“Kamu ... santri palsu suruhan Kalong Hideung, kan?” terka Rojali. Pemuda itu masih berada di sekitaran tanah lapang.
Pria berambut gondrong itu terperanjat kaget, tetapi tak lama kemudian kembali memeluk kaki Rojali kuat-kuat.
“Ampun! Jangan bunuh saya!” teriak pria itu kembali. Cengkeramannya kian kencang di kaki Rojali.
“Saya tidak akan bunuh kamu,” ucap Rojali sembari berusaha melepas cengkeraman. “Kamu percaya sama saya.”
Pria berpenampilan acak-acakan itu mengendurkan pegangan, lantas sedikit menjauh dari Rojali.
“Apa benar kamu santri palsu itu?” tanya Rojali lagi. Setelahnya, ia beranjak ke sebuah batu, kemudian duduk di sana. Ia lalu meminta pria itu untuk duduk di sebelahnya dengan cara menepuk-nepuk area samping.
Pria itu akhirnya menurut. Wajahnya menunduk, sedangkan mulutnya mulai menggigiti kuku. Beberapa kali ia menoleh ke arah Rojali, mengitari sekeliling, lalu kemba
Tepat tengah hari, Ki Jalu memasuki markas. Begitu melihat kedatangannya, anggota Kalong Hideung yang sejak tadi bersantai segera bersiaga. Puntung rokok serta beberapa botol minuman tampak berserakan di tanah.“Aya kabar naon?” tanya Ki Jalu sembari mengentakkan tongkat ke tanah. Matanya segera memindai sekeliling. Tampak beberapa kali orang-orang di depannya saling bertukar pandangan.“Ke-kemarin saya lihat ada dua orang di sekitar Lancah Darah, Ki,” ucap salah satu anggota, “sepertinya mereka ... Rojali dan anak si Atim yang ... disebutkan Kang Engkos.”“Bagus.” Ki Jalu tersenyum. “Lalu di mana mereka sekarang?”“Kami kehilangan je-jejak mereka,” sahut anggota yang lain, “satu orang jatuh ke curug, dan satunya lagi berhasil kabur.”Ki Jalu memelotot, dan dua lubang tengkorak di matanya bersinar merah. “Nurustunjung maneh!”
Semua orang yang tengah berkumpul di ruang musyawarah mendadak diam saat mendengar ucapan Aep. Untuk beberapa detik berikutnya, keheningan begitu tampak mendominasi ruangan.Aep memandangi satu per satu orang yang tengah duduk melingkar di hadapannya. Bibirnya menggurat senyum penuh kemenangan. Pria itu yakin kalau sebentar lagi ia akan berhasil membongkar kedok Rojali, terlebih dirinya memiliki bukti yang kuat.“Saha yang sudah buat Reza seperti itu, Ep?” Pak Dede mendadak berdiri. Matanya membola seperti hendak keluar. Rahangnya mengetat hingga urat tercetak jelas di sekitar leher. “Saha? Sok ngomong!”Aep menunduk sesaat, lalu mengamati satu per satu wajah penasaran yang menghiasi tokoh masyarakat Desa Ciboeh. Dengan satu tarikan napas, ia menjawab, “Rojali. Pelakunya Rojali.”Ada helaan napas tertahan sesaat setelah Aep berkata demikian. Wajah penasaran penghuni ruangan berubah menjadi keterkejutan
Kabar mengenai Rojali tersebar begitu cepat. Meski begitu, sebagian warga masih tak percaya dengan berita tersebut. Topik ini seketika menjadi bahasan hampir seluruh penduduk desa. Tak hanya di kebun, sawah dan dapur, pekarangan rumah pun tak lepas dari perkara satu ini.“Kamu yakin Ep?” tanya Pak Juju untuk ke sekian kali.Setelah pembuktian yang Aep tunjukkan di rumah Rojali, para tokoh masyarakat walau jumlahnya lebih sedikit kembali berkumpul. Pertemuan ini sempat ditentang oleh Pak Dede dengan alasan bukti sudah cukup kuat. Meski begitu, kepala desa itu tetap hadir dalam perkumpulan.Perkumpulan diadakan di rumah Pak Juju. Mereka tengah duduk melingkar di tengah ruangan. Euis meski tadinya sudah diminta keluar dari rumah, tetapi ia lebih memilih menguping di dapur.“Sejujurnya saya masih tidak percaya,” ucap Pak Yayat, “bisa saja kelompok itu sengaja memfitnah Ustaz Rojali.”“Saya juga pikir begitu,&rd
Rojali dan Ilham tiba di kawasan sekitar markas Kalong Hideung hampir tengah malam. Keduanya harus beberapa kali bersembunyi saat melihat anggota kelompok itu berpatroli di sekitar sungai dan hutan. Sebisa mungkin mereka harus menghindari pertempuran.Setelah memastikan aman, Rojali dan Ilham kembali bergerak. Mereka sengaja berpencar dengan memutari lokasi bawah bangunan dari arah berbeda.Rojali berhenti untuk menstabilkan napas sesaat. Ia lantas menaiki pohon untuk memantau keadaan sekeliling. Berbekal cahaya bulan dan obor di sekitar bangunan, ia bisa mengetahui kalau ada tangga kecil yang bisa ia naiki untuk sampai ke tempat tujuan. Hanya saja, cara itu terlalu berisiko. Pasalnya, akan sangat mudah musuh menemukannya.Oleh karena itu, Rojali memilih cara lain. Pemuda itu berjalan memutar hingga tiba di belakang bangunan. Syukurlah di tempat itu tidak terdapat obor yang terpasang. Dengan gerakan hati-hati dan penuh kewaspadaan, ia mendekat ke arah bangunan.
Keringat dengan cepat membanjiri tubuh Rojali. Deru napas dan degup jantungnya berpacu lebih cepat dibanding biasanya. Punggung pemuda itu menempel erat ke bilik tempatnya bersembunyi, sedang kedua kakinya bak dipaku ke tanah yang tengah dipijak.Untuk beberapa saat, Rojali masih mematung di posisinya. Ia merasa sangat sulit untuk mendekat ke arah komplotan Kalong Hideung karena adanya penerangan di ujung lorong. Jika salah bertindak dan gegabah sedikit saja, maka nyawalah taruhannya.Api tampak bergoyang saat angin dari celah jendela menerobos masuk ke dalam. Komplotan Kalong Hideung masih setia duduk menghadap Ki Jalu dan Badru.“Lusa, kita akan mulai ritual di Ciboeh,” ucap Ki Jalu seraya menyapu pandang ke semua anggota Kalong Hideung di depannya. “Sesuai dugaan, Ciboeh merupakan tempat kujang pusaka itu berada.”Mendengarnya, Rojali seketika menahan napas. Tangannya mendadak terkepal, seirama dengan rahang yang kian mengeras.
Rojali kembali menoleh ke arah komplotan Kalong Hideung berada. Hatinya remuk bak kaca yang dijatuhkan ke bebatuan. Dadanya mendadak bergemuruh seakan ada guntur yang menggelegar di dalam sana. Deru napasnya tiba-tiba tak beraturan.Kini, Rojali tahu kalau buku pusaka yang dimaksud Ki Jalu adalah buku yang ia titipkan ke pesantren. Ketakutannya akhirnya terbukti. Rojali mengepal tangan kuat-kuat, dan tanpa sadar hendak memukul bilik di sampingnya. Namun, saat tangannya akan berpapasan dengan bilik tersebut, dengan cepat ia menarik tangannya kembali.Silaing ngarasa dikhianat ku jadi babaturan silaing (Kamu merasa dikhianti oleh teman kamu)? Suara itu muncul kembali tanpa diminta. Setelahnya, gemuruh tawa memenuhi pikiran Rojali. Hal itu berlangsung selama beberapa waktu, dan seiring dengan detik berganti, tawa itu kian memekik di hati dan telinga. Amarah yang mulai menguasai mulai mengikis fokus Rojali hingga ia tak sadar tiba-tiba berdiri mengha
Kelompok warga yang semula bersembunyi kini semuanya tumpah ke pemakaman. Di barisan paling depan, Aep tengah mengacung-acungkan peci hitam yang ia pungut di dekat makam Ki Udin.“Peci ini punya Rojali!” teriak Aep. Rasa takutnya tergerus rasa bangga dan puas karena bisa menemukan dan mempertontonkan bukti kebusukan Rojali di depan warga.Atas perintah Pak Dede, kumpulan warga itu mulai meninggalkan pemakaman. Sebagian pemuda berlari lebih dahulu untuk mengejar sosok yang dikira mereka adalah Rojali menuju arah jembatan.“Kejar! Kejar!”Cahaya senter dan obor menerobos sela dedaunan dan ranting pohon, tak lupa celah bebatuan di sekitar jembatan. Namun, sosok itu nyatanya belum dapat ditemukan.“Kumaha Pak Kades?” tanya salah seorang warga yang bertugas di depan gerbang pemakaman begitu kelompok Pak Dede keluar dari pemakaman.“Pelakunya benar-benar si Rojali!” pekik Pak Dede, “se
“Saya harus katakan kalau si Rojali itu sudah menipu kita selama ini! Dia pura-pura jadi ustaz dan membantu kita hanya untuk membuat kita percaya sama dia! Dia tak lain adalah bagian dari kelompok orang yang sudah membunuh Mbah Atim dan Ki Udin, termasuk orang yang sudah menakut-nakuti kita dengan potongan tubuh manusia waktu itu! Dia juga yang sudah menyantet Reza, anak saya! Dengarkan saya! Rojali tak lebih dari penipu dan seorang kriminal jahannam! Dia sudah menginjak-injak harga diri dan kehormatan kita dan desa kita!” teriak Pak Dede lantang. Para warga seketika dilanda keterkejutan. Banyak yang menyayangkan dan masih terkesan tak percaya. Namun, saat melihat reaksi tokoh masyarakat yang diam saat Pak Dede berbicara, ketidakpercayaan itu dengan cepat pupus dan berganti dengan amarah dan sumpah serapah yang mengudara. Melihat dan mendengar semua yang terjadi, Aep tak henti-hentinya tersenyum puas. Akhirnya, setelah memendam luka, rasa sakit hatinya pada Rojali bi