Atama POV
*****Kesulitan perekonomian menjadi permasalahan kompleks bagiku meski baru menikah beberapa bulan belakangan.Aljabar sok-sokan tak mau menerima bantuan dari orang tuanya, maupun mertuanya. Sementara dia pun belum mendapatkan pekerjaan.Sebagai seorang istri yang baik, aku tentu berinisiatif ingin membantunya, walau pun keadaanku sedang hamil, toh aku bisa bekerja apa saja yang ringan-ringan.Seperti lowongan pekerjaan di fotokopian dekat kontrakan kami.Aku mencoba bicara baik-baik, tapi dia tidak pernah menanggapinya dengan baik-baik pula. Itulah Al, aku tidak tahu bagaimana harus menilainya. Yang aku tahu rasa cintaku padanya tak pernah ternilai banyaknya dan semua itu selalu saja mampu menutupi kesalahannya."Al, aku boleh nggak kerja? Ada lowongan pekerjaan di fotokopian Bang Yusuf. Gajinya nggak seberapa sih, cuma dari pada nggak ngapa-ngapain, kan bosen di rumah terus." Ucapku mengungkapkan keinginan."Nggak!" Jawabnya singkat, padat, dan jelas."Kan deket, Al?""Aku bilang nggak, ya nggak!" Aljabar menatapku sinis."Emang aku harus ngapain di rumah? Aktifitasku monoton. Aku agak bosan," keluhku lagi."Belajar masak, beresin rumah. Masa iya kamu mau makan beli mulu, mana peran kamu sebagai seorang istri? Aku tuh masih nganggur, Ta. Mikir dong! Aku malu apa-apa di fasilitasi Mama terus,""Ya makanya aku mau bantu kamu biar ada penghasilan. Biar nggak di fasilitasi Mama kamu terus.""Kamu mau nyindir aku ya? Mau ngatain aku nggak kerja gitu? Pengangguran, pemalas? Emang kamu udah merasa hebat banget ya? Bisa kerja duluin aku?" Tuturnya sinis."Apaan sih? Kamu gitu aja ngegas, kan aku cuma minta izin, kalo nggak boleh juga nggak apa-apa kok.""Harusnya kamu tau jawaban aku!""Aku berusaha jadi istri yang baik, Al.""Dengan cara apa?""Ngertiin kamu.""Ya elah... belajar masak sana! Jangan drakor mulu. Bikin kopi yang enak!""Kan, aku bikinin kamu kopi tiap hari.""Nih ya, asal kamu tau aja, kopi bikinan kamu tuh rasanya ancur, cuma aku minum aja karena aku nggak ada pilihan selain ngehargain kamu. Lagian ngapain kerja, nih aku juga masih cari kerja kok. Tau entar dapetnya kerja apa. Mulung sampah kek! Apa kek, Orang nggak ada keahlian gini." Katanya sembari memetik sinar gitarnya dan berkencrang-kencring sumbang.Aku mengusap pundaknya. "Jangan nyerah, aku tau kamu bisa.""Kamu nggak tau gimana susahnya cari kerja, lapangan pekerjaan yang makin sempit. Belum lagi aku yang nggak ada skill. Di mana-mana nyarinya yang berpengalaman. Lah, aku pengalaman apa? Kita udah beberapa bulan nikah, masa mau dicukupin keluarga terus. Ngerasa nggak ada harga diri aku tuh.""Masa sih? Buktinya kamu tiap hari jalan sama temen-temen kamu?" Aku mengalihkan pembicaraan agar tidak terfokus pada keluhan-keluhannya."Maen? Boro-boro, kan aku udah bilang aku cari kerja, karna aku bawa gitar kemana-mana makanya kamu pikir aku maen? Itu juga sambil ngamen buat beli bensin. Emangnya kamu, cuma main sosmed doang? Otak kamu tuh nggak ada satu persen pun mikir gimana perjuangan aku di luar buat nyukupin kebutuhan hidup kita, Ta!"Aku terdiam, menghela napas berat."Coba siniin Hp kamu!" pintanya kemudian.Tanpa ragu-ragu kuberikan ponselku ke tangannya. Aku sedikit heran apa yang sedang dia lakukan, setelah sibuk dengan ponselku, lalu dia mengembalikannya."Aku udah hapus aplikasi sosmed kamu. Aku juga hapus akun nggak penting kamu, awas kamu bikin lagi!""Kok gitu, sih?" protesku sambil mengerucutkan bibir."Aku nggak suka kamu upload foto-foto kamu di sosmed. Aku nggak suka kamu interaksi ama temen-temen dunia maya kamu. Ngapain sih, ganjen banget! Udah laku juga! Alay tau nggak.""Kan kamu pakai sosial media juga?" Balasku tidak terima.Aljabar menunjukkan ponselnya, menghapus beberapa akun sosal medianya dan menunjukkannya padaku."Nih, satu sama kan? Udah aku mau ke rumah Mama. Nggak usah ikut, aku cuma sebentar. Jangan kemana-mana, denger?"Aku hanya mengangguk paham."Keluar rumah diam-diam, aku injak-injak tuh perut biar keluar semua isinya," tekannya sambil mengenakan jaket jeans-nya dan berlalu.Lelah, sebulan ini aku merasa seperti hidup di dalam sangkar, tidak boleh kemana-mana dan aturan terakhirnya tidak boleh bersosial media?Ya Tuhan, ini bukan jaman batu!Namun, entah kenapa aku malah tersenyum saat melihat punggung Aljabar menjauh.Dia mencintaiku, entah itu kenyataannya, atau mungkin hanya utopia yang kubangun sendiri. Buktinya dia ingin aku tetap di rumah. Dia posesif, pasti karena takut kehilanganku. Itu yang aku pikirkan sekarang.Rona di wajah ini kutanggalkan. Saat mengingat hal gila yang paling membuatku semakin pusing adalah sikapnya.Ya, SIKAPNYA!Apakah dia tidak pernah belajar bagaimana caranya bersikap?Aku hampir gila dibuatnya.Ke mana pun langkahku pergi, dia selalu mengikutiku. Ke mana pun aku selalu di antar. Dan suatu hari, ketika aku bertemu dengan seorang pemuda sebaya dan kami saling menyapa, hal sekecil itu saja mampu membuatnya marah. Dia mudah sekali marah. Entahlah, sebentar dia manis, sebentar dia marah. Aku tak mengerti jalan pikirannya."Apa, Mas liat-liat? Istri saya, nih!" Dia menggenggam tanganku erat-erat sampai tanganku terasa sakit. Memperlakukanku begitu posesif.Laki-laki yang baru saja ditegur Aljabar hanya tersenyum menggeleng samar, lalu pergi. Pasti dia berpikir sikap Aljabar berlebihan."Siapa dia? Kenapa kamu senyumin dia?" Tanya Aljabar padaku dengan ekspresi sangat datar. Dan aku sadar satu hal, semakin hari, dia semakin galak. Semakin posesif, semakin otoriter."Itu tetangga, Al. Rumah dia jaraknya nggak jauh dari rumah Mama. Memangnya kamu nggak kenal? Masa aku nggak boleh sapa, entar dikira sombong.""Pilih dikira sombong apa gampangan?" serangnya."Aku cuma senyum dan sapa, kok.""Tebar pesona kamu!" Matanya menatapku tajam dan seperti biasa itu mampu membuatku tak berkutik."Ya ampun, Al. Kamu kayak anak kecil banget sih! Lagian kan aku sekarang lagi sama kamu.""Sama aku aja kamu kayak gitu, apalagi kalau nggak? Murahan banget sih!""Dia tetangga, Al. Lagian kita jalan bareng ini." Aku tetap bersikeras. Tak mau disalahkan."Jalan sama aku aja banyak tingkah. Nggak ada hormatnya sama suami!""Aku selalu hormatin kamu, kok. Ngapain sih hal kayak gini dipermasalahin?""Kayak hormatin bendera? Untung aja aku cukup sabar buat nggak nonjok dia." Geramnya sambil mengetatkan rahang.Ya Tuhan...Apakah Aljabar adalah spesies langka di bumi ini?Aku lupa dia makhluk jenis apa.Aku hanya ingat, dia suamiku.Awalnya Atama berpikir semua baik-baik saja.Kesabarannya akan mampu melunakkan hati Aljabar seiring waktu. Ternyata semuanya tak semudah yang dia pikirkan.Seandainya Atama tidak pernah menjawab telepon itu mungkin dia akan selamanya menjadi istri yang bodoh, yang tidak tahu apa-apa mengenai perselingkuhan suaminya."Ini siapa, ya?" ucapnya saat itu dengan telepon genggam menempel di telinga."Kamu yang siapa?" Di ujung saluran telepon, perempuan lain bersuara. Membuat hati Atama dirambati retakan-retakan tak kasatmata. "Aku pacarnya Al!"Sejenak kalimat itu mampu membuat hati Atama melebur lalu hancur. Mimpi burukkah itu?"Aku istrinya!" Jawab Atama tegas dan dominan."Jangan bercanda, ya!" Nada wanita di ujung saluran telepon itu terdengar sumbang. Jelas sepertinya dia tak senang."Jauhi Al! Aku lagi hamil," ucap Atama dengan dada yang bergerak naik turun bersamaan dengan napasnya yang kian memburu. Menahan sakit."Ini siapa sih? Nggak jelas banget! Nggak usah sok ngaku-ngaku ya! A
Atama POV*****Cukup sudah.Aku sudah tidak sanggup membayangkannya. Jika Aku tidak secinta ini padanya, tentu rasa yang aku tanggung tidak akan sesakit ini.Cinta, Aku tidak yakin apakah kata itu anugerah atau kutukan. Terlalu menyakitkan untuk ditelan."Mungkin, kalau aja kamu nggak hamil aku juga nggak akan nikahin kamu. Nikah sama kamu tuh mimpi buruk! Kamu hidup sama aku tapi kamu cuma jadi perempuan gampangan. Penyesalan terbesarku dalam hidup ini adalah, menikahi kamu, Atta!""Pulangkan aku, Al." Kaki ini terasa tak lagi mampu menopang tubuh, gravitasi seakan meninggalkanku.Hanya tangis pilu yang mampu aku suarakan. Aku berharap hidup sialan ini segera selesai. Berharap kematian membuat diriku sedikit berharga. Karena hidup tidak pernah membuatku merasa dibutuhkan."Nggak usah drama. Kamu tau dengan jelas siapa antagonisnya!"Kepercayaan, adalah sebuah hal yang sangat mustahil Aku dapatkan dari suamiku. Aljabar adalah sosok kasar dan arogan. Dan Aku berharap keajaiban akan me
Atama POV*****Aku memesan minum, sebotol Wishkey mungkin bisa menghangatkan hatiku yang beku. Atau setidaknya aku bisa melepaskan kepedihanku walaupun sesaat, dan tentu saja aku belum pernah menyentuh minuman beralkohol sebelumnya.Kutuang minuman berwarna pekat itu ke dalam gelas model Serry copita yang berlekuk, menggoyangkannya sampai isinya teraduk.Aku meminumnya, tidak peduli minuman ini memiliki rasa yang kuat, pahit, dan aroma tajam yang terasa tabu bagi lidahku. Namun, aku tidak mencari rasa. Aku hanya ingin lupa jika hari ini pernah ada.Selama Whiskey masih di mulut, minuman ini dapat berganti rasa. Unik memang. Bisa manis, sedikit pahit, sedikit rasa buah, dan sebagainya yang sulit kudefinisikan.Aku menyulut sebatang rokok. Menikmatinya, tidak peduli aku bagaikan perempuan jalang hari ini. Aku hanya ingin melupakan sejenak saja sakit hati, sejenak saja tanpa air mata.Jujur aku lelah.Perkataan Wahyu semakin membuatku berantakan, apakah benar semua yang dia katakan, dan
Atama POV*****"Contoh tuh, Wulan. Anaknya Papa, adik aku tuh. Nggak kayak kamu. Bisanya cuma bikin malu keluarga doang. Anak haram!" Dia menunjuk-nunjuk wajahku dengan tatapan penuh kebencian.Saat itu, Kak Arlan hendak pergi tapi aku menahan lengannya dengan cepat. Tak terima dengan ucapannya yang menyebut aku sebagai anak haram."Salahku, Kak? Semuanya salahku Papa sama Mama bertengkar terus? Salahku punya kakak yang kasar dan suka mukul? Salahku punya adik yang hampir sempurna? Salahku, Kak? Salahku juga kenapa aku harus lahir?" Ucapku dengan air mata yang mengumpul di pelupuk mata. Menahan gejolak sesak yang seakan merampas oksigen dari paru-paruku."Ya, semua salah kamu! Kamu bikin aku sadar, ada yang salah sama keluarga kita!" Tekan Kak Arlan sama sengitnya.Aku bergeming, satu pertanyaan yang selama ini tersimpan rapat di hati seolah meluncur bergitu saja dalam pikiranku.Lantas, jika aku hanya anak haram, siapa ayah biologisku?"Kalo otak kamu di kepala, pasti nggak bakal ke
Atama POV*****Entah ke berapa puluh kali ku kirimkan pesan pendek kepada Al, sampai pukul tujuh malam dia baru membalas pesan pendekku.Nanti malam aku pulang, Ta.Aku langsung membalas.Kamu nggak apa-apa kan, Al?Tidak ada jawaban lagi setelahnya.Sampai malam telah larut, akhirnya terdengar suara ketukan pintu. Sesuai seperti yang kukatakan sebelumnya, aku akan memeluknya ketika dia kembali.Ya, menjatuhkan diriku ke pelukannya dan menangis ketika dia datang, aku takut sekali kehilangan dia.Sangat takut.Tapi saat aku membuka pintu dan mendapati wajah Aljabar pun sama babak belurnya, aku pun tahu satu hal bahwa apa yang dikatakan Tante Dayu pasti benar adanya.Aku berjalan menuju kamar setelah memutar kenop pintu dan membiarkan Aljabar masuk. Mengekor di belakangnya dengan degup jantung yang bertalu tak menentu."Apa yang udah kamu lakuin sama Lexi? Kamu mukulin dia?" Tanyaku saat itu. Aku tidak tahu kenapa pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulutku karena pada dasarnya a
Atama POV*****Dua hari sejak hari itu, Aljabar sama sekali tidak kembali ke rumah.Perasaan takut, khawatir, semuanya bercokol kuat di hatiku. Terlebih, dia benar. Aku takut kehilangannya. Aku lelah berkutat dengan gelisah itu tiap waktu. Butuh tempat bercerita kuputuskan datang pada keluargaku. Menceritakan semuanya dan berharap mereka akan menguatkan atau menenangkanku."Aljabar adalah pilihan kamu, Ata. menikah dengannya adalah konsekuensi dari perbuatan kamu sendiri, jadi buat apa ditangisin?"Itu yang Mama ucapkan dengan acuhnya saat aku bercerita sambil menangis mengenai perselingkuhan Aljabar. "Udah mau jadi janda aja, nih? kasian bener tuh bayi."Itu yang Kak Arlan ucapkan dengan entengnya."Aku nggak ngerti urusan orang dewasa, Mbak. Bukan karena aku nggak peduli. Sungguh."Setidaknya benar, adikku memang belum mengerti."Papa udah bilang, lepasin kalo itu berat. Papa sibuk, Ata. Hari ini banyak masalah di tempat kerja. Belajarlah mengatasi masalah kamu sendiri. Papa pusi
Aljabar tidak tahu apa yang terjadi setelah malam itu, yang dia tahu, saat dia kembali ke rumah, Ata sudah tidak ada bahkan beberapa pakaian milik istrinya itu juga ikut raib dari lemari.Pertengkaran hebat yang terjadi malam tadi membuat Aljabar hampir gila, saat dia tersadar bahwa perbuatannya mungkin nyaris membunuh istrinya sendiri.Dan dia menyesal, sungguh.Dia ingin meminta maaf dan memeluk istrinya."Ma, Ata di sini?" Tanya Aljabar pada Ibu mertuanya. Aljabar yakin Ata pulang ke rumah orang tuanya itulah sebabnya dia datang ke sini."Loh, dia nggak kesini. Emang dia pamit ke sini?" Mama mertuanya balik bertanya. Membuat bibir pemuda yang mengenakan kaus hitam itu bergetar, bingung harus menjawab apa."Eng... Nggak sih, Ma. Tepatnya dia nggak pamit mau kemana. Tapi, dia nggak ada di rumah sekarang," jawab Aljabar sambil menunduk. Tenggelam dalam tumpukan sesal."Maksud kamu Ata minggat?" Mama mertuanya mendelik, tatapannya mengintimidasi. Namun Aljabar tak berhak membalasnya de
Aljabar POV*****Bola api raksasa semburatkan pendar cahaya menyilaukan mata.Aku menipiskan penglihatanku yang kabur akibat air yang membendung di kelopaknya. Berusaha menyempurnakan tatapan pada sebidang gundukan tanah berbingkai keramik marmer berwarna putih gading di hadapanku.Makam ini selalu bersih dan terawat karena pihak keluarga yang memang menyewa jasa pembersih makam untuk membersihkannya secara rutin."Apa kabar, Ta?" Ucapku hampir tak bersuara. Saking pelannya suara itu. Posisiku kini sudah berjongkok di sisi makam. Menyentuh ukiran nama yang bertuliskan "Atama Lovenia" di batu nisannya.Air mataku menitik seketika.Ada sesak yang mengutuk hatiku di senja hari yang sunyi ini. Serangan membabi buta yang berdiam di dadaku dan tak bisa kuantisipasi.Meski sudah lima tahun berlalu, namun penyesalan atas rasa bersalahku pada Atama tak juga lenyap dari kehidupanku.Kepergian Atama sukses menjadi hukuman terberat yang Tuhan beri untukku.Lima tahun yang lalu, ketika pihak kel
TIGA TAHUN KEMUDIAN...Abraham POV*****"Kamu... bukan Rassi...” kataku lirih, melemah, terduduk lunglai di lantai. Bersandar pada dinding ruangan gelap itu.Kedua rahangku kembali mengeras. Menahan sesak yang kian menjadi-jadi.Aku menggigit bibir bagian bawah, sekadar berusaha menahan genangan air di kelopak mataku supaya tidak jatuh membanjiri pipi.Jelas, aku tak ingin terlihat cengeng dihadapan wanita ini. Meski aku harus mengakui kekeliruanku selama ini, kalau wanita yang kini berdiri di hadapanku ini, bukan, dia bukan Rassiku.Wanita ini bukan istriku...*****Jakarta, Sepuluh Tahun SilamAku terdiam saat berbicara. Aku terhenti saat berjalan. Seperti ketika aku melewati taman-taman surga. Walau mata ini tertutup, tapi dia tetap terlihat. Bahkan ketika mata ini terbuka, seketika senyumnya menyambut tanpa jeda, membuatku lupa bagaimana cara untuk berkedip. Tingkah manjanya membuatku merasa menjadi satu-satunya pria paling perkasa, karena aku satu-satunya pria yang bisa melindun
Tak ada yang pernah menyangka jika Rassi Pramudita adalah anak dari salah satu pengusaha ternama di New York.Ayahanda Rassi adalah orang Indonesia yang sudah lama menetap di New York dan menjadi warga negara Amerika Serikat, sementara Ibunda Rassi sendiri merupakan wanita keturunan Korea Selatan.Paras cantik Rassi diturunkan dari sang Ibu yang awalnya berprofesi sebagai aktris ternama di Korea, namun dia pensiun sejak memutuskan untuk menikah dengan Ayah Rassi.Tidak mendapat persetujuan keluarga, itulah yang menjadi penyebab Ayah Rassi pergi ke luar negeri dan memulai karirnya sebagai pebisnis dari titik nol di New York.Siapa sangka, keuletan dan ketekunannya membuahkan hasil yang sangat memuaskan.Sementara alasan mengapa Rassi dan Rissa bisa terpisah, itu semua karena ulah seorang lelaki bernama Mo Seo Jin yang merupakan fans garis keras Ibunda Rassi.Mo Seo Jin kecewa karena idolanya pensiun dari dunia perfilman dan memilih untuk menjadi Ibu Rumah tangga biasa sehingga lelaki i
Sesampainya Atama dan Aljabar di kediaman mereka, hal tak terduga mengejutkan keduanya saat sosok Chelsea yang tiba-tiba berlari ke arah Aljabar di pintu masuk dengan senyuman yang merekah di wajah imutnya."Papa... Elsi kangen Papa..." ucap Chelsea yang langsung berhambur memeluk Aljabar."Chelsea? Kamu..." ucap Atama bingung saat tiba-tiba Arlan dan Althair diikuti Lyra dan Rama ikutan menghampiri mereka di ambang pintu utama."Chelsea baik-baik aja, Ata! Lagian sih, lo nggak angkat telepon gue!" ucap Arlan saat itu setengah berteriak."Ini, gimana bisa?" Tanya Atama yang masih saja bingung, meski dalam hati dia sangat senang."Chelsea itu udah lama kabur dari Abraham. Dan selama itu juga dia hidup terlunta-lunta sendirian di luar sana. Untungnya ada temen gue yang nemuin Chelsea." ucap Arlan setelahnya."Alhamdulillah, syukur kalau begitu? Aku harus cepet telepon Lexi, dia pasti senang mendengar kabar ini," balas Atama yang lekas mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya."Elsi nggak m
Setelah Atama memberitahu Lexi bahwa dia sendiri pun tidak mengetahui di mana kini Abraham menyekap Chelsea, lalu tak lama, wanita itu mendapati pesan masuk yang dikirim dari nomor tak dikenal, di mana nomor tersebut mengaku bahwa dia adalah Abraham.Lelaki itu mengancam Atama juga Aljabar akan membunuh Chelsea jika mereka tak datang ke lokasi di mana Abraham berada.Tak mau membuang waktu, Atama dan Aljabar pun melaporkan ancaman itu pada pihak kepolisian, selain itu, mereka juga melibatkan Lexi dalam pemecahan masalah kali ini.Hingga akhirnya, setelah mereka semua berembuk, Atama dan Aljabar pun menyanggupi permintaan Abraham.Keesokan malamnya, mereka benar-benar mendatangi lokasi yang alamatnya diberikan Abraham pada mereka.Arlan yang awalnya ingin ikut tak diizinkan oleh Nando karena kondisi kesehatan Arlan yang memang belum sepenuhnya membaik.Menahan kesal, Arlan hanya bisa menatap kepergian iring-iringan kendaraan Aljabar, Lexi dan pihak kepolisian yang meninggalkan pelatara
Mungkin, semua manusia di dunia ini pernah mengalami sebuah kejadian yang dinamakan kebetulan.Ya, kebetulan.Kebetulan yang pada akhirnya kembali mempertemukan sepasang insan manusia yang saling jatuh cinta.Semua yang terjadi seperti mimpi bagi Aljabar saat tatapannya yang tanpa sengaja tertuju ke arah sebuah motor yang melaju perlahan di sisi kendaraannya.Saat itu, Aljabar sedang berada dalam perjalanan menuju Bandung untuk menemui Ibu Marfuah. Kepergiannya ditemani Nando dan pihak kepolisian.Sesosok wanita bergaun hijau yang duduk diboncengan motor terlihat tidak asing, sehingga Aljabar pun menajamkan penglihatannya.Dan saat itulah, dia pun tersadar bahwa wanita itu adalah Atama, istrinya yang hilang satu minggu ini.Menepuk cepat bahu Nando yang mengendarai mobil, Aljabar berteriak panik."Nan, berhenti Nan! Berhenti! Hadang motor itu, Nan! Itu Atama, Nando! Itu Atama," ucapnya dengan telunjuk yang mengarah ke motor di sisi kendaraannya.Nando pun bergerak cepat mengikuti inst
Hari ini, Mami Keke dikejutkan dengan kabar hilangnya Ratu dari rumah sakit.Salah satu anak buahnya tersebut melarikan diri saat pengawasan rumah sakit sedang berkurang, terlebih saat Andra, yang merupakan salah satu bodyguard Mami Keke yang ditugaskan sang gremo menjaga Ratu sedang lengah.Masih dengan seragam rumah sakit yang dia kenakan, Ratu berjalan tertatih saat luka tembak di perutnya belum sepenuhnya pulih.Ratu harus lekas pulang ke kostannya untuk mengambil barang pribadinya sebelum dia pergi jauh dari kota ini.Setelah menjalani perawatan intensif pasca kejadian penembakan itu, Ratu terus berpikir bahwa dia tak ingin lagi kembali pada profesinya sebagai pelacur.Ratu ingin berhenti dari pekerjaan kotor itu dan mulai menata kehidupannya yang baru.Meski sampai detik ini, dia belum tahu kemana dia harus pergi.Dan mengenai alasan mengapa Ratu tiba-tiba berpikir seperti ini, itu semua tak lepas dari perasaan yang dia miliki terhadap Arlan sejauh ini.Ratu sadar sampai kapan p
Sudah satu minggu berlalu Atama disekap Abraham di Villa pribadinya.Sikap Atama yang tetap menunjukkan kepatuhan, perlahan meruntuhkan kecurigaan dalam benak Abraham yang awalnya berpikir Atama hanya berpura-pura baik padanya.Dan kejadian tadi malam, saat Atama tak menolak diajak berciuman oleh Abraham sukses membuat lelaki itu terkecoh dan mulai percaya bahwa Atama tidak sedang bersandiwara.Hingga akhirnya, Abraham pun mencoba untuk mengetes Atama, apakah wanita itu benar-benar serius dengan kata-katanya tempo hari, atau memang hanya sekadar ingin mengelabui dirinya.Hari ini, Abraham yang awalnya menyekap Atama di lantai teratas Villa pribadinya, sengaja mengajak wanita itu keluar dari persembunyian untuk menikmati indahnya hari.Abraham membiarkan Atama berkeliaran bebas di Villa itu hanya dengan penjagaan seadanya."Ini Bu Marfuah. Dia asisten rumah tangga di sini yang akan membantumu menyiapkan kebutuhanmu, sayang," ucap Abraham memperkenalkan seorang wanita paruh baya bernama
"Sudah cukup aku bersabar menunggumu kembali padaku, sayang... Dan sekarang, aku tak sudi menunggu lagi!" ucap Abraham yang dengan cepat merobek pakaian yang dikenakan Atama saat itu.Atama menjerit saat Abraham hendak memperkosanya.Namun, semua usaha pemberontakannya tak kuasa menahan keganasan Abraham. Lelaki itu sudah seperti monster yang siap menerkam Atama.Masih berusaha mempertahankan diri, Atama tiba-tiba berteriak, "Baik, baiklah, aku akan menuruti semua perintahmu, Ab. Tapi aku mohon, jangan sakiti aku untuk saat ini. Beri aku waktu sampai aku benar-benar siap. Aku berjanji, setelah ini, aku akan selalu mendampingimu..." Atama bicara sambil menangis. Menutupi kedua bukit kembarnya yang masih tertutup pakaian dalam dengan kedua tangannya yang dia silangkan.Mendengar ucapan Atama, nafsu Abraham yang tadinya sudah menggebu perlahan surut. Lelaki itu tak menyangka jika Atama akan berbicara seperti itu."Apa, kamu tidak berbohong, Ata?" ucapnya serak.Atama mengangguk. "Ya, aku
Hari sudah beranjak sore, Atama masih terkurung di sana.Di dalam kamar itu.Dia kelaparan dan kehausan.Sudah berbagai cara dia coba untuk melarikan diri, namun tak ada satu pun usahanya yang berhasil.Bahkan jendela kamarnya saja dilapisi dengan teralis besi. Atama tak menemukan celah sedikit pun untuknya bisa keluar dari kamar ini.Satu hal yang hanya bisa dia lakukan adalah menutup tubuhnya yang terbuka dengan pakaian wanita yang dia temukan di dalam lemari kamar.Entah itu pakaian siapa, Atama tak memperdulikannya. AC di kamar itu begitu dingin, dan dia butuh pakaian yang lebih tertutup.Setelah lelah menangis bahkan suaranya nyaris hilang karena terus menerus berteriak seperti orang gila sejak tadi pagi, Atama kini hanya bisa tergolek lemah di sudut lantai kamar.Duduk memeluk lutut dan berurai air mata.Pikirannya tak lepas dari Aljabar dan Althair.Atama benar-benar menyesal karena tidak mempercayai ucapan suaminya.Hingga malam pun akhirnya tiba.Atama yang sudah lemas hampir