Euis menyeka air mata dengan punggung tangan. Setengah wajahnya sengaja ia tutup dengan jilbab hingga hanya menyisakan bola mata yang sudah sembap. Sementara itu, satu tangannya menggenggam mukena dan sajadah erat-erat. Matahari belum muncul ke permukaan. Ciboeh masih larut dalam suasana subuh.
Euis memandangi sisa-sisa puing rumah Rojali. Bangunan ini sudah rata dengan tanah. Meski begitu, bara api masih setia menggerogoti kayu dan barang-barang di dalamnya, menghasilkan asap yang mengepul ke langit.
Euis mengambil sebatang ranting yang tergelatak tak jauh darinya. Gadis itu kemudian menyibak bara api dengan benda itu. Senyumnya langsung tercipta begitu melihat peci hitam milik Rojali yang setengahnya sudah terbakar. Begitu ia menyentuh benda itu, air mata kembali menetes.
Euis teringat saat kejadian malam tadi. Entah dorongan dan keberanian dari mana, ia masuk ke rumah, dan kembali ke kediaman Rojali dengan ember berisi air dan gayung. Ia lantas berteria
“Aya naon?” tanya Lukman sembari turun dari mobil. Aksinya juga diikuti oleh Deni. Ia menatap bingung beberapa pria yang mendekat ke arahnya. “Punteun,” ucap salah seorang pria berperawakan tinggi, “atas perintah Pak Kades, warga luar tidak boleh masuk ke Ciboeh.” Lukman dan Deni saling bertatapan dengan ekspresi bingung, terlebih orang-orang itu menyebut jabatan kepala desa segala. “Kenapa kami tidak boleh masuk?” tanya Lukman lagi, “kami hanya sebentar, Pak. Setelah itu—” “Tetap saja, Pak,” sela Mahmud, “ini sudah kesepakatan Pak Kades dengan semua warga desa. Bukan cuma Bapak berdua saja yang tidak kami izinkan masuk, tapi semua orang luar yang akan masuk ke desa akan ditolak. Lihat!” Lukman dan Deni menoleh pada arah yang ditunjuk pria barusan. Tampak sebuah mobil bak berisi aneka sayuran ikut dihentikan. Tak lama kemudian, beberapa pria dari Ciboeh menurunkan kotak dan keranjang sayuran dan memindahkannya ke bebera
“Tong sampe kabur!” teriak Aep yang kemudian mulai melempar batu ke arah mobil. Aksinya segera diikuti oleh warga lain. “Astagfirullah,” ucap Lukman dan Deni kompak saat hujan batu menghantam mobil mereka. Saat akan memutar arah, sebuah batu besar mendarat di kaca depan, membuat retakan cukup besar. Tak hanya di sana, warga memblokade jalan depan saat kendaraan akan melaju. “Kumaha ini, Kang?” tanya Deni dengan wajah panik, “kenapa jadi seperti ini? Sebenarnya apa yang terjadi sama Kang Rojali?” Lukman tak langsung membalas. Ia menoleh ke belakang dan mengintip aksi warga yang masih melempari batu. Ia tercenung sesaat ketika melihat seorang gadis berkerudung hanya mematung di pinggir jalan tanpa ekspresi. “Kang,” pekik Deni. Lukman segera menoleh. “Astagfirullah,” ucapnya saat melihat warga sudah warga memukul kaca dan menendang-nendang pintu dan badan mobil. Beberapa di antara mereka juga naik ke bak belakang mobil dan ikut
Lukman tak langsung menjawab. Bibirnya mengatup erat. Saat ini, ia bukan hanya tak berani memandang wajah dua orang di depannya, tetapi juga tak kuasa bicara jujur. Untuk beberapa detik kemudian, Lukman tenggelam dalam pikirannya sendiri. Kepalanya terasa ingin pecah saking kerasnya berpikir. Apa ia harus berbohong pada Kiai?“Lukman,” panggil Kiai.Lukman seketika menengang di tempat. Keringat tampak membanjiri dahinya. Ia memberanikan diri mengangkat wajah untuk Kiai dan Ustaz Ahmad. Begitu keberaniannya terkumpul, pria itu menyeka peluh, kemudian berkata, “Be-berapa hari yang lalu, Rojali menghubungi saya ... ka-kalau dia akan berangkat ke ... Lan-lancah Darah.”“Astagfirullah, Lukman!” bentak Ustaz Ahmad yang seketika berdiri. Serban yang tersampir di bahunya sampai terjatuh. Kedua tangannya tampak terkepal erat.“Punteun, Kiai, Ustaz.” Lukman menunduk dalam. Posisinya hampir menyerupai or
Kiai mengembus napas panjang begitu selesai membaca kalimat yang tertulis di kertas. Pandangannya lurus ke depan di mana jemarinya berhenti menggulir biji tasbih. Untuk sesaat, hanya keheningan yang meruang di tempat empat orang itu berada. Lukman, Deni maupun Ustaz Ahmad tak berani buka suara.“Benar apa yang kamu katakan, Lukman,” ujar Kiai setelah beberapa detik keheningan menyapa, “menurut tulisan di kertas ini, warga Ciboeh bahkan sudah membakar rumah Rojali hingga rata dengan tanah.”Mendengar penuturan Kiai, Lukman kian menundukkan wajah. Kepalan tangannya semakin mengeras seiring dengan rasa bersalah dan penyesalannya yang kian membesar seiring waktu. Andai saja ia bisa mencegah Rojali untuk pergi ke Lnacah Darah, andai saja dirinya bisa jujur lebih awal pada Kiai dan Ustaz Ahmad, mungkin kejadiannya tidak akan sampai separah ini.“Ini semua salah saya, Kiai. Sa-saya yang sudah berani kurang ajar pada Kiai.” Lukman tib
Rojali menghindari setiap serangan yang dilontarkan Badru. Ia tak mengendurkan kewaspadaan meskipun pria yang menyerangnya kini kembali mundur.“Maneh kudu jadi anggota Kalong Hideung Rojali,” ujar Badru. Pria itu merenggangkan tubuh seperti melakukan pemanasan sebelum melakukan kegiatan, atau justru membuat suasana genting menjadi sedikit santai.Rojali masih tetap dalam posisi. Ia memperhatikan setiap gestur lawan dengan saksama. Pria di depannya bisa dibilang jauh berbeda dengan anggota Kalong Hideung yang pernah ia lawan. Perawakannya tinggi besar dan gerakannya sangat cepat.“Siapa kamu?” tanya Rojali.Ditanya demikian, Badru hanya menjawab dengan kekehan. Ia segera menghentikan tawanya saat melihat Rojali memperbaharui kuda-kuda. “Aing bakal jawab kabeh pertanyaan maneh kalau maneh bisa hajar aing¸ Rojali!”Pandangan Rojali fokus pada k
“Aing Badru, Pemimpin Kalong Hideung,” jawab Badru dengan segaris senyum.“Kunaon kamu ingin menjadikan saya anggota Kalong Hideung?” Rojali kembali bertanya. Ia pikir ini adalah kesempatan bagus untuk mendapat informasi dari musuh walau ia harus tetap memilah informasi karena bisa saja musuh justru memberi keterangan palsu.Badru terkekeh. “Aing hanya menjalankan perintah.”“Perintah? Perintah dari kakek itu?” terka Rojali.Badru mengangguk. “Aing datang kadieu pikeun nguji maneh (ke sini untuk menguji kamu).”“Menguji?”“Maneh bakal jadi sosok pengganti aing, Pemimpin Kalong Hideung.”Mendengarnya, Rojali menggertakkan gigi kuat-kuat. Tak pernah sedetik pun pikiran itu terlintas di benaknya. “Saya tidak berminat. Silakan cari orang lain.”Badru terkekeh. “
Rojali mundur untuk membenarkan penutup wajah sebelum kembali menerjang lawan. Serangannya saat ini lebih banyak didorong oleh amarah karena sosok yang amat dihormatinya dihina. Baginya, selain sebagai pemuka agama, pemilik pesantren dan guru, Kiai adalah sosok ayah yang telah mendidik dan memberinya kehangatan keluarga. Jadi, sebagai seorang anak, ia tak akan gentar saat mendengar penghinaan pada orang tuanya.“Kamu harus tarik kata-kata kamu tadi!” perintah Rojali tegas. Pemuda itu kian intens menyerang dibanding memilih bertahan. Alhasil, ia mampu membuat lawan mundur walau sesaat.Namun, serangan Rojali yang didorong emosi tersebut, tak serta-merta membuatnya berada di atas angin. Gerakannya malah terkesan asal sehingga menimbulkan banyak celah.Hal itu jelas dimanfaatkan Badru dengan baik untuk bisa menghajar Rojali hingga babak belur. Kemudian, setelah pemuda itu tak sadarkan diri, ia akan membawa Rojali ke markas dan meminta bapaknya untuk seg
Silaing butuh bantuan kaula?Di ambang batas kesadarannya, Rojali mendengar suara tersebut. Begitu matanya tertutup, ia tiba-tiba saja berada di sebuah ruangan bernuasa putih dengan asap yang mengitari sekeliling.Rojali sontak memeriksa keadaannya. Ia terperanjat kaget saat menyadari kalau tak ada nyeri maupun luka, padahal ia masih ingat kalau Badru mengahajarnya habis-habisan. Ini aneh, sangat aneh, pikirnya.Rojali refleks mundur begitu melihat sosok serupa dirinya sudah berada di depannya, lengkap dengan busana dan atribut kerajaan. Sosok itu berjalan mendekat ke arahnya dengan kedua tangan berada di balik punggung.“Silaing butuh bantuan kaula?” tanya sosok serupa Rojali.“Di mana saya?” Rojali balik bertanya. “Kunaon kamu selalu ganggu saya? Apa yang kamu mau dari saya?”Pria berbusana kerajaan itu berhenti tepat di samping Rojali. Tatapannya lurus ke depan. “
“Ini satu-satunya cara, Kang. Kita tidak punya pilihan lain.”Mbah Jaja akhirnya setuju setelah agak lama berpikir. “Aing bakal pasang pagar gaib lebih dulu.”Sebuah kubah segera melingkupi seluruh gubuk. Di pandangan orang biasa, bangunan itu akan tampak seperti halaman kosong.Mbah Atim dan Mbah Jaja dengan cepat duduk bersila di depan dan belakang orang gila itu. Mulut mereka mulai berkomat-kamit membaca mantra. Butuh kekuatan dan konsentrasi tinggi untuk bisa menggunakan ajian pengubah raga.Tubuh orang gila itu secara tiba-tiba bergetar beberapa kali. Mulutnya terbuka dengan kondisi bola mata memelotot seperti hendak meloncat. Raganya kemudian berguling-guling di lantai, dan tidak lama setelahnya, fisik pria edan itu persis menyerupai Mbah Atim.“Semoga saja si Jalu tidak sadar,” ujar Mbah Atim yang berdiri dengan wajah pucat. Keringat mulai membanjiri keningnya. Tenaganya benar-benar terkuras habis
1990Sehari sebelum kejadian penemuan jenazah tanpa kepalaCiboeh sangat panas siang ini. Debu-debu berterbangan ketika kaki melangkah dan roda kendaraan menggerus jalan. Beberapa warga tampak menyiram air ke halaman untuk mengusir panas. Meski begitu, tawa anak-anak terdengar bersahutan ketika mereka tengah mengerumuni seorang pria berpakaian kumal.“Nugelo (orang gila)! Nugelo!” Anak-anak kompak meneriaki seorang pria yang tengah berjongkok di tengah mereka.Orang gila itu melirik ke kanan dan ke kiri. Sesekali tangannya menepis ranting yang disodorkan anak-anak padanya. Bibirnya bergerak seperti menggumamkan sesuatu.Seorang anak laki-laki tiba-tiba saja melempar ranting ke sembarang arah ketika melihat Rojali dan Reza tengah berjalan ke arah mereka.“Ada Ustaz Rojali,” ujar Uden, “ayo kabur sebelum kita dihukum.”“H
Dua hari setelah kepergian Kiai, Rojali berkunjung ke Ciboeh bersama Lukman dan Ustaz Ahmad. Pemuda itu sudah mendengar kondisi desa dari keduanya yang porak poranda akibat ritual. Akan tetapi, ia berhasil dibuat terkejut ketika melihat keadaan Ciboeh secara langsung.Saat melewati gerbang desa, ia melihat gapura hancur sebagian. Lebih dekat ke arah utara, banyak rumah roboh dan hancur seperti baru diterjang badai. Kondisi lebih mengerikan tersaji ketika mobil melewati Kampung Cimenyan. Beberapa rumah tampak rata dengan tanah. Tak heran jika berita yang ditayangkan di televisi dan radio menunjukkan bahwa desa ini diserang bencana alam.Mobil menepi di depan reruntuhan kediaman Rojali. Pemuda bermata sipit itu turun bersama Ustaz Ahmad dan Lukman. Ketiganya menatap tanah kosong di mana beberapa puing bangunan masih berada di sana.“Kang Rojali,” ujar Euis yang muncul dari arah samping rumah, “apa itu benar Kang Rojali?” Rojal
Ustaz Ahmad benar-benar merasa gelisah sepanjang waktu. Pikirannya tertuju pada kondisi sang bapak yang masih berada di rumah sakit. Ia hanya duduk memandang perapian di depan, sama sekali belum menyentuh air atau makanan.“Ustaz,” panggil Lukman yang duduk di sampingnya, “sebaiknya Ustaz mengisi tenaga lebih dahulu. Setelahnya, Ustaz bisa berisitirahat.”Ustaz Ahmad mengembus napas panjang, mengangguk pelan. Ia menghabiskan makanan dengan cepat, lalu berbaring di bangku panjang yang berada tak jauh dari tempat dirinya dan Lukman duduk.Sepinya keadaan Cimayit, berbanding terbalik dengan situasi yang ada di pesantren. Tangis kesedihan begitu mendominasi para santri dan tamu yang hadir. Meninggalnya Kiai Rohmat dengan cepat tersebar. Sayang, di saat seperti ini, sang putra justru berada jauh dan belum tahu mengenai kondisi sang bapak.Para pelayat tengah mengerumuni jenazah Kiai Rohmat. Bacaan surat Yasin saling bersahutan dari mulu
Rojali, Ustaz Ahmad, Ilham dan Lukman tiba di Lancah Darah saat siang menjelang. Mobil menepi di tempat terakhir kali mereka memarkirkan kendaraan.“Sebaiknya kita berangkat sekarang,” ujar Ilham dengan pandangan menelisik sekeliling, “jika tidak bergegas, mungkin saja kita akan tiba malam hari.”Setelah memastikan kendaraan aman, keempat pria itu memulai perjalanan memasuki hutan Lancah Darah. Pemandangan indah yang ditawarkan kawasan ini tidak akan berlangsung lama ketika matahari tenggelam.Seperti apa yang dikatakan orang-orang, Lancah Darah menjadi tempat yang “haram” untuk dikunjungi orang. Tak hanya kisah mistis yang melekat, tetapi tentang sekelompok orang yang susah disentuh, termasuk aparat sekalipun.Rombongan beristirahat di pinggiran sungai untuk melaksanakan salat, juga untuk menyantap bekal. Mereka sudah mencapai setengah perlajanan saat langit mulai bersolek lembayung. Kumpulan burung-burung terban
Ciboeh, 1989Selesai salat subuh berjemaah, para tetua desa yang dipimpin Pak Dede memasuki kantor desa. Mereka duduk melingkar beralas tikar tanpa camilan atau air segelas pun. Dilihat dari wajah dan gestur mereka, tampak ada hal penting yang harus segera mereka diskusikan.Hujan mendadak mengguyur deras. Angin tampak menerobos di sela-sela lubang pintu dan jendela, membawa udara dingin. “Jangan sampai ada yang masuk ke kantor, Man,” ucap Pak Dede pada Eman yang berjaga di pintu.“Siap, Pak Kades.” Eman mengacungkan jempol.Ruangan hanya diterangi lampu kecil sehingga cahaya hanya menyinari tengah ruangan, sedang gelap memeluk keadaaan sekelililing. “Kalian sudah memastikan kalau Rojali tidak ada di desa?” tanya Pak Dede sembari mengamati satu per satu orang yang hadir.“Sudah, Pak Dede,” jawab Pak Yayat, “Ustaz Rojali mengabari kalau selama dua hari
Bulan purnama tampak menggantung di cakrawala, memamerkan bulatan sempurna bercahaya keperakan. Di sisi sungai, Mbah Atim dan Mbah Jaja tampak berdiri menunggu kedatangan Ujang. Sudah lewat beberapa menit dari waktu perjanjian.“Awas saja kalau si Ujang mengkhianati kita, Juned,” ucap Mbah Jaja penuh amarah, “aing tidak segan bunuh istri, mertua dan anaknya sekaligus.”“Kita tunggu sebentar lagi, Kang,” sahut Mbah Atim menenangkan. Pandangannya tertuju pada seberang sungai, di mana pekatnya hutan hanya bisa menampilkan kegelapan. Ia mulai tak enak berdiri, pasalnya Mbah Jaja bisa saja nekat, dan saat itu terjadi ia tidak bisa melakukan banyak hal.“Sampai kapan kita harus menunggu si Ujang, Juned?” tanya Mbah Jaja sembari mengeluarkan pisau kecil, memandanginya dengan lekat-lekat. “Bisa saja dia berubah pikiran dan mengkhianati perjanjian kita.”“Saya yakin Ujang pasti datang ke si
Hujan deras yang mengguyur Ciboeh beberapa hari terakhir mengakibatkan bencana longsor. Peristiwa itu terjadi bakda subuh saat para warga sudah mulai bersiap menyambut hari. Lokasi terjadinya bencana berada di perbatasan Cigeutih dan Cimenyan. Hal itu menyebabkan beberapa rumah di dua kampung rusak karena tertimbun. Untungnya tidak ada korban jiwa.Para korban yang berhasil selamat diungsikan di rumah-rumah saudara. Warga saling bergotong royong membantu membersihkan tanah yang menghalangi jalan dan menutup akses jembatan yang menghubungkan kedua kampung.Setelah jembatan dapat kembali dibuka, Rojali berinisiatif meminta bantuan pada pesantren. Syukur dipanjatkan, Kiai mengirim bantuan dengan menerjunkan lima puluh santri ke Ciboeh. Dalam waktu sehari, lokasi sekitar bencana kembali normal meski rumah tampak ambruk.Hari berikutnya, warga masih berjibaku dengan sisa tanah longsor yang masih tertimbun di beberapa bagian sudut desa. Tanpa disangka-sangka, se
Sebuah motor tampak melaju dengan kecepatan sedang di jalanan Kampung Cigeutih. Gerimis tak lama kemudian berubah menjadi hujan lebat. Reza yang berada di atas kendaraan mencibir dengan penuh sumpah serapah. Ia mempercepat laju motor hingga kendaraan bergetar beberapa kali karena menorobos jalan berbatu dan berlubang.Reza berdecak, melempar rokok sembarang. Saat menoleh pada pos ronda, ia sama sekali tidak melihat teman-temannya berkumpul. Dengan terpaksa pemuda itu harus pulang ke rumah, padahal siang tadi ia bersitegang dengan bapaknya. Malas sebenarnya, tetapi ia tidak punya pilihan lain.“Ah, any*ng!” maki Reza dengan badan yang sudah mulai kedinginan. Seluruh pakaiannya basah kuyup, bahkan sampai ke dalam-dalam. Karena emosi, ia sampai melewatkan kediamannya sendiri.“Tol*l!” maki Reza setelah tahu kalau dirinya melewatkan rumahnya sendiri. Ia mendadak abai dengan keadaan di depan hingga tak bisa menghindari sebuah lubang. Alhasil,