“Tong sampe kabur!” teriak Aep yang kemudian mulai melempar batu ke arah mobil. Aksinya segera diikuti oleh warga lain.
“Astagfirullah,” ucap Lukman dan Deni kompak saat hujan batu menghantam mobil mereka. Saat akan memutar arah, sebuah batu besar mendarat di kaca depan, membuat retakan cukup besar. Tak hanya di sana, warga memblokade jalan depan saat kendaraan akan melaju.
“Kumaha ini, Kang?” tanya Deni dengan wajah panik, “kenapa jadi seperti ini? Sebenarnya apa yang terjadi sama Kang Rojali?”
Lukman tak langsung membalas. Ia menoleh ke belakang dan mengintip aksi warga yang masih melempari batu. Ia tercenung sesaat ketika melihat seorang gadis berkerudung hanya mematung di pinggir jalan tanpa ekspresi.
“Kang,” pekik Deni.
Lukman segera menoleh. “Astagfirullah,” ucapnya saat melihat warga sudah warga memukul kaca dan menendang-nendang pintu dan badan mobil. Beberapa di antara mereka juga naik ke bak belakang mobil dan ikut
Lukman tak langsung menjawab. Bibirnya mengatup erat. Saat ini, ia bukan hanya tak berani memandang wajah dua orang di depannya, tetapi juga tak kuasa bicara jujur. Untuk beberapa detik kemudian, Lukman tenggelam dalam pikirannya sendiri. Kepalanya terasa ingin pecah saking kerasnya berpikir. Apa ia harus berbohong pada Kiai?“Lukman,” panggil Kiai.Lukman seketika menengang di tempat. Keringat tampak membanjiri dahinya. Ia memberanikan diri mengangkat wajah untuk Kiai dan Ustaz Ahmad. Begitu keberaniannya terkumpul, pria itu menyeka peluh, kemudian berkata, “Be-berapa hari yang lalu, Rojali menghubungi saya ... ka-kalau dia akan berangkat ke ... Lan-lancah Darah.”“Astagfirullah, Lukman!” bentak Ustaz Ahmad yang seketika berdiri. Serban yang tersampir di bahunya sampai terjatuh. Kedua tangannya tampak terkepal erat.“Punteun, Kiai, Ustaz.” Lukman menunduk dalam. Posisinya hampir menyerupai or
Kiai mengembus napas panjang begitu selesai membaca kalimat yang tertulis di kertas. Pandangannya lurus ke depan di mana jemarinya berhenti menggulir biji tasbih. Untuk sesaat, hanya keheningan yang meruang di tempat empat orang itu berada. Lukman, Deni maupun Ustaz Ahmad tak berani buka suara.“Benar apa yang kamu katakan, Lukman,” ujar Kiai setelah beberapa detik keheningan menyapa, “menurut tulisan di kertas ini, warga Ciboeh bahkan sudah membakar rumah Rojali hingga rata dengan tanah.”Mendengar penuturan Kiai, Lukman kian menundukkan wajah. Kepalan tangannya semakin mengeras seiring dengan rasa bersalah dan penyesalannya yang kian membesar seiring waktu. Andai saja ia bisa mencegah Rojali untuk pergi ke Lnacah Darah, andai saja dirinya bisa jujur lebih awal pada Kiai dan Ustaz Ahmad, mungkin kejadiannya tidak akan sampai separah ini.“Ini semua salah saya, Kiai. Sa-saya yang sudah berani kurang ajar pada Kiai.” Lukman tib
Rojali menghindari setiap serangan yang dilontarkan Badru. Ia tak mengendurkan kewaspadaan meskipun pria yang menyerangnya kini kembali mundur.“Maneh kudu jadi anggota Kalong Hideung Rojali,” ujar Badru. Pria itu merenggangkan tubuh seperti melakukan pemanasan sebelum melakukan kegiatan, atau justru membuat suasana genting menjadi sedikit santai.Rojali masih tetap dalam posisi. Ia memperhatikan setiap gestur lawan dengan saksama. Pria di depannya bisa dibilang jauh berbeda dengan anggota Kalong Hideung yang pernah ia lawan. Perawakannya tinggi besar dan gerakannya sangat cepat.“Siapa kamu?” tanya Rojali.Ditanya demikian, Badru hanya menjawab dengan kekehan. Ia segera menghentikan tawanya saat melihat Rojali memperbaharui kuda-kuda. “Aing bakal jawab kabeh pertanyaan maneh kalau maneh bisa hajar aing¸ Rojali!”Pandangan Rojali fokus pada k
“Aing Badru, Pemimpin Kalong Hideung,” jawab Badru dengan segaris senyum.“Kunaon kamu ingin menjadikan saya anggota Kalong Hideung?” Rojali kembali bertanya. Ia pikir ini adalah kesempatan bagus untuk mendapat informasi dari musuh walau ia harus tetap memilah informasi karena bisa saja musuh justru memberi keterangan palsu.Badru terkekeh. “Aing hanya menjalankan perintah.”“Perintah? Perintah dari kakek itu?” terka Rojali.Badru mengangguk. “Aing datang kadieu pikeun nguji maneh (ke sini untuk menguji kamu).”“Menguji?”“Maneh bakal jadi sosok pengganti aing, Pemimpin Kalong Hideung.”Mendengarnya, Rojali menggertakkan gigi kuat-kuat. Tak pernah sedetik pun pikiran itu terlintas di benaknya. “Saya tidak berminat. Silakan cari orang lain.”Badru terkekeh. “
Rojali mundur untuk membenarkan penutup wajah sebelum kembali menerjang lawan. Serangannya saat ini lebih banyak didorong oleh amarah karena sosok yang amat dihormatinya dihina. Baginya, selain sebagai pemuka agama, pemilik pesantren dan guru, Kiai adalah sosok ayah yang telah mendidik dan memberinya kehangatan keluarga. Jadi, sebagai seorang anak, ia tak akan gentar saat mendengar penghinaan pada orang tuanya.“Kamu harus tarik kata-kata kamu tadi!” perintah Rojali tegas. Pemuda itu kian intens menyerang dibanding memilih bertahan. Alhasil, ia mampu membuat lawan mundur walau sesaat.Namun, serangan Rojali yang didorong emosi tersebut, tak serta-merta membuatnya berada di atas angin. Gerakannya malah terkesan asal sehingga menimbulkan banyak celah.Hal itu jelas dimanfaatkan Badru dengan baik untuk bisa menghajar Rojali hingga babak belur. Kemudian, setelah pemuda itu tak sadarkan diri, ia akan membawa Rojali ke markas dan meminta bapaknya untuk seg
Silaing butuh bantuan kaula?Di ambang batas kesadarannya, Rojali mendengar suara tersebut. Begitu matanya tertutup, ia tiba-tiba saja berada di sebuah ruangan bernuasa putih dengan asap yang mengitari sekeliling.Rojali sontak memeriksa keadaannya. Ia terperanjat kaget saat menyadari kalau tak ada nyeri maupun luka, padahal ia masih ingat kalau Badru mengahajarnya habis-habisan. Ini aneh, sangat aneh, pikirnya.Rojali refleks mundur begitu melihat sosok serupa dirinya sudah berada di depannya, lengkap dengan busana dan atribut kerajaan. Sosok itu berjalan mendekat ke arahnya dengan kedua tangan berada di balik punggung.“Silaing butuh bantuan kaula?” tanya sosok serupa Rojali.“Di mana saya?” Rojali balik bertanya. “Kunaon kamu selalu ganggu saya? Apa yang kamu mau dari saya?”Pria berbusana kerajaan itu berhenti tepat di samping Rojali. Tatapannya lurus ke depan. “
Lalu siapa yang berbicara barusan? tanya Badru dalam hati.Saat sibuk mencermati keadaan, Badru dikagetkan dengan serangan Rojali yang tiba-tiba ke arah dadanya. Dalam hitungan detik, ia yang tak siap terdorong kuat ke belakang hingga punggungnya menabrak dahan pohon di sisi sungai.Badru meringis saat merasakan sakit yang teramat sangat di punggungnya. Ia tak sempat terkejut dengan kekuatan besar Rojali karena tak lama kemudian, dirinya tak sadarkan diri.Rojali yang sebelumnya terpaku karena sudah berbusana kerajaan, mendadak terkejut begitu pakaiannya kembali seperti semula. Ketika ia menatap ke arah depan, ruangan putih yang mengurungnya tiba-tiba menghilang dan berganti menjadi suasana sungai dan hutan seperti terakhir kali ia bertarung dengan Badru.Meski masih dihinggapi kebingungan, Rojali segera mengecek keadaan dirinya. Ia mengembus napas lega kala melihat kunci itu masih menjuntai di dadanya. Pandangannya kemudian memindai sekeli
“Bukannya itu berbahaya, Sep?” tanya Pak Yayat, “mereka sudah mewanti-wanti kita untuk jangan macam-macam. Lagi pula apa yang bisa lakukan? Bisa saja nanti kita bernasib sama seperti ... Ki Udin.”Kekhawatiran Pak Yayat diamini yang lain.“Rencana yang saya maksud itu bukan rencana melawan mereka, tapi rencana menyelematkan warga desa, Pak,” ujar Asep menyakinkan, “tentu saya juga tahu kalau mereka berbahaya.”“Kumaha carana, Sep?” tanya Pak Juju.“Kahiji, kita amankan kelompak warga yang terdiri orang tua, wanita sama anak-anak di persawahan dan perkebunan sekitar desa. Kita tempatkan juga beberapa pemuda sebagai penjaga mereka. Kadua, kita bentuk kelompok yang terdiri dari para pemuda dan orang dewasa untuk mengawasi ritual.”“Tunggu, Sep.” Pak Harun memotong. “Kenapa warga biasa tidak ditempatkan di rumah masing-