Share

73

Penulis: Ramdani Abdul
last update Terakhir Diperbarui: 2022-01-04 01:13:12

Tong ngomong sembarangan kamu, Ep!” tegur Pak Yayat dengan suara tertahan saat mendengar tuduhan Aep. “Kita semua tahu bagaimana perilaku Ustaz Rojali selama di desa. Tidak mungkin Ustaz Rojali jadi komplotan mereka.”

Sok aya-aya wae maneh mah (ada-ada saja kamu),” sambung Pak Iwan.

Aep segera menunduk saat kumpulan pria tua di dapur itu menatap marah padanya. Sesuai dugaan, mereka tak akan percaya pada ucapannya. Aep ditinggal sendirian di dapur, sedangkan Pak Juju dan yang lain kembali ke tengah rumah. Rupanya pemandian jenazah akan segera dimulai.

Aep mengembus napas panjang sembari mengacak rambut sesaat. Ia kemudian memandangi kediaman Rojali yang tampak sepi. Tiba-tiba saja, sebuah ide terlintas di pikirannya. Kakinya segera melangkah keluar dari dapur. Akan tetapi, baru saja ia menyentuh tanah pekarangan, Pak Juju melambaikan tangan padanya.

Suasana di sekitar ruangan kian disesaki para warga

Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Kafan Hitam   74

    “Kamu ... santri palsu suruhan Kalong Hideung, kan?” terka Rojali. Pemuda itu masih berada di sekitaran tanah lapang.Pria berambut gondrong itu terperanjat kaget, tetapi tak lama kemudian kembali memeluk kaki Rojali kuat-kuat.“Ampun! Jangan bunuh saya!” teriak pria itu kembali. Cengkeramannya kian kencang di kaki Rojali.“Saya tidak akan bunuh kamu,” ucap Rojali sembari berusaha melepas cengkeraman. “Kamu percaya sama saya.”Pria berpenampilan acak-acakan itu mengendurkan pegangan, lantas sedikit menjauh dari Rojali.“Apa benar kamu santri palsu itu?” tanya Rojali lagi. Setelahnya, ia beranjak ke sebuah batu, kemudian duduk di sana. Ia lalu meminta pria itu untuk duduk di sebelahnya dengan cara menepuk-nepuk area samping.Pria itu akhirnya menurut. Wajahnya menunduk, sedangkan mulutnya mulai menggigiti kuku. Beberapa kali ia menoleh ke arah Rojali, mengitari sekeliling, lalu kemba

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-04
  • Kafan Hitam   75

    Tepat tengah hari, Ki Jalu memasuki markas. Begitu melihat kedatangannya, anggota Kalong Hideung yang sejak tadi bersantai segera bersiaga. Puntung rokok serta beberapa botol minuman tampak berserakan di tanah.“Aya kabar naon?” tanya Ki Jalu sembari mengentakkan tongkat ke tanah. Matanya segera memindai sekeliling. Tampak beberapa kali orang-orang di depannya saling bertukar pandangan.“Ke-kemarin saya lihat ada dua orang di sekitar Lancah Darah, Ki,” ucap salah satu anggota, “sepertinya mereka ... Rojali dan anak si Atim yang ... disebutkan Kang Engkos.”“Bagus.” Ki Jalu tersenyum. “Lalu di mana mereka sekarang?”“Kami kehilangan je-jejak mereka,” sahut anggota yang lain, “satu orang jatuh ke curug, dan satunya lagi berhasil kabur.”Ki Jalu memelotot, dan dua lubang tengkorak di matanya bersinar merah. “Nurustunjung maneh!”

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-04
  • Kafan Hitam   76

    Semua orang yang tengah berkumpul di ruang musyawarah mendadak diam saat mendengar ucapan Aep. Untuk beberapa detik berikutnya, keheningan begitu tampak mendominasi ruangan.Aep memandangi satu per satu orang yang tengah duduk melingkar di hadapannya. Bibirnya menggurat senyum penuh kemenangan. Pria itu yakin kalau sebentar lagi ia akan berhasil membongkar kedok Rojali, terlebih dirinya memiliki bukti yang kuat.“Saha yang sudah buat Reza seperti itu, Ep?” Pak Dede mendadak berdiri. Matanya membola seperti hendak keluar. Rahangnya mengetat hingga urat tercetak jelas di sekitar leher. “Saha? Sok ngomong!”Aep menunduk sesaat, lalu mengamati satu per satu wajah penasaran yang menghiasi tokoh masyarakat Desa Ciboeh. Dengan satu tarikan napas, ia menjawab, “Rojali. Pelakunya Rojali.”Ada helaan napas tertahan sesaat setelah Aep berkata demikian. Wajah penasaran penghuni ruangan berubah menjadi keterkejutan

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-05
  • Kafan Hitam   77

    Kabar mengenai Rojali tersebar begitu cepat. Meski begitu, sebagian warga masih tak percaya dengan berita tersebut. Topik ini seketika menjadi bahasan hampir seluruh penduduk desa. Tak hanya di kebun, sawah dan dapur, pekarangan rumah pun tak lepas dari perkara satu ini.“Kamu yakin Ep?” tanya Pak Juju untuk ke sekian kali.Setelah pembuktian yang Aep tunjukkan di rumah Rojali, para tokoh masyarakat walau jumlahnya lebih sedikit kembali berkumpul. Pertemuan ini sempat ditentang oleh Pak Dede dengan alasan bukti sudah cukup kuat. Meski begitu, kepala desa itu tetap hadir dalam perkumpulan.Perkumpulan diadakan di rumah Pak Juju. Mereka tengah duduk melingkar di tengah ruangan. Euis meski tadinya sudah diminta keluar dari rumah, tetapi ia lebih memilih menguping di dapur.“Sejujurnya saya masih tidak percaya,” ucap Pak Yayat, “bisa saja kelompok itu sengaja memfitnah Ustaz Rojali.”“Saya juga pikir begitu,&rd

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-05
  • Kafan Hitam   78

    Rojali dan Ilham tiba di kawasan sekitar markas Kalong Hideung hampir tengah malam. Keduanya harus beberapa kali bersembunyi saat melihat anggota kelompok itu berpatroli di sekitar sungai dan hutan. Sebisa mungkin mereka harus menghindari pertempuran.Setelah memastikan aman, Rojali dan Ilham kembali bergerak. Mereka sengaja berpencar dengan memutari lokasi bawah bangunan dari arah berbeda.Rojali berhenti untuk menstabilkan napas sesaat. Ia lantas menaiki pohon untuk memantau keadaan sekeliling. Berbekal cahaya bulan dan obor di sekitar bangunan, ia bisa mengetahui kalau ada tangga kecil yang bisa ia naiki untuk sampai ke tempat tujuan. Hanya saja, cara itu terlalu berisiko. Pasalnya, akan sangat mudah musuh menemukannya.Oleh karena itu, Rojali memilih cara lain. Pemuda itu berjalan memutar hingga tiba di belakang bangunan. Syukurlah di tempat itu tidak terdapat obor yang terpasang. Dengan gerakan hati-hati dan penuh kewaspadaan, ia mendekat ke arah bangunan.

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-05
  • Kafan Hitam   79

    Keringat dengan cepat membanjiri tubuh Rojali. Deru napas dan degup jantungnya berpacu lebih cepat dibanding biasanya. Punggung pemuda itu menempel erat ke bilik tempatnya bersembunyi, sedang kedua kakinya bak dipaku ke tanah yang tengah dipijak.Untuk beberapa saat, Rojali masih mematung di posisinya. Ia merasa sangat sulit untuk mendekat ke arah komplotan Kalong Hideung karena adanya penerangan di ujung lorong. Jika salah bertindak dan gegabah sedikit saja, maka nyawalah taruhannya.Api tampak bergoyang saat angin dari celah jendela menerobos masuk ke dalam. Komplotan Kalong Hideung masih setia duduk menghadap Ki Jalu dan Badru.“Lusa, kita akan mulai ritual di Ciboeh,” ucap Ki Jalu seraya menyapu pandang ke semua anggota Kalong Hideung di depannya. “Sesuai dugaan, Ciboeh merupakan tempat kujang pusaka itu berada.”Mendengarnya, Rojali seketika menahan napas. Tangannya mendadak terkepal, seirama dengan rahang yang kian mengeras.

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-06
  • Kafan Hitam   80

    Rojali kembali menoleh ke arah komplotan Kalong Hideung berada. Hatinya remuk bak kaca yang dijatuhkan ke bebatuan. Dadanya mendadak bergemuruh seakan ada guntur yang menggelegar di dalam sana. Deru napasnya tiba-tiba tak beraturan.Kini, Rojali tahu kalau buku pusaka yang dimaksud Ki Jalu adalah buku yang ia titipkan ke pesantren. Ketakutannya akhirnya terbukti. Rojali mengepal tangan kuat-kuat, dan tanpa sadar hendak memukul bilik di sampingnya. Namun, saat tangannya akan berpapasan dengan bilik tersebut, dengan cepat ia menarik tangannya kembali.Silaing ngarasa dikhianat ku jadi babaturan silaing (Kamu merasa dikhianti oleh teman kamu)? Suara itu muncul kembali tanpa diminta. Setelahnya, gemuruh tawa memenuhi pikiran Rojali. Hal itu berlangsung selama beberapa waktu, dan seiring dengan detik berganti, tawa itu kian memekik di hati dan telinga. Amarah yang mulai menguasai mulai mengikis fokus Rojali hingga ia tak sadar tiba-tiba berdiri mengha

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-06
  • Kafan Hitam   81

    Kelompok warga yang semula bersembunyi kini semuanya tumpah ke pemakaman. Di barisan paling depan, Aep tengah mengacung-acungkan peci hitam yang ia pungut di dekat makam Ki Udin.“Peci ini punya Rojali!” teriak Aep. Rasa takutnya tergerus rasa bangga dan puas karena bisa menemukan dan mempertontonkan bukti kebusukan Rojali di depan warga.Atas perintah Pak Dede, kumpulan warga itu mulai meninggalkan pemakaman. Sebagian pemuda berlari lebih dahulu untuk mengejar sosok yang dikira mereka adalah Rojali menuju arah jembatan.“Kejar! Kejar!”Cahaya senter dan obor menerobos sela dedaunan dan ranting pohon, tak lupa celah bebatuan di sekitar jembatan. Namun, sosok itu nyatanya belum dapat ditemukan.“Kumaha Pak Kades?” tanya salah seorang warga yang bertugas di depan gerbang pemakaman begitu kelompok Pak Dede keluar dari pemakaman.“Pelakunya benar-benar si Rojali!” pekik Pak Dede, “se

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-06

Bab terbaru

  • Kafan Hitam   09 - Kafan Hitam (Ending)

    “Ini satu-satunya cara, Kang. Kita tidak punya pilihan lain.”Mbah Jaja akhirnya setuju setelah agak lama berpikir. “Aing bakal pasang pagar gaib lebih dulu.”Sebuah kubah segera melingkupi seluruh gubuk. Di pandangan orang biasa, bangunan itu akan tampak seperti halaman kosong.Mbah Atim dan Mbah Jaja dengan cepat duduk bersila di depan dan belakang orang gila itu. Mulut mereka mulai berkomat-kamit membaca mantra. Butuh kekuatan dan konsentrasi tinggi untuk bisa menggunakan ajian pengubah raga.Tubuh orang gila itu secara tiba-tiba bergetar beberapa kali. Mulutnya terbuka dengan kondisi bola mata memelotot seperti hendak meloncat. Raganya kemudian berguling-guling di lantai, dan tidak lama setelahnya, fisik pria edan itu persis menyerupai Mbah Atim.“Semoga saja si Jalu tidak sadar,” ujar Mbah Atim yang berdiri dengan wajah pucat. Keringat mulai membanjiri keningnya. Tenaganya benar-benar terkuras habis

  • Kafan Hitam   09 - Kafan Hitam (Part 1)

    1990Sehari sebelum kejadian penemuan jenazah tanpa kepalaCiboeh sangat panas siang ini. Debu-debu berterbangan ketika kaki melangkah dan roda kendaraan menggerus jalan. Beberapa warga tampak menyiram air ke halaman untuk mengusir panas. Meski begitu, tawa anak-anak terdengar bersahutan ketika mereka tengah mengerumuni seorang pria berpakaian kumal.“Nugelo (orang gila)! Nugelo!” Anak-anak kompak meneriaki seorang pria yang tengah berjongkok di tengah mereka.Orang gila itu melirik ke kanan dan ke kiri. Sesekali tangannya menepis ranting yang disodorkan anak-anak padanya. Bibirnya bergerak seperti menggumamkan sesuatu.Seorang anak laki-laki tiba-tiba saja melempar ranting ke sembarang arah ketika melihat Rojali dan Reza tengah berjalan ke arah mereka.“Ada Ustaz Rojali,” ujar Uden, “ayo kabur sebelum kita dihukum.”“H

  • Kafan Hitam   166

    Dua hari setelah kepergian Kiai, Rojali berkunjung ke Ciboeh bersama Lukman dan Ustaz Ahmad. Pemuda itu sudah mendengar kondisi desa dari keduanya yang porak poranda akibat ritual. Akan tetapi, ia berhasil dibuat terkejut ketika melihat keadaan Ciboeh secara langsung.Saat melewati gerbang desa, ia melihat gapura hancur sebagian. Lebih dekat ke arah utara, banyak rumah roboh dan hancur seperti baru diterjang badai. Kondisi lebih mengerikan tersaji ketika mobil melewati Kampung Cimenyan. Beberapa rumah tampak rata dengan tanah. Tak heran jika berita yang ditayangkan di televisi dan radio menunjukkan bahwa desa ini diserang bencana alam.Mobil menepi di depan reruntuhan kediaman Rojali. Pemuda bermata sipit itu turun bersama Ustaz Ahmad dan Lukman. Ketiganya menatap tanah kosong di mana beberapa puing bangunan masih berada di sana.“Kang Rojali,” ujar Euis yang muncul dari arah samping rumah, “apa itu benar Kang Rojali?” Rojal

  • Kafan Hitam   165

    Ustaz Ahmad benar-benar merasa gelisah sepanjang waktu. Pikirannya tertuju pada kondisi sang bapak yang masih berada di rumah sakit. Ia hanya duduk memandang perapian di depan, sama sekali belum menyentuh air atau makanan.“Ustaz,” panggil Lukman yang duduk di sampingnya, “sebaiknya Ustaz mengisi tenaga lebih dahulu. Setelahnya, Ustaz bisa berisitirahat.”Ustaz Ahmad mengembus napas panjang, mengangguk pelan. Ia menghabiskan makanan dengan cepat, lalu berbaring di bangku panjang yang berada tak jauh dari tempat dirinya dan Lukman duduk.Sepinya keadaan Cimayit, berbanding terbalik dengan situasi yang ada di pesantren. Tangis kesedihan begitu mendominasi para santri dan tamu yang hadir. Meninggalnya Kiai Rohmat dengan cepat tersebar. Sayang, di saat seperti ini, sang putra justru berada jauh dan belum tahu mengenai kondisi sang bapak.Para pelayat tengah mengerumuni jenazah Kiai Rohmat. Bacaan surat Yasin saling bersahutan dari mulu

  • Kafan Hitam   164

    Rojali, Ustaz Ahmad, Ilham dan Lukman tiba di Lancah Darah saat siang menjelang. Mobil menepi di tempat terakhir kali mereka memarkirkan kendaraan.“Sebaiknya kita berangkat sekarang,” ujar Ilham dengan pandangan menelisik sekeliling, “jika tidak bergegas, mungkin saja kita akan tiba malam hari.”Setelah memastikan kendaraan aman, keempat pria itu memulai perjalanan memasuki hutan Lancah Darah. Pemandangan indah yang ditawarkan kawasan ini tidak akan berlangsung lama ketika matahari tenggelam.Seperti apa yang dikatakan orang-orang, Lancah Darah menjadi tempat yang “haram” untuk dikunjungi orang. Tak hanya kisah mistis yang melekat, tetapi tentang sekelompok orang yang susah disentuh, termasuk aparat sekalipun.Rombongan beristirahat di pinggiran sungai untuk melaksanakan salat, juga untuk menyantap bekal. Mereka sudah mencapai setengah perlajanan saat langit mulai bersolek lembayung. Kumpulan burung-burung terban

  • Kafan Hitam   08 - Kafan Hitam (Part 8)

    Ciboeh, 1989Selesai salat subuh berjemaah, para tetua desa yang dipimpin Pak Dede memasuki kantor desa. Mereka duduk melingkar beralas tikar tanpa camilan atau air segelas pun. Dilihat dari wajah dan gestur mereka, tampak ada hal penting yang harus segera mereka diskusikan.Hujan mendadak mengguyur deras. Angin tampak menerobos di sela-sela lubang pintu dan jendela, membawa udara dingin. “Jangan sampai ada yang masuk ke kantor, Man,” ucap Pak Dede pada Eman yang berjaga di pintu.“Siap, Pak Kades.” Eman mengacungkan jempol.Ruangan hanya diterangi lampu kecil sehingga cahaya hanya menyinari tengah ruangan, sedang gelap memeluk keadaaan sekelililing. “Kalian sudah memastikan kalau Rojali tidak ada di desa?” tanya Pak Dede sembari mengamati satu per satu orang yang hadir.“Sudah, Pak Dede,” jawab Pak Yayat, “Ustaz Rojali mengabari kalau selama dua hari

  • Kafan Hitam   08 - Kafan Hitam (Part 8)

    Bulan purnama tampak menggantung di cakrawala, memamerkan bulatan sempurna bercahaya keperakan. Di sisi sungai, Mbah Atim dan Mbah Jaja tampak berdiri menunggu kedatangan Ujang. Sudah lewat beberapa menit dari waktu perjanjian.“Awas saja kalau si Ujang mengkhianati kita, Juned,” ucap Mbah Jaja penuh amarah, “aing tidak segan bunuh istri, mertua dan anaknya sekaligus.”“Kita tunggu sebentar lagi, Kang,” sahut Mbah Atim menenangkan. Pandangannya tertuju pada seberang sungai, di mana pekatnya hutan hanya bisa menampilkan kegelapan. Ia mulai tak enak berdiri, pasalnya Mbah Jaja bisa saja nekat, dan saat itu terjadi ia tidak bisa melakukan banyak hal.“Sampai kapan kita harus menunggu si Ujang, Juned?” tanya Mbah Jaja sembari mengeluarkan pisau kecil, memandanginya dengan lekat-lekat. “Bisa saja dia berubah pikiran dan mengkhianati perjanjian kita.”“Saya yakin Ujang pasti datang ke si

  • Kafan Hitam   08 - Kafan Hitam (Part 6)

    Hujan deras yang mengguyur Ciboeh beberapa hari terakhir mengakibatkan bencana longsor. Peristiwa itu terjadi bakda subuh saat para warga sudah mulai bersiap menyambut hari. Lokasi terjadinya bencana berada di perbatasan Cigeutih dan Cimenyan. Hal itu menyebabkan beberapa rumah di dua kampung rusak karena tertimbun. Untungnya tidak ada korban jiwa.Para korban yang berhasil selamat diungsikan di rumah-rumah saudara. Warga saling bergotong royong membantu membersihkan tanah yang menghalangi jalan dan menutup akses jembatan yang menghubungkan kedua kampung.Setelah jembatan dapat kembali dibuka, Rojali berinisiatif meminta bantuan pada pesantren. Syukur dipanjatkan, Kiai mengirim bantuan dengan menerjunkan lima puluh santri ke Ciboeh. Dalam waktu sehari, lokasi sekitar bencana kembali normal meski rumah tampak ambruk.Hari berikutnya, warga masih berjibaku dengan sisa tanah longsor yang masih tertimbun di beberapa bagian sudut desa. Tanpa disangka-sangka, se

  • Kafan Hitam   08 - Kafan Hitam (Part 5)

    Sebuah motor tampak melaju dengan kecepatan sedang di jalanan Kampung Cigeutih. Gerimis tak lama kemudian berubah menjadi hujan lebat. Reza yang berada di atas kendaraan mencibir dengan penuh sumpah serapah. Ia mempercepat laju motor hingga kendaraan bergetar beberapa kali karena menorobos jalan berbatu dan berlubang.Reza berdecak, melempar rokok sembarang. Saat menoleh pada pos ronda, ia sama sekali tidak melihat teman-temannya berkumpul. Dengan terpaksa pemuda itu harus pulang ke rumah, padahal siang tadi ia bersitegang dengan bapaknya. Malas sebenarnya, tetapi ia tidak punya pilihan lain.“Ah, any*ng!” maki Reza dengan badan yang sudah mulai kedinginan. Seluruh pakaiannya basah kuyup, bahkan sampai ke dalam-dalam. Karena emosi, ia sampai melewatkan kediamannya sendiri.“Tol*l!” maki Reza setelah tahu kalau dirinya melewatkan rumahnya sendiri. Ia mendadak abai dengan keadaan di depan hingga tak bisa menghindari sebuah lubang. Alhasil,

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status