojali yang masih berusaha mencerna suasana.
Tahun 1988Bulan purnama menggantung gagah di langit yang bertabur bintang, menjadi pelita di pekatnya hutan Lancah Darah. Di sisi bangunan markas, tampak Badru tengah berdiri seorang diri. Pandangannya lurus ke depan, sedang pikirannya melanglangbuana ke masa lalu.Kepalan tangan pria berusia setengah abad itu mengeras seirama dengan api obor yang bergerak karena disapa angin. Cukup lama Badru tenggelam dalam lamunan hingga ia menoleh ke belakang saat mendengar suara jejak kaki mendekat.“Badru,” panggil Ki Jalu yang kini berada di samping putranya. Ia dengan jelas bisa melihat kesedihan dan kehilangan mendalam dari tatapan sang anak. “Rek nepi iraha maneh kawas kieu wae (mau sampai kapan kamu seperti ini terus)? Maneh kudu sadar kalau kelompok kita kudu boga (punya) generasi penerus. Bapak sudah tua, sebentar lagi mati. Dan maneh kudu jadi pengganti bapak.”&l
Pria tambun berkumis lebat di samping Ujang hanya bisa menggigiti bibir agar tak berteriak. Tubuhnya mendadak dibanjiri keringat, dan matanya membulat lebar bak telur ayam. Sementara itu, sopir hanya bisa menuruti perintah Ujang tanpa banyak bertanya meski beberapa kali tampak mengintip kondisi di belakang.“Siapa ... kamu?” tanya orang di samping Ujang. Posisinya berada di sisi mobil dengan kondisi terpojok. Meski kedua tangannya terbebas, tetapi rasanya sangat sulit untuk digerakkan, terlebih memberi perlawanan.Mobil kian melaju cepat, membelah kegelapan. Pohon-pohon yang berjejer di sepanjang sisi jalan tampak seirama menggoyangkan daun dan ranting saat angin menerjang. Udara dingin yang berada di luar nyatanya tak mampu mengusir ketegangan di dalam mobil. Hal yang terjadi justru keringat kian deras menetes di sekujur tubuh dua orang di dekat Ujang.“Kamu ... boleh ... ambil semua uang saya. Kalau perlu ... kamu bisa ambil mobil ini. Tapi .
Sial, maki Ujang dalam hati.Kalau sampai waktu pagi tiba dan ia belum berhasil keluar, sudah dipastikan ia akan dalam masalah, terlebih ini adalah pesantren, tempat yang harus dihindari oleh orang sepertinya. Saat situasi mulai lengang, Ujang kembali berlari. Kalau perkiraannya tak salah, ia sekarang pasti berada di sekitar pondok santriwati.Ujang terus menyisir sekeliling dan berhenti begitu mendengar suara deru air. Pria itu mengatur napas beberapa saat sekaligus mengecek lukanya. Meski tak sesakit tadi, tetapi perih itu masih belum sepenuhnya mereda.Ujang kembali berlari bersamaan dengan lantunan azan subuh yang mulai mengudara. Tubuhnya mendadak kepanasan dan berkeringat. Dengan kondisinya saat ini, akan sangat sulit bila berhadapan dengan seseorang. Untuk itu, pria itu berusaha tenang, meski pada kenyataannya malah dikagetkan saat mendengar suara langkah kaki mendekat.Ujang melihat tangga batu menuju ke arah bawah. Tanpa pikir panjang, d
“Ini satu-satunya cara, Kang. Kita tidak punya pilihan lain.”Mbah Jaja akhirnya setuju setelah agak lama berpikir. “Aing bakal pasang pagar gaib lebih dulu.”Sebuah kubah segera melingkupi seluruh gubuk. Di pandangan orang biasa, bangunan itu akan tampak seperti halaman kosong.Mbah Atim dan Mbah Jaja dengan cepat duduk bersila di depan dan belakang orang gila itu. Mulut mereka mulai berkomat-kamit membaca mantra. Butuh kekuatan dan konsentrasi tinggi untuk bisa menggunakan ajian pengubah raga.Tubuh orang gila itu secara tiba-tiba bergetar beberapa kali. Mulutnya terbuka dengan kondisi bola mata memelotot seperti hendak meloncat. Raganya kemudian berguling-guling di lantai, dan tidak lama setelahnya, fisik pria edan itu persis menyerupai Mbah Atim.“Semoga saja si Jalu tidak sadar,” ujar Mbah Atim yang berdiri dengan wajah pucat. Keringat mulai membanjiri keningnya. Tenaganya benar-benar terkuras habis
1990Sehari sebelum kejadian penemuan jenazah tanpa kepalaCiboeh sangat panas siang ini. Debu-debu berterbangan ketika kaki melangkah dan roda kendaraan menggerus jalan. Beberapa warga tampak menyiram air ke halaman untuk mengusir panas. Meski begitu, tawa anak-anak terdengar bersahutan ketika mereka tengah mengerumuni seorang pria berpakaian kumal.“Nugelo (orang gila)! Nugelo!” Anak-anak kompak meneriaki seorang pria yang tengah berjongkok di tengah mereka.Orang gila itu melirik ke kanan dan ke kiri. Sesekali tangannya menepis ranting yang disodorkan anak-anak padanya. Bibirnya bergerak seperti menggumamkan sesuatu.Seorang anak laki-laki tiba-tiba saja melempar ranting ke sembarang arah ketika melihat Rojali dan Reza tengah berjalan ke arah mereka.“Ada Ustaz Rojali,” ujar Uden, “ayo kabur sebelum kita dihukum.”“H
Dua hari setelah kepergian Kiai, Rojali berkunjung ke Ciboeh bersama Lukman dan Ustaz Ahmad. Pemuda itu sudah mendengar kondisi desa dari keduanya yang porak poranda akibat ritual. Akan tetapi, ia berhasil dibuat terkejut ketika melihat keadaan Ciboeh secara langsung.Saat melewati gerbang desa, ia melihat gapura hancur sebagian. Lebih dekat ke arah utara, banyak rumah roboh dan hancur seperti baru diterjang badai. Kondisi lebih mengerikan tersaji ketika mobil melewati Kampung Cimenyan. Beberapa rumah tampak rata dengan tanah. Tak heran jika berita yang ditayangkan di televisi dan radio menunjukkan bahwa desa ini diserang bencana alam.Mobil menepi di depan reruntuhan kediaman Rojali. Pemuda bermata sipit itu turun bersama Ustaz Ahmad dan Lukman. Ketiganya menatap tanah kosong di mana beberapa puing bangunan masih berada di sana.“Kang Rojali,” ujar Euis yang muncul dari arah samping rumah, “apa itu benar Kang Rojali?” Rojal
Ustaz Ahmad benar-benar merasa gelisah sepanjang waktu. Pikirannya tertuju pada kondisi sang bapak yang masih berada di rumah sakit. Ia hanya duduk memandang perapian di depan, sama sekali belum menyentuh air atau makanan.“Ustaz,” panggil Lukman yang duduk di sampingnya, “sebaiknya Ustaz mengisi tenaga lebih dahulu. Setelahnya, Ustaz bisa berisitirahat.”Ustaz Ahmad mengembus napas panjang, mengangguk pelan. Ia menghabiskan makanan dengan cepat, lalu berbaring di bangku panjang yang berada tak jauh dari tempat dirinya dan Lukman duduk.Sepinya keadaan Cimayit, berbanding terbalik dengan situasi yang ada di pesantren. Tangis kesedihan begitu mendominasi para santri dan tamu yang hadir. Meninggalnya Kiai Rohmat dengan cepat tersebar. Sayang, di saat seperti ini, sang putra justru berada jauh dan belum tahu mengenai kondisi sang bapak.Para pelayat tengah mengerumuni jenazah Kiai Rohmat. Bacaan surat Yasin saling bersahutan dari mulu
Rojali, Ustaz Ahmad, Ilham dan Lukman tiba di Lancah Darah saat siang menjelang. Mobil menepi di tempat terakhir kali mereka memarkirkan kendaraan.“Sebaiknya kita berangkat sekarang,” ujar Ilham dengan pandangan menelisik sekeliling, “jika tidak bergegas, mungkin saja kita akan tiba malam hari.”Setelah memastikan kendaraan aman, keempat pria itu memulai perjalanan memasuki hutan Lancah Darah. Pemandangan indah yang ditawarkan kawasan ini tidak akan berlangsung lama ketika matahari tenggelam.Seperti apa yang dikatakan orang-orang, Lancah Darah menjadi tempat yang “haram” untuk dikunjungi orang. Tak hanya kisah mistis yang melekat, tetapi tentang sekelompok orang yang susah disentuh, termasuk aparat sekalipun.Rombongan beristirahat di pinggiran sungai untuk melaksanakan salat, juga untuk menyantap bekal. Mereka sudah mencapai setengah perlajanan saat langit mulai bersolek lembayung. Kumpulan burung-burung terban
Ciboeh, 1989Selesai salat subuh berjemaah, para tetua desa yang dipimpin Pak Dede memasuki kantor desa. Mereka duduk melingkar beralas tikar tanpa camilan atau air segelas pun. Dilihat dari wajah dan gestur mereka, tampak ada hal penting yang harus segera mereka diskusikan.Hujan mendadak mengguyur deras. Angin tampak menerobos di sela-sela lubang pintu dan jendela, membawa udara dingin. “Jangan sampai ada yang masuk ke kantor, Man,” ucap Pak Dede pada Eman yang berjaga di pintu.“Siap, Pak Kades.” Eman mengacungkan jempol.Ruangan hanya diterangi lampu kecil sehingga cahaya hanya menyinari tengah ruangan, sedang gelap memeluk keadaaan sekelililing. “Kalian sudah memastikan kalau Rojali tidak ada di desa?” tanya Pak Dede sembari mengamati satu per satu orang yang hadir.“Sudah, Pak Dede,” jawab Pak Yayat, “Ustaz Rojali mengabari kalau selama dua hari
Bulan purnama tampak menggantung di cakrawala, memamerkan bulatan sempurna bercahaya keperakan. Di sisi sungai, Mbah Atim dan Mbah Jaja tampak berdiri menunggu kedatangan Ujang. Sudah lewat beberapa menit dari waktu perjanjian.“Awas saja kalau si Ujang mengkhianati kita, Juned,” ucap Mbah Jaja penuh amarah, “aing tidak segan bunuh istri, mertua dan anaknya sekaligus.”“Kita tunggu sebentar lagi, Kang,” sahut Mbah Atim menenangkan. Pandangannya tertuju pada seberang sungai, di mana pekatnya hutan hanya bisa menampilkan kegelapan. Ia mulai tak enak berdiri, pasalnya Mbah Jaja bisa saja nekat, dan saat itu terjadi ia tidak bisa melakukan banyak hal.“Sampai kapan kita harus menunggu si Ujang, Juned?” tanya Mbah Jaja sembari mengeluarkan pisau kecil, memandanginya dengan lekat-lekat. “Bisa saja dia berubah pikiran dan mengkhianati perjanjian kita.”“Saya yakin Ujang pasti datang ke si
Hujan deras yang mengguyur Ciboeh beberapa hari terakhir mengakibatkan bencana longsor. Peristiwa itu terjadi bakda subuh saat para warga sudah mulai bersiap menyambut hari. Lokasi terjadinya bencana berada di perbatasan Cigeutih dan Cimenyan. Hal itu menyebabkan beberapa rumah di dua kampung rusak karena tertimbun. Untungnya tidak ada korban jiwa.Para korban yang berhasil selamat diungsikan di rumah-rumah saudara. Warga saling bergotong royong membantu membersihkan tanah yang menghalangi jalan dan menutup akses jembatan yang menghubungkan kedua kampung.Setelah jembatan dapat kembali dibuka, Rojali berinisiatif meminta bantuan pada pesantren. Syukur dipanjatkan, Kiai mengirim bantuan dengan menerjunkan lima puluh santri ke Ciboeh. Dalam waktu sehari, lokasi sekitar bencana kembali normal meski rumah tampak ambruk.Hari berikutnya, warga masih berjibaku dengan sisa tanah longsor yang masih tertimbun di beberapa bagian sudut desa. Tanpa disangka-sangka, se
Sebuah motor tampak melaju dengan kecepatan sedang di jalanan Kampung Cigeutih. Gerimis tak lama kemudian berubah menjadi hujan lebat. Reza yang berada di atas kendaraan mencibir dengan penuh sumpah serapah. Ia mempercepat laju motor hingga kendaraan bergetar beberapa kali karena menorobos jalan berbatu dan berlubang.Reza berdecak, melempar rokok sembarang. Saat menoleh pada pos ronda, ia sama sekali tidak melihat teman-temannya berkumpul. Dengan terpaksa pemuda itu harus pulang ke rumah, padahal siang tadi ia bersitegang dengan bapaknya. Malas sebenarnya, tetapi ia tidak punya pilihan lain.“Ah, any*ng!” maki Reza dengan badan yang sudah mulai kedinginan. Seluruh pakaiannya basah kuyup, bahkan sampai ke dalam-dalam. Karena emosi, ia sampai melewatkan kediamannya sendiri.“Tol*l!” maki Reza setelah tahu kalau dirinya melewatkan rumahnya sendiri. Ia mendadak abai dengan keadaan di depan hingga tak bisa menghindari sebuah lubang. Alhasil,