Rojali kembali menoleh ke arah komplotan Kalong Hideung berada. Hatinya remuk bak kaca yang dijatuhkan ke bebatuan. Dadanya mendadak bergemuruh seakan ada guntur yang menggelegar di dalam sana. Deru napasnya tiba-tiba tak beraturan.
Kini, Rojali tahu kalau buku pusaka yang dimaksud Ki Jalu adalah buku yang ia titipkan ke pesantren. Ketakutannya akhirnya terbukti. Rojali mengepal tangan kuat-kuat, dan tanpa sadar hendak memukul bilik di sampingnya. Namun, saat tangannya akan berpapasan dengan bilik tersebut, dengan cepat ia menarik tangannya kembali.
Silaing ngarasa dikhianat ku jadi babaturan silaing(Kamu merasa dikhianti oleh teman kamu)?
Suara itu muncul kembali tanpa diminta. Setelahnya, gemuruh tawa memenuhi pikiran Rojali. Hal itu berlangsung selama beberapa waktu, dan seiring dengan detik berganti, tawa itu kian memekik di hati dan telinga. Amarah yang mulai menguasai mulai mengikis fokus Rojali hingga ia tak sadar tiba-tiba berdiri mengha
Kelompok warga yang semula bersembunyi kini semuanya tumpah ke pemakaman. Di barisan paling depan, Aep tengah mengacung-acungkan peci hitam yang ia pungut di dekat makam Ki Udin.“Peci ini punya Rojali!” teriak Aep. Rasa takutnya tergerus rasa bangga dan puas karena bisa menemukan dan mempertontonkan bukti kebusukan Rojali di depan warga.Atas perintah Pak Dede, kumpulan warga itu mulai meninggalkan pemakaman. Sebagian pemuda berlari lebih dahulu untuk mengejar sosok yang dikira mereka adalah Rojali menuju arah jembatan.“Kejar! Kejar!”Cahaya senter dan obor menerobos sela dedaunan dan ranting pohon, tak lupa celah bebatuan di sekitar jembatan. Namun, sosok itu nyatanya belum dapat ditemukan.“Kumaha Pak Kades?” tanya salah seorang warga yang bertugas di depan gerbang pemakaman begitu kelompok Pak Dede keluar dari pemakaman.“Pelakunya benar-benar si Rojali!” pekik Pak Dede, “se
“Saya harus katakan kalau si Rojali itu sudah menipu kita selama ini! Dia pura-pura jadi ustaz dan membantu kita hanya untuk membuat kita percaya sama dia! Dia tak lain adalah bagian dari kelompok orang yang sudah membunuh Mbah Atim dan Ki Udin, termasuk orang yang sudah menakut-nakuti kita dengan potongan tubuh manusia waktu itu! Dia juga yang sudah menyantet Reza, anak saya! Dengarkan saya! Rojali tak lebih dari penipu dan seorang kriminal jahannam! Dia sudah menginjak-injak harga diri dan kehormatan kita dan desa kita!” teriak Pak Dede lantang. Para warga seketika dilanda keterkejutan. Banyak yang menyayangkan dan masih terkesan tak percaya. Namun, saat melihat reaksi tokoh masyarakat yang diam saat Pak Dede berbicara, ketidakpercayaan itu dengan cepat pupus dan berganti dengan amarah dan sumpah serapah yang mengudara. Melihat dan mendengar semua yang terjadi, Aep tak henti-hentinya tersenyum puas. Akhirnya, setelah memendam luka, rasa sakit hatinya pada Rojali bi
Euis menyeka air mata dengan punggung tangan. Setengah wajahnya sengaja ia tutup dengan jilbab hingga hanya menyisakan bola mata yang sudah sembap. Sementara itu, satu tangannya menggenggam mukena dan sajadah erat-erat. Matahari belum muncul ke permukaan. Ciboeh masih larut dalam suasana subuh.Euis memandangi sisa-sisa puing rumah Rojali. Bangunan ini sudah rata dengan tanah. Meski begitu, bara api masih setia menggerogoti kayu dan barang-barang di dalamnya, menghasilkan asap yang mengepul ke langit.Euis mengambil sebatang ranting yang tergelatak tak jauh darinya. Gadis itu kemudian menyibak bara api dengan benda itu. Senyumnya langsung tercipta begitu melihat peci hitam milik Rojali yang setengahnya sudah terbakar. Begitu ia menyentuh benda itu, air mata kembali menetes.Euis teringat saat kejadian malam tadi. Entah dorongan dan keberanian dari mana, ia masuk ke rumah, dan kembali ke kediaman Rojali dengan ember berisi air dan gayung. Ia lantas berteria
“Aya naon?” tanya Lukman sembari turun dari mobil. Aksinya juga diikuti oleh Deni. Ia menatap bingung beberapa pria yang mendekat ke arahnya. “Punteun,” ucap salah seorang pria berperawakan tinggi, “atas perintah Pak Kades, warga luar tidak boleh masuk ke Ciboeh.” Lukman dan Deni saling bertatapan dengan ekspresi bingung, terlebih orang-orang itu menyebut jabatan kepala desa segala. “Kenapa kami tidak boleh masuk?” tanya Lukman lagi, “kami hanya sebentar, Pak. Setelah itu—” “Tetap saja, Pak,” sela Mahmud, “ini sudah kesepakatan Pak Kades dengan semua warga desa. Bukan cuma Bapak berdua saja yang tidak kami izinkan masuk, tapi semua orang luar yang akan masuk ke desa akan ditolak. Lihat!” Lukman dan Deni menoleh pada arah yang ditunjuk pria barusan. Tampak sebuah mobil bak berisi aneka sayuran ikut dihentikan. Tak lama kemudian, beberapa pria dari Ciboeh menurunkan kotak dan keranjang sayuran dan memindahkannya ke bebera
“Tong sampe kabur!” teriak Aep yang kemudian mulai melempar batu ke arah mobil. Aksinya segera diikuti oleh warga lain. “Astagfirullah,” ucap Lukman dan Deni kompak saat hujan batu menghantam mobil mereka. Saat akan memutar arah, sebuah batu besar mendarat di kaca depan, membuat retakan cukup besar. Tak hanya di sana, warga memblokade jalan depan saat kendaraan akan melaju. “Kumaha ini, Kang?” tanya Deni dengan wajah panik, “kenapa jadi seperti ini? Sebenarnya apa yang terjadi sama Kang Rojali?” Lukman tak langsung membalas. Ia menoleh ke belakang dan mengintip aksi warga yang masih melempari batu. Ia tercenung sesaat ketika melihat seorang gadis berkerudung hanya mematung di pinggir jalan tanpa ekspresi. “Kang,” pekik Deni. Lukman segera menoleh. “Astagfirullah,” ucapnya saat melihat warga sudah warga memukul kaca dan menendang-nendang pintu dan badan mobil. Beberapa di antara mereka juga naik ke bak belakang mobil dan ikut
Lukman tak langsung menjawab. Bibirnya mengatup erat. Saat ini, ia bukan hanya tak berani memandang wajah dua orang di depannya, tetapi juga tak kuasa bicara jujur. Untuk beberapa detik kemudian, Lukman tenggelam dalam pikirannya sendiri. Kepalanya terasa ingin pecah saking kerasnya berpikir. Apa ia harus berbohong pada Kiai?“Lukman,” panggil Kiai.Lukman seketika menengang di tempat. Keringat tampak membanjiri dahinya. Ia memberanikan diri mengangkat wajah untuk Kiai dan Ustaz Ahmad. Begitu keberaniannya terkumpul, pria itu menyeka peluh, kemudian berkata, “Be-berapa hari yang lalu, Rojali menghubungi saya ... ka-kalau dia akan berangkat ke ... Lan-lancah Darah.”“Astagfirullah, Lukman!” bentak Ustaz Ahmad yang seketika berdiri. Serban yang tersampir di bahunya sampai terjatuh. Kedua tangannya tampak terkepal erat.“Punteun, Kiai, Ustaz.” Lukman menunduk dalam. Posisinya hampir menyerupai or
Kiai mengembus napas panjang begitu selesai membaca kalimat yang tertulis di kertas. Pandangannya lurus ke depan di mana jemarinya berhenti menggulir biji tasbih. Untuk sesaat, hanya keheningan yang meruang di tempat empat orang itu berada. Lukman, Deni maupun Ustaz Ahmad tak berani buka suara.“Benar apa yang kamu katakan, Lukman,” ujar Kiai setelah beberapa detik keheningan menyapa, “menurut tulisan di kertas ini, warga Ciboeh bahkan sudah membakar rumah Rojali hingga rata dengan tanah.”Mendengar penuturan Kiai, Lukman kian menundukkan wajah. Kepalan tangannya semakin mengeras seiring dengan rasa bersalah dan penyesalannya yang kian membesar seiring waktu. Andai saja ia bisa mencegah Rojali untuk pergi ke Lnacah Darah, andai saja dirinya bisa jujur lebih awal pada Kiai dan Ustaz Ahmad, mungkin kejadiannya tidak akan sampai separah ini.“Ini semua salah saya, Kiai. Sa-saya yang sudah berani kurang ajar pada Kiai.” Lukman tib
Rojali menghindari setiap serangan yang dilontarkan Badru. Ia tak mengendurkan kewaspadaan meskipun pria yang menyerangnya kini kembali mundur.“Maneh kudu jadi anggota Kalong Hideung Rojali,” ujar Badru. Pria itu merenggangkan tubuh seperti melakukan pemanasan sebelum melakukan kegiatan, atau justru membuat suasana genting menjadi sedikit santai.Rojali masih tetap dalam posisi. Ia memperhatikan setiap gestur lawan dengan saksama. Pria di depannya bisa dibilang jauh berbeda dengan anggota Kalong Hideung yang pernah ia lawan. Perawakannya tinggi besar dan gerakannya sangat cepat.“Siapa kamu?” tanya Rojali.Ditanya demikian, Badru hanya menjawab dengan kekehan. Ia segera menghentikan tawanya saat melihat Rojali memperbaharui kuda-kuda. “Aing bakal jawab kabeh pertanyaan maneh kalau maneh bisa hajar aing¸ Rojali!”Pandangan Rojali fokus pada k